9. Halang
𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙨𝙚𝙢𝙗𝙞𝙡𝙖𝙣 :
𝙈𝙖𝙖𝙛𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖𝙞𝙢𝙪, 𝙣𝙖𝙢𝙪𝙣 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙚𝙧𝙞 𝙪𝙡𝙪𝙧𝙖𝙣 𝙩𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙖𝙖𝙩 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙩𝙚𝙧𝙥𝙪𝙧𝙪𝙠
.
.
.
ーR E N J A H W A N Aー
Aku menaikkan sebelah alisku begitu suara decakan terdengar dari sebelah kiri. Yasmin menekuk alisnya. Kerutannya sampai membentuk parit-parit.
"Kenapa?"
Ia langsung menyodorkan ponselnya ke arahku, yang mempertontonkan riwayat chat-nya dengan Syailendra, si wakil ketua OSIS. Syailendra menyuruh Yasmin untuk segera ke ruang OSIS. Katanya, mau membahas tentang pasangan dancenya saat berduet di ulang tahun Horizon nanti.
Aku tahu mengapa kucing jadi-jadian ini sampai sebegini kesalnya. Karena delapan menit lagi, akan ada ujian matematika. Apalagi, Pak Christ tidak pernah menolerir keterlambatan atau pengajuan remedial. Definisi killer yang sesungguhnya, bukan?
"Makanya cepetan ijin. Biar cepet kelar dan bisa cepet balik," aku meyakinkan Yasmin.
Terlihat semburat kelabu dalam sorot matanya, sebelum akhirnya mengangguk pasrah.
ーR E N J A H W A N Aー
Langkahnya yang terburu-buru itu, mengakibatkan si empunya tak memerhatikan jalan.
Bruk!
"Shh! Yasmin! Lihat-lihat, dong!" Ketus gadis lain yang jatuh terduduk di lantai.
"Namanya juga cewek setengah cowok. Lari aja kaya nggak punya tata krama."
"Alay bener lo. Emang kapan lari pakai acara tata krama? Lomba balap karung di Keraton, mah, iya," Yasmin menyahut tak mau kalah.
"Cewek aneh. Pantes aja Kak Yunanー"
"Nggak usah bawa-bawa dia. Bukan urusan lo, ya!" rahang Yasmin mengeras, diiringi tatapan elangnya kepada dua sejoli di hadapannya ini, yang bagai surat dan perangko.
"Bilang aja nggak mauー"
"Gue punya urusan yang penting dari kalian. Awas lo pada!"
Shaqilla menahan tangan mantan sahabatnya itu. Walau pada akhirnya, tangan berurat Yasmin bisa lolos dari cekalannya. Ternyata, tak sampai di situ saja. Giliran Yasmin yang memelintir tangan lembut Shaqilla. Menurut gadis itu, kekuatan yang dikerahkannya belum seberapa. Tapi, rintihan Shaqilla seakan-akan menandakan bahwa ia sedang berada di ambang kematian. Hana pun sampai kalut, bingung ingin melakukan apa.
"Cemen bener. Makanya nggak usah cari masalah!"
"Yasmin!"
Ketiganya menoleh ke arah yang sama, secara bersamaan. Pupil Yasmin membesar. Cekalannya pada pergelangan tangan kanan Shaqilla terlepas.
"Ditungguin dari tadi. Malah malak orang di sini. Waktu gue nggak banyak. Kelas dua belas lebih sibuk dari pada dugaan lo," ucap Yunan dingin, sembari menahan kekesalannya pada gadis bermata kucing di hadapannya ini.
"Kak Yunan!"
"Diem. Gue nggak ada urusan sama lo," laki-laki itu melirik sinis Shaqilla yang memasang ekspresi kesakitan. Membuat si gadis sedikit terperanjat.
Belum sempat Yasmin mengeluarkan suara, laki-laki pemilik papan nama Yunan Segara Arjuna itu menarik pergelangan tangannya paksa. Menjauh dari kedua gadis lain yang sudah berkomat-kamit menyumpahi dirinya.
Belum genap langkah keduanya sampai di depan ruang OSIS, Yasmin menyentakkan kaitan keduanya.
"Gue bukan anak kecil," desisnya.
Yunan melirik mantan kekasihnya itu sekilas, "tapi ngelepasnya baru sekarang? Kalau kangen, tuh, nggak usah ditutup-tutupi, Neng."
