20. Gundah Tak Berkesudah

𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙙𝙪𝙖 𝙋𝙪𝙡𝙪𝙝 :
𝙏𝙚𝙧𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖, 𝙗𝙚𝙡𝙪𝙢 𝙗𝙚𝙧𝙠𝙚𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝𝙖𝙣.


.
.
.




ーR E N J A H W A N Aー

"TADAAAAAAAA!!!!"

Senyumku melebar, dengan mata penuh binar menatap adam di hadapanku. Wajah polosnya beralih dari coklat yang kusodorkan, bertubrukan dengan pandangku.

Dengan lugu, ia bertanya, "ini apa?"


"Kamu nggak tahu ini tanggal berapa?"

"Lima Januari 2018," jawabnya masih dengan ekspresi yang sama.

Aku menggigit bibir. Menahan perasaan campur aduk, yang hanya timbul saat berhadapan dengan makhluk unik ciptaan Tuhan bersandangkan asma Renjana Ragasuci Anggara ini.

"Terus?" Kuangkat kedua alis, menatapnya penuh harap.

Bukannya memenuhi ekspetasi, Renjana malah mengerjap-ngerjapkan kelopaknya. Menatapku polos.

"Satu bulan kita jadian, Renjanaaaaaaa!"

Aku menghentak-hentakkan kaki di trotoar alun-alun ini. Menatapnya penuh kesal. Bagaimana bisa di hari Minggu pagi begini emosiku sudah tersulut, karena tingkah anak usia lima tahun yang sepertinya terjebak dalam raga Renjana?

Mulut Renjana menganga lebar. Kemudian, muncul kerutan dalam di keningnya. Anak ini menatapku sedih.

"Kamu jahat, Anja," sahut Renjana sembari mengerucutkan bibir.


"Kalau kamu merayakan dalam kurun bulanan, berarti kamu nggak yakin kalau kata 'kita' akan tahan tahunan, bahkan selamanya."

"Bukan gitu maksudku, Renjana! Aku cuma terlalu seneng ajaーya udah, deh. Coklatnya aku buang aja ya?" aku melengkungkan bibir ke bawah.

Sebelum genap tubuhku berbalik, pergelangan tanganku ditahan. Disusul dengan kekehan kecil di belakang. Renjana menyusul, berdiri di hadapanku. Ia tersenyum manis. Meletakkan telapak tangan kanannya ke pucuk kepalaku. Mengusaknya pelan.


"Aku tahu maksudmu, kok. Maaf, ya? Sudah bikin kamu merasa bersalah. Aku juga senang bisa meniti waktu bersama kamu, Anja. Terima kasih sekali sudah sungguh untuk menetap."

Aku bergumam, mengangguk kecil.

"Sini, mana coklatnya?" Renjana menarik tangannya dari suraiku, lalu menjulurkannya ke hadapanku.

"Kamu suka coklat?" Imbuhnya setelah coklat batangan itu berpindah tangan.

Aku mengangguk antusias. Sedetik kemudian, mataku membola. Astaga, tidak boleh! Coklat itu untuk Renjana! Cepat-cepat aku menggeleng.

Renjana meraih satu tanganku. Mengembalukan coklat tadi.

"Lho? Nggak kamu makan?"

"Aku sudah kenyang," jawabnya sembari menepuk-nepuk perutnya.

"Emang sarapan apa tadi?"

Renjana menggeleng-gelengkan kepala.

"Berarti belum makan? Kok, bisa jawab sudah kenyang? Ayo cari makan dulu!"

Tanpa mengolah dahulu maksud perkataan Renjana, aku menarik tangannya. Hendak mencari gerobak yang menjual makanan berat di pinggiran alun-alun ini.

"Kenapa sarapan? Lihat senyum khas gadis Jogja-mu yang menyaingi manisnya gula Jawa saja sudah mengenyangkan. Mungkin, kenyangnya nggak akan kadaluwarsa, nih."

Langkahku terhenti. Memejam mata. Mengutuk Si Nona Pemilik Hati yang Mudah Terbang. Langsung kulepas kaitan tangan kami. Aku berjalan mendahului Renjana. Salah sendiri, seenaknya saja main melambung-lambungkan hatiku.

Pandangku setengah fokus setengah tidak fokus menyambangi gerobak-gerobak kaki lima yang menjual berbagai makanan, kala derap Renjana menyusulku.

