16. Relung Rindu
𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙚𝙣𝙖𝙢𝙗𝙚𝙡𝙖𝙨 :
𝙎𝙖𝙩𝙪 𝙥𝙚𝙧 𝙨𝙖𝙩𝙪 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙣𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙢𝙪𝙡𝙖𝙞 𝙩𝙚𝙧𝙠𝙪𝙖𝙠.
.
.
.
ーR E N J A H W A N Aー
"Kalau gue Tuhan, gue panggil Hugo sekarang."
Jude mendesis penuh dendam tepat setelah Jeffrey mengatupkan mulut, menjelaskan apa yang terjadi belakangan. Tangan beruratnya terkepal begitu mengintip sahabatnya terbaring tak berdaya di ranjang salah satu ruang IGD tersebut.
"Ngawur!" Timpal Haidar.
Empat puluh lima menit yang lalu, entah dari mana, Jeffrey menghubungi langsung Jude. Mengabari kabar yang menyesakkan. Tanpa pikir panjang, saat itu juga, ia bersama Haidar dan Javier membolos sekolah. Seakan ujian akhir semester bulan depan bukanlah perkara besar.
"Saya bingung mau mengabari siapa. Nggak berani buka-buka ponselnya Anjani. Maaf kalau mengganggu KBM kalian," ucap Jeffrey sembari memandang ketiga laki-laki lain di ruang tunggu itu satu per satu.
Menyadari bahwa seharusnya merekalah yang berutang budi, Javier menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Jeffrey.
"Thanks."
"Terus lo bawa Anja ke sini pakai apa?" Tanya Haidar yang hatinya sedikit melunak begitu melihat Javier mencoba mencairkan suasana.
"Pinjam mobil salah satu karyawan di pabrik tadi. Motor saya sebagai jaminannya. Nanti sore pukul lima saya sudah harus kembali."
Suasana kembali sunyi. Hanya tiga-empat pasien baru yang keluar masuk IGD di jam-jam berikutnya. Jeffrey yang merasa diperhatikan Jude sedari tadi, mendenguskan nafas risih.
"Ada apa?"
"Gue curiga sama lo."
Javier dan Haidar langsung melempar pandang ke arah sahabatnya. Kedua sohib ini sudah memiliki satu pemikiran. Jeffrey tidak seburuk yang dibayangkan. Lantas, mengapa Jude tiba-tiba berkata seperti itu?
"Bukannya lo yang disuruh Hugo tempo lalu buat bonyokin kakinya Raga? Sama karib lo satu lagi. Siapa namanya? Ah, ya, Mahen, 'kan?"
Jude mengangkat dagunya, bersiap kalau Jeffrey terpancing emosi dan 'mengajak'-nya sekarang. Tapi ekspetasinya berlebihan. Bukannya terseret dalam arus emosi Jude, Jeffrey hanya diam. Taruna itu bingung harus menjawab bagaimana. Menyadari tanggapan kosong dari lawan bicara, Jude mendecih remeh.
"Jangan-jangan sebenernya lo takut sama Hugo? Lo dibayar berapa, sih?!"
"Jude."
"Jangan belain seorang munafik kaya dia, Jav!" Jude meninggikan nadanya.
Haidar yang sedari tadi hanya mengamati, mulai merasa tidak nyaman begitu sepasang-dua pasang mata lain tersabet atensinya ke arah mereka.
"Ini tempat umum. Jangan kekanak-kanakan," Haidar menepuk pelan bahu Jude yang duduk disampingnya.
"Lebih kekanak-kanakan dia karena mau-maunya dijadiin babu Si Guguk, Dar," Jude menunjuk Jeffrey dengan bahunya.
"Kalau keberadaan saya hanya menyulut emosi, saya pergi dulu. Kalau ada apa-apa, tolong hubungi saya, ya, Javier?"
Belum genap punggung lebar Anak Karba itu lenyap di persimpangan, suara pintu terbuka. Membuat atensi keempat laki-laki itu terenggut. Dokter yang baru saja keluar disusul dengan empat sampai lima perawat itu memerhatikan satu per satu taruna yang menatapnya penuh kecemasan.
"Apakah ada keluarga atau sanak saudara dari pasien? Pemeriksaan CT Scan sudah selesai. Tapi, saya masih perlu penjelasan akurat dari saksi atau orang yang bersama pasien saat insiden terjadi," jelas pria paro baya yang mengenakan papan nama Suwardi Suwandoyo tersebut.
"Hasilnya bagaimana, Dok?"
