4. Teduh
𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩 :
𝙆𝙖𝙩𝙖𝙢𝙪, 𝘼𝙠𝙪 𝘼𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙋𝙚𝙧𝙩𝙖𝙢𝙖
.
.
.
ーR E N J A H W A N Aー
Kusunggingkan senyum paling tulus. Walau kalbuku sangat tersayat tatkala melihat fisik Papa yang terlihat tidak terurus dan jauh lebih kurus dari kunjunganku yang terakhir kali.
"Gimana di rumah? Sehat semua, "kan?"
Tidak mungkin jika kujawab, "semuanya sehat. Sisanya, hanya hati Anja yang sakit."
"Papa mau lihat Mama. Boleh?"
Aku menatap miris netra sayu milik Papa, sebelum mengeluarkan pas foto berukuran 3 × 4 yang kucetak kilat saat dalam perjalanan ke sini tadi.
Menjadi kebiasaanku untuk menyiapkan foto-foto terbaruku dan Mama, lalu mencetaknya untuk diberikan kepada Papa. Karena di dalam lapas, pengunjung tidak diperkenankan membawa ponsel. Semua alat-alat elektronik dan kaca atau cermin, ditahan sementara dan disimpan di loker penitipan barang. Baru dikembalikan saat pengunjung sudah keluar.
Papa tersenyum sumringah dari balik jeruji besi. Air mukanya menjadi lebih segar dari sebelumnya.
Aku paham betul. Papa teramat mencintai Mama. Namun dengan seenaknya, Mama berhubungan dengan pria lain diam-diam. Mama kira, putrinya ini tak tahu. Padahal, aku sampai hafal parfum yang dikenakan Mama saat akan pergi menemui simpanannya itu.
"Bawa cerita apa?"
Kalimat tanya yang selalu dilontarkan Papa kepadaku, saat aku mengunjunginya.
"Kemarin lusa," aku menjeda ucapanku. Memikirkan kata-kata yang lebih pantas untuk kuucap di hadapan Papa.
"Ada beberapa anak SMK Karba yang mancing anak Horiz, Pa. Kebetulan, Anja pulang lebih sore karena ada keperluan sama Bu Banu. Tiba-tiba turun hujan."
Tanpa sadar, kubiarkan diriku terhempas pada beberapa waktu silam. Di mana di bawah hujan, seseorang menjagaku dengan sangat.
"Ada satu laki-laki yang jagain Anja. Biar Anja nggak ketahuan sama anak Karba."
Aku tidak mungkin menceritakan tentang sesakku yang kambuh, sepaket dengan memori menyakitkan itu. Papa memang tahu, tapi, mana mungkin aku tega menyirnakan kebahagian yang terpancar dari wajah sumringah Papa sekarang ini?
"Pa, banyak yang bilang, kalau tatapan laki-laki itu nggak bersahabat, tajam, angkuh, dingin. Tapi menurut Anja, tatapan anak itu mirip sama tatapan Papa."
Tak salah lagi. Sorot mata yang kutangkap sekarang ini, tak ada bedanya dengan sorot netra Renjana di perpustakaan kemarin.
"Teduh, Pa. Anja suka."
"Dasar, anak baru gede. Pasti Hugo, ya?" Papa terkekeh pelan.
Aku mempertahankan senyumku yang rasanya mau luntur saja saat nama itu disebut. Lalu mengangguk dengan berat.
Sejak pertama kali dekat dengan Hugo di kelas sepuluh, hampir semua cerita yang kubawa saat ke lapas ini adalah tentang Hugo. Tak mungkin Papa tak hafal. Papa menyukai Hugo dan bilang kepadaku jika Papa memercayainya. Tapi saat itu, sangat berat rasanya untuk menuruti keinginan Papa.
"Jangan cerita ke Hugo kalau Papa makan dan minum bersama-sama dengan banyak pria berkaos biru ini ya? Jangan sekali-kali. Bilang saja, Papa sedang ada urusan di luar negeri. Papa nggak mau putri satu-satunya Papa ini punya kisah cinta yang rumit karena Papanya sendiri."
"Sebentar lagi, Anja ulang tahun, 'kan?"
Lamunanku buyar, disusul dengan anggukan pelan.
