25. Temu
Gulir ini cocok dirayapi dengan lagu Sesuatu di Jogja, karya Adhitia Sofyan. Jangan lupa diset "reply".
Selamat memupuk asa!
𝙂𝙪𝙡𝙞𝙧 𝙩𝙚𝙧𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧 𝙍𝙚𝙣𝙟𝙖𝙝𝙬𝙖𝙣𝙖 :
𝙏𝙚𝙢𝙪.
.
.
.
ーR E N J A H W A N Aー
"Di laci lemariku nggak ada, tuh, Pa," kataku dengan layar ponsel yang diapit telinga kiri dan pundak. Sambil tanganku terus membuka-buka tumpukan kertas di laci lemari.
"Kalau nggak ada, coba cek di kamar Mama."
Berberes laci, tungkaiku segera meniti ke kamar Mama dan Papa dulu di rumah ini.
Tadi, seberhentinya ojek online di halaman rumah tradisional dengan nuansa Joglo yang sedikit diadaptasi ini, aku berdecak kagum. Sepindahnya keluargaku ke Jakarta dulu, Papa meminta tolong tetangga sebelah untuk menjaga rumah kami. Diberi upah, tentunya. Kami sepakat untuk tidak menjualnya. Rumah ini terlalu banyak menyimpan kenangan.
Oh, iya. Akhir 2019 silam, Papa dibebaskan. Di saat yang sama pula, Mama mengakui segala sisi kelam yang disembunyikannya rapat-rapat dari Papa. Malam itu, aku bahkan ikut terkejut saat mengetahui bahwa Papa sudah tahu jauh-jauh waktu.
Terima kasih, Tuhan. Sudah menitipkanku pada Papa.
Sisa kiprahku di Horiz setelahnya, dihabiskan dengan penuh perjuangan untuk tetap berdiri tegap dan tegar di antara lemparan kata-kata menjatuhkan. Yang membuatku kuat, tentu saja dorongan dari orang-orang yang setia. Papa, Mama, Yasmin. Ada Javier, Jude, dan Haidar juga, walau awalnya mereka tak percaya. Juga Jeffrey.
Dengar-dengar dari Ganesha, sekarang Horiz Children sudah berdamai sepenuhnya dengan Anak Karba. Kebetulan sekali, ketua OSIS dua sekolah ini adalah saudara kembar. Memiliki perangai yang teladan dan tak mudah goyah.
Kalau kalian bertanya bagaimana aku bisa tahu dari Ganeshaーyang notabenenya adalah Ketua OSIS Horiz saat aku kelas dua belasーaku bingung menjelaskannya. Karena aku tidak tahu bagaimana anak itu bisa mendapatkan kontakku. Dekat saja tidak. Dan yang membuatku menaruh curiga, selama ini pula, Ganesha rutin mengirimiku rentetan pesan. Isinya, adalah hal-hal cringe seperti, "lo udah makan?", "ada tugas kuliah yang susah kagak? berandalan gini gue tiga besar paralel," dan masih banyak lagi.
Jeffrey sempat marah sekaligus cemburu saat kuceritakan. Bahkan, ia pernah memintaku untuk memblokir nomor Ganesha saja. Tapi aku menolak. Karena aku juga pernah berada di posisi Ganeshaーsaat SMP.
Tapi, semakin ke sini, Ganesha semakin gencar mengirimiku pesan. Sampai pada satu titik aku merasa tindakanku salah. Tak selayaknya aku membiarkan Ganesha masuk ke album kehidupanku tanpa izin. Aku tak memiliki afeksi apa pun pada anak itu. Dengan membiarkannya, bukankah aku tak ada bedanya dengan seorang PHP?
Maka dua bulan lalu, aku memutuskan untuk menyudahi baik-baik. Berbicara via telepon, untuk membuat semuanya jernih. Memang tak sanggup untuk mendengar desahan kekecewaan dari Ganesha. Tapi, aku juga manusia. Perlu membuat boundaries untuk diriku sendiri.