"Halu," timpal Yasmin, bersamaan dengan pintu ruang OSIS yang terbuka.
Brak!
"Astaga!"
"Lama bener! Cogan lumutan, nih!" Sungut Syailendra dari bawah bingkai pintu.
Lalu, ketiganya memasuki ruang OSIS.
Setelah melirik jam tangan sekilas, Syailendra langsung menjelaskan maksudnya atas mengundang Yunan dan Yasmin ke sini.
"Hah?!"
Teriakan Yasmin membuat kedua laki-laki itu menutup daun telinga mereka spontan.
"Nggak usah teriak-teriak bisa nggak, sih? Maung bener, dah," Syailendra mengorek-orek telinga kanan dan kirinya bergantian.
Sedangkan Yunan hanya menggeleng-geleng pelan melihat gelagat Yasmin. Padahal, pikirannya sibuk memutar kenangan-kenangan kecil yang sempat tercipta di antara mereka berdua. Terlebih, memori saat gadis itu selalu berteriak terkejut. Rasa-rasanya, seperti kopian dari teriakan yang baru saja ia dengar. Tidak berubah sama sekali.
"Emang anak kelas dua belas boleh ikut tampil? 'Kan difokusin buat ujian!"
"Kalau nggak boleh tampil, gue nggak akan jadiin Kak Yunan pair-nya elo, goblok," timpal Syailendra, berusaha untuk membiasakan diri dengan kepribadian Yasmin yang tidak kenal kata "rem" ini.
"Nggak usah sok keberatan, Min," celetuk Yunan yang sudah bersandar pada white board sepanjang tiga meter di dinding utara ruangan tersebut.
Niat hati ingin menjahili Yasmin. Malah lengan kirinya yang menjadi korban lemparan penghapus papan tulis dari macan betina Horiz tersebut.
"Edan! Santai napa, Neng?!" Satu-satunya anak kelas dua belas di ruangan itu langsung mengusap lengan kirinya.
"Kalian ini sok-sok hate-love. Gue comblangin lagi baru tahu rasa," celetuk si wakil ketua OSIS, setelah jengah memerhatikan keduanya.
ーR E N J A H W A N Aー
Lelaki dengan darah Australia itu merebahkan diri pada kasur di tengah-tengah ruangan. Memejamkan netranya sembari menyetel musik keluaran terakhir dari The Beatles.
Pikirannya melayang pada saat terakhir kali mereka berempat bisa membolos bersama seperti ini. Dengan ruangan kecilーberukuran 3 × 4 meter yang dipermak mereka sedemikian rupaーdi pojok rooftop, sebagai markas utamanya.
"Bian, liquid," pinta salah satu di antaranya yang tengah duduk santai di sofa paling ujung ruangan tersebut.
Lelaki Australia itu merogoh saku celananya. Melemparnya ke sumber suara tanpa membuka kelopak matanya dahulu.
"Jingan. Sakit, cuk!" Desis Javas sembari memegangi perutnya. Korban dari lemparan asal liquid Fabian.
"Sama-sama," sindir si pemilik benda kecil itu.
Javas hanya menggedikkan kedua bahunya. Lantas terfokus pada vape dan liquid pemberian sahabatnya ini.
"Go, apa kabar babu lo?"
Pertanyaan Stevan sukses membuyarkan mimpi indah Hugoーwalau sebenarnya masih di ambang kesadaran. Putra tunggal CEO PT. Adibara itu berdecak. Kesal karena waktu istirahatnya diganggu. Stevan harusnya bersyukur, karena Hugo menganggapnya sahabat. Kalau tidak, mungkin ia sudah babak belur di tempat.
"Babu yang mana?"
"Sial! Udah kaya kolektor aja lo," Fabian terkekeh pelan mendengar pertanyaan Huho. Memang fakta, tapi menggelikan baginya.
"Ngaca. Justru lo yang awal-awal punya babu paling banyak," sela Stevan.
Javas memutuskan untuk memejamkan matanya saja. Lebih memilih mendengar obrolan random ketiga sahabatnya ini, sembari sesekali menyesap vape dengan rasa bubble gum-nya itu.
Fabian berdeham, mengiyakan penuturan Stevan. Agar cepat selesai, niatnya.
"Di kantor, gue jarang ngelihat, tuh, anak. Berani-beraninya dia ngehindarin gue terus," Hugo mencari posisi ternyaman di samping kiri Fabian. Menggunakan kedua tangannya sebagai bantalan.
