15. Lara
𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙡𝙞𝙢𝙖𝙗𝙚𝙡𝙖𝙨 :
𝙎𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙥𝙖 𝙠𝙖𝙡𝙞 𝙠𝙪𝙠𝙖𝙩𝙖𝙠𝙖𝙣, 𝙠𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙥𝙚𝙡𝙞𝙠𝙢𝙪 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙚𝙡𝙞𝙠𝙠𝙪?
.
.
.
ーR E N J A H W A N Aー
Perasaanku tidak enak sejak pertama kali menginjakkan kaki di lobby sekolah. Bisikan-bisikan yang menjatuhkan, meremehkan, dan mencemooh Renjana terdengar lagi. Belasan pesanku sedari pagi pun tidak dibaca Renjana sama sekali.
Tungkaiku berlari menaiki anak tangga, menerobos kerumunan anak-anak yang langsung mencibirku. Masa bodoh. Aku harus ke kelas Renjana. Melindungi anak itu dari hujaman kata yang menjadi katana.
Melewati kelasku, aku berbelok kanan.
"Jude!"
Jude yang nampaknya keluar kelas terburu-buru, langsung menoleh. Ia menarik pergelangan tanganku.
"Ikut gue."
Aku sempat melirik ke dalam kelas Renjana. Netraku tak memasukkan pandangan remeh siswa-siswi kelas itu yang dilayangkan kepadaku. Karena pupilku hanya terfokus pada bangku yang berada di samping tas Haidar. Tidak ada ransel merah marun di sana.
"Renjana nggak bales pesanku sama sekali. Semua anak-anak ngeluarin kata-kata nggak baik ke Renjana. Kamu tahu dia kenapa?"
Sia-sia. Laki-laki ini tak menggubrisku. Masih dengan jaket dan ransel di pundak, Jude membawaku ke ruang musik. Di sini, sudah ada Haidar dan Javier yang nampak tak kalah frustasinya dengan Jude.
"Jawab aku!"
"Anjani, tenang dulu," ujar Javier, mencoba meredakan kepanikanku.
"Gimana bisa tenang kalauー?!"
"Baca ini," Haidar menyodorkan ponselnya.
Aku menautkan alisku. Lantas langsung menyabet benda pipih itu. Kerutan di keningku semakin menjadi kala membaca sebuah nama marga yang sangat familiar, terpampang di sana.
"Terkuak! Jinan Abraham adalah Huang Jingyu, Buronan dari China yang Melarikan Diri dan Menetap di Indonesia Telah Ditangkap."
"Bokap Raga."
Aku langsung menatap lelaki di sampingku. Bola mataku memanas. Tungkaiku lemas. Bukannya aku kecewa karena Renjana menutupi hal ini dariku. Tapi, aku sangat mengkhawatirkan anak itu. Di mana Renjana? Bagaimana kondisinya sekarang?
"Ada informasi lain yang perlu lo ketahui," Javier menghela nafas panjang.
Taruna itu tak langsung menyambung kalimatnya. Ia bangkit dari kursi kayu di samping jendela, mengacak surainya geram.
"Bokap Hugo. Selama ini, dia yang melindungi Om Jinan dari kejaran polisi. Chairul sialan itu yang ngebantu menutupi segala informasi terkait masa lalu Om Jinan. Tapi itu semua nggak gratis. Keluarga Om Jinan harus mengabdi selamanya ke Adibara. Menuruti segala perintah Chairul."
Aku memelotokan mata tidak percaya. Berarti, karena itu Renjana bekerja di PT. Adibara?
"Gue sama Haidar denger semuanya. Dari mulut Hugo sendiri. Kami ngikutin mereka berempat ke rooftop, nguping dan jadi tahu semuanya."
"Entah kenapa, kemarin malam semua data rahasia Om Jinan yang dipegang Chairul bocor dan ketahuan seorang detektif. Om Jinan ditangkap di rumahnya. Yang berbeda sama rumah Raga sekarang."
Aku mengerjapkan mataku. Berbeda rumah dengan Raga?
"Ayahku juga sangat baik."
BRAK!
"Iya, An! Saking baiknya, sampai pisah rumah!"
Sekelebat perkataan Hugo terngiang di kepala. Anja, mengapa kamu baru mengingatnya sekarang?
