#3
* * *
Jika ditanya alasan kenapa banyak yang cerai, tentu bukan karena konflik kecil di antara mereka. Tapi ada satu hal yang membuat para lelaki dan perempuan resah. Ya, perjodohan. Mau alasan apa pun, bila dijodohkan maka masalah kelar.
Tapi tidak bagi Amelia dan Arfan.
Pertengahan Agustus lalu, tepatnya saat liburan semester. Amelia terkejut tatkala orang tuanya mempertemukan dia dengan seseorang.
Padahal saat itu, ia harusnya ingin pergi bersama salah seorang temannya. Namun karena permintaan itu mendesak, ia pun membatalkan janji temunya dan langsung ke sana.
Amelia sempat ragu menapakkan betis jenjangnya memasuki restoran seafood terkenal khas Makassar. Di dalam restoran, ia melihat orang tuanya bersama seorang pria. Di hadapan mereka ada sepasang suami istri yang Amel perkirakan memiliki usia sepantaran dengan usia orang tuanya.
"Amel. Kemari." Ibu Amelia melambai dengan senyum yang sudah dihias keriput halus.
Yusran, ayah Amelia mengajak putrinya duduk di sampingnya. Amelia sedikit canggung ketika melihat beberapa orang asing bergabung dalam meja mereka.
"Siapa mereka?" tanya Amelia penasaran.
"Biar ayah perkenalkan. Yang pakai setelan jas abu-abu berdasi hijau corak namanya Pak Musa, dan istrinya namanya Bu Yatmi."
Senyum tipis tertarik paksa di bibir Amelia. Gadis itu kemudian berbisik, "Mereka teman ayah?"
"Iya. Lalu ini, namanya Nak Arfan." Sembari menepuk bahu Arfan, Yusran pun mengutarakan niatnya memanggil sang putri dalam acara makan siang formal ini. "Jadi begini, Mel. Nak Arfan ini adalah calon suamimu. Ayah dan calon besan sudah membicarakan persiapan pernikahan kalian."
Langit seolah runtuh. Amelia sedikit membesarkan matanya. Ia begitu terkejut dengan ucapan ayahnya barusan.
"Hai, Amel," kata pria berambut klimis dengan wajah terawat. Dagunya bersih tanpa brewok, memancarkan ketegasan.
"Oh, ya. Nak Arfan ini dosen loh, Mel. Kalian bahkan bekerja di satu kampus yang sama."
Penjelasan Yusran membuat mata Amelia semakin mebelalak.
Tatapan pustakawati itu kemudian tertuju ke Arfan yang terlihat berwibawa dengan kemeja biru lengan panjang juga jins hitam yang sepertinya branded.
Amelia mencoba menkonfirmasi, "Kamu dosen dari ..."
"Saya dosen di STMIK," ujar Arfan sembari mengasongkan senyum.
Amelia yang mendengar itu kembali membuat matanya terbelalak.
STMIK jaraknya memang dekat dengan Unhas. Kampus tersebut awalnya adalah tempat bimbel khusus komputer. Kebetulan Amelia juga bekerja di STMIK sebagai staf perpustakaan. Artinya, mereka satu kampus. Apa semua ini bisa dikatakan sebagai kebetulan?
"Loh, satu kampus dengan Amel berarti," ujar Yusran terkejut sekaligus senang.
Amelia bermanggut sebagai respon untuk ayahnya. Dia berpikir, menikah dengan dosen sudah tentu kebanggaan. Akan tetapi, ia tidak merasa tertarik pada Arfan. Meski tampan dan berwibawa, namun kesiapannya menikah masih setengah. Ia tidak rela kalau dirinya menjadi istri seorang lelaki. Ia butuh waktu untuk itu, lebih tepatnya mencari lelaki yang tepat dan cocok untuknya.
"Amel. Kok malah bengong begitu?" tegur ayahnya saat melihat belum juga membuka mulutnya.
"Ah, maaf. Salam kenal juga. Pak ... siapa tadi namanya?"
"Arfan Heriyanto. Masa gitu aja lupa?" tegur ayahnya, lalu buru-buru mengucapkan maaf pada Arfan.
"Ayah!!" teriak seorang anak kecil di arah pintu masuk restoran.
Mereka semua terkejut dengan sosok anak kecil itu. Ia berlari kecil menghampiri Arfan yang berada di hadapan Amelia.
