#11
* * *
"Mas Arfan, kamu mau ke mana, membawa koper seperti itu?"
Amelia dibuat terkejut saat Arfan mendadak membawa koper besar juga tas punggungnya.
"Harusnya kamu beli makan malam, kan? Kenapa jadi bawa koper?" tanya Amelia mengernyitkan dahi. Sembari menggaruk rambutnya. Jam 7 malam sudah jamnya makan.
"Maafkan aku, Mel. Tapi malam ini juga aku harus ke Surabaya," ucap Arfan membuat istrinya membelalakkan mata.
"Kamu ... mau ke Surabaya? Buat apa?" Ia terdiam lalu berpikir sejenak. "Jangan bilang kamu mau pergi melihat perusahaan ayah kamu di sana, kan?"
"Bukan. Ada urusan lain." Terdengar nada kebohongan dalam ucapan lelaki tiang tersebut.
"Enggak, pasti mengecek perusahaan. Mana mungkin urusan lain?"
"Mel, dengarkan aku. Tujuan ke Surabaya bukan semata-mata mau melihat perusahaan ayahku atau apa. Pokoknya ada urusan yang tidak perlu kamu tahu."
Kembali lagi, mereka adu mulut. Tapi dalam versi berbeda. Kali ini Arfan yang murka, bukanlah Amel.
"Jangan sodorkan aku pertanyaan lagi. Aku akan berangkat."
Arfan menenteng keras koper yang telah diisi beberapa pakaiannya.
Ia berbalik dan mengucapkan sepatah kata lagi. "Masalah makan malam, kamu bisa pesan melalui daring. Kamu anak sultan juga, kan? Perusahaan Global Manifest juga berkembang karena ayah aku."
Arfan benar-benar pergi dari rumah dalam keadaan emosi.
Jujur, satu kesalahan saja membuat suaminya yang baik dan tulus bisa hilang kesabaran. Memang, dirinya keterlaluan. Terlalu banyak meluapkan amarah, ketimbang kasih sayang. Semata-mata hanya untuk mengetes apa dia berakhir seperti Umar, sang mantan? Semua sia-sia. Ia tak bisa mengembalikan Arfan seperti dulu lagi. Bagaimana caranya? Penyesalan selalu datang terlambat.
*
Setelah sembuh dari sakit beberapa hari yang lalu, Amel kembali bugar. Ia tak mengira bisa sehat berkat pertolongan kakak iparnya.
Arfan pulang dari kampus seperti biasa. Beberapa hari ia tak melihat sang istri di perpustakaan, sekarang ia senang melihat Amel sembuh. Dia bisa makan dengan lahap.
"Amel? Sudah sembuh?" tanya Arfan memegang pundak istrinya yang duduk di meja makan.
"Iya. Kenapa?" ucap Amel sinis.
"Kamu ... kenapa lagi, Mel?" Arfan heran. Melihat istrinya bersikap dingin padanya.
"Bukam apa-apa. Andai saja, di rumah ini gak ada bocah nakal namanya Ranto, aku bisa hidup nyaman. Lihat sendiri, di kulkas."
Arfan melangkah, menuruti perkataan Amel.
Ia membuka kulkas, namun tidak ada apa-apa. Justru biasa saja menurutnya.
"Lihat. Jus jeruk aku dihabiskan sama Ranto. Padahal aku mau minum di saat aku sudah sembuh," gerutu Amel di sela-sela makannya. "Terus lagi ... dia tiba-tiba menumpahkan yogurt ke lantai. Lihat saja noda di lantai itu. Aku coba pel lagi, tapi dengan sengaja dia ke kulkas cuma nyari camilan. Lalu yogurtnya tumpah lagi. Enggak becus banget sih didik anak!"
Arfan menghela napas. Segitu marahnya Amel karena tindakan Ranto?
"Mel. Kenapa kamu salahkan Ranto? Dia anaknya memang begitu. Kamu maklumi saja."
"Maklumi apa? Hah? Dia malah membuat aku tambah sakit, tau enggak? Sakit hati dan sakit fisik."