"Seharusnya, Chairul juga ditangkap karena melindungi buron. Tapi, lagi-lagi gue miris sama sistem hukum di sini. Uang mengalahkan kebenaran. Orang dalam diperalat. Chairul punya rekan di kepolisian, yang kebetulan menangani kasus Om Jinan. Alhasil, satu orang bejat bebas dari jerat hukum yang seharusnya menimpanya."
"Raga nggak pernah menceritakan ini kami. Kami tahu dia bekerja untuk Adibara pun, itu karena Kak Matteo."
BRUK! BRUK! BRUK!
Jude meninju-ninju rak penyimpanan buku-buku tangga lagu. Berdesis dengan suara parau, "keparat! Awas lo Hugo."
Bibirku bergetar. Nafasku tercekat. Tangan kananku bertumpu pada sisi piano.
Tuhan, aku ingin memeluk Renjana. Memberikan dekapan terhangat yang bisa kuberi, mengusap surainya, menggenggam jemari kecilnya, dan membisikkan mantra yang pernah Papa ucapkan kepadaku dulu.
"Semuanya akan baik-baik saja."
Renjana, kamu di mana? Baru kutahu, di pagi cerah pun, dunia ternyata bisa segelap ini.
Javier yang mendapatiku menunduk dengan bahu bergetar menahan isak tangis, berjalan mengikis jarak.
"Anjani. Ini info terakhir yang gue denger. Kami juga baru tahu," Javier menjeda kalimatnya, menelan saliva untuk menenangkan tenggorokannya yang tercekat.
"Kalau luka-luka di badan Raga, bukan karena tawuran lagi. Dia jadi korban penyiksaan fisik si Chairul."
"Kita nggak berdaya, An," timpalnya lirih.
ーR E N J A H W A N Aー
Anak itu berdusta lagi pada Bundanya. Ia tak baik-baik saja. Ia tak menuruti lisannya untuk berangkat ke sekolah seperti biasa.
Dengan seragam batik mega mendung, celana hitam, serta sepatu kest yang sudah lusuh, ia melesat cepat memerabas rintik air langit yang semakin deras mengguyur kota metropolitan ini.
Tidak ada motor atau kendaraan lain yang bisa dipakainya. Semua di sita kemarin malam, karena surat kendaraan di rumahnya pun, masih beratas namakan Jinan Abraham. Tidak naik bis, karena ranselnya tak berisi apa pun. Semua ini terjadi tiba-tiba.
Tangannya mengusap wajahnya, menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi penglihatannya. Anak itu basah kuyup, meraup jarak tiga kilometer dari rumahnya menuju PT. Adibara.
Bukan untuk balas dendam. Dalam kamusnya, padanan kata seperti itu sama sekali tidak dapat ditemukan. Ia tak suka balas dendam. Dan memang begitulah seharusnya.
Satu-dua kali genangan air lumpur yang terciprat ke arahnya karena lalu lalang mobil, tak menyurutkan niatnya untuk tiba di Adibara. Memohon pada Ayah kandungnya untuk membantu membebaskan Jinan. Tapi, sepertinya semesta sedang tidak menyetujui keputusannya.
Setibanya di gerbang kantor, belasan bahkan puluhan wartawan memadati halaman loby. Ada yang rela kehujanan, ada yang sudah membuka payung, bahkan satu-dua mobil saluran televisi baru saja tiba di hadapannya. Hatinya bergemuruh. Pikirannya kalang kabut. Pasti Chairul sedang dalam situasi terombang-ambing.
Anak itu mengusap wajah untuk yang kesekian kalinya. Menyipitkan netranya untuk melihat lebih jelas lagi. Di tengah-tengah lautan wartawan dengan cahaya flash yang sesekali menyambar bak kilat petir, berdiri seorang pria yang teramat disayanginya.
Chairul Wangsa.
Pria berjas eksekutif abu-abu itu berusaha menerabas kerumunan, dengan tangan kosong yang menutupi sisi wajahnya.
"Pak Chairul, apa benar Bapak yang selama ini membantu tersangka Huang Jingyu untuk melarikan diri?"