Apa? Jadi, lelaki itu duda? Punya anak? Batin Amelia terkejut.
Arfan memangku anaknya, lalu berkata, "Ah, saya lupa memperkenalkan anak saya. Namanya Ranto."
"Ayah mau nikahin aku sama duda beranak satu?" bisik Amelia kesal pada ayahnya.
Yusran tidak menanggapi ketus anaknya kecuali berinteraksi dengan orang tua Arfan.
"Hai Ranto, mau makan ikan?" tanya Yusran pada Ranto, kemudian dibalas anggukan.
"Ehh ... kami sebenarnya sudah menemukan hotel yang tepat untuk acara akad dan resepsi. Namun, kami ingin pendapat dari Pak Yusran sekeluarga juga." Pak Musa memotong interaksi Ranto dengan kakek barunya. Sambil membuka tablet dan memperlihatkan foto hotel yang dimaksud, Pak Musa bertanya pendapat besannya.
"Bagus. Interiornya mewah. Saya suka." Yusran memuji dan memutuskan setuju dengan tempat yang direkomendasikan Pak Musa sekeluarga. "Lalu bagaimana dengan acara akadnya? Saya lihat sesuai jadwal masih tiga minggu lagi. Apa bisa dipercepat?"
Mendengar kata 'dipercepat', hati Amelia seolah melepuh. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ayahnya tega memaksanya menikah dengan pria yang tidak dicintai?
"Baikalah, sebisa mungkin kita percepat. Kebetulan anak saya juga setuju dan mantap untuk menikah lagi. Saya sudah cerita banyak tentang putri Anda ke Arfan."
"Gimana, Mel?" tanya Yusran memastikan.
Alih-alih menanggapi, Amel justru menundukkan kepalanya. Ia mencoba menyembunyikan mata yang mulai beriak air buncahan kegundahan hatinya.
* * *
Suasana akad nikah yang mengusung konsep serba putih, berlangsung khidmat. Meski demikian wajah sang pengantin wanita sama sekali tidak menunjukkan raut kebahagiaan.
Ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati Amelia. Harusnya, saat itu ia tak mengangguk lemah sebagai tanda perjodohan diterima. Namun, apalah daya. Kelanjutan bisnis keluarganya bergantung pada nama besar Pak Musa, mertuanya. Jika dia menolak perjodohan ini, keluarga Amel akan menanggung malu. Bahkan yang terburuk bisa sampai gulung tikar.
Riasan terbaik yang Amel dapatkan, membuat kecantikannya tampak natural nan elegan. Foundation dengan warna satu tone lebih terang dari warna kulit Amel, menyatu sangat sempurna. Blush on merah muda semi jingga, memberikan efek tirus pada pipinya. Varian lipstik nude dilapisi shimer di bibirnya memberi sentuhan gold yang mewah. Untaian bunga melati segar pada hijab dan kebaya putih juga menyempurnakan penampilan calon istri Arfan.
Demikian juga Arfan, yang kini duduk di sampingnya. Tampak menarik dengan busana pengantin warna putih senada dengan Amel.
Usai ijab yang ia laksanakan dalam satu tarikan napas, Arfan terlihat lebih lega. Sama seperti Amel, ada sesuatu yang juga mengganggu batin Arfan. Menikah lagi mungkin salah satu jalan untuk mencari kebahagian. Namun bagaimana bisa ia mengizinkan Amel masuk ke hidupnya, sedangkan bayang-bayang mendiang istri masih menghantui.
Mereka berdua bermain peran dengan sangat baik. Amelia mencium tangan sang suami.
Begitupun Arfan yang tak ragu mengecup kening si istri. Semua tamu undangan turut bahagia melihat mereka.
Siapa sangka semua hanya terpaksa?
Tak ada yang tahu bahwa pernikahan ini cuma sandiwara....
* * *
Malam setelah akad nikah. Mereka berdua menempati hotel yang akan dijadikan sebagai tempat resepsi. Acara puncak dilaksanakan esok hari.
Setelah capek mengikuti prosesi akad nikah di hotel yang sama, mereka pun melepaskan busana pengantin yang dipakai tadi.
