#13
* * *
Amelia berada di Bandara Sultan Hasanuddin. Duduk di bagian keberangkatan, menunggu sang ayah. Di pagi hari, ia bisa melihat betapa banyaknya orang-orang yang akan ke luar kota hari ini. Baik secara individu maupun rombongan, banyak di antara para pengantar yang melepas kepergian mereka ke luar kota.
"Ayah mana? Kok lama?" gerutu Amel sambil mengecek jam di tangannya. Ia mengacak rambutnya sebal.
"Apa sebaiknya aku minum dulu, ya?" Ia bergumam, memegang tenggorokannya yang kering. Tak lupa tangannya memeriksa sisa uangnya di saku celana. "Yah, cuma 20 ribu. Kusut lagi."
Kepalanya berputar kiri-kanan, menyapu pandangan sekitar. Melihat apa ada mesin minuman yang tersedia di bandara.
"Jackpot! Ada di arah jam 3. Aku harus ke sana!"
Capek duduk bersila di lantai, ia pun bangkit sambil membawa koper besarnya. Sampai di depan mesin minuman, ia mencoba memperbaiki uangnya yang kusut. Ia harus "menyetrika" uangnya menggunakan jari dan telapak tangannya. Karena mesin yang juga menyediakan minuman berkarbonasi itu tidak menerima uang kusut. Harus dalam kondisi seperti uang yang baru diambil dari ATM.
Baru saja ia ingin memasukkan uang di mesin tersebut, mendadak ia disenggol oleh seorang gadis berseragam hitam oranye yang diyakini merupakan pekerja di sebuah kafe bandara.
"Maaf, mbak. Maaf." Gadis itu tidak memperlihatkan wajahnya dan tampak membelakangi Amel yang meraih uang hijaunya ke lantai.
"Gak apa-apa. Saya yang salah." Amel menoleh saat memaklumi ketidaksengajaan gadis pemakai hijab berwarna hitam. "Kayaknya dia ..."
Wanita berambut cokelat itu mengenal gadis yang barusan menyenggolnya. "Itu, kan ... Nana."
Ya, dirinya tak salah lihat. Benar dia adalah Nana. Mahasiswi semester 5 yang diselamatkan oleh Arfan saat menagih denda buku. Jujur saat kejadian, ia sengaja mencari sosok Nana supaya masalah terselesaikan. Namun kini ia merasa tidak enak karena membuat Nana menangis. Memang semua kesalahannya harus dipertanggungjawabkan. Termasuk kesalahannya pada Arfan.
Ia melangkah, mencoba memanggil gadis yang berjalan cepat bagai model lenggak-lenggok di catwalk.
"Nana! Nana!" serunya tanpa peduli orang-orang yang melihatnya.
"Amel!" panggil sang ayah dari belakang. Membuat wanita 30-an itu seketika menoleh 180 derajat.
"Ngapain ke sana? Kita harus masuk buat check in, nih." Yusran menggerutu kala melihat puteri tercintanya melangkah ke kafe bandara. Pikirnya pasti mau ngopi dulu. Padahal tinggal 2 jam lagi mereka harus ke Surabaya.
Amel melupakan niatnya dan segera mengekori sang ayah menuju petugas pertama yaitu memeriksa tiket pesawat.
Mas Arfan, aku akan datang. Aku ingin mengembalikan situasi, belajar mencintai kamu. Juga belajar saling memahami.
* * *
Jam 6 sore, Arfan singgah di minimarket yang terkenal dengan maskot lebah terbang. Ayahnya sedang membeli sesuatu. Ia sengaja tak masuk karena ingin menenangkan dirinya setelah berziarah ke makam Syifa.
Ya, matanya sembap karena mengingat momen kebersamaan istri tercintanya. Di depan makam sang istri, ia terus menangis. Air matanya membasahi pipi tirus miliknya.
Apa salahnya menangis? Ia merasa bodoh harus meneteskan air mata, seperti membuka luka lama. Padahal hanya berkunjung semata, memenuhi keinginan Syifa dahulu sesaat sebelum melepas kehidupannya di dunia.
"Bodoh sekali. Bodohnya aku," resah Arfan kemudian menutup sebagian wajahnya.
Ponsel hitamnya berbunyi singkat, tanda ada notifikasi. Satu pesan WA dari istrinya. Ia melihat bilah notifikasi, pesan yang dikirim Amel bukanlah permintaan maaf lagi melainkan link YouTube.
Biasanya Arfan tak nyaman bila ada yang mengirim pesan berupa link, terutama YouTube. Waktunya terbuang percuma kalau yang ia tonton bukanlah kesukaannya.
Namun tak sadar ia membuka pesan WA Amel. Lelaki berjakun itu tampak mengerjap ketika melihat thumbail dan judul yang dibuat sang istri. "I'M SORRY, MAS ARFAN!!!" menjadi judul yang dibagikan ke kanal YouTube-nya.
Apa gunanya buat beginian? Batin Arfan heran.
Namun tangannya tetap membuka link tersebut dan langsung mengarah ke aplikasi YouTube-nya.
Tampak dalam video, Amel sedang memperbaiki posisi kamera. Lalu ia berdiri di depan kamera setelah merasa cukup bagus. Dengan memakai jaket tebal seperti berada di musim dingin, ia berbicara sesuai apa yang ingin ia ucapkan.
"Mas Arfan ... kamu tahu gak? Tanpa keberadaan kamu di sini, aku merasa dingin. 'Salju' mulai turun di rumah kamu, aku enggak mau kalau sampai aku sakit. Jadi, pulanglah ke rumah, Mas. Aku mau salju di sini hilang, dan tidak membuat aku kedinginan. Maafkan atas segala kesalahanku, Mas. Aku enggak main-main. Sungguh."
Video berdurasi 1 menit 30 detik itu hanya berisikan permintaan maaf Amel beserta bukti foto chat yang dikirimnya namun hanya di-read. Lalu di akhir video, ia membuat efek dan menuliskan kata "Jika saja kamu menerima permohonan maafku ..."
"Lebay banget sih," ucap Arfan berkomentar setelah menonton video buatan tangan Amel.
Tentu ia tidak mau merespon atas semua yang dilakukan sang istri. Termasuk membalas WA atau berkomentar di video YouTube-nya. Walau terkesan jahat, namun ia masih belum menerima permintaan maaf Amel. Sebab semua perbuatan Amel bagaikan batu yang terus dilempar ke dirinya. Makanya ia masih sakit hati.
"Arfan. Ayo pulang." Musa mencolek Arfan yang masih melamun, meminta untuk bangkit dari kursi yang diduduki.
"Tunggu, kita belum isi perut dulu?" tanya Arfan mengusulkan.
"Nanti pas di hotel, kita makan malam. Mumpung sudah mau malam soalnya."
"Baiklah."
* * *
8 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top