"Kira-kira pasien kapan sadarnya, ya, Dok?"
"Apa sudah bisa dikunjungi ke dalam?"
Dokter Suwardi nampak kelimpungan mengalihkan fokusnya dari pertanyaan satu ke yang lain. Siapa lagi memangnya, kalau bukan ketiga sohib Ragasuci?
"Karena pasien belum sadar dan masih lemah, tidak memungkinkan untuk dijenguk terlebih dahulu. Untuk hasil, akan saya serahkan ke keluarga atau sanak saudara. Maka dari itu, adakahー?"
"Saya, Dok."
Javier mencekal lengan Jude yang hampir terangkat.
"Saya Kakaknya Raga."
Dokter Suwardi mengangguk.
"Silakan ikut saya. Setelah itu, Anda bisa segera menyelesaikan piutang."
ーR E N J A H W A N Aー
Kelopakku terbuka lebar dan langsung menyipit, membiarkan retinaku menyesuaikan cahaya di ruangan bercat putih dengan gorden biru langit ini. Aku langsung mengangkat kedua bahuku. Bangkit dari ranjang. Kecemasan yang sempat reda akibat hilangnya kesadaranku kembali melanda. Cepat-cepat kupakai sepatu. Lantas berjalan menjamah pintu ruangan. Keluar dari bilik yang sangat kubenci aromanya ini.
Pasti Jeffrey yang membawaku ke sini. Kuperhatikan dengan seksama orang-orang yang duduk di kursi tunggu. Nihil. Tidak ada taruna brrkalung tengkorak itu di sana.
Baru saja kubawa langkah menuju meja informasi yang hanya terpaut sepuluh meter dari tempatku berdiri, sebuah suara familiar menyerukan asmaku. Aku berbalik kanan. Langsung mendapati tubuh bongsor Jeffrey yang berlari ke arahku. Tapi fokusku bukan sosoknya. Melainkan sebuah map dengan logo rumah sakit di sampulnya.
"Kenapa nggak menunggu Dokter?"
"Di mana Renjana? Itu apa yang kamu pegang?"
Jeffrey membasahi bibirnya. Lantas mengodeku untuk mengikutinya.
"Raga juga dilarikan ke sini. Saya langsung mengabari Judeー"
"Gimana keadaan Renjana?" Tanyaku tak sabaran.
Taruna ini langsung merangkul bahuku dan berjalan cepat ke lorong sepi. Tepat di samping lift. Aku menyentak kasar tangan kekar Jeffrey yang bertengger di bahu. Menatapnya tajam.
"Itu map hasil pemeriksaan Renjana, 'kan? Aku mau lihat!"
Kedua alisku bertaut bingung sekaligus kesal begitu Jeffrey malah mengangkat map itu tinggi-tinggi.
"Aku nggak bercanda, Jef!"
"Saya juga nggak bercanda, Anja. Dengar ini. Saya juga nggak diperbolehkan membuka map ini. Karena yang boleh melihatnya hanyalah keluarga. Dokter tadi ternyata pintar menebak kalau saya kakak bohongannya Raga."
"Kata Dokter, benturan yang keras di kepala Raga mengakibatkan anak itu mengalai gegar otakーjangan menyela!"
Mulutku yang sudah membuka, langsung terkatup rapat. Gegar otak? Hatiku mencelos.
"Gegar otak tidak semengerikan apa yang kamu pikirkan, Anja. Memang tidak boleh disepelekan. Tapi, seiring berjalannya waktu, Raga dapat pulih permanen. Dokter Suwardi menyuruh supaya Raga nggak dulu melakukan olah raga berat, membawa kendaraan sendiri, intinya, hal-hal yang membahayakan kepalanya. Karena gegar otak juga memengaruhi perintah yang disampaikan otak ke organ tubuh. Jadi, harus ekstra hati-hati."
"Kamu juga jangan kaget kalau tiba-tiba Raga menutup kedua telinganya dengan rapat atau mengaduh kalau suara-suara keras menusuk ke indera pendengarannya. Terakhir. Kemungkinan, Raga juga sensitif terhadap cahaya. Maksudnya, cahaya yang tertangkap tiba-tiba. Dia juga bakal jadi sering mengantuk."
Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Renjana. Rinduku setengah mati. Demi Tuhan.
"Makasih. Boleh anter aku ke ruangan Renjana?"
Jeffrey mengangguk. Melangkah ke lift tepat di samping lorong. Menekan tombol lantai empat. Tak sampai enam detik menunggu di depan pintu otomatis, Jeffrey sudah memersilakanku masuk.