Saat ini Amel sedang membersihkan make up-nya di depan cermin. Pelan-pelan ia melepaskan bulu mata, membersihkan sisa bedak, dan sebagainya supaya wajahnya tidak luntur.
Suasana hening terasa di kamar yang diinapnya. Ia mencoba menoleh ke belakang dan tak ada siapa-siapa. Mungkin si Arfan sedang keluar.
Sadar wajahnya belum bersih sempurna, Amel mengambil kapas kecantikan lagi lalu membersihkannya.
Pintu kamar hotel terbuka. Arfan yang sedang memakai kaos oblong putih biasa dan celana tidur bermotif biru garis datang dengan membawa kantong belanjaan. Rupanya lelaki menawan itu habis belanja di minimarket lantai bawah.
Arfan duduk di sisi ranjang dan membuka kantong kresek belanjaannya tadi. Lelaki berlesung pipi tersebut sedang mengeluarkan barang belanjaannya berupa minuman kaleng soda hijau sebanyak dua buah, camilan keripik kentang berukuran besar, rokok berkemasan biru, dan minuman teh rasa apel.
Amel yang sudah bersih dari make up mencoba menghampiri suaminya. Matanya salah fokus dengan rokok saat melihat deretan barang belanjaan yang dibeli Arfan. Membuatnya suudzon kalau pria berwajah putih itu juga merokok.
Tak sadar dipelototi istrinya, Arfan tersenyum dengan sumringah lalu menyapa dengan ramah.
"Eh, Amel. Ngapain di situ?"
Amelia bertanya sambil menyilangkan dada, "Belanja apa?"
"Oh, biasa. Karena acara tadi membuat aku capek. Jadi aku beli dua minuman ini," ujar Arfan lalu tangannya menyodor sekaleng minuman pada istrinya, "Kamu mau?"
Suasana menyenangkan harusnya dirasakan Arfan. Namun, Amelia mengubah suasana secara tiba-tiba. Matanya melotot tajam depannya. Hatinya berkata bahwa sudah saatnya ia mengungkapkan apa yang telah dipendamnya.
"Arfan. Tahu tidak? Dari tadi aku melihat mimik wajah kamu saat ijab kabul. Kamu senang sekali ketika kamu mengubah status orang lain. Kamu sengaja ya, menjebak orang dalam situasi buruk seperti ini?"
Dengusan dari mulutnya terdengar. Ia kembali berucap, "Aku terima aja dengan kondisi kita. Tapi tidak seharusnya kamu langsung mengambil keputusan tanpa memikirkan bagaimana ke depannya. Kalau telanjur begini, siapa yang tanggung jawab? Hah?"
Ucapan wanita berparas anggun itu sontak membuat Arfan berdiri. Perlahan ia melangkah lurus, mendekati istrinya yang hampir mengeluarkan bola kristal di matanya.
"Mel. Aku tahu soal perasaan kamu. Aku tahu dan memaklumi apa yang terjadi. Namun jujur, sepeninggal istriku, aku tak berniat menikah lagi. Aku berusaha memikirkan bagaimana mengurus sekolah Ranto juga bagaimana masa depan Ranto. Tapi ayah ibuku berusaha membuat aku untuk menikah lagi dengan kamu. Aku menolak pada awalnya."
Terucap nada yang terpukul dari mulut Arfan, seolah hatinya sedang tersayat. Sama seperti Amel, lelaki yang kini dirundung pilu itu juga tidak menginginkan perjodohan. Yang diinginkannya cuma masa depan putera kecilnya.
"Terus, kenapa menerima perjodohan itu? Kenapa kamu tersenyum saat itu? Kamu tidak sadar bahwa mengambil jalan sesat itu salah?" teriak Amelia di hadapan Arfan, tak menyadari bola kristal di matanya akhirnya mengalir.
"Karena aku terpaksa," jawab Arfan cepat. "Aku langsung mengiyakan pernikahan kita karena mereka ingin bisnis yang dijalaninya lancar. Jika bukan karena bisnis, aku bisa saja menolaknya. Aku juga tak mau bisnis mereka hancur jika kutolak. Ayahku bahkan susah payah mengembangkan perusahaan IT sejak aku masih kecil. Aku tak enak. Makanya, dengan seperti ini, aku bisa menyelamatkan bisnis ayahku."
Lelaki tak tahu diri. Batin Amelia sebal.
