1. Reuni

Selamat datang di Projek Cinta Batik Publisher.

#projekcintaBP

Seperti yang aku infokan sebelumnya, Para penulis Batik Publisher, memulai tahun 2020 ini dengan projek cinta bertemakan age gap romance. Ada 12 penulis yang meramaikan projek ini dan salah satunya adalah aku hehehehehe tepuk tangan dong ah ...

Yang kami tulis pada projek ini bukanlah novel, melainkan novelet atau mini novel. Chapter di cerita ini tak lebih dari sembilan chapter nantinya. Tergantung aku, akan selesai di chapter berapa hehehhe ...

Jadi, dengan penuh cinta kupersembahkan untuk kalian ... Kisah Sahiya dan Adam setelah rentang waktu yang memisahkan mereka. Selamat membaca. kiss kiss muaacchh ...

******

"Jangan sampai kamu tidak datang ya, Hiya! Kita tunggu. Aku sudah di jalan dan sebentar lagi sampai."

Wanita berambut panjang ini memasang anting di kedua telinga. Ia berdeham merespon ucapan temannya pada sambungan telepon yang di loudspeaker.

"Awas kalau kali ini kamu tidak datang! Setiap kita mengadakan reuni, kamu selalu mangkir. Kali ini, di Reuni Akbar, kamu harus berani menunjukkan kalau kamu ... tegar!"

Berdeham lagi, Sahiya menjawab ucapan sahabat SMAnya. "Aku mau ganti baju. Kututup ya. Sampai bertemu di tempat acara." Lalu sambungan telepon itu, terputus.

Wanita itu menatap cermin. Memindai wajahnya yang sendu dengan mata sayu. Sudah tujuh tahun sejak perpisahan itu. Sejak ia lulus dari SMA dan memilih mengabdikan hidupnya pada pria yang .... Ah, Sahiya sudah ikhlas. Ia ikhlas mendapati takdir hidupnya yang seperti ini. Tidak usah diungkit lagi pesakitan itu. Toh, ia kini sudah mulai melangkah menata kembali hidupnya meski tertatih.

Mengenakan satu-satunya sepatu layak yang ia punya, Sahiya bersiap untuk keluar dari persembunyian sejak hidupnya menjadi runyam.

Sahiya menghela napas panjang. Menaikkan dagu tegas dan menatap pintu kontrakannya mantap. Ia membatin, Aku wanita kuat dan aku bisa melalui ini semua. Lalu langkah kakinya maju seiring keberanian yang tengah ia pompa untuk kembali menghadapi dunia.

Taksi berhenti tepat di depan pintu utama balai pertemuan. Ia tak langsung turun. Sahiya membuka kembali undangan reuni yang ia terima beberapa minggu lalu dan membaca lagi tempat, tanggal, dan jam acara dimulai. Benar. Semua benar. Tempatnya berada saat ini adalah gedung acara itu diselenggarakan. Jam dan harinya pun benar. Matanya menangkap beberapa wajah yang ia kenal dulu. Meski ada perubahan akibat rentang waktu diantara mereka, namun ingatan Sahiya masih mampu mengenali sosok teman-temannya.

Supir taksi berdeham. Barangkali menegur penumpangnya yang tak juga turun hingga entah berapa lama.

Kikuk, Sahiya mengambil dompet dan membayar argo. Dengan kaki yang mendadak gemetar, ia menuruni kendaraan itu lalu melangkah pelan. Menaiki satu per satu undakan dengan napas yang panjang dan dalam. Irama jantungnya sama sekali tidak merdu. Karena organ itu memompa darah lebih keras dari biasanya. Sahiya ... tiba-tiba dirundung bimbang. Masuk ke dalam hall, atau memesan taksi lagi saja? Lebih baik ia mengambil gawai dan memesan--

"Sahiya?" Ah terlambat! "Benar kamu ... Sahiya, kan?" Suara perempuan menyapa.

Mendengar namanya disapa, ia menggigit pelan bibir bawahnya lalu meringis kaku.

