18. Merajut Komitmen
𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙙𝙚𝙡𝙖𝙥𝙖𝙣𝙗𝙚𝙡𝙖𝙨 :
𝘼𝙠𝙪 𝙢𝙞𝙡𝙞𝙠𝙢𝙪, 𝙍𝙖𝙝𝙬𝙖𝙣𝙖.
.
.
.
ーR E N J A H W A N Aー
Di sinilah. Di kafe minimalis, yang pagar-pagarnya dipenuhi macam-macam bunga dan daun rambat. Butuh waktu setengah jam dari rumah untuk bisa duduk di sudut ruang kubus. Dekat jendela bertirai bambu yang dicat putih.
Kemarin, Renjana berkata akan menyusulku. Ia ada keperluan sebentar di Anak Bintang. Tentu saja anak itu memanfaatkna fasilitas pemerintah kota, dengan naik bus Trans Jakarta.
Bias fajar pukul setengah empat petang menerabas tirai bambu. Menimpa wajah, yang membuat tanganku mau tak mau menutupi sisi kepala. Menghalau sinar surya, yang bagai lampu sorot.
Atensiku terpatuk pada sepasang perempuan dan laki-laki yang duduk tak jauh dari mejaku. Mereka asyik berswafoto dengan ponsel yang digenggam si adam. Menilik hasil jepretan satu per satu. Lantas, keduanya tenggelam dalam gelak tawa manis. Romantisnya.
Aku yang masih berusaha menghindar dari timpaan bias surya, tenggelam dalam simpul logika dan hati.
Terputar dengan sendirinya pertanyaan yang dilayangkan Lia beberapa minggu lalu.
"Kamu siapanya Raga?"
Jangan egois, Anja! Bukankah saat kamu mendeklarasikan afeksimu pada taruna itu, kamu berjanji takkan memaksanya memberikan kejelasan hubungan?
Lagi pula, ini hanya masalah statusーbukan hanya. Aku dan Renjana memang memiliki perasaan yang sama. Saling menambatkan hati. Saling menaruh rasa percaya. Batin kami terkoneksi. Tapi, tenggelam dalam ketidakpastian itu tak sepenuhnya "baik-baik saja."
Sekarang adalah waktu kencan.
Katanya kemarin lusa. Tapi, seharusnya diimbuhi dengan rentetan abjad, "kencan atas hubungan tanpa status."
Memilih untuk berusaha mengabaikan simpul logikaku yang makin rumit, kubuka ruang obrolanku dengan Renjana. Pesan yang kukirim lima belas menit lalu tak kunjung dibaca. Aku membenci pikiranku lagi. Yang kali ini, seenaknya membayangkan hal-hal yang tentu saja tak pernah kuaminkan terjadi pada Renjana. Anak itu belum pulih sepenuhnya.
Leherku melongok ke berbagai sudut ruang kubus serba putih ini. Dengan harapan menemukan raga mungil yang belakangan kutambatkan afeksiku padanya. Nihil. Di menit ke kedua puluh setelah jam menunjuk ke waktu yang disepakati, sosok taruna ini belum juga nampak.
Semua kursi sudah dipenuhi orang-orang. Mungkin, kursi yang kuletakkan tas di atasnya untuk Renjana, adalah satu-satunya yang tersisa.
"Test, test."
Jemariku menekan ikon telepon pada ruang obrolan kami. Sungguh. Aku sangat khawatir. Sebelumnya, sudah kuhubungi Jude, Javier, dan Haidar untuk meminta tolong menghubungi Renjana pula. Tapi ketiganya sama saja.
Ini bukan hal lucu!
"Maaf kalau kehadiran saya mengganggu kenyamanan kalian. Sebelum guest star yang sesungguhnya naik panggung, izinkan saya untuk membawakan satu lagu sederhana."
Kedua ibu jariku melayang di atas keyboard ponsel. Telingaku sangat familiar dengan suara ini.
"Lagu ini saya persembahkan untuk hawa titisan Dewi Laksmi yang duduk sendirian di sudut sana. Di samping jendela."