"Secemen itu, ya, kalau lagi nggak sama Javier dan antek-anteknya?" Timpalnya. Terkekeh pelan.
"Tapi jangan remehin kekeluargaan mereka, Go. Gue pernah denger, waktu Jude sakit hampir seminggu, Javier, Raga, sama Haidar juga kompakan sakit. Nggak tahu, deh, sakit beneran apa nyakit."
"Baru gitu aja. Emang menurut lo kita ini nggak kompak? Sampai ngebela-belain permak gudang sempit ini buat jadi hunian di Horiz?" Pertanyaan Fabian sukses membuat Stevan meringis. Bingung mau menjawab dengan jawaban apa.
"Go, gue bingung. Sebenernya 'kan lo bisa mampusin Raga kapan aja. Pakai santet aja bisa kali."
"Jatah gue mampusin dia itu di kantor. Gantiin bokap gue. Makanya gue kesel kenapa dari kemarin nggak ketemu sama, tuh, kecebong."
Hugo tidak ragu untuk mengatakan secara eksplisit, bahwa Ayahnya juga sering menyiksa Raga. Karena ketiga sahabatnya sudah tahu sejak lama. Saat Hugo masih memiliki hati nurani dan selalu melindungi Raga dari amukan Chairul di kantor.
"Makanya mampusin di sekolah, Go! 'Kan pasti HC di kubu lo semua," Gerutu Fabian, yang setengahnya lagi berupa ide ekstrim yang ditujukan untuk ketua OSIS sekaligus ketua Horiz Children itu.
Hugo masih memejamkan mata. Enggan membiarkan sinar mentari yang menelusup dari jendela ruangan itu untuk manyapa retinanya. Sampai satu seringaian tipis terukir di bibirnya.
"Maksud lo, mengkhianati bagian dari HC sendiri?"
"Hem."
Hugo mengangkat bahunya. Beranjak dari kasur yang terbilang lumayan luas itu.
"Ke mana?" Tanya Javas. Yang akhirnya, atensinya tersita oleh tingkah sahabatnya ini.
"Minta bantuan," jawab Hugo singkat, diiringi langkah lebarnya yang menuju satu-satunya pintu di ruangan itu.
"Kenapa nggak bilang di grup pengurus inti HC aja?"
Sebelum benar-benar mendorong knop pintu, Hugo memutar kepalanya sembilan puluh derajat. Atensi ketiga sahabatnya itu terfokus pada dirinya.
"Bukan dari HC."
ーR E N J A H W A N Aー
Ini gila. Yasmin terlambat delapan menit, mengaku kepadaku belum mempersiapkan materi, dan sekarang, hasil ulangannya 95? Lawak sekali! Yasmin beruntung karena ia kembali ke kelas saat Pak Christ pergi ke toilet.
"Jangan pundung dong, An. Lo tadi minta contekan juga gue bagi, 'kaaaann?"
Aku merotasikan kedua bola mataku malas. Iya, aku akui matematikaku sangat buruk di antara mata pelajaran yang lain. Bahkan jika disuruh memilih, aku lebih memihak sejarah dari pada angka-angka ini.
"Hm. Makasih," jawabku singkat seraya memercepat langkahku.
Aku memang menyontek Yasmin. Tapi sebatas soal pilihan ganda. Aku tidak bisa membaca tulisan tangan Yasmin di bagian uraian. Sangat ribet dan banyak angka-angka berhimpun di sana. Mengingatnya saja, sudah membuat kepalaku pening. Alhasil, aku harus merasa cukup memeroleh angka 65 dengan KKM 85. Duh, nasib.
"Besok gue beliin Silver Queen sama ultramilk plain yang low fat, deh!"
"Mantap! Semangat latihannya, Mbak Yasmin sayang!"
"Tai! Giliran makanan aja semangat bener!"
"Sshhhhh! Itu Mas Yunannya udah nungguin. Semangat CLBK!"
Yasmin langsung menoleh ke arah yang dirujuk telunjukku. Terlihat Kak Yunan bersandar pada pintu ruang menari, dengan head phone biru yang bertengger di lehernya. Ia bersedekap. Seolah menyalurkan kebosanannya di sana.
"Gue takut," taruni bermata kucing itu mengalihkan atensi dari mantan kekasihnya. Menunduk.
Sejenak, kekehanku surut. Menatap sayu sahabatku ini.