"Apa Bapak sungguh memiliki koneksi dengan Pak Anwar, selaku salah satu Kepala Polisi yang membantu penyelidikan?"
"Bagaimana dengan ..."
Raga menulikan telinga. Anak itu merutuki, membenci dirinya sendiri. Lagi-lagi, entah untuk yang keberapa kalinya, ia tak bisa melindungi orang-orang yang disayanginya.
Terbesit peristiwa, kala Matteo mengabari kalau Bundanya menjadi sasaran kekerasan Hugo, saat dirinya absen dari Adibara. Kematian Ibu kandungnya, Widya, karena menyelamatkan dirinya dari bis kota yang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata saat usianya baru menginjak lima tahun. Kakak angkatnya, Huang Junjie, yang tertabrak mobil karena berjanji akan membelikannya ponsel baru kalau ia berhasil masuk Horizon. Ayahnya, Jinan, yang mendekam di balik jeruji besi, bahkan saat ia belum sempat berkirim kabar dengan Jinan.
Tatapan Chairul yang tak sengaja bertubrukan dengan pandangnya. Sorot pria itu masih sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Tajam, penuh dendam, amarah, dan luka. Yang Raga tahu, semuanya tak akan pernah terobati, semenjak kematian Ibunya.
"Maaf ... Ibu," bibirnya bergetar.
Linangan air matanya bercampur dengan guyuran hujan dari Sang Kuasa. Yang kabar baiknya, tak seorang pun dapat mengetahui kalau ia tengah menangis tersedu.
"Maaf. Renjana menangis lagi."
Air langit yang menggantung di kelopak mata, ditambah yang dibendung di kelopak mata, cukup membuat penglihatan anak itu semakin kabur. Seakan bersekongkol pula untuk semakin menutup indera pendengarannya.
Sampai anak itu tak sadar, sebuah Civic FG3 dengan plat H 2030 GO yang terparkir tepat di antara mobil-mobil wartawan, tengah mengarah ke arahnya dengan kecepatan 100KM/jam.
Dengki meluluhlantakkan segalanya.
ーR E N J A H W A N Aー
Pukul setengah delapan pagi.
Aku berlari secepat mungkin menjauhi dinding tinggi sekolahku. Berdoa supaya satpam itu tidak menyadari kalau barusan, seorang siswi memanjat pagar belakang.
Setelah sejam berkutat pada seonggok buku yang memuat data-data siswa-siswi Horizon angkatanku, aku berhasil mendapatkan alamat rumah Renjana. Tak mungkin aku meminta bantuan pada Jude, Javier, atau Haidar sekali pun. Mereka pasti langsung melarangku begitu tahu maksudku.
Ya, aku membolos. Bahkan, belum sempat terpikirkan olehku untuk menghubungi Yasmin terlebih dahulu agar mengijinkanku. Aku juga tidak peduli dengan remedial matematikaku. Itu tidak penting.
Nafasku mulai tersendat. Kukuatkan lagi tungkaiku yang sempat tertatih karena tersandung batu bata. Berbelok ke kanan, melewati taman kota yang bersebrangan dengan rumah Yasmin. Tapi, bukan itu tujuanku.
Saat kepalaku mulai pening, kuputuskan untuk memasok oksigen dahulu. Untung aku tidak lupa membawa oxycan. Sedikit menepi di bawah pohon mangga, aku menghirup dalam-dalam tabung pertahananku itu.
"Anjani?"
Aku mulai hafal suara ini. Bersyukur dalam hati. Karena berarti, aku tak perlu berlarian lagi demi mengetuk pagar rumahnya.
"Kamu membolos? Kenapa?"
Bukannya sengaja mengabaikan pertanyaannya. Tapi, aku masih butuh oksigen. Ini yang terakhir. Aku menarik oksigen dalam-dalam.
Tanganku cekatan menutup tabung itu, lantas memasukkannya ke dalam ransel biru pudarku. Berpegangan pada badang pohon, aku berbalik badan. Langsung disuguhkan tatapan bingung dari taruna ini.
"Lho? Kamu punya asma?"
"Tolong. Anterin aku ke rumah Renjana. Aku nggak ada aplikasi ojek online," selaku cepat, terburu-buru.
