#5

* * *

* * *

"Kamu panas ya, Mel?" Hasan mencoba meraih kening sahabatnya dan memegangnya.

"Udah mendingan ternyata," kata lelaki bersuara berat itu bersyukur. "Sakitnya sejak kemarin ya? Tumben minta antar ke aku."

"Iya, sejak kemarin. Tapi syukur, dengan obat yang direkomendasikan dokter, aku bisa bekerja kembali, walau kepala masih pusing," ungkap Amelia membuat Hasan tertawa kecil.

"Kamu memang wanita kuat, Mel." Lelaki berbadan gempal itu memuji lalu memfokuskan pandangannya ke depan, mengemudikan mobilnya di jalanan kota.

"Mau drive thru gak?" ajak Hasan tanpa menoleh.

"Terserah kamu aja," ucap Amelia dengan intonasi rendah.

"Baiklah, kita sudah dekat."

Hasan membelokkan mobilnya ke sebuah restoran cepat saji yang menyediakan makanan berupa susunan roti, tomat, selada, daging sapi, dan saus. Ayam goreng juga menjadi menu andalan mereka.

"Selamat datang, kak. Mau pesan apa?" Terdengar suara pelayan laki-laki, melayani Hasan yang ingin memesan.

"Kamu mau pesan apa, Mel?"

"Pesan paket big mac sama kentang ukuran large."

"Oke." Kemudian Hasan mendekatkan mulutnya ke sumber suara. "Pesan paket big mac dengan kentang large, sama paket ayam spicy. Itu saja."

"Total 80.800. Silakan menuju ke depan untuk proses pembayaran. Terima kasih."

"Terima kasih ya, mas."

Lelaki pemilik kulit putih itu melajukan mobilnya ke bagian pembayaran. Ia mengeluarkan dompet dan menyerahkan kartu kredit gold-nya ke pelayan laki-laki tadi. Setelah digesek, kartu tersebut dikembalikan lagi pada si pemilik beserta struk pembayaran.

"Aku mau tanya sama kamu." Tiba-tiba Amel bersuara, mengajak Hasan mengobrol. "Aku penasaran, kenapa sih kamu mau menikah denganku? Padahal kita sahabat, bahkan berkomitmen untuk tidak saling mencintai."

"Maksudnya apa?"

"Eleh, pura-pura enggak ingat lagi. Kamu pernah keceplosan mau nikah sama aku. Pikirku, ucapan kamu serius, makanya aku waswas."

Mobil abu-abu milik Hasan melaju lagi menuju bagian pengambilan. Menunggu pesanan mereka jadi.

Hasan pun menghela napas sebelum berucap. "Awalnya aku gak mau. Jujur. Tapi ... ada alasan kenapa aku mau menikah sama kamu."

"Alasannya apa?" tanya Amel serius, memberi isyarat untuk menjawab pertanyaan yang belum tercerahkan di kepalanya.

Hasan menghela napas, mencoba mencerahkan pertanyaan sang sahabat. Walau berat, namun ia berusaha untuk tidak membuat Amel bertanya-tanya lagi.

Baru saja membuka mulut, pelayan perempuan yang bertugas di bagian pemesanan memanggilnya lalu ia menoleh, mengambil pesanannya tanpa ikut pesanan satunya.

"Untuk big mac-nya masih dalam proses pembuatan. Bisa menunggu di bagian Waiting Bay?" minta pelayan perempuan itu sambil menunjuk arah bagian yang disebut.

"Boleh, mbak."

"Makasih."

Pelayan itu menutup jendelanya kemudian Hasan melaju ke bagian Waiting Bay untuk menunggu pesanan Amel.

"Jawablah, Hasan," desak Amel kembali. Menatap sahabatnya yang ragu-ragu menjawab.

"Saat kejadian yang membuat kamu trauma, aku menyerah mencarikan kamu pacar atau calon suami yang cocok. Menurutku, tidak ada lelaki yang bagus buat kamu. Takutnya menyakiti kamu, sama seperti yang dilakukan sama mantan kamu."

"Cuma itu?" tanya Amel memastikan. "Aku paham kamu menyerah. Kamu sudah beberapa kali jadi mak comblang buatku, tapi bukankah tidak etis kalau kamu menikah denganku hanya karena menyerah? Masih banyak 'kan lelaki baik yang belum kamu jumpai?"

"Bukan itu saja, Mel." Hasan berucap kembali, mengklarifikasi. "Aku dijodohkan sama wanita lain. Lebih tepatnya, wanita yang tidak aku sukai, Mel," jawabnya dalam satu tarikan napas.

Mata cokelat perempuan itu mengerjap. Beberapa kali mengedip, bingung apa yang ingin ia ucapkan.

"Dijodohkan? Maksud kamu?"

"Bokap berutang sama temannya. Katanya nyaris mencapai milyaran gitu. Supaya utang bokap ditebus, temannya mau menjodohkan puterinya padaku. Makanya aku gak mau, soalnya dia bukanlah wanita yang aku suka. Juga, dia gak cinta sama aku. Buat apa menikah?" ungkap Hasan berat hati. "Jika saja, kita bisa nikah siri ..."

Ucapan terakhir yang didengarnya membuat Amel kembali mengerjap. Kenapa bisa sahabat sendiri mengajak nikah siri? Sepanjang hidupnya, dia tak mau menikah diam-diam. Kalau memang benar demikian, lebih baik dia mundur, daripada masalah makin panjang.

