4. Tujuh Tahun Lalu

"Pak Guru, ini hasil tugas rumah kelas 12 IPS 2." Sahiya meletakkan tumpukan buku ke atas meja guru milik Adam. Pria itu tengah membaca bendelan kertas seraya mencoret-coret beberapa kalimat yang tertera. Sahiya sedikit gugup. Apalagi, pak guru yang katanya memiliki komitmen dengan dia, tak sedikitpun memberi atensi padanya. "Ehm ... ada catatan kecil dalam buku Sahiya," ucapnya gadis itu lirih lalu pergi meninggalkan ruang guru.

Beberapa detik setelah tubuh Sahiya tak lagi tampak, Adam mencampakkan bendelan kertas berjudul "bab 2" itu, lalu mengambil buku tulis bersampul ungu yang sudah ia hapal betul. Milik Sahiya Kasih, adalah tugas yang pasti pertama kali ia koreksi.

Adam tersenyum. Wajahnya yang kharismatik, seketika mempesona akibat aura bahagia dari sesuatu yang disebabkan jatuh cinta. Kalimat Sahiya sungguh manis. Gadis itu polos dan tulus memberi hatinya untuk pria itu. Saat Sahiya sudah mahasiswa nanti, Adam akan memperkenalkan gadis itu pada orang tuanya.

Namun seindah-indahnya harapan manusia, hanya akan menjadi harapan hampa jika takdir menuliskan skenario yang berbeda.

"Rendi jadian sama Sahiya. Jessica tadi nangis-nangis di toilet. Ternyata Sahiya diam-diam, teman makan teman ya?" suara itu terdengar dari salah satu murid yang tengah membereskan prakarya di meja guru kesenian.

Tubuh Adam menegang dari kursi kerjanya. Telinganya awas mendengar setiap percakapan dua murid yang berdiri beberapa jengkal dari tempatnya saat ini.

"Tapi, kapan Sahiya pedekate sama Rendi? Mereka kan tidak dekat selama ini?"

"Heh, kamu kudet, deh! Ayah Hiya kan anak buah Papinya Rendi. Mana tau selama ini Hiya main belakang dibantu ayahnya?"

"Mereka beneran jadian?"

"Iya!" jawab lantang si pembawa informasi ini. "Buktinya, sekarang mereka lagi berduaan makan mie ayam di kantin."

Tak menunggu, Adam beranjak dari duduknya lalu berjalan cepat menuju kantin. Ia harus memastikan bahwa apa yang didengarnya hanyalah isu. Namun sayang, netra Adam sendiri yang justru mengklarifikasi isu itu. Ia menangkap sosok Sahiya tengah membersihkan saus di bibir Rendi menggunakan tisu yang gadis itu pegang. Seketika, Adam menyimpulkan satu hal. Bahwa sia-sia membuat komitmen dengan gadis dibawah usia.

Adam menghela napas. Ia meneguk segelas air yang tersaji di meja kerjanya siang ini. Entah sudah berapa lama dosen itu melamun dan terlempar pada masa tujuh tahun lalu. Memanggil satu mahasiswanya, Adam melanjutkan waktu bimbingan skripsi, dengan mengkoreksi beberapa bendel karya tulis.

"Tolong kaji lagi penelitian kamu dengan membaca novel Shakespears yang berjudul Hamlet. Kulik penokohan dalam cerita itu lalu kamu sambungkan dengan teori yang sudah tercantum pada bab dua." Adam berusaha fokus berdiskusi pada mahasiswanya. "Kerjakan dengan cepat dan cermat lalu temui saya lagi jika—" ponsel Adam berbunyi. Ia mengangkat benda itu lalu mendengarkan penelepon di seberang sana. "Apa!" tiba-tiba ia terperanjat dengan raut khawatir. "Bibik tenang dan bawa Nunna ke IGD rumah sakit terdekat. Saya pulang sekarang!" Lalu Adam meninggalkan mahasiswa yang ikutan panik melihat dosennya tiba-tiba pergi.

Hanya lebam akibat benturan. Juga beberapa luka di kaki dan tangan. Namun tetap saja, semua itu membuat Adam meringis pilu melihat putrinya di perban sana sini.

"Kita pulang sekarang. Lain kali hati-hati apalagi di dekat kolam renang," pesan Adam penuh sayang seraya mengelus rambut putrinya yang terbaring di brankar IGD.

Nunna hanya mengangguk seraya meredam isak yang sejak tadi mendera dirinya. "I'm sorry."

"Tidak apa. Daddy lega karena tidak terjadi hal yang membahayakan." Adam membenahi selimut. "Daddy mengurus administrasi dulu. Kamu di sini sama Bibik, ya."

