#2

* * *

Suka mendata buku, memberitahu kapan buku harus dikembalikan, pekerjaan apa?

Pekerjaan yang hanya berdiam diri di satu tempat, menjaga sekitar. Pekerjaan apa?

Pustakawan atau pustakawati adalah jawabannya.

Amelia dapat dikatakan sebagai wanita tangguh di perpustakaan kampus STMIK. Lihat saja kelakukannya yang seperti emak-emak itu. Marahnya berlebih. Emosian terus!

"Kenapa bukunya hilang? Hah? Gimana sih kamu jagainnya?" bentak Amel saat melayani salah seorang mahasiswa yang melapor kehilangan buku pinjaman. "Balikin 60 ribu!"

"Lah, mana bisa, Bu? Bukunya 'kan 55 ribu," protes mahasiswa itu. Membuat ia kembali kehilangan kata-kata oleh bentakan pustakawati berparas anggun.

"Enggak bisa. Pokoknya 60 ribu!" serunya lalu menengadahkan tangannya, sembari memberi isyarat.

Senyuman Amel muncul ketika uang lembar 50 ribu dan 10 ribu berada di tangannya.

Hahahaha, rasain lu!

* * *

Kelar urusan marah-marahnya, Amelia pun pulang jam 5 sore karena jam kerjanya telah selesai.

Ia melihat pemandangan luar jendela. Naik taksi online menjadi pilihannya untuk pulang ke rumah. Jalanan di dekat rumahnya mengalami macet sehingga dirinya hanya bisa memandang kendaraan lalu lalang.

Kepalanya penuh dengan tanda tanya. Jujur saja, dalam pikiran kotornya, ia menginginkan Hasan sang sahabat menjadi suaminya. Memang salah memikirkan hal seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Menghadapi suami yang sikapnya seperti kanebo? Amit-amit.

"Aku harus gimana ya?" gumamnya sambil terus memandang luar jendela.

Satu jam kemudian setelah perjalanannya ditemani alunan musik jazz di mobil, ia pun sampai di kompleks Royal Spring blok F No. 3. Di situlah rumahnya bersama Arfan.

Begitu masuk dalam rumah, ia melihat Arfan sedang mengetik di laptop putihnya di ruang tamu.

"Mel. Kamu udah pulang?" Suara itu terus menghiasi telinganya di kala ia pulang.

"Iya. Aku udah pulang," jawabnya biasa. Langkahnya lurus menuju tangga.

"Kita makan dulu yuk. Aku sudah siapkan nasi kuning serta lauknya," ajak Arfan bangkit.

"Gak usah," ucap Amelia memelas. "Kamu aja makan sama anak kamu."

"Kakakku mau datang ke rumah sebentar lagi. Kamu harus keluar. Jangan mengurung diri dalam kamar." Arfan mengingatkan.

"Terus apa urusannya? Mau kakak kamu datang, gak masalah. Kalau mau datang ya datang aja," semprot Amelia, membuat Arfan menghela napas berat. Lagi-lagi dengan amarah istrinya yang menjadi-jadi.

"Jangan begitu, Mel. Kakakku terus tanya-tanya, kamu di mana? Daripada terulang lagi, lebih baik kamu keluar setelah ganti baju."

"Bukan urusan aku. Sekarang aku lagi capek. Jangan ganggu aku atau membuat kepalaku tambah pusing." Ia memperingatkan kemudian menghentak anak tangga secara sengaja.

"Kamu berbeda, Mel."

Ucapan Arfan sontak membuat Amel berbalik dan menghadapi lelaki tiang tersebut.

"Bilang apa kamu? Berbeda?" tanya Amel tidak terima.

"Kamu memang berbeda. Di perpustakaan, kamu baik. Tapi di rumah, kamu ngomel mulu. Kamu sebenarnya kenapa, Mel?" Arfan menatap tajam mata hitam sang istri, berharap supaya ada kejelasan tentang situasi tidak jelas yang ia terima.