"Yas. Ketakutan kamu berasal dari sini," telunjukku mengarah pada pelipisku.
"Kamu belum sepenuhnya ngelupain masa lalu kalian. Tapi kalau terus-terus mencemaskan yang lalu, apa untungnya, sih? Kalian udah diberi kepercayaan untuk jadi pair. Jangan rusak kepercayaan itu karena hipotesis kelabumu! Ke mana, sih, Mbak Yasmin yang beringas dan selalu berdiri tegap?"
"Kasian Kak Yunan udah nunggu kamu lama. Dia juga ada les 'kan habis ini?"
Yasmin mengangguk, "thanks. You know me so well," lantas memerlebar jarak kami. Menuju ruang dance yang terpaut lima belas meter dari sini.
Ah, aku lupa. Pak Nanta tidak bisa menjemputku hari ini. Beliau menemani anaknya kontrol bulanan di rumah sakit. Duh. Aku menyesal karena meng-uninstall aplikasi ojek online. Andai punya ojol pribadi.
"Renjana!"
Anak bertas merah itu berbalik. Tampak sedikit keterkejutan dari wajahnya, sebelum berganti dengan raut datar.
Aku mengikis jarak kami cepat-cepat.
"Jangan lari-lari lagi," tegurnya dengan nada khawatir yang terselip, kala aku sampai di hadapanny.
Renjana merendahkan badannya untuk bisa melihatku. Membuatku spontan menegapkan badan. Ini menyebalkan. Renjana makin tampan saja. Buruk untuk kesehatan jantungku, tahu!
"Tanya, dong! Ada apa, Anja?" Aku mengerucutkan bibirku kesal.
Adam di hadapanku ini mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum meniruku, "ada apa, Anja?"
"Boleh numpang, nggak? Sopirku nggak bisa jemput, nih," jelasku jujur.
Renjana tak langsung menjawab. Ia nampak memproses sesuatu. Pikirannya tengah memerkirakan kapan ia akan sampai di Adibara, jika mengantarku dahulu. Meski pun takut terlambat dan mendapat siksaan lagi dari Chairul, nyatanya, anak ini lebih khawatir kalau gadis Jogjanya sampai kenapa-kenapa jika tidak ia antar.
"Tunggu di gerbang depan. Aku mutar dulu."
Aku mengangguk mantap, sembari mengacungkan kedua ibu jariku, "makasih banget, Rahwana!"
Yang terakhir kali kulihat, anak ini mengangguk kecil, sebelum aku berjalan berbalik arah menuju gerbang utama.
"Anja!"
Langkahku berhenti. Langsung berbalik. Terlihat Renjana berlari ke arahku dengan ransel merah marunnya yang naik turun di belakang. Aku baru sadar. Kalau jika dibandingkan dengan sahabat-sahabatnya, tubuh Renjana lebih kecil. Aku tersenyum gemas dibuatnya.
"Kenapa?"
"Boleh minta tolong? Hilangkan kebiasaan kamu memanggil beliau dengan sopir. Anggap sebagai keluarga sendiri. Atau bahkan, Ayah kedua. Bisa?"
Duh ... Renjana. Tuhan, pasti tentram sekali kalau aku bisa membangun rumah tangga dengan Renjana. Eh, berhenti halunya, Anja!
"O-oke!" Balasku cepat dan langsung meninggalkan Renjana di lorong sepi itu.
Renjana, kalau jadi manusia jangan terlalu soft, dong! Setiap kali berada di dekatmu, dengan kurang ajarnya pikiranku mulai merancang masa depan bersamamu. Ugh! Menyebalkan!
ーR E N J A H W A N Aー
Kedua tangan mungilnya mengeluarkan CBR150R hitam dari deretan motor-motor besar di kanan dan kiri. Lantas memasang helm fullface dengan terburu-buru. Ia harus sampai ke gerbang depan secepat mungkin. Di samping tak ingin memancing amarah Chairul karena terlambat, ia juga tak ingin membuat Sintanya terlalu lama menunggu.
CBR melaju, melewati jalan konblok di tepi lapangan.
Tin!
Ia menundukkan kepalanya sekilas. Bermaksud menyapa satpam yang sedang berjaga di pos belakang.
"Mari, Nak!" Sumringah merekah dari wajah yang mulai dipenuhi keriput itu.
Raga berbelok ke kanan. Melewati gang kecil, yang sekaligus sebagai pembatas wilayah Horiz dengan Karba.