Adam meninggalkan ruang IGD dan bergerak menuju meja kasir untuk menyelesaikan administrasi. Saat menunggu nomor antriannya dipanggil, netra pria itu menangkap mantan muridnya yang ....

Dahi Adam berkerut. Wajahnya penuh tanya. Entah mengapa, tubuh pria itu beranjak dari kursi tunggu lalu berjalan mendekati pria yang menggandeng seorang wanita dengan lipatan snelli di tangan wanita itu.

"Rendi?"

Lalu nama yang disebut, tersenyum dan mengangguk dengan hormat. "Pak Guru. Apa kabar?"

****

Ini sudah buku cerita ketiga yang Sahiya baca sembari menunggu kedatangan Nunna. Namun gadis kecil itu, tak juga datang dengan tas pandanya. Sahiya mengintip jam tangan. Nunna sudah terlambat empat puluh menit. Hampir setengah durasi belajar mereka. Tak sabar, Sahiya keluar kelas kosong itu lalu berjalan menuju meja Mutia berada.

"Jam kosong, Miss," sapa Mutia saat netra admin itu melihat Sahiya datang. "Shainunna Ardianto ijin tidak hadir selama beberapa hari. Bibiknya telepon tadi. Katanya, dia jatuh kepleset saat lari-lari di taman dekat kolam renang."

"Oya?" Sahiya terperanjat dan wajahnya seketika menggambarkan rasa khawatir. "Kondisinya gimana?"

Mutia yang sibuk dengan data-data di komputer, menjawab tanpa menatap rekan kerjanya. "Paling benjol sama lecet. Biasa itu mah, pake minyak tawon juga sembuh."

"Apa ... aku boleh menjenguk?" tanya Sahiya ragu-ragu.

Mendengar permintaan rekan kerjanya, jemari mutia yang sejak tadi sibuk, tiba-tiba berhenti. Wajah admin itu menoleh pada Sahiya dengan raut berjuta tanya. "Buat apa?"

"Aku ingin tau kondisi Nunna. Tolong bantu aku tanyakan pada keluarganya, apa boleh aku menjenguk?"

Mutia mengerjap sesaat sebelum gadis itu mengambil telepon dan bicara pada seseorang yang mewakili Nunna. "Maaf, Miss. Daddy-nya Nunna melarang siapapun menjenguk putrinya karena takut mengganggu istirahat. Jadi, Miss santai-santai aja selama dia ijin gak masuk entah sampai kapan." Mutia menangkap jelas raut kecewa di wajah Sahiya. "Lagipula, kita tidak diperkenankan untuk dekat secara pribadi dengan murid apalagi di luar kelas. Aku saja menolak saat Daddy-nya Nunna meminta nomor ponsel Miss dan bertanya dimana Miss Hiya tinggal. Itu melanggar kode etik perusahaan. Sorry."

Bola mata Sahiya membesar. Hatinya seketika berdebar mendengar cerita yang Mutia utarakan. "Daddy-nya pernah tanya itu?"

Mutia mengangguk santai. "Dia pernah tanya rumah Miss dimana, nomor ponsel Miss berapa, Miss lulusan apa, udah kerja berapa lama dan banyak lagi yang semua itu aku jawab dengan Sorry Sir, those information are confidential. Jadi, ya kalau dia atau Miss mau komunikasi, bisa lewat Mutia atau parent relations kantor kita."

Sahiya tak lagi mampu berkata. Ada bimbang yang tiba-tiba hadir memenuhi hatinya. Puluhan pertanyaan seketika memberondong isi kepalanya. Sahiya hanya tersenyum dan mengangguk pada Mutia lalu kembali memasuki kelas kosong milik Nunna. Ia merenung seorang diri. Apa maksud Adam mencari tau tentang dirinya saat ini?

Empat hari sudah terlewati. Dua jadwal kelas, tak Nunna hadiri karena gadis itu masih ijin pemulihan. Sahiya merasa kehilangan. Murid privat itu menyenangkan. Jika Hiya tengah emosi pada murid kelas sebelumnya, menghabiskan waktu dengan Nunna mampu meredam rasa kesal dan lelahnya.

"Miss Hiya!" panggilan Mutia membuat Sahiya keluar dari diamnya. "Ada telepon dari Bibiknya Nunna. Tolong angkat intercom di ruang guru," perintah si admin yang membuat Sahiya beranjak cepat mengangkat telepon di ruangan itu.

"Halo," sapa Sahiya lembut.

"Halo Miss, ini gak harus pake Bahasa Inggris kan ngomongnya?"

Sahiya tersenyum lucu. "Iya, Bu. Silakan. Ada yang bisa kami bantu?"