Sepertinya, Jeffrey sudah mengetahui kabar itu. Buktinya, taruna berkaos hitam dengan kalung tengkorak yang selalu menggantung di lehernya ini, langsung mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut.
Ini pertama kalinya aku naik RX-King. Apalagi bersama orang asing. Yang bahkan belum kukenal dengan baik. Jeffrey menyalakan mesin. Bisa kurasakan kalau taruna ini juga terburu-buru. Mungkin, tertular hawaku.
Selama di jalan, pandangku tak lepas sedetik pun dari ruang obrolanku dengan Renjana. Mencoba mengiriminya beberapa pesan, sekaligus berharap banyak agar anak ini membacanya.
Dengan kelincahan Jeffrey yang memacu RX-King di jalanan ramai, kami tiba di alamat rumah Renjana sembilan menit setelahnya.
Kosong. Itulah aksara yang terpikirkan olehku pertama kali. Tapi, bayangan itu tak menghentikanku melangkah memasuki halaman rumah Renjana. Jeffrey memutuskan untuk menunggu di depan. Duduk di jok motornya. Entahlah, yang kutahu sekarang, ia juga membolos.
Belum sempat telapak tanganku menyapa pintu kayu di teras depan, sebuah suara serak menghentikan gerakanku.
"Anak ini siapa, ya? Ada yang bisa saya bantu?"
Aku langsung menoleh ke belakang. Mendapati seorang bapak-bapak seusia Papa dengan peci putih di kepalanya. Netraku juga menangkap Jeffrey yang langsung bangkit dari jok motornya dengan tatapan awas. Mungkin, taruna itu berjaga-jaga kalau bapak-bapak ini adalah orang jahat.
"Maaf sebelumnya, Pak. Saya temannya Raga. Apa Raga ada di rumah, Pak? Atau Bapak tahu di mana keberadaan keluarganya? Sepertinya rumah ini sepi," aku merutuki diriku yang terlihat terlalu memburu-buru si bapak untuk menjawab.
Bapak-bapak ini menghela nafas. Ekspresinya langsung berubah. Tidak, bukan ekspresi marah, kesal, atau apa pun itu yang negatif. Tapi, terlihat prihatin. Dibuatnya, hatiku semakin tidak enak.
"Tadi pagi saya lihat Nak Raga berangkat berjalan kaki ke sekolah. Pakai seragam batik mega mendung. Dia nggak naik motor, karena semua kendaraan di rumah ini disita polisi kemarin malam. Surat kendaraannya masih beratasnamakan ayahnya. Kalau Bu Angela, lagi dibawa ke puskesmas. Tadi jam delapan, waktu istri saya dateng menilik, Bu Angela udah pingsan duluan. Jadi rumahnya memang kosong. Memangnya, ada keperluan apa, ya, Nak?"
Aku bingung, harus lega atau semakin nelangsa. Lega, karena Bunda Renjana ada yang menolong. Kelihatannya, tetangga di sini baik-baik sekali. Tapi, aku juga bingung, gelisah. Renjana tidak ada di sekolah.
Kusungging senyum palsu kepada bapak ini. Mengucapkan terima kasih, lantas pamit untuk diri. Jeffrey bertanya ke mana lagi tujuanku. Kalau semua keluarga Renjana sampai mengabdi pada Adibara, berarti, hanya Adibara yang bisa melindungi. Namun tidak mungkin kalau Renjana berangkat bekerja ke Adibara pagi ini. Bunda Renjana juga sedang di puskesmas.
Hampir saja aku menyerah pada keadaan, laci memoriku menarik diri. Membuatku menepuk jidat. Bagaimana aku lupa dengan eksistensi Kak Matteo sebagai rekan kerja baiknya Renjana?
"Ke mana lagi?"
Pertanyaan Jeffrey membuatku sedikit tersentak. Aku menatap manik matanya yang berbeda jauh dengan saat tertikaian antara Horiz Children dan Anak Karba bulan lalu.
"Ke Adibara."
Jeffrey mengernyitkan keningnya.
"Tadi bapaknya bilang kalau Renjun pakai seragam batik mega mendung?" Taruna ini nampak memikirkan sesuatu.
Aku mengangguk kecil, sembari menatapnya keheranan. Bagaimana bisa pendengarannya sangat jeli? Padahal, jarak antara posisinya dengan bapak tadi itu jauh. Suara bapak tadi juga sangat lirih.
