6. Pupus

𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙚𝙣𝙖𝙢 :
𝙃𝙖𝙠𝙞𝙠𝙖𝙩 𝙋𝙧𝙞𝙗𝙖𝙙𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙏𝙖𝙠 𝙋𝙚𝙧𝙣𝙖𝙝 𝙇𝙪𝙥𝙪𝙩 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙇𝙪𝙠𝙖

.
.
.

ーR E N J A H W A N Aー

Yasmin menghembuskan nafas frustasi. Membuatku semakin tak enak hati. Sedari tadi, Yasmin mendengus sebal dengan kedua tangannya yang mengepal. Katanya, karena ia terlalu muak dengan sikap Hugo, juga Hana dan Shaqilla yang diam-diam bersekongkol menusukku dari belakang.

Simpati sekali, Yasmin ini. Tak salah aku mendekatinya dulu saat masa MPLS. Waktu itu, dia yang paling terlihat menonjol di antara anak-anak lain.

"Kemarin, lo jadinya pergi sama siapa?" Tanya kucing garong bertubuh manusia ini begitu Pak Christ keluar kelas, bersamaan dengan bunyi bel istirahat pertama.

Menunggu sampai kelas sepi, aku baru menjawab, "Renjana."

Yasmin menaikkan satu alisnya. "Siapa, tuh? Baru denger nama begituan."

"Nama yang bagus, tahu!" Aku memelototi Yasmin.

Yasmin memoutkan bibir tipisnya, "iya, iya. Siapa, sih? Kok gue baru denger? Perasaan, hampir satu angkatan kenal sama gue, deh."

Kurotasikan kedua bola mataku. Mau menjitak, tapi fakta. Siapa, sih, anak Horiz yang tidak kenal Yasmin Nurul Fadillah? Sudah easy going, dianugerai paras yang elok, cerdas, jago menari, atlet lari putri andalan Horizon, intinya multitalent.

"Raga."

"W-what?! Raー!"

"Diam kalau kamu masih mau hidup," desisku dengan telapak tangan yang masih membekap mulut Yasmin, yang kalau sekalinya teriak, burung-burung di tiang listrik pun akan terperanjat.

Setelah Yasmin mengangguk cepat, kujauhkan tanganku dari mulutnya.

"An," Yasmin menggaruk kepalanya.

Aku tak menyahut karena sedang mengunyah sayur bobor buatanku sendiri. Memangnya, mana sempat Mama menanak nasi? Bangun pagi dengan suara mobil yang meninggalkan garasi sudah jadi rutinitasku. Mama selalu disibukkan dengan bisnisnya yang sedang naik daun. Karena salah satu pesohor tanah air, diberitakan memesan kain khusus dari butik Mamaku.

"Kenapa lo nggak mutusin Hugo aja? Gedeg sendiri gue lama-lama."

"Habis ini, mungkin," gumamku, karena belum begitu yakin dengan keputusanku.

Menjalin hubungan satu tahun itu tidak mudah. Sebenarnya, aku juga masih berharap kalau Hugoku cepat kembali. Aku sangat rindu sosok jenakanya. Tapi, pengakuan Renjana kemarin, sangat membuatku syok.

"Anja, lo suka Raga."

Aku mendelik ke arah Yasmin. Kuedarkan pandangan ke penjuru kelas, berjaga-jaga kalau ada seorang teman yang mendengarnya.

"Tenang. Gue juga masih ngotak kalau ngomong beginian di tempat umum."

"Kenapa kamu bisa bilang kaya gitu?"

Yasmin mengambil ancang-ancang seakan ingin menerkamku. Komplit dengan death glare khasnya.

"Ya lo pikir sendiri aja, ya, An. Tiap kali gue sebut nama Raga, gelagat lo kikuk, kuping lo merah, lo nggak mau natap gue, dan sok-sok sibuk. Terus kemarin apa? Lo lupa PAP ke gue 'kan waktu udah sampai Gramed? Keasyikan sama Renjana lo itu, hm?"

Kutatap Yasmin yang bersedekap sembari menaik-turunkan alisnya. Tatapan kucing garong ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Ini lebih mirip dengan tatapannya saat mengerjakan ujian matematika. Serius setengah mampus.

"Nggak gitu, Yas."

"Ngeles. Jangan pikir gue nggak tahu juga, kalau sewaktu perdebatan lo sama Hugo di kantin kemarin, Raga langsung nyusul lo. Anja. Tatap gue."