"Kamu ini hobi sekali menggenggam-lepas tangan seseorang ya? Kemarin saat ulang tahun Horiz, kamu juga gini," gerutunya.

Aku hanya melirik sekilas ke samping kanan, di mana eksistensi Rahwana Palsu mampu memompa degup jantungku lebih kencang.

"Ayo."

Kutatap telapak tangan mungil yang terjulur di hadapan. Dari samping, Renjana menatapku polos, penuh asa.

"Apa?" Tanyaku ketus.

"Ayo genggam tanganku lagi. Aku suka," pintanya kelewat jujur.

ーR E N J A H W A N Aー

"Kemarin, Jude bilang, kalau dia masih gengsi untuk menjelaskan semuanya ke Yasmin. Dia takut kalau Yasmin nggak percaya," jelas Renjana, lalu menyuap sepotong siomay ke dalam mulut.

Aku menahan tawa yang hampir meledak. Jude saja yang tidak tahu, kalau hampir tiap hari, aku diteror panggilan yang terus merengek, bertanya kapan Sebastian Jude akan menghubunginya dahulu. Siapa lagi kalau bukan Yasmin?

"Sebegitu besar rasa bersalahnya. Sebenarnya, aku juga kesal, Anja. Jude itu laki-laki. Kenapa tidak berani meluruskan sendiri? Kalau kesalahpahaman ini terus berlanjut, mereka berdua akan tetap terjebak di zona sama-sama tidak tahu."

Aku mengamini. Setuju dengan kalimat Renjana.

"Nanti aku juga mau ngebujuk Yasmin buat nge-chat Jude duluan. Walau aku tahu seberapa tinggi gengsi nenek lampir itu."

Renjana terkekeh pelan.

"Oh iya, Renjana, kemarin, kalian bertiga ngobrol apa aja waktu di Anak Bintang? Jeffrey sama Hugo nggak ngapa-ngapain kamu, 'kan?"

"Jangan terus-menerus berpikiran buruk sama mereka, Anja. Nggak baik," jawabnya setelah menelan kobis.

Aku hanya menanggapinya dengan dehaman. Lalu, menyuap pare terakhirku.

"Anja."

"Hem?"

"Begini. Aku memang lebih suka kalau hubungan kita nggak diumbar. Cukup aku, kamu, dan Tuhan saja yang mengamini. Tapi, maaf sekali. Rasa kesalku pada Jeffrey belum surut karena ketidaktahuannya tentang hubungan kita."

Kalimat terakhir Renjana spontan membuatku menatapnya penuh rasa penasaran. Apa maksudnya? Jeffrey mengatakan apa memangnya?

"Kemarin, dia bertanya padaku, bagaimana sosok kamu di mataku."

Aku menelan saliva. Taruna bermanik teduh ini memang sudah memberiku alasan mengapa ia memercayakan menyimpan hatinya pada bejanaku. Tapi, rasa-rasanya masih ada yang perlu kudengar dari Renjana lagi.

"Sepertinya, Lelaki Berkalung Tengkorak itu mencintaimu."

ーR E N J A H W A N Aー

Yasmin memang memalingkan wajah ke arahku, namun netranya masih terfokus pada aplikasi penyedot kuota karena menampilkan banyak foto-foto kualitas HD tersebut.

"Inget perkataanku kemarin malem, 'kan? Semuanya cuma kesalahpahaman, Yas. Dia cuma takut kalau kamu nggak percaya."

"Kenapa takut? Kalau niat menyeriusi ya lawan semua tantangan, lah!" Ketus Yasmin.

Aku hanya geleng-geleng kepala. Lantas kembali memerhatikan Jude yang biasanya memimpin jalan di depan, kini berdiri di paling belakang saat keempatnyaーRenjana, Haidar, Javier, dan Judeーhendak memesan makanan ke kios Pak Sutra. Aku hanya bisa menahan tawa saat Jude tertangkap basah olehku, tengah mencuri-curi pandang ke arah mejaku. Apa lagi kalau bukan untuk memastikan eksistensi taruni garang di sampingku ini?

Beberapa detik setelahnya, lampu pijar menyala terang di atas kepalaku, saat netraku menangkap dua taruni cantik yang baru saja memasuki kantin.

