#4

* * *

Beberapa hari belakangan ini, Amel terus mempermainkan emosinya di hadapan sang suami. Entah mengapa, ia meluapkan kekesalannya berulang kali. Untungnya, Arfan tak pernah sekalipun membalas. Meski saling berdebat, namun lelaki tinggi tersebut tak memikirkan apa pembalasan yang tepat untuknya. Yang ada Arfan terus peduli dan memastikan dirinya sudah makan atau belum. Sungguh suami yang baik.

Akan tetapi, ia tak boleh terperdaya begitu saja. Bisa jadi sikap pedulinya dipegang kendali oleh mertuanya. Sebenarnya dia punya niat buruk untuk membuat keluarganya hancur. Makanya ia harus jaga jarak.

Pagi-pagi di pertengahan bulan Oktober. Ia tak bisa bangkit dari tempat tidurnya, sebab ia merasakan pening di kepala juga hidungnya mampet. Ia hanya mendekapkan tubuhnya dengan bed cover.

Sakit saja terus! Paling entar enggak sembuh-sembuh! Rutuk dirinya sendiri saat kepalanya semakin pusing.

Tak lama setelah itu, Arfan datang dengan kaos oblongnya, membangunkan sang istri.

"Amel," panggilnya sambil mengetuk pintu. "Kamu gak kerja? Tumben gak berangkat pagi-pagi."

"Mau apa lagi? Masuk-masuk dalam kamarku tanpa izin." Amel mencoba mengusir Arfan, dengan suara seraknya dan kondisinya yang lemah.

"Kamu sakit, ya?" tanya Arfan pelan, iba melihat kondisi istrinya.

"Bukan urusan kamu," jawab Amel seadanya, dengan posisi tidur menyamping membelakangi Arfan.

"Biar kulihat."

Arfan memegang kening Amel, walau posisi tidurnya masih tetap, tidak berpindah-pindah.

"Kamu panas, Mel. Tunggu sebentar."

Arfan pun bangkit dari tempat tidur dan segera membuat pertolongan pertama dengan kompres.
Hanya butuh dua menit, Arfan datang dengan membawa ember abu-abu kecil berisi air serta handuk putih sebagai kompres.

"Sini, biar aku yang kompres." Lelaki berwarna kulit sawo matang tersebut memeras handuk putih yang basah oleh air kemudian melipat sesuai bentuk kening istrinya.

"Kamu jangan kerja dulu, Mel. Aku akan kasih tahu Bu Renata kalau kamu sakit," ujar Arfan lalu menaruh handuk putih basah di kening Amel.

"Mau tahu kenapa kamu bisa sakit?" tanya Arfan mengundang rasa penasaran istrinya. "Itu karena kamu sering marah-marah. Sudah aku bilang dari kemarin jaga sikap. Tapi kamu geram mulu, ngomel mulu. Meluapkan amarah terus menerus bisa mendatangkan penyakit. Jadinya gini, kan?" omelnya pelan seperti suami yang setia merawat sang istri di kala sakit.

"Banyak bawel." Tetap saja, Amel menunjukkan rasa bencinya pada Arfan.

"Udah, jangan banyak bicara, Mel. Nanti tambah sakit." Arfan mengingatkan, kemudian memperbaiki bed cover yang terbuka sebagian. Ia menutupi tubuh istrinya dengan baik, kemudian menyalakan lampu kecil di nakas.

"Aku akan menelepon kakak ipar untuk merawat kamu. Setidaknya dia bisa menjaga kamu selagi aku mengajar," ujar Arfan singkat kemudian berbalik untuk menelepon istri kakaknya.

Sembari berbaring, Amel melihat suaminya yang sedang menelepon di sudut kamarnya. Tinggi semampai juga wajah tampan menjadi nilai plus untuk Arfan.

"Kenapa kamu tinggi banget sih? Ganteng lagi. Saat kamu tersenyum, bertambah kegantenganmu, Mas." Tak sadar Amelia membatin, memuji kelebihan sang suami.

"Kakak ipar setuju, dia akan merawat kamu. Jadi tetaplah di sini, tunggu sampai kakak ipar datang, ya. Aku mau mandi dulu."

Amelia tak merespon, namun hanya melihat punggung suaminya yang menjauh darinya. Pintu kamarnya tertutup.

Sekali lagi ia mengapresiasi kepedulian sang suami. Betapa baiknya Arfan padanya, sampai menyadari bahwa ia terus memarahi suaminya tanpa ampun.