"Warna merah?"
Yang ini aku tidak tahu. Mulutku sudah terbuka, hendak meloloskan kalimat, "nggak tahu." Tapi pikiranku kembali diisi dengan keyakinan. Bukankah merah adalah warna favorit Renjana?
"Kenapa emangnya? Kamu tahu sesuatu?" Desakku.
"Bangsat!" Jeffrey memukul stang motornya.
Tanpa menjawabku, taruna ini langsung menyalakan mesin. Meninggalkan daerah perumahan itu dengan kecepatan tinggi.
"Jeffrey! Jawab aku! Apa kamu tahu sesuatu?"
Taruna ini tetap tak tergerak sedikit pun walau aku sudah memukul pundaknya berkali-kali. Masa bodoh dengan anggapan orang-orang di jalan.
Aku sangat tidak suka didiamkan.
"Jeffrey! Kamu denger aku, 'kan? Jawab atau aku lompat dari sini!"
"Jangan. Nanti saja ceritanya. Saya mau minta tolong Mahen untuk menyelidiki jejak mobil Hugo."
"Jangan kepotong-potong kalau ngomong!" Guratan keheranan di keningku semakin menjadi. Apa maksudnya? Mengapa sampai ke Hugo segala?
Selepas kalimat tanya kulontar, RX-King ini berhenti tepat di lampu merah. Jeffrey membuka kaca helmnya. Sedikit menoleh ke arahku.
"Tadi saya sempat motoran ke Adibara. Sengaja memerhatikan keramaian wartawan di sana. Hanya di daerah sana, turun hujan deras. Saya nggak nyangka kalau laki-laki yang saya lihat tadi adalah Raga."
"Langsung ke inti, Jef!"
Punggung Jeffrey menurun, membuang nafas pelan.
"Kalau civic dengan plat H 2030 Go adalah pemberian Yovan ke Hugo, berarti Raga ditabrak oleh mantanmu itu."
ーR E N J A H W A N Aー
Jam di dinding menunjuk tepat ke angka delapan.
Kuku-kukuku memutih mencengkeram sofa coklat ini.
Hugo bukan manusia.
Sudah tak terhitung Jeffrey menenangkanku kala isakanku kembali lolos tanpa kuijinkan. Tenggorokanku kering. Bibirku kelu. Aku lelah mengucurkan air mata. Sudah hampir tiga puluh menit pula, laki-laki yang diperkenalkan Jeffrey sebagai Mahen ini mengotak-atik sistem di kursor laptopnya.
Awalnya, aku ragu untuk memercayai perkataan Jeffrey, "Mahen bisa merantas cctv di semua jalan di Jakarta. Dia hanya perlu mengetikkan plat Hugo dengan spesifikasi kendaraannya. Mencocokkannya dengan mobil serupa yang tertanggap cctv. Baru, kita bisa tahu ke mana ketos Horiz nggak berguna itu membawa Raga."
"Ketemu!"
Bagai diset alami, badanku yang lemas langsung berlari mendekati kursi gamer Mahen.
"Yang mana yang lo lihat?" Mahen menggeser laptopnya ke arah Jeffrey.
Jujur, aku tidak bisa membantu banyak masalah ini. Aku belum pernah melihat civic pemberian Kak Yovan kepada Hugo.
"Ini!" Telunjuk Jeffrey menunjuk salah satu gambar dari tujuh mobil yang sekilas terlihat seperti kopian, sama semua.
"Oke," Mahen menarik lagi benda elektoronik itu. Jari-jarinya menari di keyboard dengan lincah.
"Pukul 08.52, H 2030 GO, pabrikーanjing! Napa, tuh, tengil ke gedung pemotongan kayu, sat?"
Kedua bola mataku terbelalak. Gedung pemotongan kayu? Gedung pemotongan?
"Maksud kamu?!"
Mahen terperanjat. Taruna ini langsung menatapku. "G-gue kopiin di maps aja ya? Biar kalian langsungー"
"Iya cepet!" Bentakku dengan suara tercekat, tenggorokanku masih kering.