Sebelum pintu benar-benar tertutup, aku menangkap suara panik seorang perawat.
"Dok! Pasien Anjani Arunika tidak ada di ruangan!"
Tepat setelahnya, aku merasakan kepalaku ditimbuk sesuatu. Aku menoleh ke kanan. Mendapati Jeffrey yang menggigit bibir bawahnya, menahan tawa.
Aku membuang nafas kasar. Menyandarkan kepalaku pada dinding lift yang bergerak naik. Terbesit tanda tanya di kepala. Apa Renjana tidak bosan keluar masuk rumah sakit? Apa Renjana tidak ingin membalas dendam pada Fabian atau Hugo? Apa Renjana tidak lelah berpura-pura bisa menanggung semuanya sendirian? Sampai kapan Rahwanaku dihujani belati-belati tak kasat mata seperti ini? Rahwana bodoh.
"Anjani? Ayo."
Lamunanku buyar. Berganti dengan langkah yang kembali terburu-buru mengikuti langkah jenjang Jeffrey di depan.
Dari lift, kami berbelok kanan. Menyusuri lorong yang sepertinya tidak pernah sepi. Bahkan sampai ada yang menggelar karpet dan koran di pinggiran. Kalau situasi hatiku tak berporos pada Renjana, pasti aku sudah mengkhawatirkan bagaimana mereka bisa tidur nyenyak dengan alas setipis itu.
Jeffrey mendorong pintu kaca IGD. Membiarkanku masuk terlebih dahulu.
Taruna ini kembali memimpin jalan. Sejujurnya, aku teramat membenci bau rumah sakit.
Saat itu, umurku baru sepuluh tahun. Papa pernah kecelakaan dan hampir lumpuh kalau tidak segera dilarikan ke rumah sakit. Aku juga sedang di mobil bersama Papa. Semua insiden itu masih terekam jelas di kepala. Saat di mana aku telah muak menghirup bau alat-alat dan mesin-mesin yang berlalu lalang ke ruangan Papa. Mama baru datang setelah Dokter memberi kabar baik.
"Awas!"
Aku mengangkat kepala. Hanya kaos hitam yang memenuhi penglihatanku. Saat aku menyembulkan kepala, Jeffrey berbalik badan.
"Jalan pakai kaki dan mata. Jangan hanya kaki saja," ujarnya singkat. Lantas kembali mendahuluiku.
Sebelum aku menangkap kejadian barusan yang tertutupi punggung lebar Jeffrey, netraku menangkap seorang anak laki-laki yang diomeli wanita tua. Mungkin Ibunya.
"Kasian kaos Kakak tadi jadi kotor karena donatmu, Rian!"
Langsung kulangkahkan tungkaiku cepat menyejajari Jeffrey. Kuperhatikan kaos depannya.
"Nggak masalah, bisa dicuci. Itu ruangan Raga. Tapi belum bisa dijenguk."
Pupilku mengikuti arah fokus pandang Jeffrey. Langsung bertubrukan tatap Haidar. Secepat kilat, aku meninggalkan Jeffrey di belakang.
"Gimana keadaan lo?"
Aku mengangguk sekali. Jawaban singkat yang jelas untuk pertanyaan Javier.
"An, kalau bolos dari awal, tuh, ngajak-ngajak, kek," celetuk Jude dengan keningnya yang sedikit berkerut.
Memilih untuk tak menanggapi gebetan Yasmin itu, aku melangkahkan kaki mendekati pintu putih tepat di hadapanku. Telapak kananku menyentuh pintu kayu. Kudekatkan kepalaku pada kaca persegi di tengah-tengah pintu.
Di ranjang kecil itu, Renjana terbaring. Perban membebat kepalanya. Mesin-mesin serupa dengan yang kulihat tujuh tahun lalu berdiri gagah di samping ranjang Renjana. Seakan mengucapkan salam kembali bertemu denganku. Kelopak Renjana tertutup rapat. Nafasnya sangat tenang. Wajahnya begitu damai.
Aku merasakan bola mataku kembali memanas. Kudongakkan kepala. Menahan agar air sialan ini tak lagi tumpah untuk yang kesekian kalinya hari ini. Teramat ingin kudorong pintu. Berlari ke ranjang kecil di sana. Memeluk erat adam yang terlelap nyenyak. Meluapkan segala kekhawatiranku. Menangis di atas dadanya. Mengelus surainya.
