4 | Sebuah Tawaran
Bimbang. Renjun tampaknya tengah berada dalam pilihan dilematis kini. Di satu sisi ia ingin membantu sosok itu. Namun di sisi lain, ancaman Jeno kembali berdengung di telinganya.
Kurasa ini tidak akan mengundang perhatian orang lain, pikir Renjun. Ia menatap seragam olahraga di tangannya sebelum melempar pandang ke arah kiri, tepat di mana sosok yang ia kenal sebagai teman sekelasnya itu berdiri mematung.
"Kenapa?" Renjun bertanya, kendati ia sudah tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Tadi pagi, saat ia hendak menyimpan seragam miliknya, seseorang sengaja menggunting seragam milik anak laki-laki berwajah imut itu.
"Haechan melakukannya lagi." Chenle. Anak laki-laki itu kemudian membentangkan seragamnya di hadapan Renjun. "Aku akan berakhir hari ini juga," keluhnya sedih. Robek parah di bagian depan seragam itu jelas tidak bisa ditutupi.
"Kau bisa memakai seragamku." Tak tahan melihat raut kelam di balik wajah Chenle, Renjun lantas menghadapkan seragam miliknya.
"Tapi, bagaimana denganmu? Guru Ahn bisa saja menghukummu." Chenle bertanya ragu.
Renjun bukan tidak tahu bagaimana kejamnya Guru Ahn. Justru karena ia sudah tahu, ia tidak ingin Chenle dihukum. Lagi pula, barangkali saja alasan sebagai siswa baru bisa membuatnya bebas dari hukuman.
"Yang penting kan aku dan dirimu tidak berakhir hari ini."
Nyatanya, tidak seperti itu. Alasan sebagai siswa baru tak lantas diterima begitu saja oleh Guru Ahn. Pasalnya, Renjun sudah dua minggu lebih menjadi bagian dari Hamyung. Alhasil, tentu saja guru olahraga se-killer zombie dalam film Train to Busan itu menjatuhi vonis hukuman mengelilingi lapangan dua puluh kali putaran.
Renjun tahu keberuntungan dalam hidupnya tak selalu bagus. Terlebih ketika tiba-tiba saja Chenle menghampirinya dan ...
"Renjun-ah, maaf. Gara-gara kau meminjamkan seragammu, kau mendapat hukuman seperti ini."
... mengatakan hal itu tepat di depan beberapa teman-teman sekelasnya yang memilih untuk menghabiskan sisa jam istirahat olahraga di kelas. Sialnya, Jeno dan juga kedua temannya—Mark dan Jaemin—tengah berada di dalam kelas juga.
Renjun yang kala itu baru masuk kelas setelah menyelesaikan hukuman dan mendudukkan dirinya, sesaat lupa caranya bernapas. Pasalnya, kini semua mata di ruangan bernuansa putih itu tengah menatapnya. Dan, lagi-lagi ia ingat dengan ancaman Jeno. Ia tak boleh melakukan apa pun yang bisa mengundang perhatian orang-orang.
"Ah, iya." Jawaban dan senyuman Renjun sama-sama singkatnya. Sekilas matanya menatap Jeno yang tetap tenang di bangkunya. Tampak tak peduli, akan tetapi jelas saja Renjun tahu bagaimana Jeno. Laki-laki itu tidak akan menyerangnya di sekolah. Hanya saja, di rumah nanti ia pasti akan habis tak bersisa.
Kepala Renjun terasa berat setelah menyelesaikan hukuman tadi sehingga ia tidak bisa berkonsentrasi selama pelajaran terakhir berlangsung. Materi trigonometri bahkan menguap begitu saja. Demi Tuhan, rasa-rasanya ada bom waktu yang ditanam di kepalanya. Hanya tinggal menunggu waktu saja bom itu meledak. Sakit sekali.
"Huang Renjun!"
Renjun baru saja bangkit--dengan tertatih-- dari posisinya saat kedua orang menghampirinya. Mark dan Jaemin. Sebentar ia melirik ke arah Jeno yang tampak tak bergeming sama sekali. Anak-anak yang lain tampaknya sudah membubarkan diri dan menyisakan keempat siswa laki-laki itu di sana.
"Kau sungguh memberikan seragam olahragamu kepada Chenle?" Jaemin bertanya. Sekadar basa-basi guna memulai pembicaraan.
"Hanya meminjamkannya saja." Sungguh! Renjun merasa tak nyaman berbincang dengan kedua teman akrab Jeno itu.
"Ya, maksudku begitu. Tapi, kau sungguh berani. Kurasa jika Haechan tahu itu seragam milikmu, tak hanya Chenle yang kena, tapi kau juga. Beruntung Haechan belum tahu kau membantu Chenle hari ini." Mark menimpali.
"Maksudnya?" Renjun menaikkan sebelah alisnya. Kepalanya sedang pusing dan ia tidak menangkap dengan baik maksud Mark.
"Kau mungkin akan di-bully Haechan juga." Jaemin yang menjawab.
Renjun terdiam. Mendadak tubuhnya lemas dan ia kembali mendudukkan dirinya. Selain karena memang kepalanya berkali-kali lipat lebih nyeri, membayangkan betapa sadisnya Haechan saja sudah membuatnya cemas dan takut.
"Tapi, kau tenang saja." Mark mendaratkan tepukan di bahunya. "Haechan mungkin tidak akan berani mem-bully-mu seandainya kau mau bergabung dengan kami."
Mata dengan garis tipis itu kian menyatu, Renjun semakin tak paham.
"Jadi, Renjun-ah, kemarin kami sempat mendengarmu bernyanyi. Kami menyukai suaramu. Dan kami ingin kau bergabung ke dalam band kami sebagai vokalis. Bagaimana?" Melihat raut tak paham Renjun, Mark segera memberi penjelasan lebih detail lagi.
Ah, Renjun paham sekarang. Sejemang ia biarkan otaknya berpikir, selagi tangannya sibuk mengurut pelipis guna menghilangkan pusing. Renjun sebenarnya tergugah. Bukan lantaran ia ingin berlindung dari Haechan, tapi menjadi seorang penyanyi adalah impiannya selama ini. Hanya saja ...
"Aku duluan!"
... suara decitan kursi yang beradu dengan lantai menyadarkan Renjun kalau ia tidak berhak untuk itu. Terlebih kala ingat Jeno, orang yang saat ini melangkah tergesa keluar kelas, adalah bagian penting dari kedua orang di hadapannya saat ini.
"Aku tidak bisa. Maaf."
Bandung, 0,7 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top