Lagi-lagi, Mahen tersentak akibat kalimatnya yang kupotong dengan nada menjulang. Tanpa dua kali kuperintah, jemarinya kembali menari dengan lihai di atas keyboard.
"Minum dulu."
Aku menoleh malas ke arah gelas kaca berisi air dengan uap yang terlihat mengudara. Pastilah air hangat. Aku mendengus frustasi. Menggelengkan kepala, disusul dengan suara decakan.
"Giliran saya yang mengancam. Minum atau kamu tidak saya antar bertemu dengan Ragaー? Nah, begini."
"'Kan manis," ucap Jeffrey dengan teramat pelan, yang masih bisa kutangkap.
ーR E N J A H W A N Aー
"Bangun, anak setan!"
Raga mendongakkan kepala saat surainya ditarik keras oleh Hugo. Hugo tak peduli dengan telapak tangannya yang dipenuhi cairan merah pekat. Itu adalah darah dari kepala Raga, akibat dari limbungnya anak itu saat civic pemberian Yovan ke Hugo menabrak tubuhnya.
Pukul sembilan pagi, pertengahan bulan November 2017. Di gedung pemotongan kayu di pelosok kota Jakarta, tubuh Raga diikat erat di pojok ruangan.
Hugo menatap mantan sahabatnya itu penuh amarah. Matanya merah. Nafasnya memburu. Tarikannya pada surai Renjun tak main-main.
"Semua ini gara-gara lo! Jinan bodoh itu membelot dari bokap gue karena nggak terima anak satu-satunya ini kena siksa fisik dari bokap gue, sialan!"
Raga memejamkan netranya. Kepalanya bagai dibelah jadi dua. Jambakan dari Hugo semakin menjadi. Seakan rambutnya dicabut paksa sampai ke akar-akarnya.
"Bokap gue udah keluar uang banyak buat nyogok orang dalem. Itu semua demi membebaskan bokap lo juga!"
"Tapi dengan bodohnya, bokap lo memberikan bukti kalau bokap gue memang menyembunyikan identitas bokap lo. Like a father, like a son. Sama-sama bodoh! Pengecut! Pecundang!"
"Dan pengkhianat!"
DUGH!
"Akh!"
Hugo menghantamkan kepala Raga pada dinding. Nyeri di kepala anak itu semakin menjadi. Menjalar ke seluruh tubuh.
Rasanya, baru kemarin ia berada di ambang kematian. Kala pukulan Fabian menyebabkan kepalanya menghantam jendela ruang lukis di lantai dua. Tapi ternyata, jika dibandingkan dengan sekarang, pukulan Fabian tidak ada apa-apanya.
"Dulu, gue mati-matian membela lo sewaktu bokap gue membabi buta lo. Ternyata, gue salah besar. Dasar anak nggak tahu diuntung!"
Sebelum Hugo berdiri, ia mengoleskan darah yang melumuri telapak tangannya pada wajah Raga.
"Ruang penggilingan kayu ini nggak ada ventilasi. Cepat atau lambat lo akan mati."
Kekehan puas sekaligus pilu terdengar dari lelaki Hugo itu.
"Kalau pun gue jadi pembunuh, berarti kita bertemu lagi di neraka, Ga."
Merasa hawa di ruang ini semakin pengap, ia bergegas berlari menuju pintu keluar. Sebelum seorang pekerja memergokinya saat masuk jam kerja tiga puluh menit lagi.
"See you in the hell, bro!"
BLAM!
Rongga dadanya kembang kempis. Tenggorokannya tercekat, bagai dicekik tak tanggung-tanggung. Ia tak sanggup lagi membuka matanya. Bibirnya kering. Lubang hidungnya bagai disumpal, sulit memasok oksigen. Nyeri di kepalanya belum juga berangsur reda.
"T-tolong ..."
Tubuhnya limbung. Dalam hati, ia kembali memohon pada Sang Kuasa. Walau ia tak menyukai sikap Hugo yang kasar kepada Sintanya, Hugo tetaplah saudaranya.
Anak yang meringkuk di sudut ruang tanpa ventilasi itu, merapal. Mendoakan agar dosa-dosa Hugo diampuni. Agar masalah Ayah angkatnya, Jingyu segera surut. Agar Ayah kandungnya, Chairul, selalu dalam naungan Tuhan.