Tidak sepantasnya ia melampiaskan kekesalannya lagi. Karena ia tahu semua yang dilakukannya tidak membuat Arfan membalas atau balik memarahinya. Kesalahan yang ia lakukan tidak membuat situasi makin kacau. Lelaki tersebut terus peduli padanya.

Apa yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya?

Secepat itu ia menyadari kesalahannya. Tapi ia masih butuh kepastian apa suaminya sungguh peduli padanya? Atau hanya dibuat-buat atas tuntutan orang tua?

* * *

Arfan berangkat ke kampus seperti biasa. Ia turun dari mobil dan segera menuju gedung kampus. Tampaknya ia harus mengelak tawa sebab sang sahabat terus menunggunya datang. Ya, Surya memiliki pekerjaan sampingan, yaitu menunggu Arfan datang. Kebiasaan setiap pagi.

"Surya. Ngapain menungguku lagi? Sudah kubilang kemarin, gak usah lakuin itu lagi," ujar Arfan gemas sembari merangkul leher sahabatnya.

"Maaf, bro. Kebiasaan."

"Eleh. Seperti pacar aja," ledek si tampan mempesona, membuat Surya terpana dengan tinggi Arfan yang menjadi-jadi.

"Kamu kayak tiang listrik aja. Tinggi banget," sahut Surya kaget sambil memukul keras lengan Arfan sangking terkejutnya.

"Sakit, tau," erang Arfan terus memegang lengannya. "Oh iya, sudah lihat info di grup WA? Ada acara makan malam sesama dosen hari ini. Jam 7 malam. Jadi datang gak?"

"Emmm ... pastilah. Mana nolak kalau makannya di Paotere? Banyak ikan dan aneka sea food lainnya di sana. Yang nraktir juga kamu, kan? Kamu yang ajak lalu minta teman lain membagikan ke grup."

"Bisa aja kamu. Kukira kamu gak tahu, padahal kulakukan diam-diam biar gak ada yang tahu."

"Namanya juga punya teman anak sultan, kan?"

"Kamu ini."

Arfan dan Surya saling melempar candaan sebagai sahabat. Arfan tak segan memukul pelan lengan Surya sebagai balasan.

"Sudah sampai kelas tuh. Ngajar yang baik ya," ucap lelaki berkumis tipis itu menepuk pundak Arfan.

"Iya, kamu juga," balas Arfan melambai melihat sahabatnya naik ke lantai tiga.

* * *

Dua hari kemudian, Arfan mengemudikan mobilnya dalam keadaan riang gembira. Ya, dia mendapat kabar dari istri kakaknya bahwa Amel sudah sembuh dengan obat yang diberikan dokter saat dibawa ke klinik.

Ia bersyukur. Setidaknya dengan cobaan yang diberikan sang istri, membuat situasi di rumah semakin ringan, tak perlu membawa beban lagi.

Sebagai hadiah, ia membawa satu kotak penuh ayam goreng untuk dimakannya bersama Amel.

Sempat terjebak macet selama sejam, ia pun bisa pulang ke rumah tanpa menunggu malam lagi.

Turun dari mobil, ia menyapa sang istri dari mulut pintu.

"Amel. Aku pulang."

Wanita yang sedang makan nasi dan telor itu menoleh, melihat suaminya pulang dari kampus.

"Amel? Sudah sembuh?" tanya Arfan memegang pundak istrinya.

"Iya, Mas. Aku sudah sembuh," jawab Amel sepenuh hati.

"Syukurlah."

Arfan membawa sesuatu sebagai kejutan untuk Amel.

"Lihat, aku bawa apa?" Lelaki berkemeja abu-abu itu memamerkan satu kotak besar yang membuat Amel menjerit kegirangan.

"Wah, ayam goreng!"

Arfan membuka tutup kotak tersebut, dan aroma mengepul ke atas, seperti baru diangkat dari penggorengan.

"Mas Arfan. Baik banget deh beliin aku ayam goreng," ujar Amel langsung melahap paha bawah ayam.

"Makan yang banyak ya, Mel." Arfan menyapu lembut rambut istrinya yang berantakan.

Tampak raut wajah senang dari sang istri, membuatnya juga bahagia.

Namun siapa sangka?

Kebahagiaan itu hanya imajinasinya saja?

Justru yang didapatnya bukanlah sesuai bayangannya.

* * *

12 Februari 2020

Revisi kedua: 2 Maret 2020

*

Follow IG --> @repairinglove_wattpadfu84

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top