"Ya ampun! Kamu berubah banget, ya! Jadi lebih ... anggun atau pendiam?" suara itu meragu dengan gestur wajah penuh tanya. "Ah! Mungkin lebih tepatnya, berubah jadi pemalu," ucap suara itu menyimpulkan sepihak.

Dihakimi seperti sekarang, sudah menjadi salah satu dugaan sikap yang akan ia terima jika datang ke acara ini. Namun Sahiya, sudah menyiapkan hati untuk menerima.

"Gak usah malu, Hiya. Santai saja. Toh kita semua sudah tau jika kamu ... menjanda di usia dua puluh dua. Rendi mengempaskan kamu dari hidupnya di usia pernikahan yang hanya enam bulan." Suara itu berdecak panjang dengan gelengan kepala. Seakan turut prihatin atas nasib teman sekelasnya tujuh tahun lalu. Namun bagi Sahiya, decakan itu lebih terdengar seperti hinaan. Biarlah, toh ia sudah menyiapkan hati untuk diperlakukan seperti ini. Meski ujung matanya, hampir berair.

Sahiya mengukir senyum tipis. Menandakan bahwa ia baik-baik saja. Meski nyatanya, hatinya terasa remuk mendapat perlakukan dan citra buruk di depan teman-temannya dulu. Teman-teman yang selalu iri karena merasa hidupnya sempurna. Ya, hidup Sahiya memang sempurna, dulu. Sebelum takdir menuliskan ujian yang membuatnya mengorbankan senyum.

"Apa kabar, Santi?" jawab Sahiya manis dan lembut. Seakan ia abai dengan segala ucapan menyakitkan yang diterima sesaat lalu.

"Baik. Baru selesai sekolah Magister Ekonomi. Saat kuliah, aku langsung ambil double degree," jawab si penyapa jemawa. "Kalau kamu, sejak diusir Rendi, sibuk apa?" Ia melangkah dengan tangan menggiring Sahiya masuk ke dalam hall balai pertemuan ini. Berjalan berdampingan seakan bahagia bertemu kawan lama.

"Aku ... mengajar di tempat kursus Bahasa Inggris. Untuk anak-anak usia balita."

"Owh. Jadi tutor? Kupikir guru. Gajinya ... apa cukup menghidupi?" Santi menoleh seakan simpati. "Owh, kamu pasti dapat kompensasi dari Rendi sih, ya," asumsinya sendiri.

Sahiya hanya tersenyum tak menjawab pertanyaan terakhir temannya itu. Telinga Hiya menebal mendengar celoteh Santi yang membanggakan kemajuan hidup beberapa teman mereka. Ada yang menjadi abdi negara, pengusaha, calon dosen atau guru, dan bla bla bla. Yang jelas, tidak ada standar hidup seperti Sahiya yang hanya beraktifitas sebagai tutor menulis dan membaca Bahasa Inggris anak-anak balita.

"Stella!" Sahiya meneriakkan satu nama. Saat wajah yang dipanggil menoleh padanya, rupa Sahiya seketika cerah dan nampak bahagia. "Santi, Maaf. Aku ingin pergi ke Stella. Kita ... pisah di sini saja, ya." Menoleh pada Santi, Sahiya tersenyum lalu meninggalkan perempuan berbaju oranye itu.

"Kupikir kamu tidak akan hadir lagi kali ini," cibir Stella saat Sahiya sudah ada di sampingnya. "Ini reuni ketiga. Reuni akbar. Semua orang akan hadir di acara ini. Bukan hanya angkatan kita saja."

Sahiya tersenyum lalu mengambil minuman dari salah satu meja. "Maaf. Dulu ... aku masih sibuk."

Stella mengukir senyum maklum. "Ya. Sibuk melarikan diri dari kenyataan. Sayangnya, aku ditolak membantu sahabatku sendiri."

Meletakkan kembali gelas di atas meja, Sahiya tersenyum. "Semoga dengan membantuku melalui tidak membantu, dapat merubahku menjadi pribadi yang lebih kuat dan ... tegar."