Hatinya merintih. Dunia memang kejam. Membuatnya semakin memercayai kebenaran makian Chairul. Kalau lebih baik, ia tak dilahirkan. Lebih baik ia direnggut takdir, untuk kembali pada Penciptanya.
ーR E N J A H W A N Aー
Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai ke pabrik kayu yang dimaksud Mahen. Belum sempurna Jeffrey memarkirkan motornya, aku sudah lebih dulu turun dari motornya.
Destinasiku sekarang adalah gedung pemotongan. Membaca peta wilayah pabrik yang dibentang pada papan pengumuman depan kantor, lantas bergegas berlari sekencang mungkin ke belakang pabrik.
Jeffrey berlari mengikutiku.
"Anja! Jangan lari-lari! Nanti kamu kelelahan. Saya nggak tahu-menahu cara mengatasi asma," ujarnya kala sudah menyejajariku di sebelah kanan.
"Nak! Hei, kalian berdua!"
Aku merasakan langkah Jeffrey melambat. Tapi, tak kukurangi kecepatanku barang sedetik pun. Aku bisa merasakannya. Renjana kesakitan. Ia sendirian.
"Anjani!"
Teriak Jeffrey dari belakang yang tak kugubris lagi.
Sesampainya di tujuan, kedua tanganku mencengkram gagang pintu besi besar sebuah gedung yang bertuliskan "GEDUNG PEMOTONGAN". Gedung ini tertutup. Tak ada jendela atau pun ventilasi kecil sebagai sela untuk menukar karbondioksida dengan oksigen.
Dadaku berkecamuk. Semoga aku tidak telat. Dengan sekuat tenaga, aku menarik gagang besi itu. Suara-suara bising khas mesin pemotong yang beradu dengan mesin pengamplas langsung menusuk indera pendengaran.
"Jangan masuk!"
Sebuah tangan kekar membalikkan badanku.
BLAM! Pintu tertutup keras.
"Kamu mau mati? Iya?!" Jeffrey membentakku.
"Lepas! Renjana ada di dalem, Jef!" Aku berontak, meronta-ronta pada dekapan erat taruna ini.
"Berhenti, Anjani! Dengar saya!"
"Renjana kesulitan nafas di dalem!"
"Berhenti keras kepala! Lihat saya! Lihat!" Jeffrey menangkup wajahku paksa. Mengarahkan pandangku agar menatap netranya. Aku menggigit bibir bawahku. Ekspresi taruna ini ganjal. Kedua maniknya menatapku sayu. Nafasnya tersengal.
"Raga sudah dibawa ke rumah sakit. Bapak-bapak yang memanggil tadi, beliau yang menemukan Raga pertama kali di gedung pemotongan ini. Kondisinya sangat lemas. Kalau tadi kita lebih cepat lima menit, kita bisa menyusul ambulans yang membawa Raga," jelas Jeffrey dengan suara pelan.
Aku menggeleng keras tidak terima. Belum ada seminggu Renjana keluar dari rumah sakit. Bagaimana mungkin anak ringkih itu kembali bertarung dengan mesin-mesin kesehatan?
"Tidak ada cctv yang merekam jejak Hugo dan mobilnya. Pasti bajingan itu sudah meminta tolong Stevan untuk meng-hack---"
"Rumah sakit," selaku parau.
Tanganku meremat kaos hitam Jeffrey.
"Susul Renjana. Sekarang."
Aku menundukkan kepala. Nafasku tersengal. Kusandarkan keningku pada dada bidang Jeffrey. Sebelum semuanya menggelap, hanya suara anak Karba yang diliputi kecemasan, terekam oleh telingaku.
"Bertahanlah, Anjani."
𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...
ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."
a.n :
Kalau aku bilang aku nyatetin semua uname kalian, kalian percaya nggak?:P
Karena emang sebesar itu rasa terima kasihku untuk kalian yang udah kasih apresiasi ke "RENJAHWANA" :)
Sedikit sedih, karena aku pantau, banyak pembaca lama yang udah hilang. Tapi aku tahu nggak boleh egois maksa kehendak orang.
Terima kasih sekali ya untuk semua!!♡♡
Selamat bermalam minggu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top