Kalau sudah seperti ini, pura-pura mati pun tak mempan. Aku membalas tatapan Yasmin yang semakin ke sini semakin serius.

"Jawab jujur. Harus," ucapnya penuh penekanan.

"Lo suka Raga."

Kelopak mataku mengerjap beberapa kali. Rupanya, Yasmin masih setia mengawasi gelagatku. Pasti terlihat sekali kikuknya diriku.

"Dalam hitungan ke lima, kalau lo nggak respons, gue anggap jawaban iya."

Aku mendelik. "Eh? Nggak bisa gitu!"

"Satu."

"Yasmin! Curang!"

"Tiga."

"Stop! Nggak adil!"

"Lima."

"Nggak suka Ragaー!"

"Bohong!" sela Yasmin penuh penekanan. "Nggak usah ngeles lagi, deh, An."

Yasmin menyandarkan punggungnya ke belakang, kembali bersedekap dada. Tatapan mantapnya itu tidak beralih seinchi pun dariku. Aku melengkungkan bibir ke bawah. Seperti diadili saja rasanya.

"Yas," giliranku yang menatap manik Yasmin.

Sahabatku hanya menaikkan satu alisnya.

"Aku belum selesai ngomong tadi."

Anjani, kamu tahu betul jika apa yang akan kamu ucapkan ini salah. Karena statusmu masih menjadi pacar orang. Tapi, tidak bagus juga menyangkalnya terlalu lama. Aku menelan salivaku dengan berat. Ternyata, pengakuan itu sesulit ini, ya? Rasa-rasanya, aku adalah tersangka dengan Yasmin sebagai hakim agungnya.

"Aku nggak suka Raga. Tapi sukanya Renjana."

ーR E N J A H W A N Aー

Sebelum menuju parkiran motor kelas sebelas, laki-laki itu berjalan cepat menuju toilet.

Seragam yang sudah ia siapkan sejak semalam, buru-buru dikeluarkannya di bilik itu. Yang mulanya putih bersih tanpa noda dengan dasi kelas sebelas, sudah berganti dengan berwarna biru donker. Lantas, tangannya cekatan memakai jaket abu-abu untuk menutupinya. Taruna dengan papan nama Renjana Ragasuci Anggara itu juga sudah berganti celana jeans gelap.

Tangan kecilnya langsung memutar kenop pintu. Mendorongnya.

"Sore, Pangeran. Bareng gue aja, yuk, ke kantor Papinya!"

"Tumben. Biasanya ogah-ogahan walau pun udah dijemput body guard segala." Raga menatap Hugo dengan sorot yang tidak bisa diartikan.

"Kenapa? Nggak suka? Oh ... atau lo merasa rendah diri, ya? Lo merasa harga diri lo terinjak karena sahabat lo adalah anak dari bos lo?"

"Sejak kapan kita sahabatan?"

Brak!

Hugo meninju pintu yang terbuat dari kayu itu. Hanya berjarak beberapa sentimeter dengan wajah Raga.

Lelaki berbibir tebal itu tertohok.

Hugo menyeringai, "Maaf, Ga. Gue lupa. Kalau sahabat yang paling gue percayai, malah ngambil kepunyaan gue."

"Terserah. Pembelaan gue pun nggak akan mengubah pandangan lo," balas Raga sambil melangkah keluar, membuat Hugo mundur dua langkah.

Hugo memandang pintu toilet dengan tatapan berapi-api. Tangannya terkepal kencang. Membuat kuku-kukunya memutih.

"Oke. Ini terakhir kalinya gue bicara baik-baik sama lo. Selanjutnya, jangan harap perlindungan lagi dari gue."

ーR E N J A H W A N Aー

Diraihnya ember merah muda berukuran sedang, lalu mengisi tiga per empatnya dengan air kran. Tangan kanannya menyentuh perut yang terbalut seragam biru donker itu. Merasakan balutan sebuah perban. Bibirnya melengkung tipis. Mengingat bagaimana hawa yang dipujanya dengan sangat itu, telaten mengobati lukanya.

Pikirannya terbawa pada beberapa hari lalu, hari di mana lebam di perutnya ini ia peroleh. Pria itu terlihat sangat kelelahan. Kerutan di keningnya tak pernah pudar, dan kata-kata yang keluar, selalu menohok hatinya. Walau begitu, Raga paham dan memaklumi kalau Chairul bekerja terlalu keras. Walau tiap lukanya yang masih basah selalu meronta kesakitan kala sabetan itu dilayangkan pada tubuh ringkihnya tanpa ampun, ia tak berontak sekali pun.

