19. Mengaminimu

𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙨𝙚𝙢𝙗𝙞𝙡𝙖𝙣 𝘽𝙚𝙡𝙖𝙨 :
𝘼𝙠𝙪 𝙩𝙚𝙩𝙖𝙥 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙧𝙘𝙖𝙮𝙖𝙞𝙢𝙪, 𝙍𝙖𝙝𝙬𝙖𝙣𝙖𝙠𝙪.



.
.
.


ーR E N J A H W A N Aー

Telapakku mendarat pada punggung tangan Renjana. Dengan harap dapat menyalurkan ketenangan pada anak ini.

Tangannya berkeringat. Kuperhatikan sedari tadi, sudah lima sampai enam kali anak ini melirik ke arah Om Chairul. Lantas cepat-cepat mengalihkan pandang ke arah Hugo.

"Ada aku," bisikku tepat di samping telinga kirinya, sembari memererat genggaman tanganku.

Renjana langsung menarik simpul senyum kecil. Sedikit mengangkat kepalanya yang menunduk.

Tok! Tok! Tok!

Suara riuh tangan bertepuk memenuhi ruang meja hijau. Kulihat Hugo di kursi paling ujung yang langsung bangkit, berlari ke arah Ibunya, dan memeluknya. Hak asuh anak dipercayakan pada Tante Yashinta. Sesuai yang diinginkan semua orangーterkecuali Om Chairul.

Sebenarnya, tak banyak yang hadir. Hanya sahabat-sahabat Hugo. Lalu ditambah aku dan Renjana. Di deret kursi sebelah kanan, bisa langsung kutebak itu adalah pihak keluarga Tante Yashinta.

Atensiku kembali jatuh pada Rahwanaku. Hanya tersisa kami berdua yang masih duduk di sini. Berbeda dengan sorotku yang bahagia karena keadilan ditegakkanーwalau belum semuanyaーRenjana malah menatap pintu samping yang berada persis di belakang kursi Om Chairul dengan nanar.

Om Chairul sudah meninggalkan ruangan ini sejak tadi. Begitu ketuk palu terakhir terdengar.

"Kamu kenapa?" Tanyaku pelan, berusaha terdengar tidak memaksa.

Renjana tak langsung merespons. Pandangnya jatuh pada saudara tirinya yang berdiri penuh raut bahagia di sisi kursi Ibunya.

"Ayah sendirian lagi, 'kan, berarti?"

Keningku sedikit mengernyit. Tak habis pikir dengan sungai jernih yang mengalir dalam lubuk anak ini.

"Renjana, kamu masih kasihan sama Om Chairul? Kamu lupa apa yang udah Om Chairul perbuat ke kamu? Seharusnya Om Chairul dapat hukumanー!"

"Dia tetap ayahku, Anja," ucap Renjana pelan.

"Kalau bukan karena Ayah, mungkin aku nggak bisa lahir ke bumi ini."

Dadaku begitu sesak menatap manik Renjana yang amat sendu dan mendengar lisannya yang mengucap frasa "Ayah" dengan segala hormat. Mulutku bungkam. Lidahku terlalu kelu untuk membalas Renjana.

Aku memilih untuk melempar atensi pada keluarga Hugo yang masih berkerumun di tempat dengan segudang bahagia.

"Sana, kamu ucapkan selamat ke Hugo. Kalau dia cari aku, bilang saja aku lagi ke kamar mandi," ucap Renjana sembari bangkit dari bangku.

"Hati-hati! Jangan kelamaan! Kamu belum sembuh!"

"Iyaaaaaa, Sintaaa. Bawel sekali ya, kamu?" sela Renjana dengan tangannya yang sudah menjepit bibirku. Mungkin, sekarang aku lebih terlihat seperti ikan dori.

Tanganku menjauhkan jemari Renjana. Lantas mengerucutkan bibir kesal.

"Jangan seperti ini di hadapan laki-laki lain. Bisa-bisa, mereka kebelet mencium kamu," ucapnya sambil mengusak pucuk kepalaku pelan.