"Setegar apa?" tanya Stella dengan tatapan yang menghunus satu arah. "Boleh aku tau setegar apa kamu saat ini, Hiya?" tantangnya dengan menggerakan dagu menuju arah yang ia pindai sejak tadi.

Sahiya menoleh dan mengarahkan matanya pada titik yang Stella tunjuk. Bibirnya seketika melengkungkan senyum. Senyum perih yang tak bisa ia tutupi. "Itu yang namanya Natasha?" tanya Sahiya lirih.

Stella mengangguk lalu menoleh pada sahabatnya. "Dokter muda. Mereka menikah hampir tiga tahun lalu, tepat beberapa bulan setelah kalian bercerai dan kamu menghilang."

"Apa sebaiknya aku—"

"Kamu jangan menghilang lagi!" sela Stella tegas, berbisik. "Aku gak mau kamu merasakan pesakitan seorang diri sedang Rendi justru menikmati hidupnya dengan gelimang harta!"

"Dia memang orang kaya. Beda dengan aku yang—"

"Gak usah bahas masa lalu! Intinya, sekarang kamu harus tunjukkan bahwa Sahiya yang sekarang adalah wanita tegar dan sempurna seperti dulu." Stella mengambil satu tangan Sahiya dan menggiring wanita itu mendekati pasangan sempurna di acara ini. "Kita sapa mereka. Kamu harus siap dan tunjukkan kalau kamu baik-baik saja."

Melangkahkan kaki dengan jantung yang bedegup kencang, Sahiya tersenyum meski napasnya naik turun dengan cepat.

"Rendi!" sapa Stella dan pria itu menoleh seraya tersenyum. Namun Stella, mampu melihat jelas jika senyum itu seketika pudar. "Apa kabar?"

"Sahiya," sebut pria itu takjub dan terkejut bersamaan saat netranya menangkap sosok yang ... "kamu berubah. Semakin ... cantik?" pujinya dengan senyum sejuta arti.

"Terima kasih," jawab Sahiya lirih.

"Ini ... mantan istri kamu?" satu suara masuk diantara mereka. "Perkenalkan, aku Natasha. Istri Rendi."

Membalas uluran tangan wanita bergaun anggun di hadapannya, Sahiya tersenyum manis. "Sahiya." Ia enggan mengucap kalimat mantan istri Rendi.

"Kamu selama ini di mana? Harusnya kita—"

Sahiya menggeleng dengan binar mata memohon pada Rendi untuk diam. "Tidak ada seharusnya diantara kita. Kamu sudah bahagia, begitupun aku." Menoleh pada Natasha yang menatapnya dengan sejuta tanya, Sahiya melanjutkan. "Selamat atas pernikahan kalian. Aku benar-benar melihat Rendi yang bahagia. Natasha ..., wanita yang tepat untuk seorang Rendi Wibawa." Kini, netra Sahiya kembali pada mantan suaminya. "Jadi, jangan rusak lagi bahagia yang sudah kita miliki saat ini. Jangan sampai hal-hal yang kamu anggap seharusnya itu, menyakiti salah satu diantara kita nantinya."

"Tapi, Hiya," sanggah Rendi tenang. "Seharusnya usai kita bercerai—"

"Bercerai sudah akhir diantara kita. Tidak ada lagi kelanjutan setelah usai dan Tidak ada lagi seharusnya. Kita sudah berjalan di dua arah yang berbeda. Aku tidak mau lagi kita harus bertemu dan berdampingan." Sahiya berucap santai namun tegas. Entah kekuatan dari mana hingga wanita ini bisa terlihat sebijak dan setegar ini.

"Tapi—"

"Tolong mengerti aku, Rendi," pinta Sahiya dengan binar yang hanya dimengerti mantan suami istri itu.