Perihal Hugo, kabar terakhir kali yang kudengar tentangnya, adalah ia melanjutkan pendidikan di luar negeri. Ini atas permintaan Om Chairul, yang masih ingin menggaet Hugo sebagai penerus Adibara.
Om Chairul sendiri, kabarnya sempat pindah ke Swiss begitu bercerai dengan Tante Yashinta. Kerja jarak jauh. Tapi langsung balik begitu mendengar kabar Renjana dari Kak Matteo. Aku yakin, Kak Matteo pasti menceritakan di mana eksistensi Renjana kepada Om Chairul. Bagaimana pun, beliau adalah ayah kandung Renjana sendiri.
Sempat ingin bertanya, namun kuurungkan. Kalau memang dilarang, mau sampai kapan aku terus membuang tenaga sia-sia?
Toh, mungkin Renjana sudah hidup bahagia dengan Julia.
Shaqilla dan Hana, mereka kembali ke rengkuhanku dan Yasmin. Kalau mau minta diceritakan, mungkin bisa seminggu baru selesai. Karena saat mereka meminta maaf, durasinya sampai sebulan sendiri. Intinya, sudah kembali berempat dan bukan berdua-dua lagi. Kami sudah dewasa.
"Nah! Ketemu, Pa!"
Sinar surya membias di wajahku yang menyengir lebar, walau aku tahu Papa di seberang sana takkan melihat gurat kelegaanku.
Ijazah di dapat, secepat kilat kukembali memesan ojek online, dengan tujuan Stasiun Tugu Yogyakarta.
ーR E N J A H W A N Aー
Aku harus menunggu dua jam lagi. Maklum, pesan tiket langsung di hari ini juga. Kalau aku telat sedikit, mungkin baru besok aku bisa kembali ke Kota Metropolitan itu.
Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu penantian di Loko Coffe Shop yang berada di sebelah timur stasiun. Dengan berjalan kaki, tak sampai lima menit tiba. Karena memang sedekat itu.
Begitu sepatuku memijak keset, gerimis menyarangi kota. Membuatku mendengus kecil. Bagaimana caraku kembali nanti? Semoga tidak lama. Setidaknya, sepuluh menit sebelum jam keberangkatan saja, tolong redalah.
Menuju ke kasir, memesan cookie and cream milkshake, membayar, lantas mencari-cari tempat duduk yang tersisa. Maklum, banyak pengendara yang kehujanan memilih Loko Coffee Shop ini sebagai tempat berteduh.
Aku meringis begitu ujung netraku hanya menangkap satu kursi di pojok. Itu pun pasti terkena angin hujan. Tapi, aku tidak suka makan atau minum sambil berdiri. Tidak sehat, kata Papa. Kuputuskan untuk mengeratkan jaket, lalu melangkah ke sana.
Dari pojok sini, pikiranku melanglang buana. Rupanya, begini besarnya rasa rinduku pada Jogja. Ingin sekali menetap, tapi tujuanku di sisi pulau Jawa yang lain. Bisa apa aku?
Teringat sekali, sewaktu aku kecil dulu, Papa selalu membawaku jalan-jalan di Malioboro. Aku suka sekali membeli blangkon. Memakainya sambil bergaya di hadapan para turis. Tidak tahu malu memang.
Hal yang tak kuinginkan, tiba-tiba hinggap di kalbu. Di mana rumah Renjana saat ia di Jogja? Apa ... ia dan Bundanya pindah ke rumahnya di Jogja? Duh, malah membuatku ingin menunda keberangkatan saja.
Aku mengalihkan pandang dari jalanan kota yang basah, ke sisi-sisi tempat ini. Sampai kedua bola mataku terbelalak. Aku mengerjap-ngerjapkan kedua netra. Memastikan apakah penglihatanku salah atau tidak.
Demi Tuhan. Aku hafal betul siapa perempuan dan lelaki di meja tengah sana. Merekalah sepasang yang gemar mengambil selfie saat di coffe shop itu! Maksudku, hari di mana Renjana menyatakan ... aduh, teringat lagi.