Itu kalimat terakhir yang keluar dari bibir Renjana, sebelum kulihat punggungnya menjauh, dan lenyap di balik pintu keluar sisi kiri.

Anak itu bilang kalau akan ke toilet sebentar. Padahal, pintu yang mengarah ke toilet ada di sisi kanan.

ーR E N J A H W A N Aー

Tungkainya berlari cepat, dengan tujuan menyamai langkah jenjang pria berpunggung lebar yang terpaut belasan meter di hadapannya.

Pip! Pip!

Pria itu sudah membuka kunci mobil lewat remote. Lantas, tangannya terulur hendak membuka pintu mobil.

"Ayah!"

Gerakannya terhenti. Matanya memejam untuk beberapa saat, sebelum derap langkah kaki tadi, sudah sampai tepat di belakangnya. Ini pertama kalinya, Chairul mendengar jelas Raga memanggilnya dengan sebutan "Ayah" sejak dua belas tahun silam.

"Jauh-jauh kalau masih mau hidup," ucapnya dingin.

"Nggak. Kali ini Raga nggak akan pergi ninggalin Ayah."

Dengungan suara lembut itu sampai ke indera Chairul. Membuat si pemilik gendang telinga membuang nafas kasar. Chairul berbalik badan. Menatap anak kandungnya yang ia telantarkan dua belas tahun silam.

Sejujurnya, ia belum pernah menatap Raga sedekat ini, bahkan dengan postur tegap begini. Karena saat di Adibara, ia selalu menyuruh Matteo untuk tidak membuat Raga memijak areanya. Kalau pun tidak sengaja melihat anak itu, pastilah berujung dengan sabetan sabuk yang meninggalkan jejak merah di punggung kecil Raga.

"Mau menertawai? Mencemooh? Pamer? Sombong? Balas dendam? Apa lagi?" Chairul menatap anaknya tak suka.

Raga langsung menggeleng cepat. "Raga akan tetap kerja di Adibara kalau Ayah meminta."

"Saya bahkan tidak sudi lihat kamu."

"Ayah bilang seperti itu, tapi tetap menatap Raga sekarang," senyumnya merekah.

"Berhenti sebut saya Ayah. Saya bukan Ayah kamu."

"Itu bagi Ayah. Terserah Ayah. Raga tetap menghormati dan menyayangi Ayah. Kalau Ayah merasa sendirian dan butuhー"

"Bisa diam?" geram Chairul. Netranya menatap tajam ke manik kelam anaknya.

Tapi, balasan yang ia dapatkan, lagi-lagi hanya seutas senyum. Yang bahkan dewa-dewi di cakrawala sana tahu dengan pasti, senyum Raga teramat tulus. Tak menuntut apa-apa.

"Raga cuma mau mengantarー"

"Tutup mulut kamu atau saya perparah gegar otakmu!" Pekik Chairul.

Raga memang terhenyak dibuatnya. Tapi, sanubarinya mengucap syukur bertubi-tubi pada Tuhan. Karena dari kalimat Ayahnya tadi, ia tahu. Ayahnya masih memedulikan kondisinya. Bukankah tak ada yang mengatakan kondisi terkininya pada Chairul? Hugo tak akan melakukannya, karena bagi Huho, ini sama sekali tidak penting.

Chairul mencari tahu sendiri. Pikir Raga polos.

"Terima kasih, Ayahー"

Tidak. Chairul Wangsa tak menyela lisannya lagi. Raga menghentikan kalimatnya karena ia memejamkan mata. Yang terakhir kali dilihatnya tadi, adalah tangan kanan Chairul yang terangkat. Hendak memukulnya.

Tapi, Raga tak tahu. Di saat yang sama, Chairul menggantung tangannya di udara. Menatap raut tenang nan damai milik anak kandungnya. Sebelum benar-benar meninggalkan Raga yang berdiri dengan mata masih memejam di bawah pohon beringin ini.

Senyum Raga semakin merekah kala suara mobil milik Chairul menjauh. Ayahnya tak jadi memukulnya. Ayahnya masih peduli.