Mengecup keningnya dan berbisik, "kamu kuat, Renjana. Percaya sama aku. Semuanya bakal baik-baik aja."
ーR E N J A H W A N Aー
Pukul tiga sore. Waktu pulang sekolah.
Kak Matteo tiba dua puluh menit begitu Haidar menutup panggilannya. Bersamaan dengan dua perawat yang menghampiri kami. Memberitahu kalau Renjana akan dipindahkan ke kamar yang baru saja kosong.
Dua perawat itu masuk ke ruangan Renjana. Disusul tiga perawat lain yang membantu mengurusi mesin-mesin. Entah, aku tidak tahu diapakan. Semoga di kamar yang baru, netraku tak lagi bersibobrok dengan alat-alat kesehatan menyebalkan itu.
Dua perawat yang memberitahu kami tadi keluar mendorong ranjang Renjana. Aku langsung mengikuti di sisi ranjang. Menatap nanar wajah adam yang kukagumi dengan sangat ini. Seakan semua kesakitan yang ditanggungnya, tertutup di balik wajah tentramnya. Tanganku terulur. Mengusap surai lembut Renjana. Menyalurkan kecemasan sekaligus doa-doa di sana.
Aku tidak tahu. Kalau sepanjang perjalanan di lorong menuju ruang baru Renjana, Jeffrey menatapku penuh iba. Seakan yang perlu dilindungi di sini adalah aku. Bukan adam berbaju pasien ini.
Kak Matteo juga ikut mengiring di sisi ranjang. Menatap rekan kerjanya lesu. Aku sempat tertegun begitu menyadari hubungan rekan kerja mereka begitu erat.
Kami berbelok kanan. Masuk ke lorong bertuliskan "R. Janaka." Salah seorang perawat yang membantu mengurusi mesin-mesin di IGD tadi berhenti di meja informasi. Berbicara dua patah kata. Lantas kembali ikut mendorong ranjang Renjana. Berhenti di ruang nomor 111. Setelah pemindahan selesai, lima perawat tadi menyampaikan beberapa pesan, lantas pamit undur diri.
Aku baru sadar. Bahwa sejak pagi tadi, aku sama sekali belum menyentuh ponsel.
"Jude."
Jude mengalihkan pandangnya dari Jeffrey ke arahku. Astaga. Kalau Jude bersikap seperti itu terus terhadap Jeffrey, bisa-bisa Jeffrey curiga kalau Jude adalah gay.
"Apaan?"
"Tolong buka room chat kamu sama Yasmin. Aku mau bilang sesuatu."
"Ha?"
"Dia nggak mau ketahuan gaya chattingan sama Yaamin, An. Nih, pakai punya gue aja. Ponsel gue mah sepi. Nggak ada yang nge-chat," Haidar langsung menyodorkan ponselnya.
"Makasih, Dar."
Langsung kuketik nama Yasmin Nurul. Alisku bertaut. Ke mana kontaknya? Haidar menyimpannya dengan nama apa?
"Maungnya Jude," celetuk Haidar yang seakan bisa membaca pikiranku.
Tanpa berlama-lama, aku menelepon oknum bernama Yasmin Nurul tersebut. Sebelum melangkah ke teras meninggalkan ruang 111 ini, aku menatap kelopak Renjana yang masih tertutup rapat. Lantas benar-benar membuka pintu di pojok ruangan yang langsung terhubung dengan teras.
Cklek!
"Heh item! Lo bolos juga? Kalian berlima ke mana, sih?""
"Ini aku, Yas."
"Anjani? Anja monyet gue? Tai lo, An! Bikin gue khawatir aja! Lo di mana sekarang, hah?!"
"Jangan teriak-teriak. Aku serius."
"Eh? Kok jadi gini, sih, hawanya? Oke, maaf, An. Gue panik banget soalnya. Lo ke mana aja emang?"
Sore itu, untuk pertama kalinya kudengar Yasmin mengumpati Huho sebegini parah dan banyaknya.
Aku hanya terus mencoba menahan diriku untuk tak meluapkan emosiku pada sahabatku ini. Karena tempat caci makiku jatuh adalah Hugo Hayden. Manusia setan yang menghalalkan segala cara untuk memermudah hidupnya.
"Gue titip salam dan doa dari sini aja buat Raga. By the way, An. Lo nggak ngelantur, 'kan? Masa, sih, Jeffrey ikut nungguin? Berarti dari tadi pagi dia sama lo terus?"