Renata Febriyanti dan Sheren Anggraeni.

Berhubung aku dekat dengan kedua adik kelas itu, aku melambai-lambaikan tangan ke arah mereka. Renata yang pertama kali menyadari, langsung menarik tangan Sheren yang baru saja terjulur hendak mengambil ciki. Memang, Renata yang terbaik.

Kutoleh Yasmin sejenak, sebelum beranjak dan mengikis jarak dengan kedua adik kelas tadi.

"Kenapa, Kak?" Tanya Renata.

Aduhai sekali parasnya. Walau Renata sangatlah tomboy, taruni ini memang pantas menyabet gelar "Adik Kelas yang Paling Digemari Kaum Adam 2017/2018". Kalau kalian tanya dari mana gelar itu, kemarin, Renjana menceritakan padaku.


"Kelasku pernah membuat event jadi-jadian. Kontes siswa-siswi Horiz pilihan anak kelasku. Banyak sekali kategorinya. Mulai dari yang paling Sultan, paling pelit jawaban, paling disayang guru, paling digandrungi adik kelas, dan sebaliknyaーah, asal kamu tahu saja, Anja. Renata, dia memenangkan kategori "Adik Kelas yang Paling Digemari Kaum Adam 2017/2018". Tentunya Javier yang menggawangi itu semua."

Kembali pada sorot penasaran Renata dan Sheren, aku menimang-nimang dahulu tindakan yang akan kuambil setelah ini.

"Kalian ngajak Javier sama Haidar ke mana gitu, ya? Terserah. Intinya jangan sampai ngebiarin Jude nemuin kalian. Aku juga mau ngajak Renjanaー"


"Oh! Pasti mau bikin Kak Jude sama Kak Yasmin baikan, ya, 'Kak?" Tanya Sheren, si adik kelas ter up to date dengan penuh antusias.

Aku mengangguk, membenarkan.

"Lah? Maksudnya Sheren ngajak Haidar terus gue ngajak Javier gitu, Kak?"

Kali ini, hanya menahan tawa. Mengingat bagaimana susahnya oknum Javier Antasena mendekati Renata Febriyanti. Pernah suatu kali, Javier sampai masuk UKS karena berurusan dengan Boby, taruna yang juga menggandrungi Renata.

"Tolong, ya?"

Walau garangnya melebihi Yasmin, Renata tetaplah hawa yang akan luluh dengan permintaa tolong yang tulus.

"Ini ceritanya kita triple date, gitu?" Celetuk Haidar setibanya kami berenam di lorong samping kantin.

Belum sempat dijawab, Javier sudah lebih dulu menimpali, "gue paham rencana kalian."

Lantas, netranya jatuh pada tangan Renata yang belum melepas tangannya.

Aku hanya tersenyum kecil begitu melihat gelagat Renata. Tidak. Taruni itu tidak sedang 'tidak sadar'. Jelas-jelas, rona wajahnya yang tertimpa bias surya itu memerah tomat.

ーR E N J A H W A N Aー

Jude, celengukan sendiri mencari ketiga sahabatnya, yang entah sejak kapan sudah meninggalkannya. Batinnya merutuk tanpa henti.

Memutuskan untuk tak ambil pusing, Jude membawa nampan coklat tua yang berisikan empat piring nasi goreng itu sendiri. Langkahnya terhenti. Kantin sudah penuh. Bahkan, banyak siswa-siswi yang seperti dirinya. Kebingungan mencari tempat duduk.


Pandangnya menyapu tiap-tiap kursi plastik dari sudut kiri sampai ke sudut kanan. Tak satu pun kursi tersisaーada satu.


"Nggak. Jangan ke sana," logikanya memeringatkan.

Tapi, begitu gendang telinganya mendengar suara Yunan, cepat-cepat Jude berbalik badan. Bak disetel oleh semesta, tungkainya mengikis jarak tanpa ragu, menuju taruni yang duduk sendirian di pojok kanan kantin.

"Gue duduk sini, ya?"

"Nggak ada kursi lain apa?" Tanya Yasmin ketus, sedikit menutupi gelagatnya yang terperanjat.

"Lihat sendiri, noh. Tunjuk, mana kursi kosong? Lagian, emang lo mau duduk jejer Yunan?"