Tapi yang membuatku semakin terkejut, adalah seorang anak kecil yang duduk di pangkuan si lelaki. Ceritanya, mereka sudah menikah, nih? Wah, langgengnya.
Saku jeansku bergetar. Sebuah panggilan masuk.
"Kenapa, Jef?"
"Kamu pulang kapan?"
"Sore ini. Dua jam lagi berangkat. Aku lagi nunggu kereta di Loko. Kenapa?"
"Kira-kira, perjalanan balik ke sini berapa lama?"
"Kalau kangen bilang aja. Tahun 2022 udah nggak jaman gengsi-gengsian kaya gitu," godaku sambil menahan tawa.
"Yah, ketahuan ternyata."
Aku menjauhkan ponsel dari telinga. Menggeleng-geleng sendiri mendengar suara Jeffrey di seberang sana.
"Nanti aku beliin bakpia mau?"
"Makanan macam apa itu?"
"Makanya nanti rasain sendiri."
"Ya sudah. Terima kasih, Anja. Omong-omongー"
"Hei cantik, coba kaucatat. Keretaku tiba pukul empat sore. Tak usah kautanya, aku ceritakan nanti."
Debar yang sama. Rona yang sama. Afeksi yang semakin bertambah. Aku langsung memutar badan, mencari-cari penuh harap ke arah platform band yang kupunggungi.
"Hei cantik. Ke mana saja? Tak ada berita, sedikit cerita. Tak kubaca lagi pesan di ujung malam."
Dia adam yang kamu nanti, Anja. Dia Renjana. Rahwanamu.
Taruna itu tengah memetik gitar dengan tenang di depan sana. Kaos putih polos dengan kemeja merah kotak-kotak, rupanya masih menjadi pakaian favoritnya. Rambutnya tertata rapi, klimis disampirkan ke kiri. Memamerkan kening. Jangan lupakan hal yang paling kaufavoritkan. Dua sorot teduhnya dan senyum yang selalu memabukkan.
Dia masih sama.
"Bau wangi hujan tak lagi sama. Sudah saatnya kaujemput musik yang tertinggal. Sampai kapan aku kan bernyanyi sendiri? Hingga kini masih selalu kunanti-nanti."
"Terbawa lagi langkahku ke sana. Mantra apa entah yang istimewa. Kupercaya selalu ada sesuatu di Jogja."
Aku tersedak begitu tatapan kami bertemu. Aku perlu sesuatu untuk menutupi rona wajahku. Koran mana koran!
"Dengar lagu lama ini katanya. Izinkan aku pulang ke kotamu. Kupercaya selalu ada sesuatu di Jogja. Hmm ...."
Riuh tepuk tangan mengisi indera pendengaran. Mengalahkan riak hujan yang semakin menderas.
"Anja? Kenapa diam saja?"
Aku tersentak begitu teringat kalau panggilan Jeffrey belum kumatikan.
"Ee ... Jef ...." ucapku gugup.
"Suara kamu kenapa? Jangan buat saya khawatir, Anjani."
Demi Tuhan, aku tak berani menoleh ke arah platform lagi. Aku membuang jauh-jauh pandang ke jalanan kota. Sungguh, jantungku rasanya mau meledak.
Semakin dewasa, Renjana tampannya semakin kelewatan!
"Anjani, jawab saya atau saya susul kamu ke sana sekarang?"
"Nggak! Nggak apa-apa! A-aku baik-baik aja, kokー!"
"Tapi kenapa gugup begitu? Kalau ada apa-apa bilang ke saya."
"Iya-iya. Aku cuma abis nonton sulap ular berkepala manusia! Udah, ya? Aku tutup!"
"Kamu melawakー?"
Tut.
Aku menelungkupkan wajah pada meja kayu. Enggan melihat ke mana-mana. Tapi, tadi sungguhan Renjana? Aku mengusap-ngusap celana jeansku, guna menghapus keringat yang membahasi telapak tanganku.