Raga menahan semuanya sendirian. Anak itu tak menceritakannya pada Bundanya. Karena tak mau membuat Angela bersedih hati.

Raga, Angela, dan Jinan AbrahamーAyahnyaーdirekrut Chairul Wangsa untuk bekerja di perusahaannya. Ah, ralat. Bukan bekerja. Mereka terlibat sebuah perjanjian. Lebih tepatnya lagi, hutang budi kepada Chairul. Hutang budi yang memaksa.

Jinan diangkat Chairul menjadi asisten pribadi. Angela ditempatkan di bagian informasi. Sedangkan anak dari pasangan yang sudah berpisah itu, ditempatkan di bagian office boy.

Kata Chairul, "kalau satu keluarga menduduki jabatan yang setara, akan menjadi bahan gunjingan bagi satu kantor." Walau Raga tahu betul, itu hanyalah alibi.

Anak itu segera mematikan kran air. Ia gelagapan menyadari hampir seluruh ubin di toilet ini digenangi air. Dengan sigap, tangannya meraih pel karet. Didorongnya genangan air menuju lubang saluran di pojok toilet.

Cklek!

"Raga!"

Yang diserukan namanya, susah payah menelan saliva. Kedua pupilnya melebar. Raga lupa. Jika toilet yang ia bersihkan ini, berada tepat di samping ruangan Chairul.

"Berulah lagi kamu, hah?!"

Pria itu mengangkat dagunya angkuh. Melempar tatapan keji yang ia khususkan untuk anak ini.

"Kamu itu memang tidak becus atau cari perhatian? Apa kamu tidak bosan saya siksa terus?!"

Chairul meraih ember merah muda yang penuh dengan air tersebut. Kakinya melangkah mendekati remaja yang menundukkan kepalanya dengan pel yang ia cengkeram erat.

BYUURR!

Seakan tidak ingat akan dosa-dosanya, Chairul memandang remeh Raga yang sudah basah kuyup.

"Sudah baik hati saya lindungi Ayah kamu dari buronan polisi china yang gila itu! Malah bisanya menyusahkan saja! Dasar, keluarga biadab! Tidak Jinan, tidak Angela, tidak kamu, semuanya tidak berguna. Saya bisa mengasingkan kalian kalau saya mau. Tapi saya tetap mengurung kalian di sini, berjaga-jaga kalau kalian malah mengadukan saya dan jadi pengkhianat."

Raga menelan salivanya untuk yang kesekian kali. Sebutan itu, mengingatkannya pada cacian pedas Hugo.

"Mengapa diam? Meratapi kesalahan, ya?" Masih di posisinya, Chairul berkacak pinggang.

"Jauhi Anjani. Jangan coba-coba kamu khianati anak saya. Saya bahkan bisa berhenti memberi dana pada Angela untuk biaya sekolah kamu, kalau kamu lupa jasa saya."

Batin anak itu menjerit. Ia sangat butuh biaya sekolah.

"Saya juga bisa menyiksa Angela, kalau kamu berontak. Ingat, saya bisa lakukan apa pun untuk menyingkirkan anak haram seperti kamu."

Anak itu menangis, dalam lubuk terdalamnya. Ia kembali menundukkan kepalanya.

"Jangan harap saya bisa mengampuni kamu. Dosa kamu lebih besar daripada saya. Kamu membunuh orang yang tidak bersalah. Kamu membunuh Widya!"

Tak!

Gagang pel yang dicengkeramnya kuat sedari tadi itu terjatuh. Rasa menyakitkan ini kembali menghantuinya. Sekelebat kenangan yang tak diminta, kembali menghinggapi roda memorinya.

Saat itu, usianya baru lima tahun.

PLAKK!

"Harusnya kamu yang tertabrak bis! Bukan Widya!"

"Ayah ... sakit ...."

PLAK!

"Jangan menangis kecuali kalau kamu bisa menhembalikan Widya!"

PLAKKK!!

"Tidak ada ampun untuk anak haram seperti kamu! Matilah! Biarlah api neraka menelanmu!!"

"Ini peringatan terakhir saya, Raga. Jauhi Anjani. Sebelum sisi manusia saya benar-benar lepas seperti dulu."

TAK!

"Akhh ...." dipegangnya bibirnya yang mengeluarkan darah akibat ulah Chairul yang melempar ember ke wajahnya barusan.