"Ekhem." Dehaman keras Stella mengakhiri perdebatan diantara mantan pasangan itu. Rendi bergerak salah tingkah dan Sahiya memilih melengos dari tatapan mantan suaminya. "Aku rasa sudah cukup menyapa kalian. Aku dan Sahiya ingin berkeliling bertemu teman-teman yang lain." Lalu perempuan berambut pendek itu menarik Sahiya menjauh dari pasangan sempurna yang seketika bersikap saling dingin paska bertemu Sahiya.

Sahiya senang. Ia tersenyum lega mendapati dirinya mampu berhadapan dengan Rendi dan istrinya. Tak ada lagi rasa rendah diri akibat status janda yang ia miliki selama tiga tahun ini. Meski beberapa teman yang menyapanya malam ini, tak henti menanyakan tentang dirinya, statusnya, atau bagaimana kehidupannya kini. Sahiya, hanya menjawab dengan kalimat diplomatis dan tersenyum seakan semua hal yang ia lalui tidaklah merubah kebahagiaannya.

"Aku percaya kalau kamu memang sudah berubah. Sahiya yang sempurna dan penuh percaya diri, telah kembali." Stella yang kagum dengan sikap anggun dan kharisma Sahiya, menepuk tangan pelan dan memuji sahabatnya. "Padahal aku tau kalau selama ini, kamu berjuang untuk bertahan hidup tanpa bantuan apapun dari mantan suamimu."

"Aku tidak ingin orang-orang tahu tentang kompensasi yang seharusnya Rendi beri untukku. Jadi, bantu aku dengan menyimpan rahasia ini. Berpisah dengan dia, sudah cukup untukku. Aku tidak berhak menerima lebih dari itu."

Stella menggeleng tak habis pikir. "Kamu aneh. Padahal, kamu yang banyak berkorban demi Rendi."

"Begitupun keluarga Rendi yang banyak berkorban demi aku," sanggah Sahiya lembut. "Aku lega mendapati bahwa aku baik-baik saja dengan statusku saat ini. Aku lega melihat Rendi bahagia dengan istrinya sekarang. Aku senang bisa menjawab setiap pertanyaan orang tentang hidupku paska Rendi menceraikanku."

"Dan kamu tetap tersenyum manis menyapa setiap orang di acara ini. Aku lega melihat sahabatku benar-benar kembali." Stella memeluk Sahiya sesaat lalu mengajak wanita itu mengambil makan malam di meja prasmanan.

"Ngomong-ngomong, apa setiap acara reuni selalu seramai ini?" tanya Sahiya seraya memilah menu yang akan dia tuang dalam piringnya.

"Ini yang paling ramai. Mungkin karena reuni akbar," jawab Stella yang fokus menuang sup dalam mangkuk kecil. "Guru-guru dan staff sekolah juga hadir malam ini," tambahnya lagi seraya mengambil sepotong rollade sapi.

"Guru?" tanya Sahiya terperanjat.

Mendengar suara sahabatnya yang naik beberapa oktaf, Stella menoleh dengan kening berkerut."Ya. Namanya juga reuni akbar. Bukan reuni angkatan. Kenapa?" Wajah Stella tampak curiga mendapati Sahiya yang seketika pias.

"Tidak," sanggah Sahiya seraya menggeleng kepala dan melengos menuju satu kursi yang tersedia. Ia duduk dengan banyak pikiran yang tiba-tiba melintas. Apakah ... pria itu hadir malam ini? Bagaimana kabarnya paska perpisahan mereka? Apakah ... pria itu masih memiliki rasa padanya? Minimal, mengingatnya?

Sahiya menggelengkan kepalanya lagi. Ia tak boleh mengingat hal pahit yang membuat senyumnya hilang. Ia adalah wanita tegar yang kembali menghadapi dunia. Lebih baik sekarang makan dan kembali bercengkrama bersama teman lama. Jangan ingat lagi rasa itu. Jangan hadirkan lagi rindu itu. Jangan—

"Pak Adam?"

--Jangan sebut nama itu! Umpat Sahiya dalam hati seraya melirik ketus pada sahabat di sebelahnya. Namun tatapan ketus itu mendadak berubah menjadi keterkejutan saat seorang pria tersenyum pada Stella.