Arfan mulai berani menunjukkan taringnya. Tak tega sang istri mengejek anaknya lagi.
"Amel!" tunjuk Arfan intens. "Kamu gak usah ledek-ledek anakku. Dia masih enam tahun! Kamu gak berhak meledek dia. Dia belum dewasa!"
"Heh!!" Wanita bertubuh langsing itu berdiri, membentak di depan Arfan. "Kamu mulai nunjuk aku? Mana harga diri kamu sebagai suami? Hah?"
"Aku gak bicara sebagai suami, tapi sebagai ayah! Aku enggak mau kalau anakku tertindas oleh orang lain, bahkan sama istri aku sendiri," ucap Arfan keras.
"Kamu yang gak becus! Didikan macam apa, bikin nyusahin ibunya? Harusnya didik dong, mana yang baik dan buruk?"
"Aku sudah mendidik dia dengan baik. Dia melakukannya pasti enggak sengaja. Jangan mengira dia menyusahkan kamu, Mel. Aku juga memaklumi anakku yang menumpahkan air putih ke celanaku. Katanya dia enggak sengaja. Tolong sebagai ibu, pahami dan jangan marahin dia," ujar Arfan memohon.
Namun tetap Amel menunjukkan rasa bencinya pada Arfan, kemudian dia menyiram air putih ke lantai dan sengaja mengenai celana hitam dan sepatu Arfan.
"Sudahlah, aku jadi enggak nafsu makan gara-gara kamu!" seru Amel lalu melangkah menuju lantai dua.
Sementara itu, ia mendengar sang kakak ipar datang tak lama setelah ia naik.
"Istri kamu kenapa, sih? Dari waktu turun mobil aja, dia marah-marah sama kamu," ucap Yudha heran.
"Sudah, kak. Jangan ditegur. Mungkin Amel capek." Arfan mencoba meyakinkan sang kakak. Namun Yudha tampak geram dengan sikap adik iparnya yang mulai mengganas.
"Udah gila kali dia," umpatnya kemudian menaruh makanan yang dibelinya ke meja makan.
Amel tak peduli dengan omelan kakaknya dan kembali ke kamar pribadinya.
*
Tangisan wanita itu pecah saat mengingat kejadian salah paham yang menyebabkan ia dibenci sama orang-orang, termasuk kakak iparnya.
Sekarang ia harus menanggung derita karena kesalahannya. Ia tak tahu harus berbuat apa, selain meratap.
Kelinci percobaan. Sial, harusnya aku gak perlu jadikan dia kelinci percobaan untuk pernikahan aku. Batin Amelia penuh penyesalan.
* * *
"Kak Yudha mana?" tanya Arfan bolak-balik. Saat sekretaris kiriman Yudha datang menjemputnya untuk diantar ke Surabaya.
"Pak Yudha sekarang sibuk, jadi kami akan antar Anda ke Surabaya," ujar sekretaris berbadan agak gempal di hadapannya.
"Baiklah. Ayah bilang apa?"
"Katanya sudah di Bandara Juanda buat menjemput Anda."
Arfan menunjukkan deretan giginya, tertawa pelan mendengar ayahnya repot-repot menjemput anak bungsunya.
"Harusnya enggak perlu menunggu lama. Baru mau berangkat juga."
"Kita langsung masuk ke dalam, untuk check-in. Jam keberangkatan kita sudah mepet."
Di Bandara Sultan Hasanuddin, Arfan dan sekretarisnya bernama Tio berjalan berdampingan menuju pintu keberangkatan. Lalu check-in untuk memasukkan koper dan tas dalam bagasi.
Setelah semua beres, menunggu gilirannya masuk di gate berdasarkan boarding pass-nya, mereka pun masuk dalam pesawat dan menikmati segala fasilitas yang ada.
Tio mengawasi Arfan dari samping sembari membaca koran. Sengaja memesan kelas bisnis supaya fokus sang sekretaris tidak terbuyarkan. Sementara Arfan hanya rileks menikmati dinginnya AC serta mendengar alunan piano yang terputar di ponselnya. Matanya terpejam saat pesawat mengudara. Menunggu sampai tujuan.