Tidak sampai di situ, pria berkemeja rapi dengan tatanan rambut klimis itu melangkah mendekati anak itu. Mengambil gagang pel karet yang menganggur di lantai.

PLAKK!

"Akhー!"

"Ini untuk pengkhianatanmu karena berani menyukai pacar Hugo!"

PLAAKK!

"Harusnya kamu sudah mati dua belas tahun yang lalu, anak setan!"

DUAGH!

Chairul membenarkan seragamnya yang kusut. Nafasnya tidak beraturan.  Tatapannya yang berapi-api itu, tak lepas seinchi pun dari anak yang sudah meringkuk di bawah wastafel, dengan tangannya yang dijadikan sebagai pelindung kepala.

Tidak ingin terjangkiti rasa belas kasihan, Chairul cepat-cepat melangkah pergi keluar toilet. Meninggalkan seorang anak yang mulai terisak, begitu pintu dibanting keras.

Pemilik papan namayang dikhususkan untuk karyawan PT. Adibaraーyang bertuliskan Ragasuci itu, meloloskan isakan yang ia tahan sedari tadi. Badannya bergetar hebat. Telapak tangannya berkerut. Bibirnya membiru kedinginan.

Ia bernama Ragasuci. Bermakna raga yang suci, tanpa cela, tanpa dosa. Tapi ia membenci nama itu, begitu dihadapkan dengan kenangan pahit seperti ini.

Ia merasa, dirinya adalah tumpukan dosa-dosa yang tidak bisa diampuni. Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri karena berpikir telah membunuh Ibu kandungnya, Widya. Kematian bidadarinya itu sangat membuatnya terpuruk. Begitu pula dengan Chairul. Sampai-sampai, Chairul hampir membinasakannya dua belas tahun silam.

"Ibu ... maafkan Renjana ...."

Widya selalu memanggilnya dengan nama itu. Inilah alasan mengapa Raga begitu menyukai kata Renjana yang tersemat dalam asmanya.

Anak itu memejamkan matanya. Menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Nyeri karena pukulan di hampir setiap inchi badanya itu kembali berkontraksi.

"Benar. Seharusnya yang mati itu Renjana."

Raga memohon pada Sang Kuasa, agar Ia tak marah, agar Ia mengampuni Chairul Wangsa. Karena bagaimana pun, semua ini berasal dari kesalahannya dua belas tahun silam.

Mulutnya juga merapal, semoga saat ia membuka mata nanti, sorot netra teduh dan air wajah yang gembira tengah menyambutnya datang ke dunia. Raga ingin dilahirkan kembali di sebuah keluarga yang mau menerimanya dengan sepenuh hati.

Tapi, walau pun begitu, ia tak pernah menyesal dengan kisah hidup penuh pilu yang diberikan kepadanya ini. Raga menganggap semuanya adalah anugerah Tuhan, yang harus disyukuri dan tetap dijalani.

Terlebih lagi, saat-saat yang ia habiskan dengan seorang gadis, yang sudah lama diperhatikannya. Tapi, dengan cepat Raga tersadar.

Bahwa gambaran masa depan yang ia rancang dengan penuh asa, yang ingin ia lalui hanya bersama dengan hawanya itu, harus pupus.

Cklek!

"Ya Tuhan! Raga!"

Di ambang kesadarannya, anak itu kembali bersyukur. Karena setidaknya, masih ada orang yang tulus peduli kepadanya.

ーR E N J A H W A N Aー

Angela hanya bisa menahan emosinya yang mulai tersulut. Ia tak ingin Raga terbangun karena suara tinggi yang bersahut-sahut di malam dingin begini.

"Jangan memakiku kalau kamu sendiri juga tidak bisa melindungi Raga."

Mendengarnya, pria yang masih mengenakan kemeja biru laut itu mendecih remeh.

"Gampang sekali mulut licinmu itu nyinyir. Memangnya kamu tahu bagaimana beratnya tanggung jawabku? Aku harus siap sedia untukー!"

"Tapi buktinya apa? Matteo menemukan Raga terkapar di toilet dekat ruangan Chairul! Dan kamu tidak menyadarinya?!"

BRAK!

"Memangnya aku harus mengecek kondisi tiap ruangan yang ada di Adibara? Enak saja main lempar kesalahan!"

"Jinan," Angela mendesis berat. Dadanya naik turun tersulut emosi.

