3 | Harus Lebih Kuat

Pandangan Jeno seketika beralih ke arah pintu masuk begitu teriakan itu berdengung di telinga. Lee Seulgi dengan kemarahan yang melumuri seluruh bola matanya menatap runcing si Adik.

"Kau tak berhak mengatakan hal sekasar itu kepada Renjun, Lee Jeno!"

Jeno berdecak seraya memutar bola mata malas. Agak kecewa begitu kakak perempuannya itu membela orang lain. Meski kerap berdebat, tetapi Seulgi tidak pernah berkata sesinis ini terhadapnya.

Kembali Jeno melirik ke arah Renjun. Tatapan antipati ia tuduhkan. "Wah, kau benar-benar membuat semua orang di rumah ini berubah menjadi mengerikan, Huang Renjun!" Beberapa sekon setelah mengatakan kalimat menusuk itu, Jeno segera berlalu pergi. Mengibas kasar tangan Seulgi yang hendak meraihnya begitu melewati pintu.

Embusan kasar napas Seulgi mengudara. Sekilas ia menatap punggung lebar Jeno sebelum beralih menatap Renjun yang masih tertunduk lesu di tempatnya. Laki-laki itu pasti begitu terluka.

"Renjun-ah, jangan pikirkan perkataan Jeno barusan ya?" Seraya mendudukkan diri di samping Renjun, Seulgi memulai pembicaraan guna menghilangkan seluruh aura gelap yang sempat tercipta. Diusapnya punggung Jeno dengan lembut.

Renjun menoleh. "Tidak apa-apa." Senyum tipis ia sematkan di balik bibir pucatnya.

"Aku dan Ayah sangat senang kau tinggal di sini. Jadi, jangan pikirkan hal lain. Mengerti?"

Melihat ketulusan di balik mata indah Seulgi, membuat anggukan semangat refleks Renjun berikan sebagai jawaban.

Pagi ini, Jeno tak menghabiskan sarapannya lantaran merasa muak dengan suasana meja makan yang beberapa hari ini memang dilingkupi atmosfer negatif. Ibunya tak ikut sarapan dengan alasan banyak pekerjaan. Sementara yang membuat nafsu makan Jeno mendadak hilang adalah bagaimana cara Lee Jinwoo dan Seulgi memperlakukan Renjun dengan sangat manis.

Ck, mereka bahkan tak pernah memperlakukan dirinya seperti itu.

"Jadi, bagaimana?"

Tepukan mendarat di bahunya tepat ketika ia berjalan melewati gerbang sekolah. Disusul oleh rangkulan supererat di lehernya. "Apanya yang bagaimana?" Lee Jeno berusaha melepaskan rangkulan Jaemin selagi matanya menatap ke arah Mark, si pemberi pertanyaan.

"Kau sudah memikirkannya dengan baik-baik, kan? Tentang murid baru di kelas kita, Huang Renjun."

Jeno mengibas tangan Jaemin dan mendelik tak suka. "Kenapa aku harus memikirkannya? Dia tak semenarik itu untuk kuingat dan kupikirkan." Walau pada kenyataannya, sejak semalam ia tidak bisa berhenti memikirkan sosok itu. Tentang apa cara yang tepat agar laki-laki itu bisa menghilang dari kehidupannya.

"Jeno-a, jika kau seperti ini terus, band kita tidak akan pernah terbentuk," jelas Mark yang langsung dihadiahi anggukan setuju oleh Jaemin.

"Malah kau tahu, betapa susahnya kita mendapat izin dari sekolah untuk ide ini. Tapi sampai sekarang, band kita tak jadi juga." Jaemin menimpali.

Jeno membisu. Semua terjadi lantaran ia memang terlalu angkuh, congkak, menganggap bahwa tak ada suara sesempurna permainan gitarnya. Dan tepat ketika ia menemukan suara yang mampu membuatnya terbius; Kenapa harus Renjun?

"Lee Jeno! Ayolah, kau-"

"Diamlah, Mark. Rasanya aku ingin menyumpal mulutmu dengan kaos kaki jika kau terus bicara."

"YA!" Mark mengumpat, selagi tangannya menjitak kepala Jaemin yang tengah menertawakannya.

"Aku akan memikirkannya nanti." Dengan langkah cepat, Jeno berjalan meninggalkan kedua temannya.

Baik Jeno maupun Jaemin sama-sama menghentikan langkah. Saling pandang untuk beberapa sekon. "Dia kenapa, sih?" Jaemin bertanya.

"Entahlah ..."

"Kau bisa tidak tak usah mencari perhatian?"

Renjun hanya bisa mengernyit kala itu. Cukup kaget juga lantaran hal itu terjadi dengan begitu mendadak. Ia baru saja hendak masuk ke dalam rumah saat seseorang tiba-tiba saja menarik tubuhnya dan memojokkannya di balik dinding. Lengan besar Jeno mengapit lehernya hingga ia merasa tercekik.

"Aku tidak merasa seperti itu." Tangan yang jauh lebih kecil itu berusaha menjauhkan lengan Jeno dari lehernya. Sulit.

"Cukup perhatian Ayah dan kakakku saja yang kau rebut. Jangan teman-temanku juga." Jeno semakin merapatkan tubuh Renjun di balik dinding sehingga laki-laki itu kini benar-benar tak bisa bergerak, juga bernapas.

Sungguh, selama di sekolah, kedua sahabatnya tak berhenti membicarakan seberapa bagusnya suara Renjun sehingga Jeno muak dan kesal. Terlebih keduanya terus-menerus membujuknya agar menjadikan Renjun bagian dari anggota band. Lantaran tak ingin reputasi dirinya jelek di mata siswa lain dan juga teman-temannya, alhasil Jeno hanya bisa menahan amarah yang meletup-letup dalam dada. Dan baru meledak ketika baik ia maupun Renjun sama-sama tiba di rumah.

"Aku bahkan tak kenal dengan teman-temanmu." Mata Renjun kini berkaca-kaca. Selain menahan sesak lantaran lehernya semakin tercekik, pun karena untuk ke sekian kalinya ia merasa harga dirinya jatuh begitu dalam.

Ah, sejak awal kau memang tak memiliki harga diri kan, Huang Renjun? Renjun membatin miris.

"Pokoknya jangan lakukan apa pun yang mengundang perhatian orang lain selama di sekolah. Kau mengerti?"

Cekikan di lehernya membuat Renjun mengangguk patuh. Selain ingin mengakhiri aksi Jeno, ia juga sudah mulai merasa kesulitan menghimpun udara.

Sebelum benar-benar meninggalkan tempatnya, sengaja Jeno membenturkan tubuh Renjun dengan keras ke dinding, sehingga laki-laki asal China itu meringis menahan sakit. Sedetik setelah tubuh Jeno menghilang ditelan pintu kamarnya, air mata Renjun menetes sebelum akhirnya dengan gerakan cepat dihapusnya kembali.

"Kau harus kuat, Huang Renjun!" Kini Renjun hanya bisa menyemangati diri sendiri.

Bandung, 02 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top