2. Tujuh menit setelah tujuh tahun.

Happy Star English Course.

Seperti ada yang hilang dari hati Sahiya saat ini. Meski ia berada di tengah tumpukan buku-buku cerita anak, namun antusiasmenya tak seperti biasa. Ia menyukai literasi. Terutama Bahasa Inggris. Biasanya, ia bisa menghabiskan jam kosong mengajarnya, dengan membaca buku-buku cerita anak yang kantornya miliki. Dia suka bercerita dan menirukan suara tokoh-tokoh di dalamnya.

Namun kali ini beda. Setiap ia membuka sampul buku cerita, yang terlintas dalam benaknya justru sosok Adam Ardianto. Guru bahasa inggrisnya saat ia SMA dulu. Pria yang membuatnya menyukai cerita fiksi, mimpi, dan rangkaian kata. Pria berusia tiga puluh –tujuh tahun lalu—yang menjadi cinta sekaligus kekasih pertamanya.

Sahiya tersenyum getir dengan wajah sendu menatap sampul buku bergambar serigala dan gadis tudung merah di tangannya. Semalam pria itu ada namun tak menganggapnya ada. Apa sesakit itu hati seorang Adam setelah perpisahan pahit diantara mereka? Sahiya menghela napas panjang. Tak terasa air matanya mengalir juga. Demi Tuhan, ini ujian apa lagi dalam hidupnya. Ia harus mau mengakui bahwa ... ternyata rasa cinta untuk seorang Adam masih ada. Namun sayang, sepertinya mereka tak mungkin lagi bersama.

"Miss Hiya!" suara Mutia, admin tempatnya bekerja memanggil. Sahiya menjawab panggilannya dan tak lama, gadis berhijab itu membuka pintu ruang baca. "Ada murid baru. Tolong bantu placement test. Empat tahun, perempuan, baru datang dari Cambride. Gak bisa Indo," jelasnya seraya memberikan secarik kertas berisi evaluasi penempatan level belajar anak.

Sahiya mengangguk lalu beranjak dari kursi anak-anak yang ia duduki sejak tadi. Berjalan menuju ruang tamu tempat kursus ini, Sahiya mencoba mengukir senyum dan memasang wajah ceria. SOP menyambut anak baru di tempatnya bekerja.

Membuka pintu, Sahiya mengambil napas dan bersuara riang dan terdengar gembira. "Hi ... good mor—" gembiranya menjadi tegang, "—ning" Sahiya mematung di ambang pintu.

"Good morning, Miss." Pria itu menjawab dengan gadis kecil yang memeluknya. Gadis itu tampak takut bertemu orang baru. "Nuna ... your Miss is coming. Sit down and let's play for a while," perintah suara bariton itu dengan nada lembut merayu.

Sahiya menelan ludahnya cekat. Hatinya seketika berdesir namun ada rasa perih yang menelusup. Suara pria itu terdengar bersahabat namun tatapan matanya yang tajam dan dingin, berhasil membuat tubuh Sahiya gemetar seketika.

"Okay, Nuna, my name is Miss Hiya." Sahiya kini duduk di hadapan ayah dan anak itu. Menyapa si kecil yang akan menjadi bagian dari tempatnya bekerja. Ditengah kegugupan yang menjajah hatinya, Sahiya berusaha tampil prima dengan tetap bersikap profesional. Ia menjalankan tugasnya. Meminta anak itu melakukan serangkaian tes kecil untuk menentukan dimana ia akan belajar. "Good! You are a smart girl!" puji Sahiya usai test kecil itu selesai.

Kini, mau tak mau, mata Sahiya harus bertatapan dengan wali calon murid. Gugup bercampur rindu dan takut, Sahiya menjelaskan hasil test dan kelas apa yang nantinya Nuna masuki. Berikut, materi apa saja yang akan anak itu pelajari.