"Maaf, Hasan. Tapi prinsip dalam hidupku adalah, pernikahanku harus diakui semua orang,. Harus ada yang melihat. Bukan berarti menikah siri bisa menghindari perjodohan itu. Yang ada justru banyak yang menentang, termasuk bokap kamu."

Hasan kembali menghela napas, namun berat. Ia tak tahu harus berbuat apa.

"Tak ada pilihan lain lagi, Hasan. Terima saja perjodohan itu." Amel memegang punggung tangan Hasan, meyakinkan bahwa menerima perjodohan adalah jalan terbaik untuk kehidupan sang sahabat ke depannya.

"Aku juga ingin mengakui sesuatu sama kamu." Mulutnya mulai berani bercakap.

"Mengakui apa, Mel?"

Keberanian itu hanya sekejap dan langsung menghilang kembali. Amel tampak ragu-ragu mengungkapkan sesuatu yang terjadi padanya.

"Apa, Mel? Jawab." Hasan mulai penasaran dan mendesak Amel untuk menjawab pertanyaan yang digantung selama semenit.

"Aku sudah menikah, Hasan," ucap Amel parau. "Aku dijodohkan, sama seperti kamu. Tapi beda. Perjodohan kami semata-mata menyelamatkan bisnis orang tuaku."

"Maksud kamu, perusahaan Global Manifest? Yang mau bangkrut itu?" tanya Hasan memastikan.

"Iya. Perusahaan ayahku berada di ambang redup. Ayah suamiku mengakuisi perusahaan Global Manifest," jelas Amel, meski dalam hatinya ingin berhenti bicara. "Awalnya aku menolak, karena alasannya sama. Aku gak suka sama suamiku. Tapi tidak ada pilihan lain, aku harus belajar mencintai dia. Walau keputusannya dia juga ingin menolak. Namun, dia menerima begitu saja, tanpa memandang perasaan aku."

Mendengar cerita sahabatnya, membuat Hasan melamun, tak menyadari bahwa nyaris semenit pelayan perempuan tadi memanggilnya dari luar jendela.

"Mas, buka! Pesanannya udah jadi!" seru pelayan itu, sambil terus mengetuk kaca jendela.

Lamunan Hasan buyar kemudian membuka jendela, lalu mengambil bungkusan pesanan milik Amel.

"Makasih ya, mbak."

Mobil abu-abu itu pun melaju keluar dan bergabung dengan mobil-mobil lainnya yang lalu lalang di jalan Pettarani.

Hasan mencoba mempertimbangkan. Dia memang suka sama Amel, tapi sebagai sahabat. Secara tak sadar, ia ingin membahagiakan sahabatnya dengan menikah, semata-mata hanya melindungi lelaki jahat yang mencoba menghancurkan sang sahabat.

Namun sadar bahwa cinta tak bisa memaksa, maka ia mundur menyukai Amel. Belum yakin apa suami sahabatnya bisa membahagiakannya. Tapi jika Amel datang padanya dalam keadaan menangis, ia siap untuk menghadiahi bogem pada suami Amel.

"Aku akan terima perjodohan itu. Sudah keputusan bulat," kata Hasan mantap. "Tapi aku masih penasaran. Apa suami kamu sungguh menerima kamu apa adanya? Aku belum yakin sifatnya seperti apa. Takutnya dia menyakiti kamu lagi."

Amelia mencoba menarik napas sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya.

"Suamiku menerimaku apa adanya. Meski sebenarnya aku suudzon sama dia, tapi aku suka dengan kepeduliannya padaku, merawatku, bahkan suka tanya-tanya keadaanku."

Hasan bermanggut, memahami rangkaian kata Amel. "Kalau memang begitu, buat apa suudzon? Kamu berpikir dia laki-laki jahat yang memanfaatkan kamu?" tanya Hasan menebak.

"Kok tahu?"

"Kamu 'kan pernah mergoki mantan kamu selingkuh. Terus kamu ninggalin dia dan otomatis sifatnya berubah dari baik jadi jahat. Padahal awalnya dia baiknya gak ketulungan. Peduli dan sabar sama kamu," ungkap Hasan mengungkit masa lalu. "Tapi semoga saja, besok aku bisa sebar undangan."

"Wah, bagus itu. Beneran nih?"

"Beneran. Aku serius." Hasan tampak malu-malu saat mengucap benar-benar ingin menikahi calon istrinya.

"Ya sudah, semoga pernikahan kamu lancar ya."

"Kamu juga."

Tampak kedua sahabat itu saling menerima situasi. Terlebih Amel yang bila menyinggung masalah suaminya, ia suka senyum-senyum sendiri.

Hasan juga mengingat janji mereka untuk tidak saling mencintai dan tetap bersahabat. Walau Hasan masih menaruh hati pada Amel, namun setelah mendengar semua saran dari sang sahabat, ia mencoba menanggalkan rasa sukanya pada istri orang tersebut.

Sudah sepantasnya mereka saling memberi saran dan dukungan sebagai sahabat. Nyaris saja mereka mengambil jalan salah. Beruntung mereka sadar diri.

* * *

15 Februari 2020

Revisi kedua: 2 Maret 2020

*

Follow IG --> @repairinglove_wattpadfu84

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top