#12
* * *
"Jujur, aku merasa bersalah. Mas Arfan pergi meninggalkanku sendirian. Harusnya aku enggak perlu jujur. Berbohong adalah satu-satu-satunya supaya bisa menjadi akrab."
Dalam keadaan mata membengkak dan suara serak, Amelia bercerita kepada temannya, Yuni. Kebetulan wanita berambut bob itu punya waktu senggang mendengar curhatan sahabatnya. Maka, seperti seorang psikolog, Yuni mendengar baik keluhan yang dialami Amel.
"Apa Arfan marah padamu, karena kamu memandang suamimu seperti Umar?" tanya Yuni menebak.
"Benar. Makanya aku enggak enak. Kenapa sampai berkepanjangan membencinya?" ucap Amel parau. "Aku jadi takut, bila aku menyakiti Mas Arfan."
Wanita malang itu merasa bahwa air mata adalah tanda ketulusannya pada sang suami. Ia terus menangis, mengingat kesalahannya pada suami tampannya.
"Ingatlah, Mel. Arfan bukanlah lelaki busuk dan pengkhianat seperti Umar. Dia orang baik dan penyayang. Walau awalnya terlihat mirip Umar, tapi seengaknya jangan membenci dia. Karena perbuatan kamu, dia minggat, kan? Bagaimana caranya mau minta maaf? Pakai WA, pasti cuma di-read."
Perkataan Yuni memang ada benarnya. Dia tidak boleh membenci seseorang terlalu ekstrim.
"Amel. Bagaimanapun juga, Arfan pasti tahu bahwa kamu telah menyadari kesalahanmu. Cuma dia butuh waktu aja." Yuni memegang punggung tangan sahabatnya, dan bernasihat. "Mel, jangan minta maaf terlalu cepat. Biarkan sakit hatinya mereda dulu. Aku yakin, dia pasti akan kembali. Minta maaflah dengan setulus hatimu. Supaya dia percaya."
Arfan juga pernah berpesan, bahwa ia harus berkaca pada kesalahannya. Setidaknya, ia harus mengontrol emosinya dan tidak lagi memandang Arfan sebagai Umar.
"Baiklah, Yuni. Terima kasih untuk sarannya," ucap Amel pelan.
"Sama-sama," jawab Yuni tersenyum.
"Kalau kamu mau makan atau minum sesuatu, ada di kulkas. Ambillah, jangan malu-malu." Wanita berambut cokelat itu mempersilakan temannya mengganjal lapar di kulkas.
Sembari bangkit dari kursinya, ia berniat untuk menuju lantai 2. Namun, ia tak sengaja menginjak sesuatu dari bawah lantai. Sebuah singlet warna putih tergeletak. Ia segera meraihnya dan membawanya ke kamar pribadinya.
Duduk di sisi ranjang, hidungnya menangkap indera penciuman melalui singlet yang ia ambil tadi. Aroma sabun lavender. Masih sangat kuat dihirupnya.
Semenjak kamu datang di kehidupanku, aku berpikir bahwa kamulah lelaki yang cocok untuk menjadi suamiku. Karena kebodohanku, hatimu telah hancur oleh cacian dariku. Maafkan kalau aku ada salah, Mas Arfan.
Singlet itu masih digenggamnya. Bukan lagi dihirup, tapi dipeluk dan membayangkan kalau ia memeluk Arfan. Sungguh ironis. Harusnya ia sudah "meluluskan" Arfan, untuk tes yang ia buat. Namun sayang, ia meruntuhkan kesabarannya. Pantas kalau lelaki yang mulai ia sayangi menjadi marah padanya.
Ponsel merah miliknya berbunyi di nakas. Ia segera mengambilnya. Tentu air mata di pipinya harus dihapus dan memperbaiki suaranya supaya tak tampak ia menangis.
"Ayah? Ada apa meneleponku?" Amel berdecak heran. Kemudian menekan tombol hijau untuk menerima telepon.
"Amel? Kamu di mana?"
"Aku ... di rumah. Kenapa, Yah?"
"Kemasi barangmu sekarang. Kita ke Surabaya hari ini."
Matanya melotot begitu mendengar suara wibawa ayahnya. Baru pagi hari, ia disuruh ke Surabaya? Padahal dirinya ingin bekerja?
"Surabaya? Buat apa?" tanya Amel penasaran.
"Nanti ayah jelaskan begitu sampai di sana." Terdengar jelas suara Yusran yang mendesak sang puteri untuk berkemas.
"Tapi, ayah ... aku mau kerja."
"Izin saja."