Canggung, Sahiya menutup pertemuannya dengan wali murid itu. "Jika Bapak berminat dengan program dan materi-materi kami, silahkan mendaftarkan diri di meja administrasi serta membuat jadwal untuk Nuna belajar di sini." Senyum Sahiya tampak aneh. Namun ia harus terus mengukir senyum karena itu tugasnya saat menemui orang tua murid.

Tak ada jawaban. Pria itu mengangguk sekali lalu berdiri dari kursi dan menggandeng anaknya meninggalkan ruang tamu tempat kursus itu. Sahiya membuntuti pelan menuju meja administrasi. Sampai sana, ia memberikan hasil tes pada Mutia untuk diproses oleh admin berhijab itu.

"Nuna, see you later," pamit Sahiya lembut dan ceria. Lalu ia meninggalkan gadis kecil dan ayahnya dengan hati yang terasa ngilu.

Tujuh menit. Tujuh menit lamanya Sahiya menerangkan hasil tes dan kelas yang akan Nuna masuki pada ayahnya. Selama tujuh menit itu, jantungnya berdegup kencang dan tangannya mendingin. Mendapati pria itu menatapnya tajam dan dalam, dengan wajah tegang dan dingin. Rasanya seperti hampir mati. Terimakasih untuk kekuatan yang Tuhan beri hingga ia mampu melewati tujuh menit bersama pria yang ia sakiti tujuh tahun lalu.

"Miss Hiya." Mutia datang tak lama setelah Sahiya berhasil menenangkan dirinya di ruang guru seorang diri. Kebetulan, semua tutor sedang ada kelas pada jam ini, kecuali dirinya.

"Ya, Mutia," jawab Sahiya saat adminnya duduk pada salah satu kursi di ruangan itu.

"Murid yang tadi. Minta jadwal seminggu tiga kali. Prifat."

Sahiya mengerutkan keningnya. "Tiga kali? Bukannya kelas kita dua kali seminggu, ya?"

Mutia mengangguk. "Iya. Tapi Daddy-nya tadi minta kalau khusus Nuna prifat tiga kali seminggu. Yang dua kali, kelas sesuai materi kita, yang satunya lagi kelas khusus belajar Bahasa Indonesia. Daddy-nya minta itu ke kita."

"Kamu terima?"

"Iyalah!" Mutia menjawab tegas. "Dia bayar kelas prifat gitu loh. Aku juga udah tanya boss tadi dan beliau setuju. Terus tutor yang handle kelasnya Nuna ini, nanti Miss Hiya."

Mata Sahiya terbelalak, "Kok aku?" suaranya bahkan meninggi seketika.

Mutia mengangguk lagi. "Daddy-nya yang request. Makanya tadi dia oke-oke aja aku aturin jadwal yang Miss Hiya kosong. Jadi, gak ribet ngatur jadwal ngajar sama jadwalnya anak itu. Satu lagi." Mutia mengeluarkan buku bersampul kulit. "Ini dari Daddy-nya Nuna. Katanya, setiap pertemuan, Miss Hiya harus nulis laporan gimana si Nuna selama belajar. Pokoknya laporan apapun tentang anak itu."

Tak ada jawaban. Hening.

"Miss, kok pucet? Gak enak badan?"

"Enggak." Sahiya mengelak salah tingkah. "Aku gak apa-apa kok."

Mutia mendorong buku bersampul kulit itu seraya tersenyum. "Kalau gitu, mohon diterima buku ini dan sekian terima kasih." Beranjak dari duduknya, Mutia pergi meninggalkan Sahiya yang lemas bagaikan tanpa darah seorang diri.

****

"So, Nuna, lets blend this alphabeth. Keh Ah Teh, blend those sounds and you can read this ... cat!" Sahiya menunjuk satu kata pada buku belajar muridnya. "We use short sound of A" dan wanita itu terus menerangkan dan menstimulasi murid barunya untuk belajar membaca.

Kelas hari ini selesai. Sahiya mengeluarkan buku bersampul kulit yang Mutia beri beberapa hari lalu dan menulis di halaman pertama buku itu.