"Pasti dirayain lagi satu sekolahan, ya?"
Memang, ulang tahunku bersamaan dengan ulang tahun Horiz. Satu November.
"Papa selalu seneng. Karena setiap Anja menginjak satu anak tangga kedewasaan, di saat yang sama, banyak orang yang bahagia. Maaf, Papa nggak bisa kasih hadiah lagi kali ini."
Aku cepat-cepat menggeleng begitu menyadari perubahan air muka pada Papa. Papa menunduk.
"Papa selalu kasih aku hadiah, kok! Setiap saat malah."
Malaikatku ini mengangkat kepalanya. Seakan bertanya, "memangnya apa?"
Aku tersenyum tipis. "Doa. Papaー"
"Maaf, waktu berkunjung sudah habis."
Aku menatap sinis laki-laki buncit berseragam hitam yang tiba-tiba berdiri di belakang Papa.
"Nggak apa-apa, Anja. Masih ada waktu banyak, oke? Titip salam buat Mama, ya?"
Aku melengos. Ingin berteriak karena tak tahan dengan perangai Papa yang terlalu baik. Dan di saat yang sama, aku bersyukur beribu-ribu kali pada Tuhan karena telah menjadikanku Anjanya Papa.
ーR E N J A H W A N Aー
Aku menatap aspal yang nampak baru dipoles kembali sembari duduk di halte Trans Jakarta. Yasmin tidak bisa menemaniku ke Gramedia. Taruni itu sedang sibuk memersiapkan diri untuk tampil di acara ulang tahun Horizon mendatang. Ia memang selalu memaksimalkan aksinya. Perfeksionis.
Tanpa kutitah, lampu pijar di atas kepalaku menyala. Tanpa kusadari, aku terlampau bersemangat mencari sebuah riwayat chatting. Kesengsem sendiri saat netraku bertubrukan dengan sebuah asma yang dituju.
Anjani : Renjana, kamu sibuk nggak, nih?
09.26
Ragasuci : Kenapa?
09.26
Eh? Cepat sekali balasnya. Mungkin Renjana memang selalu online, ya?
Anjani : Kok malah balik nanya? Jawab dulu, sibuk atau nggak?
09.26
Ragasuci : Belum
09.27
Anjani : Berarti akan, nih? Yaudah, makasih Renjana
09.27
Ragasuci : Nggak sibuk
09.27
Anjani : Lho? Gimana, sih?
09.27
Ragasuci : Kebanyakan tanya. Kenapa memangnya?
09.28
Astaga! Kebanyakan bertanya dia bilang?
Anjani : Mau temenin aku ke Gramed? Aku nggak biasa pergi sendirian. Yasmin latihan dance. Aku nggak mau pergi sama Hugo.
09.28
Ragasuci : Kamu di mana?
09.28
Anjani : Halte Trans Jakarta dekat lapas Barakuda Agung
09.28
Entah mengapa, jemariku menari begitu saja mengetikkan kata lapas. Aku tak memikirkan bagaimana respon Renjana. Karena yang kurasa, ia bisa menjaga rahasia ini. Eh, itu pun kalau Renjana tahu apa yang membuatku berada di sini.
Tapi sekarang, aku tak tahu. Kalau di seberang sana, Renjana memejamkan mata cukup lama. Meredam memori lamanya yang meminta untuk diputar.
Ragasuci : Kamu pakai rok atau celana?
09.30
Anjani : Rok. Emangnya kenapa?
09.30
Ragasuci : Tunggu sepuluh menit lagi. Jangan ke mana-mana
09.30
Aku berdiri kala melihat seorang nenek berkaki tiga keluar dari bis yang baru saja tiba. Kupersilakan nenek itu untuk duduk di tempatku tadi. Tapi, seorang laki-laki langsung menyerobot. Bahkan nenek yang sudah berjalan kemari sampai terkejut.
"Maaf, Mas. Itu untuk Nenek ini," ucapku mencoba sesopan mungkin.