"Hati-hati, Ayah."

"Heh, tengik!"

Matanya sontak terbuka. Ia sudah hafal harus bagaimana begitu mendengar suara bariton yang dikenalnya betul.

Fabian memanggilnya.

ーR E N J A H W A N Aー

Selepas dari sidang, Renjana mengajakku ke Anak Bintang. Karena hari ini persis hari Minggu.

"Kamu nggak ngelesin Lia?" Tanyaku begitu pantatku mendarat di kursi penumpang bis kota.

Renjana menggeleng, "keluarganya sedang menginap di rumah neneknya. Cuma itu yang aku tahu dari Om Agung."

Aku manggut-manggut. Roda bis baru meraup sepuluh meter dari halte. Kembali kuteringat akan tanda tanya yang menggantung di kepala. Kutoleh Renjana lagi yang sedang mengulur simpul dari headset-nya yang semrawut. Sama semrawutnya dengan jalanan Ibu Kota ini.

"Tadi kamu ke toilet lama banget. Jawab jujur! Ada apa?"

Renjana tersenyum kecil. Membuatku semakin dirundung penasaran.

"Tadi, aku menyusul Ayahー"

"HAHー?!"

"Maaf, Pak, Buk, Mas," ujar Renjana, membungkukkan badan beberapa kali dengan tangan kanan yang membekap mulutku.

Kuperhatikan penumpang bus kota ini, yang ... dengan kompak memerhatikan kami. Duh, mengapa pikiranku malah seenaknya jatuh di tanggal lima Desember lalu? Saat semua atensi pengunjung kafe terarah padaku.

Renjana melepas bekapan tangannya. Lantas, bibirnya berceloteh tentang semua kejadian saat ia menemui Ayah kandungnya tadi. Lalu, ia menceritakan tentang Fabian yang tiba-tiba menghampirinya dan merangkulnya akrab. Memang tidak gamblang dalam menyatakan rasa bersalah dan meminta maaf. Maklum, gengsinya pasti besar. Tapi, Renjana peka dan dengan tangan terbentang lebar menyambut sahabatnya kembali satu per satu.

Dua puluh menit tak terasa, bis kota sudah berhenti di halte yang tepat berada di seberang Anak Bintang. Kami berdua langsung turun.

Kali ini, tidak membawa buah tangan. Tapi, Renjana sudah siap dengan peralatan melukisnya di dalam ransel. Ia tak perlu membawa kanvas. Karena sudah meninggalkan beberapa di gudang panti.

"Renjana, itu ada yang jual kue putu! Beli, yuk?" rengekku, memajukan bibir bawahku.

Renjana menatapku sekilas, sebelum berjalan cepat mendahuluiku ke gerobak yang menjual kue putu di trotoar. Aku langsung menyusulnya.

Sesampainya di sisi gerobak, bapak-bapak ini sudah memasakkan kuenya. Bunyi dengungan khas bilah bambu yang dipotong bulat panjang, memenuhi indera. Membuatku sontak menutup kedua telinga Renjana.

"Kamu juga jangan kaget kalau tiba-tiba Raga menutup kedua telinganya dengan rapat atau mengaduh kalau suara-suara keras menusuk ke indera pendengarannya."

Perkataan Jeffrey terputar di kepala tiba-tiba.

"Masuk dulu ya? Ntar aku yang ambil. Oke?"

Belum mendapat respons dari Renjana, aku langsung membawa Renjana masuk ke pelataran Anak Bintang. Berjalan bersisian dengannya.

"Pak, nanti saya ambil, ya? Saya cuma mau ke sana sebentar, kok," tunjukku ke arah satu-satunya panti asuhan di jalan ini dengan dagu.

Si bapak bertopi coklat langsung mengangguk dengan ramah.

Setibanya di pintu depan panti, yang langsung disambut bangunan kincir angin dari kayu, Renjana menyentuh punggung tanganku yang masih menutup kedua telinganya. Melepasnya pelan.