Dear Nuna's Daddy. Mulainya menggoreskan tinta. Entah mengapa, menulis laporan harian bisa terasa semenegangkan ini bagi Sahiya.

Hari ini kami memulai dengan materi membaca halaman pertama buku belajar Nuna. Kami belajar membaca menggunakan metode phonics sounds dan materi ini baru sampai short sound of A dan E. Awalnya Nuna sedikit ragu untuk belajar, namun kami melakukan beberapa menit pendekatan dengan bincang santai dan saling bercerita. Sejauh ini, Nuna mampu mengikuti materi.

Tertanda,

Miss Sahiya.

Sudah itu saja laporan harian minggu ini. Sahiya menutup buku lalu meminta Nuna memasukkan benda itu ke dalam tasnya. "Nuna," panggil Sahiya saat anak itu sudah bersiap pulang. "Who will take you home?"

Nuna menatap Sahiya dengan mata coklatnya yang berbinar polos. "Daddy," jawabnya santai dan riang.

"Daddy?" Sahiya memastikan. "Do you have nanny?"

Nuna menggeleng. "We only have Bibik at home." Gadis itu menggendong tas pandanya. "But Bibik can't speak English. I can't talk to her," keluhnya dengan wajah cemberut.

Sahiya tertawa lirih melihat wajah imut anak mantan kekasihnya. "Next class, we learn Bahasa. So, you can talk with Bibik everytime you want." Lalu Sahiya menggandeng anak itu menuju tempat bermain, dimana terdapat beberapa anak yang menunggu jemputan pulang.

Mereka berbincang ringan dengan Nuna yang mendominasi obrolan. Gadis itu banyak bicara, ternyata. Wajahnya cerita dan mulai santai dengan kehadiran Sahiya. Sedang wanita itu, hanya menanggapi singkat karena ia lebih fokus mencari tau bagaimana kehidupan gadis kecil itu bersama orang tuanya.

"Have you done?"

Langkah mereka terhenti. Sosok kharisma yang Sahiya cinta ternyata sudah berdiri tegap beberapa langkah di depannya. Netra pria itu berbinar penuh cinta menyambut putrinya yang berlari lalu memeluk tubuh tingginya. Sahiya mematung di tempatnya berdiri saat ini. Menatap sosok itu dengan binar getir dan hati perih. Namun wajah ayunya, tetap mengukir senyum manis. Berusaha menutupi rasa sakit yang mendera sore ini.

Tak ada salam apalagi sapa. Adam Ardianto justru tersenyum pada Mutia lalu melangkah keluar gedung ini.

Dari pintu kaca, Sahiya melihat bagaimana Nuna tampak berceloteh pada ayahnya hingga mereka masuk dalam kendaraan yang wanita itu yakini, milik Adam.

Hingga tiga minggu Nuna mengikuti kelas bersama Sahiya. Gadis cerdas ini sudah bisa bicara dengan Bahasa meski terbata. Ketika Adam terlambat menjemput gadis kecilnya, Sahiya akan menemani Nuna bermain sambil belajar Bahasa Indonesia.

"Miss, Daddy berkata pada saya. Ada catatan untuk Miss Sahiya di buku."

Sore ini jadwal les Nuna. Ia membuka tas lalu menyodorkan buku bersampul kulit itu.

"Catatan apa?" tanya Sahiya seraya menerima buku.

"I don't know. Saya belum lancar membaca. Apalagi tulisan Daddy," jawabnya tak acuh seraya membuka buku pelajarannya.

Mengangguk paham, Sahiya membuka buku bersampul kulit itu dan membaca satu lisan di sana.

Dear Nuna's Teacher.

Terimakasih atas bantuannya untuk Nuna selama ini. Saya percaya bahwa Nuna mampu mengikuti setiap materi yang diberikan. Saya sudah merasakan progress pada Nuna.

Melalui ini, saya ingin meminta Anda untuk bisa memperhatikan Nuna diluar kegiatan belajar membacanya. Tolong diberikan stimulasi pada Nuna untuk dapat menyimpulkan sebuah cerita. Bisa dimulai dari memberikan dia beberapa dongeng dan mengambil pelajaran dari cerita-cerita itu.