Riuh. Audio yang memenuhi pendengaranku hanyalah sorak sorai dan tepuk tangan.
Kudongakkan kepala dengan ragu. Hampir semua pengunjung kafe yang terhubung dengan taman bunga ini memandangku memuja. Seakan aku adalah ratu dunia. Gadis paling beruntung sejagat. Lantas, atensiku jatuh pada seorang perwira di platform band. Duduk di satu kursi plastik. Dengan gitar di kedua pahanya.
Taruna itu memakai kaos putih yang dibalut kemeja merah kotak-kotak. Dengan celana jeans belel. Dan sepatu biru laut, yang tiap derapnya sudah menjadi alunan merdu bagiku. Dia Renjana. Si Rahwanaku.
Netra kami bertemu. Dengan debar jantung yang melampaui batas, afeksi yang semakin membesar, dan panas sinar surya yang berpindah ke rona wajah. Renjana tersenyum manis. Tatapannya tak beralih dariku. Riuh tepuk tangan kembali terdengar begitu anak itu memetik gitar dengan lihai.
(Song by Fiersa Besari - Hidup Kan Baik-Baik Saja)
"Cerita kita tak semanis dongeng.
Atau bagai drama sinetron cengeng..."
"Hingga rambutmu memutih.
Hingga perutku membuncit.
Hati ini takkan pernah tua ..."
"Kita memang bukan pasangan sempurna. Bukankah Tuhan mengirimmu untuk melengkapiku?
"Aku tidak perlu punya segalanya. Selama kau ada di sini, hidup kan baik-baik saja."
Untuk kali ini, biarkan aku menjadi egois. Sombong. Pelit. Dan rakus. Tiap perlakuan sederhana yang Renjana tujukan padaku, memang mampu membuatku merasa sebagai pemilik jagat raya.
Bagai terbang sampai nabastala ketujuh. Bermandikan taburan kemerlap bintang. Dinyanyikan dendangan sang nona bula dan diamini seluruh semesta.
Itulah yang Renjana beri kepadaku. Benar. Aku tak perlu memiliki semuanya. Karena dengan kehadiran Renjana dalam album kehidupanku, rasa-rasanya, aku mampu bertualang sampai ke ujung dunia. Hanya dengan menjatuhkan diri dalam netra teduhnya.
"Aku tidak perlu punya segalanya. Selama kau ada di sini, hidup kan baik-baik saja."
Lagu telah usai. Dengan kelebihan muatan bahagia yang belum surut.
Di depan sana, Renjana mengembalikan gitarnya pada salah seorang barista yang menunggu di sisi platform. Lantas, tungkainya kembali meraup pijak. Jemari kecilnya meraih microphone.
Hei, Renjana. Mau memamerkan resep penakhluk hatiku yang mana lagi, hm?
Semua pengunjung tergelak kala pengeras suara memerdengarkan deru nafas Renjana. Tak terkecuali aku.
Ulasan senyum penuh sipu tak jua luput dari bibir.
"Mas, mbak, mohon maaf sekali lagi kalau eksistensi saya di sini merusak suasana hati kalian. Tapi saya mau berbicara sebentar dengan Sang Pujaan Hati."
Netra kami kembali bertemu.
"Di tanggal yang sama sekali nggak ada istimewanya ini, saya mau melempar ajak untuk merajut komitmen, ke titisan Dewi Laksmi tadi," Renjana menggaruk-garuk belakang sirah. Nampak sekali kikuknya.
Atensi pengunjung kembali tersedot ke arahku. Sedang di sini, aku mencoba turun dari nabastala ke tujuh. Terlampau takut, kalau penuturan Renjana selanjutnya mempu membawaku ke nabastala paling tinggi.
"Anjani Arunika Kemala. Jangan kaget dengan sebutan aku yang saya ganti menjadi lebih baku seperti ini, ya? Karena kata Javier, saya lebih romantis dari pada aku."
"Saya sudah menaruh afeksi sepaket dengan semesta saya ke kamu. Saya sudah mantap menjadikan kamu pusat bumantara saya sejak warsa 2016 silam."