Niat ingin membuang muka, Yasmin malah penasaran dengan ketiga piring penuh nasi goreng yang tak dijamah itu.

"Lo mesen empat? Emang kuat makan segitu banyak?"

Jude bersyukur. Akhirnya, setelah hampir satu minggu didiamkan, taruni titisan macan betina itu mau membuka suara.

"Nggak. Ini punya tiga curut. Tapi nggak tahu ke mana. Ngilang seenaknya kaya doi," sahut Jude enteng, walau sengaja diselipkan sindiran di dalamnya.

Bukannya Yasmin tidak peka. Tapi, ia lebih tertarik dengan topik yang sama, yang dialaminya. Kedua alisnya bertaut. Sedetik kemudian, kedua tangannya mengepal.


"Sial. Kita dikerjain, Jude."

"Nggak baik cewek ngomong kasar, Yas," celetuk Jude setelah menghabiskan telur dadar.

"Gue nggak ngomong kasar. Gue ngomong sialー"

"Mau berbagi nasi goreng yang ada di mulut gue, hem?"


Jude sendiri mengutuk mulutnya dalam hati. Mengapa pula kalimat seperti itu yang terlontar? Bikin ambigu saja. Canggung, ingin beranjak, tapi hati enggan mengamini. Itulah yang dirasakan keduanya.

Sibuk dengan pikiran yang berkecamuk dalam kepala masing-masing, Jude memutuskan untuk mencoba saran dari Javier.

"Maaf, Yas."

Taruni itu sudah tahu kalau foto yang dikirim Shaqilla tempo lalu adalah editan. Memang sebegitu nyatanya. Bahkan, saat Yasmin menunjukkan foto itu pada Raga lewat room chat, lelaki itu hampir tersulut emosi. Wajar. Raga sangat tak suka dengan tipikal lelaki yang suka berpindah-pindah 'rumah'.

"Foto ituー"

"Udah tahu," sela Yasmin cepat.

Taruna itu menghela nafas pelan. Menyuap lagi satu sendok nasi goreng ke dalam mulut.

"Tapi, masalah gue nggak dateng kemarin malem, Ayahanda mendadak telepon pas gue udah sampe lampu merah perempatan Adipati. Minta jemput, sekalian nemenin ke rumah sakit. Biasa, kontrol jantung."


"Gimana hasilnya? Membaik?" Imbuh Yasmin, yang entah ke mana rasa kesalnya hilang seketika.

"Puji Tuhan. Lebih baik dari bulan lalu."

"Alhamdulillah."


Satu frasa yang keluar dari bibir tipis hawa yang didambanya itu, lebih dari cukup untuk menamparnya agar sadar akan kenyataan. Mereka memang se-amin, tapi tak se-iman.


"Maaf soal ponsel gue yang mati. Nge-hang di jalan."

"Nggak apa-apa. Santai aja."

Jude menatap taruni di samping kanannya. Ia tahu. Sangat salah menambatkan hati pada gadis yang berbeda keyakinan dengannya. Tuhan tak suka. Semesta menolak. Takdir sudah lebih dulu memeringatkan. Tapi, ia juga lelaki biasa. Yang ingin membiarkan rasa itu berkecambah.

"Yas, kali ini gue nggak terima penolakan. Lo jadi pacar gue, sejak nafas pertama lo setelah kalimat ini usai."


ーR E N J A H W A N Aー

"P-padahal, gue nggak pernah nyontohin kalimat kaya gitu ke Jude," gumam Javier.

"Terus lo nyontohin kaya gimana, Si Cassanova Nomor Satu Horizon?" Celetuk si taruni tergalak, Renata.

Keduanya sudah adu tatap.

"Gue ngajarinnya, "kalau relatif bakal kalah sama dominan, maka kapan kita naik kelas jadi pacaran? Atau, maka kapan aku bisa gandeng kamu ke pelaminan?"

Pletak!

"Aduh! Kalau pengen juga, tuh, ngomong! Dasar tsundere," cibir Javier.

"Sapa yang ngarep, hah? Lagian, kalau mau nolong temen itu didukung pakai cara lo dan biarkan Kak Jude pakai caranya sendiri. Itu yang bener," omel Renata tak mau kalah.

"Ya intinya mereka berdua udah jadi. Lo juga kenapa hobi banget nabok-nabok bibir gue, sih? Sekali-kali nabok pake bibir lo, kek! Aduh!"