Harapan saya, tidak hanya bisa membaca melalui metode phonics sounds yang Anda beri, namun juga ia mampu menangkap pesan dalam cerita yang akan ia baca kelak. Terimakasih

Adam Ardianto.

Baiklah. Jadi, Kak Adamnya seorang Sahiya tujuh tahun lalu itu, menulis pesan dan meminta dirinya membacakan dongeng lalu memberikan reading comprehensive pada anaknya. Sesuai perintah dan permintaan cinta pertamanya, oh salah, wali muridnya, Sahiya mengambil satu buku cerita dan meminta Nuna untuk mendengarkan kisah yang akan ia baca untuk gadis kecil itu.

"Miss, apakah semua ibu tiri seperti itu?" tanya Nuna saat Sahiya selesai menceritakan kisah seorang Cinderella.

Sahiya menggeleng dengan senyuman. "Tidak. Hanya ibu tiri Cinderella yang berlaku kejam seperti itu."

"By the way, apa itu ibu tiri?"

"Cinderella tidak memiliki ibu yang melahirkannya. Ayahnya memberikan dia ibu baru yang mereka sebut dengan ibu tiri."

"Jadi ...." Nuna tampak berpikir. "Setiap anak seperti Nuna, boleh memiliki ibu tiri?"

"Ya," jawab Sahiya ragu-ragu. "Namun jika anak itu tidak lagi memiliki ibu yang melahirkan mereka."

Nuna mengerjapkan mata coklatnya. "Aku ingin meminta ibu tiri pada Daddy."

"Ibu tiri?" kening Sahiya jelas berkerut.

Mengangguk, Nunna menjawab, "Yes. Cause I don't have mommy. Daddy berkata bahwa malaikat menjemput Mommy saat ia melahirkan saya. Itu membuat saya benci pada malaikat. Namun Daddy berkata bahwa malaikat membawa Mommy ke tempat yang indah. Jadi, saya batal membenci malaikat."

"Jadi, Nuna hanya tinggal berdua dengan Daddy?" tanya Sahiya dengan hati yang tiba-tiba berdebar.

"Iya, tapi kami punya Bibik. Bibik sayang pada saya sejak saya bisa bicara Bahasa."

Pantas saja. Selama ini hanya pria itu yang selalu nampak menjemput Nuna.tak pernah sekalipun seorang wanita datang menjemput Nuna. Sebenarnya Sahiya ingin bertanya namun ia ragu dengan rasa takut yang mendominasi. Ia hanya ingin menjaga hatinya dari rasa hancur jika harus menerima kenyataan bahwa karma memberinya hukuman dan memberi Adam kebahagiaan.

Namun ternyata ...

"Miss," panggilan Nunna menyadarkan Sahiya dari lamunanya.

wanita itu menoleh pada Nunna dan tersenyum dengan gestur wajah bertanya.

"Jadi, bagaimana caranya saya meminta ibu tiri pada Daddy?" Nunna terdengar semangat dengan suara ceria meski bicara Bahasa Indonesianya terbata dengan logat barat.

Sahiya mengerjap terperanjat mendengar pertanyaan balita cantik ini. Hatinya seketika berdesir dengan degup jantung yang seketika berdebar tak karuan.

"Di mana saya bisa mendapatkan ibu tiri?"

Sahiya merasa mulutnya tak bertenanga untuk sekedar bersuara. Apalagi menjawab. Ia hanya mematung dari tempatnya duduk dengan wajah yang tak putus menatap Nunna. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa anak ini ....

"Apa Daddy tahu tempat kami mendapatkan ibu tiri untuk saya?" Erjapan mata coklat itu tampak jelas terlihat oleh Sahiya. Balita ini sudah mencondongkan wajahnya mendekat pada wajah guru yang entah sejak kapan sudah gemetar sendiri.

Sahiya kehilangan kata-kata. Ia tak tahu harus bicara apa.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top