"Saya terpikat dengan sikap, sifat, dan perangai apa adamu. Saat orang-orang lain di luar berusaha menjadi yang pertama mengikuti tren terkini, saat gadis-gadis berlomba-lomba memermak paras agar memenuhi yang katanya standar kecantikan. Kamu tidak melakukan hal yang sama dengan mereka. Kamu bukan memilih untuk berbeda. Tapi, kamu memilih untuk menjadi diri kamu sendiri."
"Mungkin kamu juga nggak sadar. Kalau dulu, kita pernah bertemu di Gramedia. Saya sedang mencari notebook yang kamu sebut-sebut sebagai death note itu. Dan atensimu sedang larut dalam rak-rak novel best seller."
"Saya memutuskan untuk mengikuti kamu. Bukan maksud untuk menguntit. Namun, ini adalah obat tidur saya. Karena kalau saya nggak memanfaatkan kesempatan, saya jamin. Malamnya, saya nggak bisa tidur saking menyesalnya."
"Kamu bertandang ke Anak Bintang. Berhubung saya relawan juga di sana, saya tetap mengikutimu. Begitu terkejut sekaligus terpananya saya, saat mengetahui kalau kamu mendaftarkan diri menjadi donatur. Demi Tuhan. Mulai saat itu, afeksi saya kepadamu selalu berlipat ganda setiap harinya."
"Cukup alasan itu yang mampu saya katakan sekarang. Kalau kamu mau mendengar semuanya, kasian Mas-Mas dan Mbak-Mbak ini karena kelamaan menunggu guest star aslinya."
Kekehan Renjana menular sampai ujung kursi taman. Anak itu diam sejenak. Menjatuhkan pandangnya pada rumput taman di bawah.
"Maaf. Tanggalnya memang nggak istimewa, kalau mau mendamba yang seperti itu. Karena saya bukan lelaki yang penuh romantika."
Helaan nafasnya kembali terdengar sampai sudut ruangan. Renjana mengangkat kepalanya. Menatapku lebih mantap dari sebelumnya.
"Saya, Rahwana di warsa 2017 dan seterusnya, mengajak Sinta di warsa 2017 dan seterusnya, untuk menjadi pacar saya. Jadi, maukah kamu saya patri dengan megah di singgana hati saya sampai akhir hayat?"
Benar kata Yasmin. Cinta itu bagai sihir.
Ketika aku melihat Renjana, semuanya seakan menghilang.
Sorak sorai pengunjung kembali terdengar. Bedanya, kali ini bukanlah tepuk tangan atau siulan-siulan. Tapi, bagai dikondekturkan Renjana, semua orang kompak mengeja satu frasa yang sama. Bahkan, pasangan yang kuperhatikan tadi, nampak paling bersemangat.
"Terima! Terima! Terima! Terima!"
Dasar. Memang, bagaimana bisa aku menolaknya?
Dari sudut ruang kubus ini, dengan bias surya yang rasa-rasanya memang dijadikan lampu sorot yang hanya menaungiku, aku mengangguk mantap penuh binar.
5 Desember 2017. Aku milikmu, Rahwana.
ーR E N J A H W A N Aー
"Aku nggak nyangka ini sebelumnya, Anja. Barista yang meminjamkan gitar tadi bilang, kalau semuanya gratis untuk kita. Baik sekali, ya?" Binar Renjana seakan menarikku masuk.
Aku mengangguk kecil. Sungguh. Senyum yang terukir di bibir belum surut juga. Pun tak pegal juga.
"Anjani, kamu sakit? Kenapa jadi jarang bicara? Wajahmu juga merah sekali," tanya Renjana sembari menempelkan punggung tangannya pada keningku. Raut penuh cemas terpatri di sana.
Aku terkekeh tanpa menjauhkan tangan Renjana.
"Iya, aku sakit. Sakit karena degup jantungku belum balik ke keadaan normal sejak kamu nembak aku tadi," imbuhku.
"Ya Tuhan. Aku kira kamu sakit apa," Renjana mengelus-elus dadanya sendiri.
"Makanya jangan kelewat polos jadi cowok, Renjanaaaaa!" Cubitanku sudah mendarat mulus di pipi Renjana.