Ini kesempatanku untuk bertemu Mas Arfan. Semoga saja, Mas Arfan bisa menerima permohonan maafku dan belajar mencintai dia. Batin Amel tulus dalam hatinya.
"Oke?"
"I--iya. Oke. Aku langsung mandi dulu, habis itu aku hubungi ayah lagi."
"Baiklah."
Sambungan telepon diputuskan duluan oleh sang ayah, lalu tanpa lama-lama ia segera berkemas sesuai permintaan. Jika saja bukan karena Arfan, ia menolak untuk pergi. Buat apa juga ia harus ikut ayahnya, hanya melihat-lihat kinerja perusahaan ayah mertuanya? Membuang-buang waktunya saja.
Koper besar sudah siap. Diisi oleh beberapa pakaiannya. Sengaja ia diamkan di kamar pribadinya, supaya Yuni tidak mengetahui kepergiannya ke Surabaya.
Aku akan menunggumu, Mas Arfan. Tidak peduli apa.
* * *
"Bagaimana perusahaan, ayah?" tanya Arfan sambil kepalanya terus memandang para pegawai di perusahaan Defictoon.
"Membaik. Seperti biasa. Lihat saja pegawai yang sibuk bekerja, sesuai divisi mereka masing-masing."
"Aku lihat, kok. Mereka sama giatnya denganku."
"Ah, apanya yang sama? Mereka lebih keras kerjanya daripada pekerjaan kamu yang cuma menjelaskan materi kepada mahasiswa." Musa tampak tak mengandalkan pekerjaan sang anak sebagai dosen. Memang dia masih ingat menentang Arfan untuk menjadi dosen, makanya ia tak segan meremehkan pekerjaan Arfan.
Arfan tidak peduli dengan omongan ayahnya dan segera beralih topik. "Kak Yudha kok mau aja kerja di Makassar? Sebagai salah satu pimpinan di Global Manifest?"
"Selain karena dia harus menjaga kamu, dia juga harus mengawasi kinerja Global Manifest. Tahu sendiri bagaimana perusahaan mertua kamu berkembang karena tangan Yudha?"
Arfan bermanggut, meresap dengan baik ucapan sang ayah. Memang, selain tampan dan berkharisma, Yudha juga cekatan dalam memperbaiki masalah internal maupun eksternal dari Global Manifest. Pantas saja, sang kakak semakin bersahaja, terlebih dia terus saja memanjakan dirinya melalui uangnya.
"Jadi kalau kamu mau sukses seperti kakakmu, belajarlah dari dia. Kalau mau bekerja di perusahaan Defictoon maupun Global, belajar juga sama dia. Pasti kamu akan terdorong untuk menjadi pimpinan juga."
Musa tampak nyaman berbicara pada anaknya, namun menyadari bahwa tapak kaki Arfan tak terdengar dari belakang. Segera saja ia menoleh, dan sedikit terkejut kala melihat sang anak sedang berdiri mematung di depan vas bunga besar. Jaraknya sudah jauh dari tempatnya berdiri.
Buru-buru, ia melangkah mendekati Arfan yang menatap nalar pada vas bunga di hadapan.
"Kenapa diam, nak? Apa yang membuatmu diam?" tanya Musa penasaran, sambil memegang pipi anaknya, mendorong pipi tirus itu menghadap wajahnya.
"Aku lupa kalau harusnya aku ke makamnya Syifa. Padahal sudah pagi loh, Yah."
Musa mendesah berat. Keluarga macam apa yang tidak mengingatnya? Padahal kemarin dulu Musa mengajak Arfan ke Surabaya untuk mengunjungi makam menantu pertamanya.
"Ayah juga lupa harusnya kita pergi," ungkap Musa sambil menepok jidat. "Sore nanti kita pergi ya, sekalian kita kembali ke hotel."
"Iya, ayah."
Sepertinya tur berkeliling perusahaan Defictoon harus "bersambung" dulu karena mereka buru-buru masuk ke lift untuk turun ke lantai satu. Mereka harus siap-siap melakukan agenda lainnya, termasuk berziarah ke makam Syifa.
Arfan tak khawatir terhadap pekerjaannya, karena semua beban kerjanya bertumpu pada Nana, si anak bimbing kebanggaannya.
Ya, Nana dipercayakan oleh Arfan karena gadis itu selalu berbuat kebaikan padanya. Termasuk Nana pernah menyelamatkan nyawa Arfan ketika charge tablet miliknya konslet dan hampir terbakar di ruang dosen. Betapa bangganya ia begitu Nana terus melakukan kebaikan untuknya.
Sekarang ia fokus untuk kembali ke hotel, bersama sang ayah.
* * *
28 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top