Duh ... mengapa rasa-rasanya aku baru saja jatuh hati pada Renjana? Bukannya sudah berulang kali, ya? Mengapa hatiku belum terbiasa juga akan eksistensinya, sih?
Tapi, apa Renjana mengingatku?
"Selamat sore, Sinta."
Meninggal.
Butuh waktu satu menit untuk benar-benar mengangkat kepalaku demi memastikan sesuatu.
Dari ujung pelupuk, terlihat seorang adam duduk di depanku. Tersenyum manis. Sembari tangan kanannya menutupi sisi wajahku dari percikan air hujan yang menetes dari ujung atap.
"Ayo meneduh. Nggak baik kalau melepas rindu tapi kamu malah masuk angin."
ーR E N J A H W A N Aー
"Gimana kabar orang rumah?"
Maaf, Renjana. Dulu, aku selalu memarahimu karena pandangmu yang enggan menatapku saat aku berbicara. Sekarang, aku kena karma.
"Baik," jawabku sambil berusaha bertingkah senormal mungkin.
"Papa kamu?"
"Udah pulang akhir 2019 kemarin," jawabku lagi-lagi singkat, dengan pandang yang jatuh di palang kereta sana.
Duh, mengapa sekarang, frasa "kamu" yang keluar dari bibir Renjana, mudah sekali memorak-porandakan hati?
"Hati kamu?"
Aku sontak menatap Renjana. Untuk sedetik setelahnya, aku merengut sebal. Kujulurkan tanganku, mengusak-usak tatanan rambutnya yang dipomade. Biarkan rusak! Biar amburadul! Keningmu itu, lho! Bikin lemah iman saja.
"Eh, jangan dirusak, dong! Ini hasil usahaku selama lima belas menit!"
Renjana mencekal pergelangan tanganku. Tertawa pelan.
"Ya salahnya kamu ganteng banget! Aku nggak suka!" Aku memoutkan bibir kesal. Kurasakan wajahku memanas. Ini tidak baik untuk kesehatan jantung.
"Ya sudah. Kalau berantakan gini, kamu suka, hm?"
Jantungku jatuh ke tumit. Penampakan di hadapanku tak ada bedanya dengan saat Renjana habis keramas di rumahku, dengan rambut setengah basah. Tampannya berkali-kali lipat.
"Botak aja sana!" Seruku masih kesal.
Renjana menatapku gemas. Kedua tangannya menangkup pipiku. Membuatku menoleh ke arahnya.
"Kamu masih suka tersipu kalau bersamaku. Aku suka."
Aku menelan saliva dengan susah payah. Papa, tolong selamatkan putrimu yang tersangkut di nabastala ke seribu!
"Kemala. Maaf sekali. Bukannya bertanggung jawab, aku malah kabur. Aku membiarkan kamu sendirian. Aku begini karena merasa kamu harus benar-benar menghapusku dari memorimu, Anja. Aku terlalu buruk."
"Tapi nyatanya, usahaku untuk menjauhi puing-puing tentang kamu, melanglang buana sampai pulang ke Jogja lagi, aku menderita. Selalu hampa. Mau putus asa saja rasanya."
Renjana meraih satu tanganku.
"Terjerat dalam belenggu rindu, ternyata seberat ini, ya?"
Aku menatap anak ini. Memang. Kepelikan terpatri jelas di rautnya.
Renjana, aku juga bosan tertawan dalam padang nestapa akan kerinduan.
"Renjana," panggilku pelan.
"Dalem?"
Aku tersenyum lebar. Rupanya, jawabannya masih sama saat kuucap asmanya. Dalem yang menenangkan.
"Nggak semua salahmu. Aku juga. Nggak seharusnya aku, anak di bawah umur ke sana. Waktu itu, aku terlalu frustasi karena Papa diseret polisi. Aku juga minta maaf."
Renjana mengusap punggung tanganku pelan. Senyumnya dengan mudah menular. Tapi, langsung luruh seketika saat sekebelat fakta menyerang logikaku.