Tapi yang kudapati adalah kekehan mengejek dan tatapan remeh darinya. Netraku tak kunjung mendapati seseorang yang datang membela. Orang-orang itu hanya menonton. Tak berekspresi apa pun. Membuatku tak percaya bahwa ini adalah dunia orang hidup. Mereka semua tak punya hati. Rahangku mengeras. Aku tak suka jika manusia diperlakukan bukan seperti manusia.
"Masー"
"Berisik banget, njing!"
Aku menatapnya tajam.
"Nek, masih kuat berdiri, 'kan? Sebentar lagi, ya? Kaki saya pegel nih ngejar-ngejarー"
"Masnya manusia atau bukan, sih? Seharusnya Mas sudah paham danー"
"Kaya pelajaran agama aja, banyak ceramahnya! Logat ndeso aja belaguー!"
"Dari pada Mas. Udah cungkring, celana sobek-sobek nggak tahu tempat, sepatu kebesaran, sepertinya nggak pernah dicuci lagi. Tuh, gigi juga nggak pernah disikatin kali, ya?"
Bukan aku. Sungguh. Aku sangat mengenali suara ini. Saat kutoleh sumbernya, lenganku ditarik. Ia Renjana. Yang menarikku ke belakang punggungnya yang terbilang kecil untuk ukuran kaum adam.
"Lo pacarnya?"
Aku menyembulkan kepalaku dari belakang punggung Renjana.
"Bukan urusan Masnya. Bisa tolong berikan tempat duduk untuk nenek ini? Harusnya Mas sadar diri. Masih muda. Bukannya berjaga, malah berleha-leha."
Remaja dengan penampilan urakan itu berdiri. Mendekati Renjana. Kesempatan ini kuambil untuk mengode si nenek agar duduk. Untungnya, nenek itu cepat sadar.
"Mau adu jotos diーBANGSAT!"
Renjana langsung mendorong remaja itu ke dalam bis yang pintunya baru saja terbuka. Bis itu belum berpenumpang. Maka dari itu, Renjana tak takut kalau-kalau remaja urakan itu membuat risuh di dalam bis. Paling-paling, lelaki itu akan minta diberhentikan di halte berikutnya.
"Ke mana akal dan budi kalian? Ciptaan Tuhan tidak melakukan hal-hal yang tidak beradab seperti ini. Bahkan seekor anjing pun akan menangis kalau melihat rekannya terkapar di tengah jalan," ucap Renjana, menegaskan tatapannya ke siapa saja yang ada di halte iniーkecuali aku dan si nenek.
Dalam sekejap, aku melihat perubahan air muka sebagian besar orang-orang di sini. Sangat jauh berbeda saat aku menggertak remaja tadi. Aku melihat sorot mata yang seakan tertampar oleh kalimat Renjana.
Aku tahu pasti. Sekarang ini, dibuat Renjana, aku terpana.
ーR E N J A H W A N Aー
"Padahal nggak lagi mendung, lho. Kenapa pakai mobil?" Tanyaku saat kami berhenti di lampu merah pertama.
"Kamu pakai rok. Motorku tinggi."
Baru saja kurasakan pipiku mulai merona, namun satu hal yang kusadari dengan cepat. Lagi-lagi, Renjana tak melihat mataku saat menjawabku. Padahal lampu sedang merah.
"Renjana, lihat aku."
Adam ini tak langsung menjawab. Karena tenggorokannya tengah meneguk air mineral dalam tumblr.
"Perlu?"
"Nggak sopan kalau berbicara tanpa menatap mata lawan bicara. Aku nggak suka." Aku berdecak sebal.
"Maaf. Aku nggak terbiasa menatap lama mata perempuan."
Kutoleh Renjana yang masih di posisinya. Duduk tegap menghadap depan. Dengan kedua tangan yang bertengger pada setir mobil.
"Bisa gitu? Kenapa?"
Renjana tak langsung menjawabku. Aku rasa, ia memilah-milah kata dahulu. Tumben difilter?
Anak ini menatapku setelah sekian sekon mendiamkan pertanyaanku.
"Aku adam dan kamu hawa. Bundaku mengajarkan, kalau bukan berasal dari tulang rusuknya, seorang adam nggak seharusnya menatap hawa lain terlalu lama."
Sekarang, giliranku yang memalingkan pandangan dari Renjana. Astaga, Tuhan! Sepertinya aku salah saat memikirkan hanya Renjana yang bisa kuajak menemaniku. Duh!