"Aku selalu jawab apa adanya, Yas."
"Soalnya, setiap kali kampung gue ngadain acara, gue nggak pernah lihat Jeffrey. Udah kek orang ansos banget. Malah gue sempet ngira dia udah nggak di sini saking nggak pernah lihat batang hidungnya. Baru karena kemarin lo cerita tentang pertemuan kalian di taman kota, gue menghapus pemikiran kalau Jeffrey udah pindah rumah."
"Eh, omong-omong, gue belum nyelesaiin yang kemarin. Yang malah lo tutup karena Rahwana lo dateng itu."
Aku mengubah posisiku dari bersandar pada dinding ke berdiri tegap.
"Kenapa?"
"Jangan kaget. Dan gue nggak akan capek-capek memeringatkan lo buat jauh-jauh dari Jeffrey."
"Aku capek meringatin kamu kalau aku nggak suka kalimat yang kepotong-potong, Yas."
Terdengar kekehan kecil di seberang. Disusul dengan dehaman singkat.
"Mantan sahabat lo. Yang nusuk lo dari belakang. Dia mantannya Jeffrey. Bukan Hana. Tapi Shaqilla. Dan denger-denger, mereka berdua pernah tidur bareng."
Cklek!
"Anjani? Raga sudah sadar. Dia mau bertemuーkenapa tatapan kamu seperti itu? Saya ada salah?"
ーR E N J A H W A N Aー
"Aku mimpi. Kamu menangisi aku terus. Ternyata benar. Jangan lagi, ya?"
Aku ingin marah. Aku kesal, menderita, kecewa. Tapi tak bisa membenci adam ini. Sekaligus sedih, sakit, rindu. Tapi tak bisa berucap apa-apa kala menatap sorot netra kelamnya yang berjam-jam lalu tertutup rapat.
"Aku minta maaf, Anja. Sungguh. Jangan menangisーyah, baru saja dibilangin."
Renjana mengulurkan tangannya. Menangkup pipiku yang terbasahi air mata. Aku benci ini. Benci ketika Renjana semakin membuatku mencintainya. Berkali-kali lipat.
"Aku sudah dua kali menjadi penyebab air matamu jatuh. Aku minta maaf. Demi Tuhan. Hatiku sakit kalau lihat laksmi secantik kamu menangis."
Ibu jarinya mengusap jejak air mataku. Membuat tangisku semakin menjadi.
Aku menenggelamkan wajah pada sisi ranjang. Tak sanggup membendung air langit yang mengemis untuk luruh dari pelupuk mata. Jahat! Aku merindukanmu, Rahwana.
"Apa benar perkataan Jeffrey tadi, kalau asmamu sampai kambuh demi menyelamatkanku?ーya, Tuhan."
Daun telingaku merekam kekehan yang sebulan belakangan ini menjadi lantunan lagu favoritku.
"Kamu lucu sekali. Menjawab tiap pertanyaanku dengan tangisan. Ya sudah. Aku berhenti bicara biar kamuー"
"Ka ... hiks ... kangen," cicitku masih dengan posisi yang sama.
Lagi-lagi, Renjana terkekeh. Aku bisa merasakan tangannya mengusap suraiku.
"Sama, aku juga."
Aku tidak sanggup lagi. Tangisan tak sepenuhnya berhasil meredam kekesalanku. Kuangkat kepalaku. Berbalik badan. Menghindari netra Renjana sejenak untuk menghapus air mata dan ingus yang mulai keluar.
"Kamu kalau ada masalah itu cerita!
"Ada Jude, Javier, Haidar, Kak Matteo. Ada aku juga. Kamu nggak sendiri, Renjana. Memangnya kamu nggak nganggep aku sayap kamu, huh?"
Bahuku kembali bergetar. Bibirku melengkung ke bawah.
"Maaf," Renjana menahan telapakku yang masih terulur.
"Bukannya aku nggak percaya kamu sepenuhnya. Aku hanya nggak mau kamu merasa terbebani."
"Kata siapa aku terbebani?"
"Ya sudah. Aku minta maaf lagi."
"Bosen, kamu minta maaf terus!" Aku mengerucutkan bibirku sebal.
"Terus kamu mau apa?"
Aku melipat bibir ke dalam. Menimang-nimang sebelum kembali membuka mulut.
"Mau cium!"
Nona logika yang tengah tersendat ini, bahkan tak menyadari apa baru saja keluar dari bibirnya. Membuat tawa adam di ranjang ini menggantung. Pupilnya membesar.