"Lia ... dia gimana?" Pandangku turun. Perlahan, kulepaskan genggaman tangan Renjana.
Renjana langsung menatapku terkejut.
"Jangan dilepas," ucapnya hendak meraih tanganku lagi. Aku menggeleng tegas. Aku tidak boleh egois.
"Lia gimana? Kamu nggak peduli sama perasaannya dia?"
Renjana menghela nafas pelan. Masih menatapku.
"Lia membatalkan pertunangan. Benar-benar atas kemauannya sendiri."
"Kenapa?" Nadaku memang meninggi, tapi, tak bisa kupungkiri kalau aku tengah berbahagia. Sungguh maaf, Lia. Maaf sekali.
"Lia bicara di depan semua undangan. Kalau dia nggak bisa hidup dengan laki-laki yang hatinya bukan untuk dia. Aku juga sama terkejutnya denganmu. Tapi, kasihan juga."
"Terus sekarang gimana?"
"Kabar baiknya, lima bulan setelahnya, Om Agung membawa Lia ke Singapura. Di sana, teknologi baru yang cocok untuk menyembuhkan Lia baru saja diluncurkan. Dan berhasil. Lia memang nggak lagi mengeluh sakit di belakang kepala atau pingsan tiba-tiba. Tapi, dia tetap harus rutin kontrol dan nggak boleh sampai kelelahan."
Aku mengangguk-angguk paham. Sedetik setelahnya, aku menatap tajam Renjana.
"Kamu utang cerita tentang Hugo yang bikin kamu babak belur di malam itu!" Sungutku kesal.
Apa Renjana tidak kasihan padaku, yang bertahun-tahun dirundung khawatir sekaligus penasaran? Malam-malam kuhabiskan untuk mengenang cerita tentangnya, berdoa pada Tuhan untuk dipertemukan lewat mimpi. Dan paginya, rutinitas membosankan yang terasa makin berat karena Renjana tak lagi menemani, menamparku dari bunga tidur.
"Itu bukan masalah lagi sekarang, 'kan? Intinya kita kembali bertemu. Dan bersyukurnya, bukan sebagai sepasang yang terlanjur asing."
"Renjana, kayanya aku mau cancel tiket aja, deh."
"Lho? Kenapa gitu?"
"Nanti kamu menghilang lagi. Aku sendirian lagi. Nggak mau!" Aku menggeleng keras.
"Asal kamu tahu, aku juga pesan tiket. Ternyata, penyamaranku berhasil, ya? Padahal, aku berdiri di belakangmu tadi," ucapnya sembari mengusak pucuk kepalaku pelan.
"Kereta apa? Ke mana tujuannya?" Seruku, memelototkan mata.
"Mbak, pesen satu tiket yang sama dengan Mbak-Mbak manis barusan. Itu kalimatku ke penjaga loket. Sekaligus jawaban atas pertanyaan kamu tadi."
Memang, taruna yang berasmakan Renjana Ragasuci Anggara ini selalu berhasil menumbuhkan bibit bunga dandelion di hatiku.
"Kamu berhasil masuk di FEB?" Tanya Renjana setelahnya.
Aku mengangguk. "Kamu?"
"Teknik Sipil, UGM," jawabnya mantap.
Aku menganga lebar. Seolah bisa merasakan kebahagiaan yang Renjana rasakan saat pengumuman itu tiba.
"Selamat!"
"Kamu juga. Omong-omong, kenapa kamu ke Jogja?"
"Mau ambil ijazah SD sama SMP. Buat daftar kerja. Aku ambil kuliah cepet."
"Bagus. Tapi, aku sedikit kecewa. Aku kira kamu ke sini karena mencari aku. Ya Tuhan, bodoh sekali ya aku? Aku yang meninggalkan, aku yang berharap dicari."
Kami tenggelam dalam tawa. Setelahnya, alunan musik tahun 90-an mengalun dari speaker.
"Anja, pertanyaanku tadi belum kamu jawab," Renjana menatapku serius.
"Yang mana?"
