#14 (End)

* * *

"Perusahaan Defictoon akan berbenah untuk menerima kunjungan perusahaan Global Manifest," ucap ayahnya di sela-sela makan malamnya. Membuat Arfan meletakkan sendok, belum ingin menyantap nasi goreng pedasnya.

"Maksud ayah?"

"Orang-orang dari Global Manifest akan berkunjung ke Surabaya. Sekaligus berdiskusi kecil tentang pengembangan teknologi terbaru." Musa menjelaskan, sambil melahap mie gorengnya.

Arfan mengernyitkan dahi. Ia berharap ayahnya menjawab sesuai harapannya, namun berbalik keadaan. Sehingga memperjelas pertanyaannya.

"Begini, ayah. Kalau dari Global Manifest, berarti kak Yudha akan datang? Bersama Pak Yusran?"

"Benar."

"Jadi aku disuruh ke Surabaya, bukan cuma berziarah ke makam Syifa, tapi ikut andil dalam diskusi kecil yang kalian buat?"

"Benar."

Arfan memukul meja setelah mendengar kejelasan sang ayah tentang kunjungannya ke Surabaya.

Di sisi lain, ia senang mengunjungi kota kelahirannya, bahkan bisa bertemu ayah tercinta. Tapi kalau berurusan dalam hal perusahaan, ia tidak bisa dan pasif terhadap hal itu.

"Kamu 'kan dosen, kamu juga lulusan Sistem Informasi tambah Magister. S.Kom dan M.Kom. Kamu pasti tahu banyak soal komputer, perangkat lunak, dan lain-lainnya, kan?"

Arfan mendesah berat. "Ilmu yang kudapatkan di bangku kuliah dulu, membuatku harus ikut berdiskusi? Aku memang pintar, ayah. Namun, aku enggak mau membocorkan kepintaranku hanya demi kemajuan perusahaan. Harusnya ada satu orang atau dua orang yang lebih pintar dariku untuk ikut. Jangan aku, dong."

"Arfan. Bedanya dosen sama guru, biasanya dosen lebih pintar, kan? Apa gunanya dapat gelar Magister kalau tidak dimanfaatkan untuk mengembangkan perusahaan? Lagipula, Defictoon juga perusahaan IT. Kamu putera dari pemilik Defictoon. Jadi, ayah sungguh menginginkan kamu untuk ikut berdiskusi. Walau nantinya ada pertarungan berbeda pendapat dengan ahli IT yang kami utus, semaksimal mungkin kamu harus patahkan pendapatnya. Bisa, kan?"

Musa memang ingin sang anak hadir dalam diskusi yang bertempat di Surabaya. Membuat Arfan bimbang. Percuma izin mangkir dari tugasnya sebagai dosen. Ayahnya sangat mendorongnya untuk menjadi seperti kakaknya.

Ia memilih untuk memindahkan pandangannya ke nasi goreng yang sudah dari tadi tercium aroma lezatnya. Ia menyuap makanan kesukaannya, walau harus suapan besar sekalipun. Sungguh membuatnya muak, terlebih masalah sang istri yang belum selesai.

"Aduh, kelihatannya Yusran harus datang telat. Bukannya dia sudah sampai di Surabaya siang tadi?" keluh Musa saat menerima pesan WA dari besannya.

"Kenapa, Yah?"

"Yusran terlambat ke bandara Sultan Hasanuddin, dan membuatnya ketinggalan pesawat. Jadinya, dia pesan ulang tiket pesawat untuk malamnya."

Arfan bermanggut mendengar penjelasan ayahnya, sembari terus menghabiskan nasi gorengnya.

"Tapi, kita harus jemput mereka malam ini. Katanya sudah mau tiba di Surabaya."

Sontak, Arfan terkejut membuatnya tersedak sampai batuk-batuk.

"Jemput mereka?" tanya Arfan lalu meminum jus melonnya cepatnya.

"Iya. Setelah kita makan malam, kita langsung ke Bandara Juanda untuk menjemput mereka."

Tampaknya enteng saja. Selama tidak ada yang membuat kepalanya melepuh, ia menuruti permintaan sang ayah untuk menjemput orang-orang dari Global Manifest, termasuk kakak kesayangannya.

"Kita mandi dulu atau bagaimana?"

"Enggak usah. Pakaian kita juga belum bau, tinggal dikasih parfum saja supaya menyempurnakan," usul Musa kemudian mengambil tisu untuk menyeka mulutnya dari sisa-sisa makanan. "Kita langsung naik saja."

Arfan sempat buru-buru ingin menghabiskan nasi gorengnya, tapi karena momennya sangat penting, jadi ia meminta sisa nasi goreng yang masih menumpuk itu untuk dibungkus. Supaya bisa ia makan lagi di kamar hotel.