"Aw! Adoeh! Maaf! Maaf!"
Renjana melepaskan tanganku yang mencubit pipi kirinya. Telapaknya langsung menangkup pipinya sendiri. Menatapku kesal sembari mengerucutkan bibir. Membuatku semakin gemas dibuatnya.
"Renjana."
"Dalem?"
"Aku udah tahu alasan kamu suka sama aku. Kamu nggak mau, nih, denger alasanku suka sama kamu?"
"Suka atau cinta? Dua frasa itu berbeda Anja."
"Ya gitu, deh, maksudku! Kalau 'cinta', kesannya berat banget!"
Renjana menyimpul senyum kecil di sudut bibir. Lantas menumpukan dagu pada telapak tangannya. Menatapku teduh.
"Ya sudah. Senyamanmu saja. Aku mau dengar."
Aku mengalihkan pandang dari Renjana. Membasahi bibirku sekilas. Lantas, kembali menatap netra Renjana. Yang entahlah, sepertinya taruna ini baru saja memerhatikan ranumku.
"Sebenernya aku bingung. Nggak ada kalimat lain yang jadi alasan, selain kamu mirip Papa."
Hening. Netra kami masih saling mengunci, dengan aksara yang entah ke mana terkubur.
"Bisa kamu ceritakan tentang Papamu? Aku penasaran. Segagah apa Prabu Janaka di warsa 2017 ini karena berhasil mendidik putri sebaik kamu."
Selalu. Kalimat Renjana bagai pohon perindang untukku.
"Gagah banget. Sama kaya kamu. Saking gagahnya, jadi rentan tapi masih sok kuat," ujarku dengan kekehan kecil di akhir.
"Tatapan kalian sama. Meneduhkan. Beneran. Aku nggak ada kata lagi selain menggambarkan netra kalian. Indah banget. Walau aku tahu. Di balik kaca jernih itu, ada banyak luka. Kalian hebat. Sama-sama kuat, karena nggak mau kelihatan lemah di luar."
"Terima kasih banyak," ucap Renjana setelah bibirku terkatup sepuluh detik.
"Renjana, aku boleh denger nggak? Gimana Tante Widya dulu? Pasti cantik banget, ya?" Tanyaku dengan rasa penasaran yang jujur.
"Sama seperti kamu juga. Cantik sekali. Manis. Sederhana. Apa adanya. Terbuka. Selalu riang. Dan sama-sama rumah."
"Omong-omong, Anja. Apa kamu tahu alasan kenapa Puan Rembulan akhir-akhir ini selalu sabit atau bahkan nggak kelihatan sama sekali waktu malam hari?"
Aku menggeleng. Bahkan, memerhatikan bulan saja, sudah jarang.
"Dulu, sewaktu Ibu masih ada di sampingku, Puan Rembulan juga begini. Katanya, dia tersipu. Malu karena iri sama kecantikan Ibuku yang mampu mengalahkannya. Tapi di malam-malam setelah Ibu tiada, aku jadi benci Puan Rembulan. Dia selalu muncul sepenuhnya. Seakan mengejekku yang sendirian. Sekarang, Rembulan balik tersipu lagi. Pasti karena iri sama kamu, Anja."
"Kalau kebanyakan orang suka bulan purnama, aku lebih suka bulan sabit."
Renjana mendaratkan tangannya di punggung tanganku. Menatapku sayu.
"Aku tahu, ini egois. Tapi aku harap, aku nggak pernah lagi lihat bulan purnama."
ーR E N J A H W A N Aー
"Gimana kabar?" Tanya Hugo datar. Sama sekali tak tersirat minat dalam kalimatnya.
"Baik. Gimana orang rumah?" Tanya Raga ramah.
Kini, keduanya tengah duduk di kursi santai teras depan rumah Raga. Menatap gemintang yang menghiasi gelapnya cakrawala. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Mau cerai."
Lengang. Raga memejam mata. Menyandarkan punggung sepenuhnya pada bilah kayu. Anak itu sama sekali tak mengamini berita yang dibawa Hugo. Ia tak ingin Ayahnya kembali sendiri dirundung sepi.