"Soal aku senyum, aku gak bermaksud buat menjebak kamu, Mel. Memang aku menolak dan gak suka sama kamu, tapi aku berusaha bagaimana untuk menyukai kamu, membahagiakan kamu, bahkan mencintai kamu. Aku bukanlah laki-laki yang lari dari tanggung jawab setelah menikahi anak orang lain. Sebab aku sadar bahwa statusku sebagai suami, harus menyenangkan istrinya dan mencari nafkah untuknya." Arfan jelas mengucapkan niatnya, dari dalam hati.
Amel tak salah dengar memang. Arfan juga memlih untuk menikah dengan tameng menyelamatkan bisnis yang dikelola Musa.
Kenapa pula perusahaan ayahnya yang nyaris bangkrut diakuisisi oleh perusahaan ayah Arfan? Ia sempat mendengar hal tersebut dan membuatnua sekali lagi terkejut. Apa karena itu pula, Amel dipaksa menikah dengan Arfan? Sebagai syarat karena perusahaan ayahnya telah diakuisisi?
Air mata Arfan tak terbendung lagi dan langsung mengalir begitu saja sampai kedua pipinya.
"Aku berhak membenci kamu, Arfan," tunjuk Amel spontan. "Kamu tak seharusnya melakukan itu. Tadi kamu bilang gak suka sama aku, kan? Kalau memang gak bisa menjalani bahtera rumah tangga sama orang yang tak kamu cintai, harusnya gak usah diselenggarakan pernikahan. Kenapa oon banget sih?"
"Bagaimanapun, ini kulakukan demi ayah, ibu dan Ranto. Jadi, kita harus jalani kehidupan sebagai suami-istri. Aku akan berusaha bagaimana mencintai dirimu. Aku akan berusaha menjadi suami baik untukmu," ucap Arfan memohon, sembari tangannya menggenggam erat punggung tangan Amelia yang mulus. Ia mencoba membiarkan semua itu terjadi.
Namun Amelia yang telanjur tak suka dengan Arfan lalu menepis genggaman tangannya dan sesekali menatap tajam lelaki berwajah putih bersih itu.
"Aku gak suka disentuh oleh lelaki yang tidak satu hati sama aku. Kita sama-sama saling tidak menyukai, tapi mempertahankan pernikahan tanpa rasa cinta, salah besar. Kamu bukanlah laki-laki yang bisa membahagiakan aku. Kenapa? Karena aku enggak suka dengan tipe yang plin plan kayak kamu."
Arfan kembali menjelaskan, untuk meyakinkan sang istri, "Memang yang kulakukan salah, Mel. Tapi, apa pun keputusan mereka, siapa tahu menjadi jalan terbaik buat kita. Mereka tahu betul bagaimana sifat kita, bagaimana kecocokan kita, dan segala macam."
"Sudah, jangan bicara banyak lagi. Aku muak!" seru Amel mengangkat telapak tangannya, mengisyaratkan untuk diam. "Dengarkan baik-baik. Kita memang sah sebagai suami istri, tapi ... soal urusan pribadi, biar aku dan kamu yang tangani. Jangan kita berdua."
Amelia pun berbalik dan melangkah pergi dari kamar hotel.
"Mau ke mana, Mel?" tanya Arfan mencoba menahan istrinya yang hendak keluar.
"Bukannya tadi sudah kubilang? Jangan ganggu urusanku. Mau pergi ke mana pun itu urusanku, jangan ikut campur," ujar Amelia tanpa menoleh ke belakang.
Arfan menatap lekat punggung istrinya yang membuka pintu kamar hotel.
Pintu itu ditutup kemudian terbuka lagi. Kakaknya masuk dalam kamarnya untuk menemui Arfan.
"Istri kamu kenapa? Main pergi begitu aja?" tanya Yudha heran, menoleh ke belakang.
"Mungkin pergi belanja. Sudahlah, kak, gak usah disinggung," jawab Arfan biasa.
"Baiklah. Rokokku mana?" Yudha menyodorkan tangannya, meminta barang yang dibeli sang adik tadi.
"Setelah itu turun ya, kita makan malam," pinta kakaknya kemudian kembali keluar kamar.
* * *
8 Februari 2020
Revisi kedua: 2 Maret 2020
*
Follow IG --> @repairinglove_wattpadfu84
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top