"Itu. Non Nunna minta pergi les, tapi sama Bapak dilarang karena lukanya belum kering semua. Non Nunna minta ketemu Miss Hiya katanya. Tapi—"

"Saya ingin menjenguk Nunna jika diperkenankan, Bu," sela Sahiya semangat.

"Itu dia yang mau saya utarakan, Miss," ucap Bibik di seberang sana. "Bapak udah ijinkan Miss-nya Non Nunna ke rumah."

"Kapan saya boleh kesana? Jam berapa Daddy-nya Nunna pulang hari ini?"

"Kalau jam Bapak pulang, saya kurang tau. Tapi Non Nunna minta dijenguk hari ini."

Lalu sahiya membuat janji menjenguk dengan si bibik setelah diberikan alamat lengkap juga keterangan bahwa ayah Nunna bersedia mengganti ongkos taksi. Namun Sahiya, menolak tawaran reimburse ongkos karena niatnya datang, tulus karena ia menyayangi putri mantan kekasihnya.

Sepulang mengajar, Sahiya langsung memesan taksi dan pergi menuju alamat yang bibik Nunna berikan tadi. Saat mobil taksi sudah berhenti tepat di depan pagar beralamat yang ia berikan pada supir, jantung Sahiya seketika berdegup kencang.

Sahiya menekan bel yang ada di dinding pagar, seperti menekan rindu yang seketika meluap. Namun Sahiya, harus tau diri jika Adam tak lagi menginginkannya kini. Tak lama, seorang wanita tergopoh membuka pagar dan menanyakan apakah ia Sahiya. Mengangguk seraya konfirmasi, Sahiya akhirnya melangkah masuk ke dalam hunian asri itu.

"Miss Hiya!" sambut ceria Nunna dari atas ranjangnya.

Sahiya tersenyum. "Hai Nunna. Apa kabar?"

"Sebenarnya saya baik-baik saja. Namun Daddy mengatakan saya harus istirahat. Harus berapa lama lagi, Miss? Saya sudah bosan," keluhnya manja seraya memeluk guling hello kitty.

"Apa saat ini masih bosan?" Sahiya menaikkan satu kantung berlogo toko buah. "Miss membawa apel untukmu."

"Wow! Aku merasa seperti Putri Salju," candanya seraya tertawa. "Tapi apel yang Miss bawa tentu tidak beracun," lanjutnya seraya bergeser mendekat pada Sahiya yang kini duduk di tepi ranjang.

Sahiya tertawa lalu membelai lembut rambut hitam Nunna. Mereka berbincang ringan dan Sahiya membacakan satu buku cerita yang ia pinjam dari kantornya. Mereka berdiskusi tentang isi cerita seperti yang biasa mereka lakukan di kelas.

Dari luar kamar, Adam yang beberapa saat lalu pulang, menguping pembicaraan antara guru dan murid itu. Ada emosi asing terasa di dalam hatinya kini. Apalagi, mengingat ucapan Rendi di rumah sakit dan sukses membuatnya tercengang. Sahiya ... ternyata melalui rentang waktu yang iya yakin, cukup menyakitkan.

"Miss ...." suara Nunna terdengar. Adam mematung dengan telinga yang tajam menangkap setiap suara. "Mengapa apel yang Miss bawa berwarna hijau? Biasanya, saya memakan apel warna merah atau kuning kemerahan. Sesekali hijau, tapi tidak sekecil ini."

"Ini bukan apel Washington, Fuji, atau Granny."

"Lalu?"

"Ini apel manalagi."

"Apa enak?"

"Segar. Kamu bisa membuat jus juga dengan ini."

"Wow," respon Nunna takjub. "Aku akan meminta bibik membuatkan jus apel manalagi."

Adam tersenyum tipis. Ada rasa lega terpancar di wajah pria itu. Apel manalagi. Sahiya membawa buah kesukaannya. Mungkinkah wanita itu masih mengingat tentang botol sari apel yang selalu ia bawa ke sekolah saat mengajar dulu? Tak sadar, Adam tersenyum manis, sendiri.

"Miss." Suara Nunna terdengar lagi. "Pasti menyenangkan jika setiap malam Miss Hiya membacakan cerita untuk saya."

Adam memejamkan mata. Ada satu emosi asing menjajah hatinya kini.

"Daddy Nunna bisa membacakan cerita. Daddy Nunna pria yang pintar dan baik. Dia bisa membuatkan Nunna cerita tentang apapun. Dan itu pasti menarik."

"Oya? Tapi Daddy lebih sering membaca buku tebal yang tidak ada gambarnya."

"Kalau begitu, nanti Miss buatkan cerita dan Daddy yang membacakan. Kita akan mewarnai gambar tokohnya bersama-sama di kelas nanti. Bagaimana?"