"M-maksudku cuma kecup di pipi!"
Chup.
Ragaku bagai dikunci. Rasa-rasanya, yang masih berfungsi hanyalah jantungku yang bekerja berlebihan memompa darah. Sampai-sampai bisa kurasakan wajahku memanas.
"Maaf, ya? Kamu kelewat lucu soalnya."
Anak ini terkekeh pelan setelahnya. Gelak tawa yang sudah menjadi opium untukku.
"Omong-omong, asal kamu tahu saja, Anja. Sebelum insiden tanggal lima belas Oktober itu terjadi, aku sudah lebih dulu menaruh kepercayaan ke kamu. Tepatnya waktu perayaan ulang tahun Horiz tahun lalu. Bersamaan dengan ulang tahunmu yang ke-16."
Seutas senyum terkulum di sudut bibirnya yang tersemat bekas luka.
"Kamu ingat laki-laki bertopeng mata elang yang mengaku salah menggandeng tanganmu? Dia bilang, dia salah kira kalau kamu adalah kekasihnya," taruna pemilik beberapa luka lecet yang menghiasi wajah tampannya ini meraih satu tanganku. Mengenggamnya erat.
"Padahal sebenarnya, Si Adam merapal pada Tuhan dengan segenap hati. Semoga, tangan yang digenggamnya sepersekian detik itu akan menjadi daranya sungguhan."
ーR E N J A H W A N Aー
"Gue tahu lo turah duit. Tapi Raga bukan tanggung jawab lo," Matteo menarik paksa tangan kanan Jeffrey. Menyelipkan seonggok amplop coklat di sana.
"Memangnya Raga tanggung jawab Anda? Mengapa Anda membuka map hasil pemeriksaan Raga tanpa izin keluarganya?" Kerutan di kening Jeffrey belum memudar. Masih menatap penuh curiga ke oknum berkemeja biru laut di hadapannya.
Jangan kira taruna itu lupa, bahwa sosok di hadapannya ini jugalah yang mengurusi administrasi, piutang, dan sebagainya saat insiden 1 November lalu.
"Gue rekan kerjanya Raga dan kenal dekat sama keluarganya. Nyokap Raga masih di jalan," ujar Matteo dengan mantap.
Walau sebenarnya, Jeffrey masih bisa menelaah gurat kejanggalan dalam iris coklat taruna itu. Memilih untuk tidak mencampuri urusan orang lain lebih lanjut, lelaki berkaos hitam dengan noda donat itu berjalan mendahului Matteo.
"Permisi, Dik."
Matteo menoleh ke belakang. Kelopak matanya terbuka lebar-lebar. Bukannya terkejut akan sosok berjas putih di hadapannya. Melainkan terfokus pada sosok wanita paro baya di belakang dokter ini yang berlari ke arahnya.
"Beliau Bundanya, Dok," Matteo menunjuk eksistensi Angela yang baru saja tiba.
Dokter Suwardi menoleh ke samping kanannya. Langsung mendapati gurat kecemasan tiada tara dan peluh yang mengalir di pelipis, menghiasi wajah jelita itu.
"Silakan masuk, Bu, Adiknya juga boleh ikut."
Lima belas menit yang lalu, Dokter Suwardi mengajak Raga berbincang-bincang. Mencoba menguak penyebab insiden beberapa jam silam. Karena penuturan Jeffrey sebelumnya dirasa masih kurang. Jeffrey memang mencari Raga sampai bertandang ke pabrik kayu. Tapi taruna itu tidak melihat kejadian dengan mata kepala sendiri.
"Gegar otak sedang, Bu," Dokter Suwardi membuka percakapan.
Matteo menepuk pelan punggung Angela yang semakin menguatkan diri.
"Sayangnya, Nak Raga ini tidak bisa mengingat penyebabnya. Terakhir kali yang diingat adalah saat Nak Raga berlari menuju kantor dalam cuaca hujan deras."
Dokter Suwardi menjelaskan anjuran-anjuran dan larangan yang harus dipatuhi Raga. Angela mengangguk paham setelah menyimak dengan seksama.
"Bibi, ini."
Angela menerima map coklat yang disodorkan Matteo, bersamaan tatapan tak enak hati.
"Bagaimana piutangnya? Kamuー"
"Besok-besok saja, Bi. Lagipula Raga tetep adikku. Jangan merasa merepotkan orang lain."