"Sudah nggak apa-apa, kok. Makasih sekali, ya? Kamu sepengertian ini," ucap Renjana lembut, sepaket dengan kurva elok yang terpatri di bibir dan sorot teduhnya.

"I-iya sama-sama," balasku cepat, lantas melangkah ke bangunan utama mendahului Renjana.

"Istlinya Kak Lega!"

Aku sudah hafal betul dengan pemilik suara cadel ini. Rena. Sedetik setelahnya, kurasakan kaki kiriku dipeluk. Tanganku mengusak-usak pucuk kepala Rena. Lantas berjongkok. Menyejajarkan tinggi kami.

"Hai, Rena! Udah makan belum?"

"Udah, dong!" Rena menyengir lebar. Kedua tangan mungilnya menepuk-nepuk perutnya yang terbalut dress anak-anak dengan motif dinosaurus.

"Udah? Sama apa?"

"Sama ginuk-ginuk!"

Keningku berkerut dalam, sedetik setelahnya, aku tertawa. Melihat tangan kiri Rena yang memeragakan seolah sedang memencet-mencet sesuatu. Mungkin, maksudnya adalah agar-agar atau sejenisnya. Lembek, ya, maksudmu, Rena?

"Kamu ini, kok, bisa gemes banget, sih?!"

Cubitanku menjadikan kedua bongkah pipinya yang seakan hampir tumpah sebagai sasaran. Rena memelukku semakin erat. Kami sama-sama tertawa.

"Anjani?"

Tawaku terhenti. Ini bukan suara Renjana.

"Anja, kue putunya sudah kuam ... bil."

Sedang telingaku juga menangkap suara Bu Ratih di depan teras kantor sana.

"Kalau mau keliling-keliling, boleh sekali, lho, Nak Hugo!"

Ya Tuhan. Apa jadinya kalau tiga adam ini dipertemukan di tempat dan waktu yang sama?

ーR E N J A H W A N Aー

Di sini lah kami duduk berhadap-hadapan. Di ruang tengah bangunan utama, yang kalau menengok ke jendela, sudah disuguhkan bangunan kincir angin.

Niat untuk memecah keheningan, Jeffrey mengambil cangkir teh yang telah disuguhkan Bu Ratih lima menit yang lalu.

"Udah pada tahu, 'kan, rekaman dari Ganesha? Gue emang nggak menyebut nama pantinya ke Jeffrey. Tapi pastinya sekarang kalian udah tahu."

Tanpa perlu disebutkan secara gamblang, pikiran kami bertiga sama pahamnya.

"Salah satu relawan di sini sejak dua tahun lalu. Mengisi kelas melukis," giliran Renjana.

Tak kunjung membuka suara dan malah asyik menyesap teh poci panas, aku berdeham. Sengaja. Di hadapanku, Jeffrey melirikku sekilas sebelum menjauhkan cangkir dari bibirnya. Lantas meletakkannya di atas nampan.

"Temennya Dimas," ujarnya santai.

"Heh?" Kedua mataku terbelalak. Menatap Jeffrey tak percaya.

Pasti ia bercanda! Mana mungkin Mas Dimas yang bagai titisan putra keraton berteman dengannya yang begajulan?

"Tidak percaya? Tanya sendiri dengan orangnya kalau sudah pulang dari pasar nanti."


"Oh."

Selanjutnya, suara teriakan anak-anak yang heboh bermain engklek kembali menjadi audio utama. Sungguh, aku tak suka kesenggangan seperti ini, kecuali saat hanya berdua dengan Renjana.

"Aku keluar sebentar. Siapa tahu mau bahas masalah cowok, tapi nggak jadi karena ada aku," kuselip kekehan di akhir kalimat.

Lantas beranjak, meninggalkan ruang tengah bangunan serba putih itu.

Teringat akan perkataan Bu Ratih, kalau di lantai atas terdapat sebuah perpustakaan kecil hasil karya anak-anakーseluruh jiwaku yakin kalau Renjana juga turut serta. Aku berbelok ke kanan, lantas menaiki anak tangga yang akan berderit jika diinjak. Maklum, panti ini sudah tua.