Sejak kematian anak sulung mereka satu tahun yang lalu, kondisi ikatan batin keduanya kian merenggang, dan berakhir dengan kata pisah di hadapan meja hijau.

"Selama ini selalu aku yang kamu salahkan. Junjie meninggalkan kita, kamu salahkan aku. Raga sakit, kamu salahkan aku. Selalu begini, tanpa pernah kamu koreksi diri senduri. Kamu selalu fokus akan tanggung jawabmu kepada Chairul, sampai-sampai lupa rumah. Aku akui aku memang bukan Bunda yang baik untuk Junjie dan Raga. Tapi kamu juga harus bisa menekan egomu untuk melempar rasa bersalahmu kepada orang lain, Jinan."

"Jangan bawa-bawa Junjie. Dia tidak ada kaitannya dengan ini."

"Lihat, 'kan? Siapa yang menampik, Jinan?"

"Sudahlah. Berdebat denganmu tidak ada habis-habisnya!" Jinan menuruni anak tangga. Ia ingin meninggalkan rumah ini secepatnya.

"Kalau dulu kamu tak kabur dan mengakui kesalahanmu, Chairul tak perlu melindungi identitasmu sebagai buron dan membuat kita harus berutang budi padanya!"

"Angela."

"Apa?" Angela bersidekap dada. Menatap mantan suaminya dari lantai dua, "mau mengelak lagi?"

Wanita mana yang tidak sakit hati saat melihat pria yang dicintainya, melepaskan tanggung jawab dan bertindak seolah tidak memerhatikan keluarga mereka lagi?

Angela sekuat tenaga menahan air yang menggenang di pelupuk matanya agar tidak tumpah. Ia menghela nafas panjang. Menahannya sepuluh detik, lalu menghembuskannya lirih.

Jinan yang menyadari gelagat khas Angela saat sedang menahan emosi itu, juga ikut menghembuskan nafas pelan. Diusapnya wajahnya yang semakin kaya akan garis-garis halus.

"Aku pulang. Jaga Raga. Pastikan jendela kamarnya tertutup."

Angela menatap punggung lebar Jinan yang berjalan menuju pintu.

Jgler!

Ia jatuhkan dirinya di lantai. Kakinya tak sanggup lagi menopang raganya yang teramat lemas.

Angela masih memperlakukan Jinan dengan baik, karena setidaknya, Jinan masih menyumbang biaya kehidupannya dengan Raga.

Wanita itu terisak di tengah dentingan jarum jam yang menunjuk tepat pukul dua belas malam. Di saat yang sama, hujan kembali membasuh tanah Jakarta.

Angela kira, anaknya sudah benar-benar tertidur. Tapi nyatanya, anak itu menahan isakan di balik selimut.

"Maafkan Raga, Bunda," lirihnya.

Netranya menatap langit malam yang kosong dari balik jendela kamarnya. Ini adalah hari yang melelahkan. Saking lelahnya, rasa sakit dan nyeri dari memar-memar di tubuhnya pun tak berasa lagi.

Pikirannya saat ini terfokus dengan jawaban apa yang akan ia beri, kala Bundanya menanyakan dari mana memar di tubuhnya ini berasal. Di samping itu, ia juga berterima kasih pada Matteo yang mau tutup mulut. Hanya lelaki itu yang mengetahui semuanya.

Matteo Mason Wangsa, keponakan Chairul Wangsa, mengetahui bahwa pamannya adalah biang dari ringkihnya tubuh Raga sekarang ini. Dan entah mengapa, keluarga besar Wangsa itu memilih untuk tutup mulut tentang semua hal yang bersangkutan dengan Raga.

Drrtt!

Disibaknya selimut tipis yang menutupi seluruh tubuhnya. Tangannya meraih ponsel yang masih ia simpan di ranselnya.

Dua notifikasi yang muncul dalam layar ponselnya. Semuanya dari line.

Gadis Jogjaku
Rumahku turun hujan. Deres nih ... (2)

Hugo
Sengaja jauh" dr pengawasan gue? ... (3)

Pupilnya terpatuk pada nama kontak yang sengaja ia ganti sejak lama. Seketika, perkataan Chairul kembali terekam dengan sendirinya. Raga mematikan total ponselnya, meletakkannya di atas meja belajar.

Kalau pun memang ia tak bisa bangun dari mimpi buruk ini, setidaknya ia masih bisa memerhatikan gadis Jogja itu dari jauh.


















𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...

a.n :
Aku ndak kuat bayangin junjunku digituin:"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top