Papa, ternyata adam yang kuceritakan tadi sangat mirip dengan Papa. Ia juga menghormati wanita. Sangat.
"Kenapa berpaling? Katamu nggak sopan."
Aku menggeram dalam hati. Mencoba menetralkan dentuman dalam dada yang semakin menjadi.
"Anja, kamu kenapa?"
"Ngー"
Renjana menempelkan punggung tangannya pada keningku. Aku tak berani menoleh ke mana-mana. Bisa-bisa aku mati muda.
"Aku kira kamu demam. Daun telingamu memerah."
"Ng-nggak!" Aku sedikit menggertak. Kujauhkan tangan Renjana yang masih menempel di keningku.
Rambut yang mulanya kuselipkan di daun telinga, kutarik keluar untuk menutupi telinga dan pipiku yang memanas.
TIN! TIINN!
Kami tersentak. Renjana langsung menginjak pedal gas. Membelokkan sedannya ke kanan, masuk ke basement Gamedia.
"Nggak apa-apa kalau baper. Asal jangan berlebihan. Aku belum bisa berkomitmen, kalau kamu sampai minta pertanggungjawaban."
ーR E N J A H W A N Aー
Pandangku menelusuri tiap-tiap deret judul pada rak ini. Di tanganku, dua buku lama karya Boy Chandra dan Fiersa Besari sudah menumpuk.
Tiba di satu rak lain, aku bersedekap dada. Rak ini dipenuhi buku-buku yang menawan hati. Bagaimana tidak? Mulai dari Sapardi Djoko Damono, Sujiwo Tejo, Dee Lestari, Andrea Hirata, sampai Tere Liye. Semua karya-karya penulis hebat dikumpulkan di rak ini.
Atensiku terpaku pada salah satu buku karya Sujiwo Tejo. Rahvayana : Aku Lala Padamu. Tanpa pikir panjang lagi, kutumpuk buku itu di atas buku Garis Waktu.
"Sok-sokan beli buku banyak. Paling-paling cuma difoto quotes-nya, terus di upload ke instagram story."
Aku menoleh ke sumber suara. Renjana berdiri tepat di samping kananku.
"Sok tahu! Aku bakal baca semuanya, ya! Aku bukan perempuan mellow yang ada di pikiranmu!"
Aku beranjak ke rak yang lain, meninggalkan Renjana di sana sendirian. Sebenarnya, aku senang. Karena anak itu mulai memerpanjang intensitasnya saat menatap mataku kala kami berbincang.
Kelopak mataku melebar saat menangkap kover novel yang diadaptasi dari cerita wattpad di perpustakaan pribadiku.
"Jangan ambil ini! Ada adegan erotisnya!"
Aku langsung menarik tanganku yang ditahan Renjana. Lalu melotot ke arahnya.
"K-kamu sendiri!" Telunjukku tepat mengarah ke wajahnya, "kok tahu?! Berarti pernah baca, dong?!"
"Nggak sengajaー"
"Sama aja pernah!"
"Iya pernah."
Buluku meremang. Bahkan aku bisa merasakan kalau telingaku memanas. Hei, Anja! Renjana juga laki-laki!
"Punya Kakakku. Aku kira roman biasa. Ternyata ada adeganー"
"Y-ya udah! Nggak usah dilanjutin, dong!"
Aku membalikkan badanku. Menggerutu kesal karena atmosfer di sekitar tiba-tiba seakan menipis. Hei, Anja, bersihkan pikiranmu!
Aku tak tahu, jika di belakang, Renjana tersenyum kecil melihat gelagat kikukku.
Aku membalikkan badan saat menyadari derap sepatu yang terdengar tak asing mengikutiku.
Renjana menaikkan satu alisnya. Baiklah, aku akui. Minggu ini, Renjana tampak lebih tampan. Ia memakai kaos putih yang dibalut hoodie abu-abu, ripped jeans dengan satu-dua sobekan di bagian lutut, dan sepatu Nike biru laut yang santai. Dan yang membuatku melamun sebentar, adalah surai hitam legamnya yang dijambul, di-pomade ke sebelah kiri. Seakan memamerkan jidatnya yang kuakui bahkan lebih mulus dariku.