Javier kalang kabut melindungi diri dari amukan Renata di balik rumah plastik yang menaungi pipa-pipa tanaman hidroponik.

"Javier! Berhenti atau gue gorok lo!"

Bruk!

"Eh?! Maaf, Kak! Sumpah, gue nggak sengajaー!"

"Nggak apa, Ren. Santai aja."

Kak Yovan melanjutkan langkah kaki menuju kantin. Tapi, taruna itu berbalik badan tiba-tiba. Menatap Renjana.

"Raga? Kapan-kapan main ke rumah, ya? Bokap gue nanyain lo."

Lantas, salah satu anak kelas dua belas yang begitu diidolakan seantero sekolah itu berjalan menjauh. Menyusul sahabatnya, Kak Yunan dan Kak Hendra yang sudah mendapat kursi tak jauh dari posisi Jude dan Yasmin.

"Gue lupa. Ortu yang punya club itu, tuh, si ortunya Kak Hendra atau Kak Yovan?" Tanya Sheren.

"Hendra"

"Bukan. Tapi ortunya Kak Yovan. Pak Joseph Finan," sela Renjana cepat. Lantas, anak itu berdiri.

Saat itu, aku tak sadar akan gurat kegelisahan yang tersamar dengan baik di wajah Renjana.

ーR E N J A H W A N Aー

"Kalau saja kamu bilang lebih awal, kalau kamu sudah jadi hak patennya Raga, saya 'kan bisa mengerem perasaan tanpa nama ini."

Aku kira, omongan Renjana Minggu lalu hanyalah candaan.

"Nggak usah direspons kalau nggak berkenan. Kamu pasti sedang mengerjakan tugas matematika, ya? Tadi teman sekelas kamu, Caesar minta tolong saya untuk mengerjakan."

Aku bahkan lupa akan eksistensi Caesar di kelas sebagai perwakilan Horiz Childrenーyang semestinya mengenal dengan baik siapa itu lelaki berkalung tengkorak. Tapi, bukankah siswa-siswi Horiz yang berhubungan dengan Anak Karba akan dicap sebagai pengkhianat?

"Jangan bingung kenapa bisa demikian. Kami musuh saat tawuran, namun menjadi teletubies setelahnya. Singkirkan segala pikiran tertutupmu itu, Anjani."

"Omong-omong, kamu nggak mau minta tolong saya? Kata Caesar, nilai matematika kamu peringkat empat."

"Dari bawah," selaku ketus.

Jeffrey terkekeh di seberang. Membuat suasana hatiku makin runyam. Ceritanya, Jeffrey menertawai kebodohanku, huh?

"Akut tutup teleponnya, ya, Jef? Aku nggak butuh bantuanmu. Aku punya Renjana."

"Ya sudah. Tapi kalau masih bingung, icon telepon di samping nama saya akan terangkat otomatis untuk kamu. Selamat sore, Kemala."

Sambungan diputus Jeffrey.

BUK!

Kubanting ponselku ke atas ranjang. Bisa-bisanya Jeffrey memanggilku dengan Kemala? Hanya Renjana saja yang boleh, tahu!


"Anja, kamu kenapa? Nelpon tapi nggak ada suara."

Renjana? Aku menelepon duluan? Pasti itu kepencet! Dari kursi meja belajar, tanganku terjulur meraih ponselku. Netraku terpaku pada profil yang terpampang di layar ponsel.

"Anja? Jangan bikin aku khawatir!"

"E-eh? I-iya, iya. Maaf."

"Kenapa menelepon?"

"Kepencet, kok ...."

Pelipisku tergurat kala mendengar embusan nafas di seberang yang terdengar kecewa.

"Oh. Aku sudah senang tadi. Aku kira kamu menelepon karena rindu suaraku."

Ini. Inilah alasanku selalu gugup saat berbicara via telepon lewat Renjana. Lisannya tak bisa kutebak. Diam-diam, sudah tersangkut di lapisan atmosfer paling tinggi saja diriku.

"Kenapa diam? Lagi fokus mengerjakan soalー"

"Gimana bisa ngerjain kalau nggak paham? Kamu ngatain aku secara implisit, ya?!"