Saking terburu-buru ingin tahu apa yang terjadi pada anaknya, Angela sampai lupa menutup pintu ruangan dengan rapat. Mengakibatkan seorang adam yang tak sengaja melewati ruangan itu berhenti sejenak.
Niat ingin mengintip kondisi anak laki-laki dengan bebat di kepalanya. Tapi, penuturan oknum yang beberapa menit lalu mengaku rekan kerja pasien dan dekat dengan keluarganya, sukses menyita atensinya.
"Adik?"
ーR E N J A H W A N Aー
Belum sempat berganti baju, Yashinta segera memasuki kamar Chairul.
Aromaterapi coklat yang selalu dinyalakannya setiap malam, langsung menyerebak ke lubang hidung. Membuat siapa pun seharusnya betah menghabiskan sisa hidupnya di sana. Tapi, terkecuali pemiliknya sendiri.
Memang, Chairul Wangsa jarang pulang. Lebih sering bermalam di kamar yang terhubung langsung dengan ruangannya di Adibara. Maklum, orang penting nomor satu bagi perusahaan itu. Saking pentingnya, sekarang, nasib masa depan PT. Adibara berada di ujung bibir Chairul. Salah sekata di hadapan wartawan yang selalu menanyai keterlibatan dirinya dengan kasus Jingyu saja, bisa sangat memengaruhi saham kepemilikannya.
Yashinta membereskan ruangan sepi yang tak pernah berdebu ini. Walau raga dan batinnya lelah, kecekatan tangannya tak berkurang kala merapikan kasur, menyapu lantai, menata kembali kemeja-kemeja dan jas yang lusuh karena jarang dipakai.
Irisnya mengelilingi ruangan bernuansa astronomi itu. Walau senyum kecil mengembang tulus, rasa-rasanya, sama saja mencekik kerongkongan sendiri saat menghela nafas di sini.
Karena kesibukan satu sama lain, hubungannya dengan adipatinya semakin merenggang. Waktu untuk berkomunikasi tatap muka semakin terkikis. Tidak ada kesempatan untuk berbagi humor. Untuk sekadar bertukar kabar pun, harus menunggu sampai tumpukan pekerjaan selesai. Batinnya menculas.
"Kapan selesainya, Chairul?"
Sekarang pukul delapan malam. Kemungkinan besar, suaminya takkan pulang lagi.
Wanita karir yang belum bisa memberikan keturunan langsung untuk CEO Adibara itu memilih untuk bernostalgia. Duduk di sisi ranjang Chairul. Membuka laci meja kecil di samping kanannya. Menarik satu piringan hitam.
Ia terkekeh pelan. Mengingat hobi Chansung yang aneh. Mengoleksi banyak piringan hitam dengan motif menarik, namun tidak berniat untuk mendengar dendangannya.
"Dasar. Orang gila."
Yashinta menggigit bibir bawahnya kencang. Menahan agar isakannya tak keluar. Ia tak ingin menganggu Hugo belajar.
Beralih dari laci paling atas, ia menarik laci kedua. Terdapat beberapa album foto lama. Yashinta juga punya satu. Disimpannya dengan baik di rak kamarnya. Senyumnya kembali merekah kala ekor matanya membaca coretan-coretan tangan Chairul di balik foto.
Yashinta langsung menarik satu foto yang berada di halaman paling belakang. Karena foto ini diambil dengan kamera polaroid. Hanya satu dan disimpan di album milik Chairul saja.
"Foto pertama kami. Diambil di depan kincir angin kayu buatan. Aku dan Yashinta langsung terpikat pada sosok kecil nan riang. Hugo Hayden namanya. Sekarang, resmi sudah Hugo menjadi anak kami.
30 Juli 2005.
Nb :
Anak pemilik panti asuhan ini baik sekali membantuku dan Yashinta mengurusi administrasinya. Kalau tidak salah ingat, Kak Ratih namanya."
Dipandangnya lamat-lamat kertas polaroid yang mulai mengelupas dimakan jarum waktu tersebut.
Ia rindu masa-masa itu. Tepat dua bulan sejak ia menikah dengan Chairul, mereka langsung mendatangi panti asuhan yang letaknya sedikit jauh dari pusat kota. Tahun-tahun itu, di sana masih rindang. Udaranya bersih, sejuk. Entah bagaimana situasinya sekarang. Yashinta tidak tahu. Mereka tidak pernah ke sana lagi. Pengadopsian Hugo, adalah kali pertama sekaligus terakhirnya.