"Kenapa menatapku?"
"Kamu ngapain ngikutin aku?"
"Menemani kamu."
Enteng sekali bicaranya, ya? Aku akui ini. Aku suka Renjana. Maksudku, perangainya.
Langkah kakiku kembali meraup ubin lantai dua toko buku ini. Walau diam-diam, gendang telingaku merasa tentram mendengar derap sepatu Renjana.
"Renjana, kamu suka buku, nggak?"
"Suka," sahutnya dari belakang.
"Tentang apa?"
"Semua buku aku suka. Nanti, mau temani aku mencari buku juga?"
Aku membalikkan badan. Menatapnya antusias.
"Sekarang aja, yuk! Aku udah cukup segini, sih. Kamu mau cari buku apa?"
"Beneran sudah?"
Aku mengangguk mantap.
"Dicek dulu. Ada yang kurang, nggak?"
"Enggak, Renjana. Ayo! Sekarang giliran aku yang temenin kamu!"
Renjana mengangguk, berbalik. Giliran ia yang memimpin jalan. Tapi keningku mengernyit saat menyadari langkahku dituntun ke rak bacaan anak-anak.
"Renjana, kamu suka baca buku anak-anak?"
Renjana menggeleng tanpa melihat ke belakang. Ia berbelok ke kanan. Pandangnya menjejaki deret buku-buku berwarna-warni itu. Tangannya terulur, mengambil beberapa buku dari berbagai ukuran, tebal, dan bentuk.
"Terus buat siapa?"
"Sahabat-sahabatku."
"Jude, Javier, sama Haidar suka baca buku kaya gini?" Tanyaku menahan kekehan
"Bukan mereka."
Tawaku menyurut. Berganti dengan nada penuh kehati-hatian. "F-Fabian, Javas, Stevan, sama ... Hugo maksudmu?"
"Bukan sahabat yang seperti itu juga."
Menohok sekali saat kalimat, " ... seperti itu... " keluar dari bibir anak ini. Jangan kira aku tidak peka dengan hubungan mereka berdelapan sekarang ini. Tepatnya, semenjak tawuran tempo lalu.
"Terus?" Tanyaku sembari memerhatikan tumpukan buku di tangannya sudah melebihi punyaku.
"Anak-anak hebat."
Maaf, Renjana. Namun, aku belum bisa menangkap maksudmu. "Siapa, sih? Aku kenal nggak?"
Renjana menoleh ke arahku. "Kalau kamu mau, aku kenalkan kamu dengan mereka."
"Mmm ... banyak perempuannya atau laki-lakinya?"
Bola mata Renjana mengarah ke atas. Menimang-nimang sebelum kembali bersuara. "Sepertinya banyak perempuannya."
"Lebih muda, lebih tua, atau sebaya?"
Renjana menarik pandangnya dariku. Netranya kembali menelusuri rak di hadapannya.
Tapi yang membuatku sedikit bahagia, adalah seutas senyum kecil yang terbit dari bibir Renjana. Mengingat selama ini, laki-laki ini tidak pernah tersenyum. Duh, manis sekali.
"Mereka awet muda. Selalu muda. Buatku."
Kuperhatikan pahatan wajah Renjana dari samping. Walau bibir Hugo menjadi daya pikat tersendiri, ternyata siluet Renjana tak kalah menawan.
Aku tak sadar dengan jawaban Renjana barusan. Pikiranku tiba-tiba dibesitkan sebuah pertanyaan ringan, namun tak kusadari sejak perjumpaan kedua kami.
"Renjana, kenapa kamu selalu pakai aku-kamu waktu ngobrol sama aku? Kenapa nggak pakai gue-lo kaya waktu kamu ngobrol sama teman-temanmu?"
"Kamu perempuan," jawabnya singkat.
"Ooh." Aku mengangguk. Sedikit kecewa, karena kukira, hanya aku yang diperlakukan seperti ini.
"Berarti sama semua perempuan?"
"Hanya kamu."
"Oohーeh?!"
Aku tak salah dengar, ya? Aduh, jangan baper lagi, dong! Capek tahu!