"Bukan begitu maksudku, Anja. Duh. Ya sudah, sini fotokan soalnya. Aku ajari."

Aku diam sejenak. Memproses, menimang matang-matang keputusanku sehabis ini.


"Aku ke rumahmu, ya?"

"Eh? Aku sendirian di rumah, Anja!"

"Terus kenapa? Aku bukan tipe orang yang mudah paham kalau diajari nggak dengan tatap muka. Tapi, ya udah kalau kamu nggakー"

"Jangan malam-malam."

ーR E N J A H W A N Aー

"Ini yang namanya burung Cendrawasih?" Tanyaku sembari menatap lamat-lamat guci hitam yang terpajang di rak kaca ruang tengah ini.

"Iya. Saat masih suka berpindah-pindah mulai dari Papua, Flores, Natuna, dan pedalaman Kalimantan, Ayah Jinan jadi hobi mengoleksi barang-barang antik dengan corak khas daerah asal."

Aku manggut-manggut, kagum. Memang, ya, di dunia ini selalu ada sisi baik dan buruk. Om Jinan pasti lelah karena selalu dikejar-kejar, tapi sekaligus beruntung bisa bertandang dan berkenalan langsung dengan budaya-budaya Indonesia. Sedangkan aku, yang orang Indonesia tulen, baru pernah ke Pulau Sumatra.


Kembali kukelilingi tiap sisi ruang tengah rumah Renjana yang sangat unik ini. Sesi bertarung dengan soal-soal menyebalkan itu telah usai sejak lima menit yang lalu.

"Makan dulu, Anja," tawar Renjana.

Kuputar tubuh, mendapati satu piring keramik yang diisi nasi merah dan telur orak-arik yang diberi sedikit kecap. Lantas menatap Renjana heran. Seingatku, Renjana hanya tahu makanan favoritku sebatas mie ayam bakso.

"Hugo pernah menceritakan makanan kesukaan kamu waktu kalian belum terberai," jelas Renjana sembari mengusap tengkuknya kikuk, memandang ke arah lain.

Aku tersenyum gemas dibuatnya. Jadi, tiap frasa Hugo yang bersangkutan denganku, kamu simak baik-baik, nih?

"Makasih, ya!"

Renjana mengangguk pelan. Lantas, duduk di sofa tunggal.

Hendak melangkah ke meja ruang tengah, atensiku malah jatuh pada bingkai kecil yang diletakkan di paling belakang rak kaca ini.

Di bingkai itu, hanya ada dua anak laki-laki yang tersenyum lebar ke arah kamera. Aku sangat hafal dengan anak yang berada di sebelah kanan. Tapi, siapa yang merangkul Renjana akrab? Pikirku berkelana ke masa lalu, mengobrak-abrik cerita tentang Renjana. Siapa tahu, bisa kutemukan jawaban di sana.

"Dia Kakak angkatku. Huang Junjie."

Aku melempar pandang ke belakang. Menatap Renjana yang ternyata mampu membaca guratan penuh tanda tanya dalam sorotku.

"Maaf jarang menceritakannya. Dulu, Kakakku yang paling antusias saat menerima kabar kalau aku diterima di Horizon. Maklum, dia senang kalau ada yang meneruskan jejaknya. Kak Junjie angkatan dua tahun di atas kita," tutur Renjana dengan tenang.

"Kak Junjie janji, kalau aku berhasil masuk Horizon, Kak Junjie akan kasih aku tablet yang dikhususkan untuk menggambar. Dan saat hari itu tiba, Kak Junjie pergi sendirian. Malam hari. Padahal, sedang hujan lebat."

"Orang tuaku memang nggak memberi tahu kepadaku bagaimana detail kejadiannya. Tapi, di malam yang sama dengan pamitnya Kak Junjie, aku tahu. Kalau Tuhan begitu merindukan Kak Junjie."

Aku menatap prihatin manik sendu milik pohon rindangku. Bisa kurasakan betapa pedih anak itu saat membuka luka lama yang ia kenang dengan baik. Renjana kuat sekali.

"Tapi yang aku tahu, Kak Junjie ditabrak mobil baru."

Segelintir kilat menyambar hatiku. Mengingatkanku pada dosa lamaku yang sudah lama kututupi. Aku jadi rindu Ayah.

"Kamu tahu pelakunya?"