Ia memacu kecepatan normal karena ini gang sempit. Tidak ada tanda-tanda anak Karba sedang nongkrong di warung pojokan, di ujung gang. Sampai ia merasakan suatu pukulan keras menghantam punggung kecilnya. Motornya goyah. Belum sempat mendapatkan keseimbangan kembali, seorang laki-laki lain menendang CBR itu dari samping. CBR itu oleng. Menimpa si pemilik bertubuh kecil di bawahnya.
"Shhh!"
Anak itu merintih begitu merasakan betisnya terkena suatu benda panas. Dalam sekejap, ia menyadari kalau betisnya sudah melepuh.
"Letoy banget jadi cowok!" Ejek salah satu dari dua laki-laki berseragam khas SMK Karya Bhakti itu.
"Tulangnya masih lunak kali," timpal yang lain.
Raga mencoba mengangkat CBR. Tapi, kedua anal Karba itu tak tinggal diam. Mereka kompak menginjak motor itu agar semakin menjepit kaki Raga di bawah sana.
"Akhh! T-tolong! Shh!" rintihnya semakin tak karuan.
Meskipun knalpot panas itu tak lagi menyentuh betisnya, di bawah sana, kedua kakinya meronta kesakitan. Meminta untuk dibebaskan dari himpitan antara badan motor dengan jalanan berbatu itu.
"Lo cowok apa cewek, dah? Bisa bangun sendiri 'kan? Sok atuh!"
Kekehan meremehkan bercampur mengejek itu, rupanya tak tertangkap indera pendengaran Raga. Saat ini, ia hanya bisa merasakan sakit. Betisnya seakan tersobek. Teramat perih.
"T-tolong ..."
"Ck! Nggak asik amat!"
Anak itu merasakan kakinya tak lagi terjepit. Tapi, ia tak bisa menyembunyikan rintihan kecilnya kala merasa kulit kakinya tergores. Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa menerjang kakinya, ia menoleh ke si pelaku.
Ternyata motornya sudah diangkat oleh laki-laki yang paling tinggi. Penampilannya sangat urakan. Ditambah dengan kalung berbandul kepala tengkorak yang keluar dari kaos hitamnya.
Belum sempat ia membaca papan nama mereka, sebuah tonjokan menghantam perutnya keras.
BUGH!
Kepalanya tertoleh ke samping. Tak lama kemudian, ia bisa merasakan satu per satu tangannya diikat dengan tali yang dikaitkan di dua batang pohon.
Di gang kecil itu, hanya ada beberapa pohon rambutan yang tumbuh berderet. Letaknya di sisi kanan jalan, kalau menempuh dari gerbang belakang Horiz. Berada di tengah-tengah antara pos satpam dengan warung di ujung gang, yang jaraknya kurang lebih 500 meter.
BUGH! BUGH!!
"Heh, bocil! Lawan, kek!" Celetuk lelaki berkalung tengkorak yang duduk di atas jok CBR milik Raga, sambil mengemut permen telapak kaki dengan santai.
DUAGH!
Tubuh anak itu melemas. Sejak dipaksa berdiri tadi, tungkainya sudah tidak kuat menahan badannya sendiri. Karena tiap kali ia memaksakan diri untuk berdiri tegap, semakin perih lepuhan di bawah sana.
BUGH!
Kepalanya tertoleh ke samping kanan. Rahangnya ngilu. Lidahnya tergigit sendiri.
"Lo tuli, sat?! Gue bilang lawan, ya, lawan!"
BUGH! BUGH! DUAGH!
"T-tolong!"
"Cukup," sebuah suara menghentikan kepalan tangan berurat yang akan diloloskan sekali lagi.
Adam berkalung tengkorak tersebut turun dari CBR. Berjalan tegap menghampiri si target yang sudah terkulai lemas. Bahkan, kedua telapak kakinya sudah tak menapak lagi. Kalau tali pramuka itu dilepas dari pohon, pastilah anak ini langsung terhuyung ke jalanan berbatu.
"Kok udahan? Nanggung, nih!"
"Kita cuma disuruh sampai babak belur. Bukan membunuh."
Temannya menghembuskan nafas kasar. Keinginan untuk melayangkan tinjuan andalannya, harus tertahan di sini.
"Hei, lihat saya," adam itu merendahkan badannya. Bermaksud menyetarakan tinggi si korban yang lunglai. Tapi, Raga menjauhkan kepalanya saat dagunya diangkat.