"Good idea!" seru Nunna antusias.

"Kalau begitu, Miss pamit pulang dulu ya. Miss takut jika pulang terlalu malam."

Terdengar seruan kecewa Nunna. "Doakan saya cepat pulih agar bisa les lagi dengan Miss."

"Oke."

Adam bergegas menjauhi kamar anaknya. Namun pada langkah ketujuh kakinya ...

"Pak Guru." Sahiya memanggil pria itu.

Adam menghentikan langkah dan tertegun memunggungi masa lalunya. Ia berusaha sadar bahwa saat ini mereka berada di masa sekarang. Bukan tujuh tahun lalu. Meski hatinya, serasa kembali saat ia berusia tiga puluh tahun.

"Sahiya ... pamit pulang," lanjut si mantan murid dari balik tubuhnya,

Adam tak bergerak sedikitpun. Jangankan berbalik, menoleh saja ia ragu. Namun batinnya berperang. Antara memperbaiki hubungan mereka atau menyerah saja pada takdir yang menuliskan jalan hidup mereka saat ini.

Lalu saat langkah kaki Sahiya mulai menghilang, Adam berbalik dan mengejar wanita itu. "Miss," panggilnya tegas.

Sahiya yang sedang memakai sepatu, menoleh dengan wajah terkejut. Adam menangkap binar sendu pada netra wanita itu.

"Iya, Pak Guru," jawab Sahiya lirih dengan suara parau. "Apa ada tugas untuk Hiya?" lanjutnya dengan tatapan yang ... shit! Adam ingin memeluk wanita itu saat ini juga.

Menetralkan sisi melankolisnya, Adam memasang wajah dingin dan tegas. "Saya pesankan taksi. Mohon tunggu sebentar."

Sahiya tersenyum manis namun kedua matanya meneteskan bulir bening satu-satu. "Terima kasih, tapi Hiya sudah pesan lewat aplikasi, tadi. Selamat malam, Pak Guru." Mengusap wajahnya, Sahiya keluar dari teras rumah itu. Namun baru dua langkah, sahiya menoleh dan berkata, "Maaf untuk pembahasan tentang ibu tiri. Hiya tidak ada maksud apapun dengan itu." Lalu sahiya melanjutkan langkahnya menuju pagar.

"Miss," panggil Adam lagi yang barangkali ... berat ditinggal guru privat putrinya.

Sahiya menoleh dan mereka saling tatap sekian waktu dari tempatnya masing-masing.

"Buat cerita anak yang lebih bagus dari kemarin. Seharusnya Kim menjaga kucingnya agar tidak hilang. Beri pesan pada pembaca melalui Kim yang berdoa setiap hari, bahwa jangan pernah putus memiliki harapan meski tampaknya sulit untuk menjadi nyata."

Air mata Sahiya menetes lagi. Kali ini lebih deras.

"Tapi tidak ada yang tak mungkin. Kucing milik Kim bisa saja datang lagi. Namun beri pesan baik bahwa mencintai berarti menjaga sepenuh hati. Bukan menyakiti sampai si kucing pergi. Tulis bagian bagaimana Kim berjanji pada dirinya sendiri apa yang akan ia lakukan jika Tuhan mengembalikan kucingnya lagi."

Bukan hanya air mata yang deras, isak kencang Sahiya bahkan tak lagi bisa ia tahan. Wanita itu menutup mulutnya dengan satu telapak tangan.

Melihat kerapuhan wanita di hadapannya, batin Adam bergejolak. Ia butuh berpikir malam ini untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan pada hubungan anak dan guru privatnya. Mengabaikan rasa khawatir terhadap mantan muridnya, Adam berbalik lalu masuk ke dalam rumah.

"Bik," panggil Adam saat bibik baru saja menutup kamar Nunna. Tampaknya gadis itu akan terlelap. "Tolong buatkan jus apel yang gurunya Nunna bawa tadi. Saring ampasnya dan pakai gula sedikit. Tolong antar ke ruang kerja saya."

Mungkin saja, satu gelas sari apel seperti tujuh tahun lalu, mampu mencairkan hatinya yang beku.

***

udah 650 votes, akeh apdeyt lagi ... ngomong-ngomong aku lagi meriang. Mungkin efek habis ditabrak dari belakang sama motor beberapa hari lalu. punggung berasa kek remuk-remuk manja gitu wkwkkw ...

jadi, aku up lagi pas badan udah enakan yess.... sembari nunggu votes jadi 750 hehehe. aku up diantara dua itu, sembuh atau votes udh 750. kali gitu cepet sehat kalo ditaburin banyak bintang hahahahay

ramaikan komen yess! hapsari hepi bacain komen klean wkwkwk ...

LopLop
Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top