Sembari meraup satu per satu anak tangga, kuperhatikan bingkai-bingkai foto yang terpajang di dinding. Senyumku mengembang otomatis. Anak-anak ini lugu. Terlalu polos untuk dihadapkan pada kenyataan pahit dunia. Aku ingin kembali menjadi seperti mereka. Yang bebas bermimpi tanpa takut gagal. Bebas mengepak sayap tanpa takut patah. Tak ada yang namanya teman munafik. Yang ada hanyalah kejujuran, apa adanya, belum berani bohong. Kalau pun bohong, pasti nantinya akan mengakui sendiri. Pun sampai menangis.

Tiba di dua anak tangga terakhir, pandangku terkunci pada satu bingkai kecil yang dibalut kertas origami berwarna hijau. Aku hafal betul siapa saja yang berada di dalam foto itu. Dari kiri ke kanan, ada Rio, Rena, lalu Renjana yang tengah memangku Renjani. Mereka semua tersenyum lebar ke arah kamera. Foto ini diambil tanggal 1 November 2016. Tepat di hari ulang tahunku.

Sebelum kudorong pintu di hadapan yang bertuliskan "PERPUSTAKAAN" dengan spidol Snowman warna-warni ini, kusempatkan untuk memfoto bingkai foto yang satu ini.

Ckrek!

Potret yang bagus. Harusnya ada aku, biar lebih terlihat seperti keluarga bahagia. Eh, Anja, cukup!

Line!

Kutarik tangan kanan yang sudah menyentuh knop pintu. Cepat-cepat membuka aplikasi hijau itu. Netraku memicing kala membaca pesan milik Yasmin.

Jude dan Siren?

Tanpa pikir panjang, aku langsung menelepon taruni itu.

ーR E N J A H W A N Aー

Satu hari sebelumnya.

"Please, Jude. Kalau lo mau ngelawak, ngilmu dulu sama Haidar! Gue mau bilang garing tapi kasian lo ntar."

Di seberang sana, taruna yang ia panggil Jude, menggaruk tengkuk belakangnya kikuk.

"Fadillah, ntar malem lo pergi, nggak?"

"Bilang aja mau ngajak jalan. Repot amat, sih?"

Bak diguyur air langit, begitu pula dengan muatan malu yang berlebih menghujani dirinya.

"Dasar kucing jadi-jadian! Nggak bisa sok-sok nggak tahu dulu, apa? Ya udah intinya mau 'kan? Udah, nggak usah sok-sok mikir dua kali."

"Tai bekantan!" Sungut taruni itu, yang sudah mengubah posisinya menjadi duduk tegap sepenuhnya.

"Nggak usah misuh, njing."

"Gue nggak misuh terus barusan lo ngapain, bahenol?!"

Tawa puas Jude di seberang, yang walau pun terpaut hampir sepuluh kilo meter, nyatanya mampu menulari Yasmin.

"Ah, dua puluh menit telponan sama lo nggak ada faedahnya, Jude! Tadi ngajakin jalan, 'kan? Ke Gramed, ya? Gue mau cari bahan referensi."

Jude mengamini.

Ya beginilah tipe 'pendekatan' yang terjadi antara Si Ambis dengan Si Gemar Membaca Ensiklopedia. Kafe? Tidak. Bioskop? Tidak. Game center? Tidak. Toko buku? Tanpa fafifu, langsung tancap gas.

Detik merajut diri menjadi menit.
Menit menyulam diri menjadi jam. Hingga tiba pukul tujuh malam, waktu yang disepakai keduanya sebelum Yasmin memutus sambungan telepon.

Taruni itu sudah siap di depan gerbang Horiz. Jangan lupakan fakta kalau rumahnya hanya terpaut berapa belas meter dari sekolah. Tadi, Jude berjanji akan menjemputnya di sini. Sambil menunggu sang pengisi relung hati, ia membuka-buka sosial medianya.