"Ya sudah kalau tidak mau. Tapi dengarkan saya, ya? Yang kita percayai, belum tentu pantas mendapat kepercayaan kita."
Penuturan lelaki itu tak sampai di gendang telinganya. Sekarang, semuanya terasa sangat temaram. Kelopaknya tertutup. Ia menulikan telinganya. Membiarkan kedua tangannya terikat pada dua batang pohon di samping kanan dan kiri sepagai tumpuan. Dengan tungkainya yang melemas, tak lagi menopang.
Walau pun begitu, pikirannya tak kosong. Ia sangat menyesal sekaligus khawatir. Ia tak ingin membuat Sintanya menunggu terlalu lama.
"Saya tahu kamu nggak akan memaafkan kami. Tapi saya yakin, kamu pasti lebih membenci siapa yang menyuruh kami."
"Jef, udah. Lama-lama di sini makin kebelet nonjok, nih!"
Adam berkaos hitam itu melirik sekilas temannya yang berkacak pinggang di samping kiri. Lalu mengalihkan pandangnya lagi pada anak yang berukuran lebih kecil dibandingnya ini. Sorot matanya berubah begitu menyadari beberapa bulir air menetes dari wajah anak itu.
"Hei, kamu menangis?"
"JEFFREY!"
"Shit. Buru cabut, njing!" Laki-laki bersurai coklat keperakan itu menarik lengan temannya paksa menuju motornya yang terparkir di sisi jalan yang satu.
RX-King Cobra itu melaju dengan kecepatan 100 KM/jam. Meninggalkan si target dengan kedua tangannya yang masih terikat.
Sebelum kesadaran anak itu benar-benar hilang, suara derap langkah kaki yang terburu-buru sempat mengisi gendang telinganya.
"Heh, jangan pingsan dulu! Ck! Jeffrey lagi, Jeffrey lagi!"
Lantas, semua inderanya seakan tertutup.
ーR E N J A H W A N Aー
Kelopaknya mengerjap beberapa kali. Netranya menyipit, memberi waktu retinanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk.
"Syukur udah sadar. Ganggu tidur, ya?"
Anak itu menoleh ke sumber suara. Dilihatnya seorang lelaki dengan almamater milik Karya Bakti. Di tangan kanannya, sebungkus es batu mulai mencair. Rupanya, laki-laki itu tengah mengobati luka sobekan di ujung bibir Raga. Luka dari Chairul saja belum sepenuhnya kering. Apalagi ditambah yang ini.
"Rumah lo di mana? Mau gue anterin. Tadi gue udah ngecek UKS Karba, tapi kunci etalasenya nggak ketemu-ketemu. Lo tahu, 'kan, kalau gue nggak bakal bisa masuk ke Horiz? Maaf nggak bisa bantu banyak."
Nada penuh kecemasan jelas terdengar dari penuturannya. Dalam hati yang sempat kembali was-was, Raga bersyukur karena masih ada anak Karba yang berbaik hati kepadanya.
Sebelum anak Karba itu kembali bersuara, Raga sudah lebih dulu menekan tombol hijau di ponselnya. Ia menoleh sekilas ke arah si pengemudi.
"Sebentar, ya, Kak?"
Anak Karba itu mengangguk.
"Tumben telfon? Ada apa, nih?"
"Rumah Kakak belum pindah, 'kan?"
"Belum. Siapa, sih, yang mau pindah dari hunian sebegini nyamannya? Kamu mau main, ya?"
Raga tersenyum kecil. Berdeham. "Mau nginep."
"Hemmm ... Berantem lagi, ya?"
"Nanti aja di rumah. Makasih banyak, Kak Teo."
"Sama-sama, adikku tercinta."
Senyum lega terpatri di sudut bibirnya. Panggilan ditupus sepihak.
"Maaf merepotkan, Kak."
"Sok tahu. Siapa yang kerepotan? Justru gue merasa bersalah karena sebagai mantan ketos Karba, gue nggak bisa mengendalikan si Jeffrey sama Mahen. Sorry, ya? Jadi ke mana, nih?"
"Baik sekali. Semoga selalu dilindungi Tuhan," rapal Raga dalam hati.
"Ke rumーeh, Kak? Motor saya di mana?"
"Udah gue titipin ke rumah temen. Tenang, dia bukan anak Karba. Jadi nggak akan dibonyokin. Kebetulan rumahnya di deket warung pojokan."