* * *

Di bandara Juanda, tepatnya jam 9 malam. Ada tiga orang yang sedang menunggu di depan gerbang kedatangan. Tentu selain Musa dan Arfan, Tio juga ikut menjemput.

Lelaki tiang itu tampak tidak sabar menunggu kedatangan Yudha. Ya, hanya menunggu Yudha saja, tanpa mempedulikan yang lain.

"Arfan. Kamu jadi pusat perhatian di bandara, karena tinggi badan kamu," ucap Musa terkekeh, mencolek puteranya yang sadar banyak dipelototi orang-orang. Baik laki-laki maupun perempuan.

"Kamu lebih cocok jadi pemain basket. Mau ayah masukkan di klub basket?" canda sang ayah, membuat Arfan risih dengan perlakuan sekitarnya.

"Ayah, jangan bercanda dong," ketus Arfan memegang lengan ayahnya supaya menghentikan tawaan yang nyaris menggema itu.

Suasana berubah saat ponsel biru Musa berbunyi. Telepon dari Yusran, ia segera mengangkatnya.

"Halo? Posisi di mana?"

"Sudah di bagian pengecekan. Saya sudah sampai. Tinggal mengambil koper dari bagasi saja."

"Baguslah, aku sudah di bandara, menjemput kamu."

"Siap, pak."

Mereka bertiga harus melek, tidak boleh mengantuk. Walau diterpa angin malam yang membuat mereka sangat ingin berbaring di ranjang hotel, tapi tamu dari Global Manifest sangatlah penting, jadi harus dijemput dan dibawa ke hotel tempat mereka menginap.

Arfan berharap bisa sekamar sama Yudha. Jiwa kekanakannya bangkit begitu saja, sebagai adik yang manja kepada kakaknya. Arfan memang seperti itu di saat kecil, namun ia tak peduli umur, hanya berharap saja.

"Mereka sudah datang, Pak."

Mata tajam Tio tak salah lihat. Ya, di tengah-tengah, bapak paruh baya berpakaian sweater cokelat didampingi oleh lelaki tinggi berjenggot tipis yang diyakini adalah Yudha. Serta ada dua orang lain di samping kiri Yusran.

Musa dan Tio segera menemui mereka yang sudah sampai di gerbang kedatangan.

"Bagaimana kabarmu, nak?" Rupanya Musa langsung memeluk putera sulungnya yang kacak dengan baju abu-abu lengan panjangnya.

"Baik, kok, ayah. Gimana kabar Arfan? Dia di sini menjemput juga, kan?"

"Tentu, dia 'kan ..." Omongannya terputus kala melihat anaknya yang satu lagi menghilang. "Mana lagi dia?"

Arfan berdiri mematung melihat satu orang lagi ikut rombongan Yusran.

Mood-nya berubah begitu saja saat mengetahui ada satu lagi yang datang. Harapnya, ia tidak perlu menemui Amelia dan butuh waktu sampai dia benar-benar minta maaf. Namun nyatanya, sakit hati yang belum sembuh rupanya tak bakal berharap bisa sembuh.

Wanita dengan rambut cokelat sampai bahu, juga memakai kacamata hitam menyempurnakan penampilan, melangkah menghampiri sang suami yang menunggunya.

Lebih tepatnya bukan menunggu, tapi berdiri terkejut melihatnya.

"Mas Arfan?" panggil Amel langsung membuka kacamata hitamnya.

Arfan tak merespon dan justru memperlihatkan ekspresi herannya. Jujur saja, ia tak mau melihat Amel sebelum luka dalam hatinya sembuh. Rumah tangga yang ia jalani harus dalam tahap pemulihan setelah bersitegang.

Apakah pertemuan mereka yang tiba-tiba tersebut akan membuat hati Arfan terbuka? Atau justru semakin benci pada Amel?

"Kamu ... kenapa kamu di sini?" tanya Arfan pelan, bersikap dingin.

"Aku ingin memperbaiki semuanya ... aku mau kita saling mencintai," jelas Amel singkat, lalu perlahan mendekati Arfan.

Baik Arfan maupun Amel, mereka menginginkan rumah tangga yang harmonis. Namun di satu pihak, ada yang merasa bahwa waktu masih harus dikejarnya. Tidak akan mungkin mereka langsung bersatu tanpa sebab yang ada.

Akankah Amel bisa mengubah Arfan seperti dulu lagi? Ia sungguh merindukan sosok Arfan yang peduli dan ramah padanya.

***

Tamat

23 April 2020

*

NEXT SEASON --> Input Relationship

Coming Soon on May or June 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top