Renjana mengangguk. Lantas menoleh ke arah bingkai yang tadi menyerobot atensiku. Rautnya berubah menjadi lebih serius. Bahkan, aku perlu mengerjapkan kelopak sampai tiga kali untuk memastikan bahwa kedua tangannya terkepal erat di atas pahanya.

"Aku tahu kalau membenci sesama manusia itu dosa besar, Anja. Tapi, pantaskah pelakunya disebut manusia, setelah merenggut nyawa yang bahkan nggak pernah bersalah apa-apa kepadanya?"

ーR E N J A H W A N Aー

"Bunda? Tumben nggak pakai ojek?" Tanya Raga begitu Angela tiba di ruang tamu.

Anak itu menutup pintu. Lantas bergegas membereskan beberapa kertas HVS penuh coretan angka yang berserakan di meja ruang tengah.

"Perempuan tadi siapa?" Tanya Angela berusaha untuk terdengar biasa saja, walau hatinya dirundung rasa penasaran tak karuan.

"Cuma minta tolong Raga buat ngajarin Matematika, Bun."

"Ngajarin sampai main ke rumah malam-malam? Kenapa nggak via chat aja?"

Raga sudah bisa menebak apa yang bersarang di pikiran Bundanya.

"Anja susah memahami materi dengan cepat, Bun. Dia sekalian makan malam di sini. Kasihan dari sore belumー"

"Main dari sore?"

Raga memilih untuk tak menyahut Bundanya. Ia tak mau dicap sebagai anak yang tak tahu diri. Sedangkan Angela, masih menatapnya penuh telisik dari dapur.

"Ini pertama kalinya kamu bawa perempuan, Ga. Kalian cuma berdua, 'kan, tadi? Sampai malam pula. Bunda nggak suka."

Cukup dengan tiga kata terakhir itu, mampu membuat Raga mendongakkan kepala. Menatap sendu punggung Bundanya, dengan bahu yang menurun lemas.

"Maaf, Raga. Sebenarnya, Bunda mencari tahu kenapa Hugo menjauhi kamu, kenapa kamu masuk rumah sakit waktu seharusnya kamu merayakan ulang tahun sekolah, kenapa akhir-akhir ini kamu jadi lebih sering mendekam di kamar. Dan semua itu selalu berhubungan dengan nama Anjani.

Angela menghentikan kegiatannya yang hendak mengaduk teh. Menumpukan kedua tangannya pada meja dapur. Sungguh, ia sama sekali tak ingin mengekang anaknya. Tapi, perkataan sahabatnya beberapa jam lalu, begitu membekas di kepalanya.

"Jauhi yang namanya Anjani itu."

Anak itu menatap nanar Bundanya dari belakang, dengan posisi yang masih sama. Tapi, beda soal lagi dengan hatinya. Sanubarinya yang selalu ditumbuhi puspa mekar sejak bulan Oktober tahun lalu, mendadak jadi berantakan.

"Bunda."

"Dokter mendiagnosis kalau usia Julia nggak lama lagi, Ga."

Tambah lagi satu petir yang tak diharapkan. Memang ikut sakit, tapi, Renjun akan lebih sakit kalau-kalau Bundanya meneruskan ucapan dengan hal yang paling tak disukainya.

"Bunda dan Om Agung sepakat menjodohkan kalian."

Pupus.

Bundanya tak pernah meminta apa-apa darinya. Tak pernah sekali pun. Bundanya selalu membebaskan pilihannya, membiarkannya berkenala, mencoba banyak hal, sekaligus bertanggung jawab atas keputusannya. Sanubarinya menjerit sejadi-jadinya.


"Raga, Bunda tahu. Kamu nggak pernah mengecewakan Bunda."

"Sinta. Rahwanamu sedang dirundung gelisah yang tak kunjung menemui sudah."















𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...

ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."

"Sinta, apa kamu tahu isi buku catatan kecil yang dulu sering kamu sebut dengan death note itu?
Di 'death note' itulah, kutulis segala gejolak rasa yang hanya bisa timbul saat raga ini bersisian denganmu. Saat atmaku selalu mendamba segala tentangmu.
Aku ingin menghabiskan hari tua selalu dan hanya dengan kamu.
Tapi, apa semesta berkehendak?"





a.n :
Satu kata untuk Angela Yeung di bab ini . . .

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top