"Pertanyaannya, haruskah kujawab omong kosong itu?" Suara Amelia pelan, seolah membisik. "Kamu gak ingat? Soal harusnya kita tidak perlu menerima perjodohan itu? Kamu pasang wajah polos di depan orang tua kita, supaya kamu bisa memanfaatkan aku sesuka hati?

Telunjuk Amel mendorong bahu Arfan pelan. "Kamu bermuka dua, Arfan. Jangan bilang, pernikahan kita cuma buat mainan untuk mempertahankan perusahaan ayah kamu?"

Arfan seolah tak ingin menunjukkan sikapnya yang seperti kanebo. Ia melangkah pelan, terus menatap wajah oval sang istri.

"Ada alasannya semua itu, Mel. Memang landasan perjodohan kita ada pada kedua orang tua kita. Tapi aku gak berniat mempermainkan pernikahan kita. Aku bukan laki-laki yang suka memanfaatkan seseorang. Justru aku menerima kamu sebagai seorang istri. Terlebih, kedua orang tua kita sahabatan."

Mendengar penjelasan Arfan membuat telinganya panas. Ia mendadak melakukan sesuatu yang ekstrim, dengan melepas cincin pernikahan yang tertaut di jari manisnya.

"Lihat cincin ini? Lihat?" Amelia menyodorkan cincinnya kencang, tepat di depan wajah sang suami. "Saat kamu memegang cincin ini, kamu tulus memasangnya ke jari manis aku? Terlihat dari mimik muka kamu sebulan lalu, sepertinya kamu dipaksa untuk mencintai dan menyayangi aku? Namun nyatanya tidak?"

Pandangan Arfan ke arah lain, memikirkan apa yang harus ia jawab. Pertanyaan yang dilontarkan sang istri membuatnya beberapa kali menghela napas. Menganggap bahwa pernikahan mereka sebatas acara sakral, atau jalan menuju kesuksesan perusahaan IT milik ayah Amel. Padahal kedua orang tua mereka sudah menjelaskan bahwa mereka diberikan kesempatan saling mengenal atau bertukar informasi pribadi. Namun satu pihak tidak ingin. Tentu saja pihak tersebut adalah Amel, sebab ia tak diberi akses untuk mencari lelaki idamannya.

"Aku tulus memasangnya," jawab Arfan pelan dalam satu tarikan napas.

"Bohong. Gak akan mungkin kamu tulus memasang cincin pernikahan. Kamu diberikan 'baterai' dan 'antena' supaya dikendalikan sama orang tua kamu sendiri. Kamu pasti gak cinta sama aku, kan?" tanya Amel memastikan, menatap wajah suaminya yang menganggap tulusnya dibuat-buat.

"Masalah cinta, kita 'kan bisa saling belajar untuk mencintai. Tidak ada kata terlambat maupun ditunda. Bagaimanapun, kita suami-istri. Tujuan pernikahan sebenarnya adalah menyatukan dua keluarga dari pihak perempuan dan laki-laki. Orang tua kita menginginkan kebahagiaan untuk anak-anaknya."

"Tapi gak gini caranya, dong!" bentak Amelia sambil memegang kepalanya. Seolah bagian dalamnya melepuh.

"Jujur, menghadapi lelaki macam kamu, membuat tenagaku terkuras banyak. Bagai mengangkat beras 1 ton!" Amelia berseru sambil mengipasi kepalanya dengan kedua tangannya.

Arfan terdiam, masih menatap sang istri.

"Sudahlah. Aku gak bisa terus berdebat sama kamu. Kalau mau makan, aku udah siapkan nasi kuning untuk kamu. Kalau kakakku datang dan kamu gak keluar, gak apa-apa. Terserah darimu," ujar Arfan biasa kemudian melangkah menuju meja makan untuk menata makan malam. Karena sebentar lagi kakak kesayangannya akan datang ke rumah. Tampaknya Arfan ikhlas menerima semua itu.