Raga mengangguk paham, "ke rumah Kakak saya saja. Langsung jalan nggak apa-apa. Nanti saya tunjukkan."
"Okay. By the way, jangan saya-sayaan. Baku banget. Gue-lo aja. Kita cuma beda setahun," sahut laki-laki itu sembari menancap gas. Membelokkan mobilnya ke kanan. Ke arah gerbang utama Horiz yang langsung dihadapkan dengan jalan raya.
Raga menatap bingung laki-laki yang tengah fokus menyetir itu.
"Dasi lo. Kelas sebelas, 'kan?" Anak Karba itu melihat kaca mobil sebelah kiri. Membuat kontak mata sekilas dengan Raga.
Anak itu mengangguk, "nama sa-gue Raga. Kakak siapa?"
"Gue ...." sengaja digantungkan. Karena jika tidak fokus, mobil laki-laki itu akan menyenggol motor yang terparkir sembarangan di kanan jalan.
"Tai bener yang punya," desisnya.
"Gue Marko. Panggil nama langsung juga boleh. Slow aja, slur," ucapnya enteng. Sembari tersenyum lebar.
Raga hanya mengangguk. Sudut bibirnya kembali berdenyut. Mati-matian anak itu menahan ringisan. Baginya, ini pertama kalinya ia bertemu dengan anak Karba sebaik dan seasyik Marko. Karena dari dulu, yang tertanam dalam benaknya dan seluruh anak HC, adalah semua anak Karba itu sama-sama urakan, biang masalah, beringas, dan bibit preman.
Dipertemukan dengan Marko, menjadi tamparan kerasnya. Karena Raga kembali diingatkan pada nilai kehidupan yang dulu ia pegang teguh : jangan menilai tiap individu dari golongannya. Jangan menilai buku dari kovernya.
Di samping itu, ia juga menebak-nebak. Kalau Marko adalah mantan ketos Karba, berarti ia kenal dengan Yunan?
TIN! TIINN!!
Kalau saja mereka tak memasang sealt-belt dengan benar, mungkin sekarang mereka sama-sama mengeluh sakit kepala. Marko mengerem mendadak.
"Bangsat! Tuh, cowok kaya emak-emak, dah! Bawaan aja ninja, tapi kelakuan nggak beda jauh sama Mpok Painah. Lampu send kanan tapi belok kiri," keningnya berkerut, menatap kesal ke arah motor ninja keluaran terbaru yang baru saja melesat tepat di depan mereka dengan tiba-tiba.
Raga mengikuti arah pandang Marko, sebelum mantan ketos itu kembali menginjak pedal gas. Netranya mengerjap beberapa kali. Ia ingin menurunkan kaca mobil, lalu memanggil-manggil gadis jelita yang duduk di jok belakang ninja itu.
Dari lubuk terdalamnya, ia ingin sekali meminta maaf, karena tak bisa menepati janjinya. Raga menyandarkan punggungnya. Kedua bahunya menurun. Hati kecilnya menculas, benar-benar merasa bersalah. Bahkan bibirnya sudah melengkung ke bawah. Di samping itu, ia juga cemburu. Siapakah gerangan yang mengganti posisinya sebagai ojek online pribadi gadis itu?
"Maaf, Sinta. Bukan maksud Rahwanamu ini untuk mengabaikanmu."
"Ngapain liatin belakang terus? Lo kenal deket sama Yoyo?"
Mendengar sebutan kakak kelasnya yang teramat dekat dengan Hugo itu, membuatnya cepat-cepat menoleh ke si penanya.
Honda Jazz S CVT itu berhenti tepat di belakang zebra cross lampu merah pertama.
Merasa ditatap, Marko menoleh sepenuhnya ke kiri. Menaikkan sebelah alisnya. Menatap bingung remaja yang menatap nanar dirinya. Seakan, asa hidupnya hampir putus.
"Kok kaget? Gue kira lo deket sama Yovan. Itu ninjanya Yovan, 'kan?"
𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...
"Gue merasa bersalah karena sebagai mantan ketos Karba, gue nggak bisa mengendalikan si Jeffrey sama Mahen."
a.n :
Tolong dijawab...
Setiap chapter RENJAHWANA itu nge feel, nggak, sih? Jawab sejujur-jujurnya yaa^^
Soalnya aku merasa kurang puas sama emosinya heuheu
Tysm atas segala bentuk apresiasinya♡♡♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top