* * *
"Ayah!" panggil lelaki berjaket biru pada seorang paruh baya berkacamata. "Lama menunggu?" tanya Arfan sambil mencium tangan sang ayah.
"Iya. Ayah menunggu sendirian di sini," ujar Musa jelas. "Ngomong-ngomong, kamu tak ikut sama Yudha?"
"Pak Yudha sekarang sibuk, jadi kata beliau, dia akan menyusul dua hari lagi," sela Tio memotong pembicaraan ayah dan anak itu.
"Baiklah," sahut Musa merespon sang sekretaris. "Kamu udah makan?" Kini ia bertanya kembali pada putera bungsunya, melihat keadaan Arfan yang agak lemah.
"Tadi udah, makan nasi uduk di pesawat. Cuma, aku masih lapar, sih," ungkapnya terkekeh.
"Kebetulan. Ayah ingin memberikan kartu kredit platinum gold yang hanya bisa kamu pakai untuk makan."
Penampilannya saja yang sederhana, tapi isi dompet nyaris miliaran. Maklum, ayah Arfan tidak ingin dilihat sebagai orang kaya. Baju sweater abu-abu dan celana kain krem panjang menyempurnakan penampilan bapak 57 tahun itu.
"Nih, ayah kasih." Tangan berurat Musa menyodorkan kartu kredit VIP hitam untuk sang anak.
"Waduh, beberapa kali ayah memberiku kartu kredit dan debit. Kenapa harus yang ini?"
"Ayah sudah bilang, ini kamu pakai untuk makan. Yang ada di dompetmu adalah kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan lainnya. Jadi tidak terkuras biaya kebutuhan kamu. Nih, ambil," desak ayahnya menyuruh Arfan.
"Saya langsung ambil saja." Bagai pencuri, Tio langsung mengambil kartu kredit hitam dari tangan Musa. "Saya akan ajak Pak Arfan makan malam."
"Oh, baguslah kalau begitu. Untuk koper dan lain-lain, biar ayah bawa. Ayah akan suruh sekretaris ayah untuk membawanya ke hotel."
"Enggak ke rumah dulu?"
"Enggak, jangan. Terlalu jauh, takutnya mereka sampai jam 11 malam nanti."
"Oke, ayah."
Tio sigap menyerahkan trolley pada pimpinan tertinggi perusahaan Defictioon itu. Merasa tidak enak, ia juga membantu Musa untuk membawa trolley koper Arfan menuju bagian penjemputan.
"Anda pesan taksi daring saja dulu. Saya akan mengantar ayah Anda ke sana," ujar Tio berpesan. Arfan mengangguk lalu mengeluarkan ponsel hitamnya dari saku celana.
Ia membuka aplikasi, lalu memilih rute tujuan. Sembari menunggu pesanan, ia menyadari saat menarik bilah notifikasi. Ada 40 pesan WA belum dibacanya. Dan saat membuka, 10 dari grup dosen, selebihnya tentu dari istrinya.
Amel terus mengirimkan pesan berisi permohonan maafnya.
"Maafkan aku, Mas. Aku salah."
"Mohon maaf sebesar-besarnya."
"Maafkan aku, Mas Arfan."
"Maaf."
"Maafkan aku."
"I'm sorry."
"Maaf."
Terus sampai jumlahnya mencapai 30. Baru juga ditinggal pergi, tapi sang istri tidak menyerah untuk meminta maaf, walau dari pesan WA sekalipun.
Dia punya kuota data banyak atau apa?
Ia berniat membuka untuk membalasnya, tapi sayang ia ditelepon sopir taksi online pesanannya. Mungkin dia sudah daritadi menunggu, karena si sopir sudah berada di area bandara sesuai titik.
"Baik, saya akan segera ke sana," ucap Arfan berbicara pada sopir tersebut kemudian melangkah untuk mencari mobil yang akan dinaikinya menuju tujuan.
* * *
20 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top