"Lo mengharapkan itu?"
"Lo?"
"Nggak."
Jawaban Raga membuat Hugo terhenyak. Ia kira, saudara tirinya ini akan senang.
"Tepis pikiran lo yang mengatakan gue akan berpesta dan semacamnya, Hugo," timpal Raga sambil mengubah posisi duduk menjadi menghadap Hugo sepenuhnya.
"Udah bujuk mereka?"
"Gue cuma bocah pungut di mata mereka. Nggak berhak ikut campur masalah orang dewasa."
"Tapi lo tetap seorang anak."
Hugo menyugar surainya yang mulai panjang ke belakang.
"Ga, lo nggak ada dendam gitu sama gue?"
"Merasa bersalah ya? Udah gue maafkan jauh-jauh hari, kok," Raga menjawab enteng
"Disuruh Hana. Kalau dia nggak maksa, mah, mana mau gue," desis Hugo di akhir.
Si penghuni rumah menganggukkan kepala. Mahfum dengan perangai saudara tiri sekaligus mantan sahabatnya ini.
"Go, kalau lo tanya, sebenernya gue masih marah sama lo."
Sekelumit kalimat yang dinotasikan Raga di samping kanannya ini, sukses merebut seluruh atensinya.
"Tonjok sini," Hugo mengenyampingkan wajahnya, bermaksud memberi pipi kanannya.
"Bukan begitu, Go."
Hugo kira, layangan Raga tadi hanyalah suatu candaan. Tapi begitu mendengar nada yang beranjak serius, Hugo memerhatikan lawan bicara lamat-lamat. Dengan kedua alis yang bertaut.
"Jangan samakan Hana dengan Anja. Kalau lo menjadikan Anja bahan taruhan, jangan perlakukan itu ke Hana."
Kini, lelaki berbibir tebal itu menatap Raga sepenuhnya dengan logika yang hampa. Bagaimana bisa, Raga sama sekali tak menyimpan dendam kepadanya?
"Omong-omong, kalau lo mau dengar sebuah pengakuan yang tersemat sindiran keras di dalamnya, gue punya satu."
Raga tersenyum kecil. Sebenarnya, anak itu sama sekali tak ingin mengatakan ini. Tapi, sesekali menggoda Hugo Hayden, tak kan jadi perkara besar, bukan?
"Terima kasih sebesar-besarnya, karena telah memercayakan 'pacar' lo ke gue, saat tawuran lima belas Oktober kemarin."
ーR E N J A H W A N Aー
Setelah memikirkan matang-matang saran Raga untuk pulang ke rumah, Hugo kembali menemui Jeffrey. Bercakap-cakap sebentar, lantas pamit.
Di dalam mobil, pikirannya beranak-pinak. Mencoba memasukkan segala kemungkinan yang akan ia terima nantinya. Perceraian. Hak asuh. Masa depan. Terlantar. Hanya empat persoalan itu yang menggenangi otaknya.
Begitu civic pemberian Yovanーyang sejujurnya sangat ia benciーmemasuki pelataran rumah, Hugo menyipitkan matanya. Rumahnya gelap. Hanya tiga sampai empat lampu taman yang dibiarkan menyala otomatis kala lembayung berpamit di kaki cakrawala satu jam yang lalu.
Dengan bergegas ia keluar dari mobil. Melangkah masuk ke dalam rumah. Membuka pintu depan, yang anehnya tidak dikunci. Hugo sampai harus menyalakan flashlight dari ponselnya. Lalu berjalan perlahan menaiki anak tangga. Ruang yang menjadi tujuannya adalah kamar sang Ibu.
Kriieett!
"Hugo?" Suara parau menyambutnya.
Lampu kamar menyala otomatis. Membuat kedua bola mata Hugo membelalak seketika. Di cermin meja rias, terbias wajah Yashinta yang penuh lebam. Hugo hafal mana luka yang lama dan masih baru. Tapi, milik Yashinta bahkan belum terobati.