"Bagaimana kabar hati kamu?"
Aku menelan saliva. Ditatap Renjana sebegini lekatnya, diiringi rinai hujan, dengan alunan musik 90-an, ternyata bisa seindah ini.
"Apa masih aku yang meraja? Atau ada taruni lain yang berhasil menetap?"
Aku menggeleng cepat. Melotot ke arah Renjana.
"Harusnya aku yang tanya gitu ke kamu. Cewek Jogja 'kan manis-manis," gerutuku.
Tapi, respons yang kudapat adalah kekehan kecil.
"Ceritanya mendeskripsikan diri sendiri, hm?" Sejurus setelahnya, kedua pipiku dicubit.
"Bukannya sudah terjawab di kalimat-kalimatku sebelumnya? Kalau kamu belum puas, ya sudah, mau kuperjelas. Tapi, jawab dulu pertanyaanku."
Renjana melepaskan tangannya dari kedua pipi tirusku.
"Di hatimu itu ... apa masih asmaku yang terpatri?"
"Iyalah!"
"Ya sudah. Bagus. Aku kira, Jeffrey berhasil mengambil alih."
"Nggak akanーheh, aku udah jawab, lho! Tadi kamu mau bilang apa?"
Adam dengan sejuta cerita yang dibentuk saat Tuhan sedang tersenyum ini menatapku serius. Jauh lebih serius dari yang biasanya. Membuat nyaliku ciut. Berjaga-jaga kalau lisannya setelag ini, jauh dari ekspetasiku.
Renjana belum juga bersuara. Membiarkan riak hujan menjadi audio utama.
Tuhan, mengapa hatiku merasakan sesuatu yang tidak enak? Mengapa sorot Renjana tak seperti biasanya?
"Berhubung selama ini, belum ada kata putus yang terdeklarasi di antara kita, aku mau bertanya. Dalam asmaraloka tahun 2022, apa titisan laksmi boleh dipersunting oleh raksasa?"
Belum sempat logikaku mencerna kalimat ambigu tadi, Renjana sudah menarik tangan kanannya dari bawah meja. Terlihat sebuah kotak kecil berwarna merah di sana. Sepasang cincin Solitaire menyambut netra tak percayaku.
"Lima Desember 2022. Hadiahku untuk anniversary kita ke lima ini bukan sebatang coklat, sebuket mawar merah, atau benda-benda yang biasanya diberi remaja laki-laki pada pacarnya. Atmaku mantap untuk lebih serius dari itu, Sinta."
"Aku paham betul. Aku bukan lelaki yang bisa selalu ada untukmu. Aku sering membuat kamu menangis, terluka, merasa kesepian. Aku memang pencipta luka terbesarmu. Mungkin karena itu, semesta nggak pernah menghendaki kita. Tapi, atmaku selalu menggelorakan kalau segala afeksiku hanya terarah ke kamu. Aku yakin segenap jiwa, bahwa kamulah orangnya. Maka dari itu ...."
"Dalam nama Tuhan. Aku, Renjana Ragasuci Anggara berkedok Rahwana sejak 2017. Melamarmu, Anjani Arunika Kemala, berkedok Sinta sejak tahun 2017 untuk menjadi pendamping dunia dan akhiratku."
"Maukah kamu menghabiskan sisa hidup bersamaku, sampai rambut beruban putih, sampai keriput menghiasi wajah, sampai sorot semakin sayu, hingga salah satu dari kita dipanggil yang Kuasa?
𝘚𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪.
ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."
a.n :
Beneran. Ini udah selesai:)
Maaf banget kalau nggak puas sama endingnya): serius aku minta maaf .. aku emang belum jago bikin ending yang indah;"
Dan ...
AKU YANG BAPER SENDIRI, BANGCD!); pas aku nulis jantung Anja berdebar nggak karuan itu, aku beneran deg-degan sendiri!! :P
Eh tapi, jangan dihapus dulu dari perpus yaa! Ada something yang mau aku post. Kita seru-seruan di sana eheyy!!♡♡♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top