Yashinta mengembalikan album-album foto ke tempatnya. Beralih ke laci ketigam letaknya di paling bawah. Butuh sedikit menunduk dari sisi ranjang untuk menggapainya. Tapi, atensinya terenggut oleh sesuatu.
Di bawah kasur Chairul, tepat di samping kiri meja kecil itu, terlihat sebuah kotak penyimpanan. Tanpa pikir panjang, Yashinta langsung meraihnya. Kotak itu terbuat dari kayu mahoni. Berwarna coklat tua dan kokoh. Lebarnya sekitar satu jengkal, panjang satu setengah jengkal, dan tingginya setengah jengkal.
Kedua alisnya bertaut. Ia belum pernah melihat kotak ini sebelumnya. Wanita yang dipersunting Chairul tanggal 30 Mei 2005 itu paham betul. Jika tidak sopan namanya mengobrak-abrik kepemilikan orang lain, walau dalam lingkup keluarga pun. Tapi sekarang, nilai kehidupannya itu dilingkupi kabut penasaran.
Perlahan, ia membukanya. Isinya tidak sesuai dengan yang ada di pikirannya. Nyatanya, hanya secarik kertas lusuh. Wanita itu membukanya hati-hati. Tidak ingin merusak barang suaminya barang semili pun.
Ternyata, ini sebuah surat.
"Maafkan saya, Widya. Saya tidak bisa menepati janji saya. Saya lalai. Saya berdosa. Penuh dosa. Dan mungkin, Tuhan tidak akan memaafkan saya.
Beberapa waktu lalu, saat kamu meninggalkan saya, saya 'marah' pada Renjana-mu. Saya pukuli dia. Saya maki dia. Saya sumpahi dia. Dia merintih, namun saya sedang tuli. Dia kesakitan, namun saya sedang buta. Dia meminta ampun, namun saya sedang kalut.
Sebegitu besarnya rasa cinta saya untukmu, Widya. Sampai emosi saya memorak-porandakan semuanya.
Saya bukanlah sosok Romo yang baik baginya.
Saya juga bukan Rama yang baik untukmu. Saya merusakmu sebelum kita menjadi sepasang. Namun, saya yang menelantarkan buah hati kita.
Widya, kalau kamu membaca ini dari sana, saya mohon. Katakanlah pada Sang Kuasa untuk menghukum saya. Saya sudah berulang kali mengemis karma dari-Nya. Namun, seperti yang saya bilang di awal tadi. Mungkin Dia marah besar kepada saya. Sampai-sampai tidak mau mendengarkan saya lagi.
Renjana-mu sudah dirawat dengan baik oleh senior kampusmu sewaktu di China. Huang Jingyu.
Jujur. Saya sakit sekaligus lega melihat anak kecil itu diangkat Jingyu dan Angela menjadi anaknya.
Saya sakit. Karena saya sendirian mulai saat itu juga. Saya tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Namun, saya juga lega. Lega karena dengan begitu, Renjana tidak lagi tersakiti oleh Ayah kandungnya ini.
Maaf sebesar-besarnya angkasa raya yang kamu lihat dari sana, Wuqian.
5 April 2005.
Dari manusia penuh dosa,
Chairul Wangsa."
Yashinta mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Dadanya berdenyut nyeri. Tangannya meremat sprei kasur biru galaksi tersebut.
Menyadari sebuah bayangan persegi panjang tertempel di balik kertas folio lusuh itu, ia cepat-cepat membalikkan kertas. Di sana, terpampang sebuah foto yang jauh lebih tua dari foto-foto di album lama Chairul. Terdapat satu wanita muda yang duduk di tengah. Diapit oleh seorang anak kecil laki-laki di samping kanannya dan seorang adam yang Yashinta tahu persis siapa gerangan.
Di bawah foto itu, tergurat coretan khas suaminya.
"Ulang Tahun Si Kecil yang ke-4 Tahun.
Renjana - Widya - Chairul."
Cklek!
"Yashinta? Tumben kamuー? Yashinta! Siapa suruh kamuー!"
"Siapa mereka?!"
𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...
ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."
a.n :
[INFORMASI!]
Aku ganti latar cerita dari tahun 2018 ke tahun 2017, ya? Soalnya untuk menyesuaikan kelas mereka dan keperluan lain:)
Jadi, kalian ini sedang membaca kisah di tahun 2017.
Dan aku mau tanya juga. Rata-rata, kalian buka Wattpad sekitar jam berapa?
Terima kasih banyak atas responsnya yaa:)
Have a wonderfull day!
-Anila
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top