"Bapak apa kabar? Dengar-dengar baru balik ke Indonesia, ya?" Stella menyambut pria yang duduk di sebelahnya. Mengabaikan Sahiya yang mendadak pucat dan kaku seperti tak bernyawa.

"Iya. Saya baru kembali dua bulan lalu. Kini, mengajar di satu universitas."

"Keren," puji Stella dengan decak kagum. "Berarti, sudah tidak seperti dulu? Mengajar di kampus dan sekolah kita?"

Pria itu mengangguk. "Saya fokus pada penelitian dan kegiatan mengajar di Universitas. Sudah tidak sempat lagi mengajar di sekolah kita, dulu."

Lalu Stella dan guru mereka, berbincang ringan tanpa menatap Sahiya apalagi menyapanya. Barang sedetik pun.

Sahiya menunduk dan melanjutkan makan malamnya. Ia fokus menandaskan apa yang ada di piring meski rasanya, menelan saja sulit. Ia pikir, bertemu Rendi dan menghadapi rentetan pertanyaan dari teman-temannya, bukanlah hal sulit untuk dihadapi. Ia membuktikan itu dan berhasil.

Namun sahiya luput pada satu hal. Bahwa ternyata, rentang waktu yang memisahkan ia dengan cinta pertamanya, tak menghapus satu rasa yang lama ia pendam. Karena nyatanya, saat ini matanya berkaca mendengar suara bariton tegas yang berbincang dengan Stella. Sialnya, ternyata rasa itu masih ada dan kini rindu itu mencuat. Membuatnya ingin menyapa dan jika boleh, ia ingin memeluk sosok yang dulu ia panggil "Kak," tanpa sepengetahuan teman-temannya.

"Daddy!"

Sahiya menoleh dan wajahnya semakin pias mendapati gadis kecil menghampiri guru Bahasa Inggrisnya dulu. Gadis itu cantik. Rambutnya lurus terurai. Berwarna hitam dengan kulit putih khas campuran ras kaukasia. Mungkinkah—

"Ini anak Bapak?" Suara Stella mewakili isi hati Sahiya.

"Iya," jawab pria itu lembut sambil membalas pelukan anaknya. "Namanya Nuna. Belum lancar Bahasa Indonesia. Maklum, kami baru dua bulan tinggal di sini."

"Istri Bapak?"

"Dia tidak hadir." Senyum dan sorot mata pria itu, entah mengapa membuat Stella seketika sungkan melanjutkan topik tentang kehidupan pribadi guru SMAnya. "Nuna tampaknya lelah. Saya duluan pulang," pamitnya seraya menggendong gadis kecil itu.

Stella mengangguk dan pria itu berjalan menjauh.

Tanpa menatap Sahiya sedikitpun. Tanpa menyapa dirinya yang pernah hadir dalam hidup pria itu.

Satu kenyataan yang harus Sahiya hadapi, tanpa sempat ia persiapkan hati. Bahwa pria yang ia cintai, ternyara tak sedikitpun simpati padanya kini.

Rentang waktu yang memisahkan mereka ... nyatanya merubah segalanya. Terkecuali, cinta wanita itu pada pria yang pertama kali mengisi hatinya.

****

Holla man teman ... ramaikan lapak ekeh yang ini yess!! Vote dan komen dipersilahkan membahana hehehhee

Yang kepo sama cerita penulis projek cinta lainnya, sila mampir ke work dibawah ini

1. @gleoriud - Badai
2. @Mamak_Muda - Embun
3. @henzsadewa - Turun Ranjang
4. @RheaSadewa -  My Upik Babu
5. @Alice_Gio - Dikejar Om-Om
6. @YunOliviaZahra - Bukan Salah Cinta
7. @MelianaMell - Aisyah's Real Romance
8. @hapsari1989 - Rentang Waktu
9. @WahyuHartikasari — Bukan Simpanan
10. @sitihawa95-  Yumi Udah Gede om!
11. @MbakTeya - Emergency love
12. @deanakhmad - Short Escape

LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top