"Sejak pertama kali kamu mengajakku mengobrol di kantin, aku sudah memutuskan akan pakai aku-kamu denganmu. Apa lagi logat Jogjamu waktu kamu memanggilku dengan Mas. Bikin aku rindu rumah lama." Renjana tersenyum singkat kepadaku. Sepaket dengan sorot teduhnya. Duh, menawannya.
Dusta jika aku berkata tak mengagumi Renjana. Kata-katanya jujur, walau kadangーralat, sering menohok. Ia juga lugu, kalem, dan apa adanya. Ia tak muluk-muluk, seperti Hugo yang sekarang.
Aku tak tahu Renjana memiliki berapa sisi dalam dirinya. Namun mulai sekarang, untuk pertama kalinya, aku tertarik untuk menelusuri kiprah hidup seseorang.
"Aku sudah selesai, nih. Kamu mau cari apa lagi?"
"Langsung ke kasir aja." Aku kembali memimpin jalan.
Antreannya lumayan panjang dari biasanya. Masuk akal. Ini hari Minggu. Aku berdiri terpaut lima orang dari kasir.
"Anja."
Aku menoleh ke belakang. Mendapati Renjana membuka hand bag khusus Gramedia, mengodeku untuk memasukkan buku-buku ke dalamnya. Aku malah tidak sadar kapan laki-laki ini mengambil hand bag itu.
"Makasih," aku menyunggingkan senyum simpul.
Lagi. Renjana langsung mengalihkan pandangnya dariku. Aku mencoba untuk membiasakan diri dengan gelagat anehnya itu. Langkahku maju satu petak. Terpaut empat orang lagi dengan kasir.
"Anja."
Aku menoleh ke belakang lagi. Sebelumnya, aku mulai menyadari. Aku suka suara menenangkan Renjana saat mengucap asmaku.
"Kenapa?"
"Giliran aku yang bertanya. Boleh?"
"Bertanya pakai minta izin segala, nih? Kenapa?"
"Kenapa kelihatannya kamu suka manggil aku Renjana?"
Aku menggedikkan bahu, sebelum membalas, "aku suka tiap kali dengar kata Renjana. Nggak tahu kenapa, bikin adem."
"Kamu sendiri, pernah bilang. Kalau yang diperbolehkan manggil kamu Renjana, cuma orang-orang tertentu. Tapi kenapa kamu nggak ngelarang aku waktu aku panggil kamu Renjana?"
Saat itu, aku tidak sadar kalau laki-laki yang menenteng hand bag di tangan kanannya ini tengah gelagapanーdisembunyikan dengan baik di balik air mukanya yang kembali datar.
"Karena sejak awal kamu sudah memanggilku Renjana. Sudah maju."
Aku yang sedikit tersentak, langsung melangkahkan kakiku sekaligus dua langkah.
"Omong-omong, sepertinya aku mau membawamu ke suatu tempat. Bertemu sahabat-sahabatku yang kuceritakan tadi. Kalau kamu mau."
Aku menoleh ke belakang untuk kesekian kalinya.
"Boleh, sih. Tapi, apa nggak ganggu waktu mainmu sama mereka?"
Renjana menggeleng, diikuti senyum tipis yang terpatri di wajah lugunya.
"Aku malah mau kamu ikut bermain bersama kami."
Kuanggukkan kepala senang. Baguslah kalau begitu. Artinya, Renjana bisa mengukur. Kalau ia, sahabat-sahabatnya, dan aku, bisa saling menyeimbangi.
"Tapi, kalau ada yang bertanya atau mengatakan hal-hal aneh, kamu pura-pura nggak tahu saja, ya?"
"Aneh gimana? Emang kenapa?" Kedua alisku bertaut.
"Maju."
Kakiku meraup langkah mundur, karena aku masih menatap manik Renjana penasaran.
"Jawab aku. Kenapa emangnya?"
Renjana tak langsung menjawab. Pandangnya berkeliaran ke sembarang arah. Sebelum akhirnya bertubrukan dengan manikku.
"Ini pertama kalinya aku membawa perempuan."
𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...
a.n :
Ayo, rameinn!! Aku suka bacain komen kalian, xixixi
Tysm♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top