Hugo menghambur ke meja rias. Memerhatikan lamat-lamat wajah Ibundanya. Matanya berkantung gelap. Sembab habis menangis. Tapi rasa sakitnya ditutupi dengan elok di balik ulasan senyum tulusnya.
"Udah pulang dari rumah temen?"
Bak dijatuhi dosa paling besar, benak Hugo meringis. Ia merasa menjadi anak paling durhaka karena telah berbohong kepada Ibunya.
Tangan Hugo terkepal kuat di sisi celana. Yashinta yang menyadarinya, menyentuh kepalan tangan Hugo. Yang bagai magis, mengusir sebagian amarah Hugo seketika.
"Jangan marah sama Papi. Ini bukan hanya salah Papi. Mami juga egois, karena memaksakan kehendak untuk berpisah."
Lebur. Benteng pemimpin geng Horiz Children itu remuk redam dalam satu detik. Sanubarinya bak tersayat katana paling tajam sejagat.
Hugo mendongakkan kepala. Sekuat tenaga menahan bulir tangis, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, menguatkan diri sendiri untuk bertopang teguh. Kena karma. Pikirnya.
"Papi lagi mengajukan. Mungkin, akhir Desember, Den."
Luruh. Satu titik air jatuh dari pelupuk mata Hugo. Ia menundukkan kepala. Menggigit bibir kuat-kuat. Sedang Yashinta yang masih duduk di kursi, merengkuh sirah anaknya. Membawanya ke dalam dekapan terhangat. Berbagi pilu.
"Maaf .... aku ingkar. Aku nggak bisa memenuhi janjiku untuk memberikan keluarga ternyaman untukmu, Nak."
Lebih baik menyudahi, lantas hidup dengan asa yang terlahir kembali. Daripada memaksa untuk terus, dengan hujaman pelik yang terus menggerus.
ーR E N J A H W A N Aー
Ujian akhir semester berjalan dengan lancar. Walau, aku kelabakan membagi waktu. Bukan membagi waktu antara bermain dan belajar. Tapi, membagi waktu antara berkutat dengan materi dan menawar rindu dengan Renjana. Hehehe.
Gendangku sudah bosan mendengar nama Caesar disebut-sebut sebagai peraih juara satu paralel. Saking seringnya taruna berotak simpanseーmaksudku cerdasーmenyabet berbagai prestasi akademik. Kalau kalian menanyakan Yasmin, si taruni titisan singa betina yang jiwa ambisnya tak terkalahkan itu, ia menyabet juara dua paralel. Selisih nilainya dengan Caesar hanya lima poin.
Kondisi Horiz kembali seperti semula. Sungguh. Kali ini, aku berani berkata kalau desas-desus mengenai kasus Renjana dan Hugo, cemoohan yang biasanya dilayangkan anak-anak Horiz Children untuk Renjana, bisikan-bisikan dari kakak kelas yang membicarakanku di belakang, seratus persen lenyap.
Bagaimana bisa? Aku tidak tahu. Mungkin, aku bisa me-request-nya ke Kak Nessie untuk dibahas dalam konten-konten teori konspirasinya. Tidak. Bercanda.
Yasmin juga semakin sering menceritakan terkait hubungannya dengan Jude. Aku sampai terkejut. Di hari Renjana menembakku, di saat yang sama pula, Jude terang-terangan menyatakan perasaannya pada Yasmin lewat vidcall. Tapi, yang membuatku mengernyit dahi adalah, sohib Renjana yang satu itu tidak menembak Yasmin.
"Gue nggak mau terkesan memaksa dia. Ntar, dia malah nggak nyaman karena merasa suatu keharusan memberikan gue kejelasan status, An."
Kalimat Yasmin yang satu itu sedikit-banyak mengingatkanku pada salah satu nilai kehidupan yang kugenggam erat. Yaitu, jangan pernah memaksa kehendak orang lain.
Aku juga tak bisa menyembunyikan keterkejutanku, saat Renjana bercerita kalau Hugo sudah meminta maaf secara langsung kepadanya. Aku kira, Hugo akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengubur gengsinya dalam-dalam.
"Itu, bisnya sudah datang. Ayo, Anja," Renjana mengulurkan tangan ke arahku.