Sementara Amelia kembali berbalik dan menaiki anak tangga dengan menghentakkan kaki. Di kamar, ia mendadak meneteskan air mata. Menutup wajahnya, malu dengan tindakannya di hadapan sang suami. Menyadari bahwa ia berlebihan membenci Arfan. Padahal lelaki itu tak bersalah apa-apa. Hanya mengungkapkan isi hati.

Penilaian Arfan tentang dirinya memang benar adanya. Ia berbeda. Ia berganti sikap baik di rumah maupun perpustakaan. Demi menjaga citra semata.

Sebenarnya ia baru mulai terbuka pada Arfan. Namun ketika memikirkan perjodohan satu bulan lalu, membuat rasa bencinya belum memudar. Ia tahu betul wajah Arfan, bagaimana senyumnya hambar, sikapnya yang penurut, bahkan perubahan mood-nya yang cepat. Seolah ia tak mau menerima perjodohan.

Arfan bodoh, mengatakan 'iya' saat ditanya kesiapannya mempersunting Amel. Baru kenal, tapi langsung melaksanakan pernikahan, adalah cara yang salah. Setidaknya ia diberi kesempatan untuk menilai Arfan dengan baik. Namun semua sia-sia.

Pilihannya hanya ada dua, apa harus mundur karena tak ada rasa cinta, atau menuruti perkataan Arfan untuk belajar mencintai?

* * *

Beberapa jam yang lalu ...

Arfan sedang mengajar di lantai dua, tepatnya di ruangan B.204.

Sedari tadi proyektor telah dinyalakan dan dosen berkemeja krem itu sudah memperkenalkan diri di papan tulis. Tampak jelas nomor WA Arfan yang wajib disimpan para mahasiswanya untuk berkomunikasi langsung tentang perkuliahan.

Arfan masih memperlihatkan beberapa slide tentang 'Kontrak Kuliah'. Dosen jurusan Sistem Informasi tersebut menjelaskan tentang apa-apa saja yang menjadi peraturannya saat mengajar, juga beberapa informasi tentang matkul "Pemrograman Jaringan".

Semua mahasiswa di kelas SI.52 mencatat sesuai apa yang tertulis di slide.

Tak terasa, jam mengajar hampir habis. Dua SKS telah terlewatkan. 100 menit hanya dihabiskan untuk perkenalan masing-masing mahasiswa, berbagi seputar matkul yang diajarnya, tanya jawab seputar peraturan kelas, dan lainnya.

Saat waktu mulai habis, entah kenapa beberapa gadis di kelas itu justru memperbaiki mata dan pandangannya pada Arfan yang tampannya melebihi artis idola mereka.

"Eh, pak dosen itu kok ganteng, ya?" bisik salah satu mahasiswi yang duduk di barisan kedua sebelah kiri. Dia membisiki teman di sebelahnya.

"Iya, ya. Ganteng banget. Dipandang berlama-lama gak bikin mata sakit, yang ada malah jantung gue yang berdetak," ungkapnya sambil memegang erat dadanya, seolah tak bisa bernapas melihat ganteng maksimal dari dosen di depannya.

Selain mereka berdua, masih banyak lagi celotehan mereka dan pendapat tentang penampilan Arfan, sehingga muncul kegaduhan.

"Ada yang mau menggantikan bapak bicara? Kalian kok ribut?" tegur Arfan biasa, dengan suara beratnya yang membuat mahasiswanya diam tak berkutik.

Arfan sejenak mengecek jam di lengannya, menyadari bahwa jam mengajarnya telah habis.

"Baik, karena jam bapak sudah habis, silakan keluar untuk mengikuti perkuliahan berikutnya."

"Baik, Pak!"

Mereka pun membenahi barang-barang termasuk tas dan berhamburan keluar dari kelas.