Sebenarnya, sejak siang tadi, layar utama ponselnya sudah memeringatkan akan adanya hujan lebat yang membasuh tanah Jakarta. Akan tetapi, Yasmin tetap abai. Jarang-jarang Jude mengajaknya jalan-jalan seperti ini.

Sudah sepuluh menit netranya menyambangi aplikasi yang bertajuk Instagram itu. Salah satu aplikasi yang tak dimiliki oleh sahabatnya, Anjani.

"Satu, buang-buang kuota karena ngeload gambar dengan kualitas HD. Dua, kalau nggak kuat iman, bisa mudah jadi insecure. Tiga, wasting time. Empat, aku nggak suka upload-upload foto. Lima, udah kaya narkoba, sekalinya berkelana, susah untuk keluar, Yasmin," aku Anjani tahun lalu, saat Yasmin menanyakan akun Instagramnya.

Yasmin tersenyum kecil. Membenarkan jawaban Raga beberapa minggu lalu, saat ia menanyai Raga secara personal, tentang mengapa lelaki itu bisa jatuh hati pada sahabatnya.

"Anja jadi dirinya sendiri, Yas."

Yasmin membuka ruang obrolannya dengan Jude. Pesan terakhirnya hanya dibalas taruna itu dengan satu tanda titik dua dan tutup kurung. Itu tiga jam yang lalu. Sekarang pukul 19.25 WIB.

Yasmin tahu, pasti Jude berangkat jauh-jauh menit sebelum pukul yang dijanjikan, mengingat jarak rumah taruna itu dengan sekolah.bHati taruni itu bergejolak. Berusaha menepis pikiran-pikiran negatif yang mulai merasuk ke logikanya.

Salah satu atlet lari dan baseball putri terbaik milik SMA Horiz itu memutuskan untuk menunggu lebih sabar.

Tapi, pepatah yang mengatakan "kesabaran akan berbuah indah", nyatanya tak selalu demikian.

Yasmin menyalakan ponselnya yang langsung menampangkan deret angka 20.02. Ia memutuskan untuk menelepon Jude, sembari merapatkan jaket parasutnya. Hawa semakin dingin. Hujan akan turun, menurut perkiraan cuaca di ponselnya.

Nihil. Ponsel taruna itu tidak aktif. Tak ingin membiarkan diri kalut dalam emosi mendadak, Yasmin mencoba menghubungi atlet taekwondo itu lagi. Sampai lima kali pun, tetap tak ubahnya abjad nihil.

Mencoba untuk tenang, Yasmin mulai menghubungi sahabat-sahabat Jude satu per satu.

"Javier?"

"Kenapa, Yas? Lagi jalan samaー"

"Ponselnya dari tadi nggak aktif. Rumah lo deket sama rumah Jude, 'kan? Denger suara motor Jude gitu, nggak?"

Javier tak langsung menjawab. Di seberang, ia berpikir dalam. Tadi, jelas-jelas ia sempat menggoda Jude yang akan berkencan dengan Yasmin, sebelum akhirnya motor ninja itu melesat menjauh. Jude selalu membawa ponsel dan tidak pernah mematikan jaringannya.

"Gue bantu telepon Jude pakai pulsa, nggak pakai Line. Lo di mana?"

"Gue di sekolah. Deket sama rumah, kok. Thanks, Jav."

Sambungan ditutup Yasmin.

Tak berhenti, pandangnya kembali menelusuri kontak yang ia beri nama Haidar Jamaluddin.

"Waalaikumsalam, Neng Yasmin. Gimana kencanー"

"Dar, lo tahu posisi Jude, nggak? Atau lo tahu ponselnya kenapa? Soalnya dia belum dateng-dateng. Ponselnya juga mati."

"Inaillahi."

"Dar!"

"Iya, iya, Yas. Sorry. Jangan panik dulu, oke? Kalian janjian di mana emang? Janjian jamber?"

"Sekolah. Jam tujuh sampai sini."

"Gila! Sebentar, ya? Gue siap-siap dulu."

"Ngapain?"