Lamunanku buyar. Langsung kuraih telapak hangat milik Renjana. Lantas berdiri, mengekor taruna yang katanya sudah terbiasa dengan bis kota ini. Renjana memilih tempat duduk di baris paling belakang. Di pojok kiri.
Sekarang tanggal 31 Desember 2017. Hari di mana sidang perceraian kedua orang tua Hugo dilaksanakan. Perih rasanya. Membayangkan taruna sekokoh Hugo dengan ide-ide hebatnya dalam setiap pertemuan organisasi, harus menghadapi kenyataan sepahit ini.
Tapi, aku langsung menoleh ke arah Renjana. Ialah anak kandung yang paling tersiksa di siniーah, tidak. Luka tiap manusia tidak dapat dibanding-bandingkan. Karena ketahanan dan kerentanan tiap individu itu berbeda-beda.
Sejak hari di mana Renjana ditemukan tak sadarkan diri di gedung pemotongan kayu tempo lalu, anak ini tidak lagi melanjutkan kerja di Adibara dan memang seharusnya begitu.
Aku mengalungkan tangan pada lengan Renjana di samping kanan yang terbalut sweater rajut. Menyandarkan kepalaku pada bahunya.
"Kamu tahu, 'kan, perbuatanmu ini berpotensi membuatku kena serangan jantung dadakan?"
Walau benakku sama sekali tidak mengamini perkataan Renjana dalam perkara sakit yang sesungguhnya, mulutku dengan entengnya menjawab, "aku tahu. Maaf, ya? Sengaja. Hehehe ...."
Pandangku jatuh pada lautan transportasi di hadapan. Ternyata, sepadat ini kalau melihat jalanan Jakarta dari bis kota. Mobil-mobil yang kebanyakan hanya diisi satu orang yang merangkap sebagai pengemudi dan motor-motor yang dengan lihainya mencari 'jalan tikus' di sela-sela kendaraan-kendaraan besar.
Ternyata, inilah penyebab tanah pertiwi 'sakit'.
Coba bayangkan. Mungkin, butuh seluruh jalur untuk mewadahi seratus mobil yang masing-masing bermuatan satu penumpang. Tapi, kalau seratus penumpang itu dipindahkan ke bis kota, mungkin hanya butuh empat buah bis.
Aku jadi tertampar sendiri, karena selalu diantar-jemput oleh Pak Nanta. Tapi, kalau aku naik bis kota terus, bagaimana perekonomian Pak Nanta? Duh, rumit sekali ternyata. Tak bisa kubayangkan seberapa pusingnya pemerintah. Aku yang sebagai rakyat, hanya bisa mendoakan dan terus belajar. Agar, di masa di mana anak-anak seusiaku besar nanti, kami bisa menjadikan bumi pertiwi ini lebih sehat dan kokoh.
Aku mengeratkan pelukan pada lengan Renjana. Aroma parfumnya menyerbak ke indera penciumanku. Tidak menyengat dan pas.
Renjanaku ini rupanya semakin pintar dalam usaha memikatku, ya? Jangan sampai ia pakai parfum ini saat di sekolah! Jangan pernah!
Chup.
Aku langsung menoleh ke arah Renjana yang baru saja menjauhkan wajahnya dari pucuk kepalaku.
"Ini tempat umum, Renjana!" bisikku penuh penekanan, sembari menatap kesal ke arahnya.
"Aku tahu. Maaf, ya? Sengaja. Hehehe ...."
Kali pertama aku tahu. Kalau balas dendam, ternyata bisa seindah ini.
ーR E N J A H W A N Aー
Line!
Yasmin
Jude sm Siren ternyata cocok ya? :)
𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...
ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."
"Kata Jaemin, saya lebih romantis daripada aku."
-Renjana
a.n :
Menurut kalian, latar waktunya kecepeten, nggak?
Soalnya, rencananya, cerita ini akan berakhir dengan latar tahun 2021. Jadi, kalau terlalu berkutat dengan tahun 2017, aku takut babnya bakal kebanyakan . . . .
Enaknya gimana, nih, menurut kalian?
Terima kasih yaa♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top