Arfan memasukkan laptop putihnya di tas punggung hitamnya dan keluar dari kelas sembari membawa map absen menuju ruangan dosen.

Ia merilekskan dirinya sejenak. Duduk di kursi kesayangannya membuat pikirannya jernih.

Teringat kotak makan siangnya yang belum disentuh. Perutnya kembali lapar sebab bento buatannya terngiang-ngiang di kepalanya. Maka, ia pun membuka tasnya dan mengeluarkan bekal warna hitam kepunyaannya. Ia membuka tutupnya, aroma makanan masih mengepul menusuk hidungnya.

Rasanya ia ingin sesuap nasi dari beras merah itu. Namun entah mengapa ia malah teringat sang istri yang bekerja di perpustakaan kampus STMIK. Istrinya pasti tidak memiliki waktu untuk mencari makan siang.

Maka, bekal miliknya pun rencananya akan diberikan ke Amel, walau tahu kalau sang istri pasti menolak pemberian kotak makan siangnya.

Tanpa mengenal takut, ia turun ke bawah menuju perpustakaan dekat area parkir.

Tujuannya ke perpustakaan bukan semata-mata memberikan kotak makan siangnya ke Amel, ia juga ingin meminjam buku untuk sekadar referensi.

Begitu masuk dalam perpustakaan, ia pun membuka sepatu hitamnya dan menaruhnya di lemari sepatu. Sebelum itu, ia mengisi nama serta identitas lainnya di komputer agar otomatis tercatat sebagai pengunjung perpustakaan.

Setelahnya, Arfan menuju sebuah lemari di mana banyak koleksi buku baru yang tertata rapi. Ia melihat-lihat sebentar, kemudian tak lama ia mengambil buku bersampul biru untuk ia pinjam.

Arfan pun melangkah ke meja sirkulasi, berhadapan dengan staf perpustakaan untuk meminjam buku. Ya, staf perpustakaan di depannya adalah istrinya sendiri. Datang membawa kotak makan siang sembari membawa buku untuk dipinjamnya.

"Hei, Amel. Ada pak Arfan tuh, mau pinjam buku," colek Renata saat melihat bawahannya fokus mendata buku perpustakaan di catatan khusus.

Kepala Amel mendongkak lurus dan melihat dosen tampan itu ada di hadapannya.

"Saya mau pinjam buku." Arfan terlihat canggung saat memberikan bukunya pada sang istri.

Setelah buku diberikan, Amel pun menstempel tanggal pengembalian di belakang buku dan mengambil kartu yang terselip untuk dipindai.

"Kembalikan pekan depan, ya, pak," sahut Amel sedikit ramah, memberikan buku yang dipinjam Arfan.

"Sama ..." Tangan sawo matang itu memberikan kotak makan siang di depannya.

"Maaf," sahut Arfan singkat tak enak.

Tanpa tanggapan, Amel hanya mengangguk kemudian si lelaki tinggi semampai pun pergi menghilang dari hadapannya.

Matanya tertuju pada kotak makan siang pemberian Arfan tadi. Atas dasar apa dia memberikan bento enak untuknya? Harusnya dia makan saja bento miliknya, daripada dikasih ke orang lain.

Namun karena perutnya sedari tadi keroncongan, maka ia memakannya sedikit memakai sendok di dalamnya. Perlahan ia menyuap nasi dan nugget ke mulutnya.

"Enak." Secara tak sadar, Amel memuji makanan yang diberikan sang suami. "Dia pintar masak atau apa ya?" gumamnya pelan.

"Hei! Ngapain makan-makan? Kerja!" tegur Renata di sampingnya, membuat konsentrasi Amel buyar.

"Ba--baik, Bu."

Dengan cepat, ia menutup kembali kotak makan siang itu dan mengambil buku catatan untuk melanjutkan pekerjaannya.

* * *

6 Februari 2020

Revisi kedua: 2 Maret 2020

*

Follow IG --> @repairinglove_wattpadfu84

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top