"Mau menelusuri rute dari rumahnya ke sekolah yang biasanya dilewati Jude. Sapa tau 'kan, tuh, bocah diculikーiya, iya! Sorry lagi. Tetep tunggu sana kalau Jude atau gue belum dateng. Gue mau OTW."

Lalu, sambungan diputus.

Yasmin kembali fokus mengetikkan nama kontak yang menjadi sisa harapnya. Raga. Tapi, sebelum sempat ibu jarinya menekan ikon telepon, pesan pop up yang baru saja masuk mencuri atensinya.

Dari Shaqilla, yang ia beri nama "Shaqillasu."

Dikliknya pesan dari mantan sahabatnya itu.


Shaqillasu : Yas, Si Cassanova lo itu belum dateng, ya? Gosh, poor banget sih lo?

Shaqillasu : send a picture
20.10

Cukup satu gambar yang dikirim Shaqilla, mampu memorak-porandakan segala asa yang ia rajut berbulan-bulan, yang hanya ia percayakan pada Jude.

Bagaimana bisa hatinya tak tersayat, begitu melihat wajah sang pujaan hati terlelap nyenyak di pangkuan taruni ber-name tag Siren?

ーR E N J A H W A N Aー

Selepas memutus panggilan dengan Yasmin, satu panggilan baru langsung mencuat. Dari kontak yang kuberi nama Yovan Adventus.

"Halo, Kak? Ada apa ya?"

Kak Yovan tak langsung menjawab. Yang ada, malah suara embusan nafas kasar.

"Kak?"

"Gue bingung."

"Bingung kenapa, Kak?"

"Gue takut kalau lo nggak akan percaya sama yang gue bilang nanti."

"Gimana aku mau percaya kalau Kakak belum bilang sepatah pun?"

Terdengar Kak Yovan menghela nafas di seberang.

"Anja, lo boleh peduli setan sama semua omongan gue sebelum-sebelum ini. Tapi kali ini, gue mohon dengan segenap hati. Supaya lo percaya dan nurut apa kata gue."

Mengapa bahasannya jadi seserius ini?

"Jauhi Raga."

"Nggak usah ngelantur, Kak. Sana minum kopiー"

"Apa yang gue bilang? Lo nggak akan percaya, 'kan? Lo selalu denial sama ucapan-ucapan buruk tentang Raga, Anja."

Denial? Denial bagaimananya?

"Gue minta tolong banget sama lo, An. Sebenernya gue udah dari lama mau bilang ini sama lo. Raga nggak sebaik yang lo kira."

"Gue harap lo nggak lupa sama perkataan gue di perayaan ultah Horiz kemarin. Kalau penyebab lo dijadikan bahan taruhan adalah karena dosa Raga di masa lalu. Gue mau lindungi lo dariー"

"Anja?"

Kutangkap raut terkejut milik Renjana. Anak itu baru tahu kalau aku tengah menelepon.

"Kalau sudah selesai, ayo makan," ajaknya tanpa suara, dengan senyum yang tak pernah pudar sejak mengantar Ayahnya beberapa jam lalu di bawah pohon beringin.

Sedang aku di sini, menatapnya penuh asa, yang bercampur dengan seonggok tanda tanya.

Renjana, walau, mungkin banyak yang menentang kita. Banyak desas-desus yang menyuruhku untuk mengulurmu. Banyak tangan kokoh yang terjulur padaku dengan percuma. Walau mungkin semesta tak menghendaki kita.

"Itu suara Raga, 'kan? Terserah lo, deh, An. Keputusan ada di lo. Intinya gue udah memeringatkan. Raga nggak sebaik yang lo kira. Bahkan menurut gue, Hugo jauh lebih baik dari pada Raga."

Aku memilih untuk tetap memercayaimu. Bahkan, kalau pun yang kau ucap adalah sebuah dusta. Aku akan selalu mengaminimu, Rahwanaku.

"Renjana? Fotbar, yuk? Kita belum punya kenang-kenangan, 'kan?"
























𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...

ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."

JenYeon shipper?

*Siyeon as Siren

a.n :
Coba, aku mau tahu teori-teori kalian tentang yang dimaksud Yovan . . .

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top