14. Sipu

𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩𝙗𝙚𝙡𝙖𝙨 :
𝘼𝙠𝙪 𝙨𝙪𝙠𝙖 𝙨𝙖𝙖𝙩 𝙬𝙖𝙟𝙖𝙝𝙢𝙪 𝙢𝙚𝙧𝙤𝙣𝙖, 𝙍𝙖𝙝𝙬𝙖𝙣𝙖

.
.
.

ーR E N J A H W A N Aー


"Mau sampai kapan memerhatikan saya?"

Aku tersentak. Gelagapan sendiri, mengalihkan fokusku dengan kembali menyisir semak-semak. Kurutuki diri sendiri yang hampir lupa kalau eksistensiku di esok hari bergantung pada bola kasti Yasmin. Membayangkan kucing itu ngamuk saja, aku tak kuasa.

Terdengar kekehan dari taruna tadi.

"Ada berapa bola kasti yang kamu cari? Bukannya sudah saya berikan barusan? Ya Tuhan, pantas Hugo memacari kamu. Kamu lucu."

Gerakanku terhenti. Astaga, Anja. Jangan memamerkan kebodohanmu di hadapan orang asing! Tangan kananku menyimpan bola kasti yang disodorkan taruna ini tadi ke dalam saku rok.

"Udah putus."

Taruna berkaos hitam dengan bordiran Linkin Park ini menaikkan sebelah alisnya. Terkejut. Namun setelahnya, ia mengangguk-anggukkan kepala.

"Harusnya bilang dari awal. Jadi, saya nggak perlu basa-basi menyeret Hyunjin hanya untuk bilang kalau kamu lucu."

"Maaf?"

"Lagi main ke rumahnya Yasmin? Saya tetangganya. Kamu nggak lupa, 'kan, rumah saya? Saya tahu kalian bersahabat. Memangnya, kamu nggak tahu siapa saya?"

"Nggak dan nggak mau tahu."

Aku membenci apa pun yang menyangkut Anak Karba atau pun Horiz Children.

"Bagus."

Kedua alisku bertaut. Sial. Penuturannya barusan malah membuatku penasaran. Kalau biasanya orang-orang ingin dikenal, mengapa tidak dengannya?

"Omong-omong, bagaimana kondisi Raga?"

"Baik."

"Syukur. Ya sudah, sana balik," dagunya menunjuk ke rumah Yasmin, "Yasmin pasti menunggu kamu."

Kutepuk dahiku sendiri. Mengapa aku bisa lupa kalau harus kembali ke kamar Yasmin sebelum taruni itu selesai mandi? Aku hafal betul bagaimana reaksinya bulan lalu saat tak mendapatiku di kamarnya. Berteriak histeris. Menyangka aku diculik. Sampai menelepon polisi. Padahal aku hanya turun untuk mengambil air.

Tanpa menggubris taruna itu, aku berbalik kanan. Tapi, sebuah suara menyerukan asmaku.

"Anjani! Jangan cerita ke siapa pun tentang pertemuan ini. Mata-mata Horiz Children itu seperti kuman. Banyak dan ada di mana-mana. Kalau sampai Hugo tahu, pasti anak itu akan langsung 'mengajak'."

"Saya sedang malas ditunjuk menjadi pemimpin Anak Karba dadakan."

ーR E N J A H W A N A

"Jeffrey namanya. Jeffrey Athala."

Akhirnya, Yasmin mau juga buka suara setelah mendengar rengekanku yang kesekian kalinya. Bukan maksudku melanggar perintah taruna tadi. Tapi, aku ini orang yang mudah penasaran. Sekalinya dipancing, akan kugali sampai ke akar-akarnya.

Yasmin sudah kuceritakan semuanya, tentang pertemuanku dengan si Jeffrey. Lagi pula, aku memercayai Yasmin. Taruni ini bukan tipikal orang yang suka bocor. Tidak seperti Shaqilla, pun Hana.

"Jangan deket-deket dia."

"Nggak kamu minta pun, aku udah benci duluan." Aku merotasikan kedua bola mata malas.

Yasmin menghela nafas singkat.

"Anja, sorry banget sebelumnya. Mungkin, ini pernah jadi tanda tanya di kepala lo. Sebenernya gue udah gatel banget mau cerita ke elo. Tapi di lain sisi, gue takut. Takut kalau lo mikir macem-macem dan jauhin gue."

Aku mengernyitkan kening. Mengapa pembahasannya menjadi berat begini?

"Ada apa?" Desakku.

"Tapi janji jangan marah," Yasmin menyodorkan kelingkingnya.

Kalau sudah seperti ini, pasti bukan hal yang remeh.

"Iya, iya, nggak perlu pakai janji kelingking segala. Langsung cerita apa susahnya?"

Yasmin menarik kelingkingnya. Mengubah posisinya, dari tengkurap, menjadi duduk tegap di kasur. Aku mengikuti posturnya. Terbawa suasana.

Taruni yang lima belas menit lalu asik menceritakan kedekatannya dengan Jude ini, menghela nafas panjang.

"Sebenernya, H-1 tawuran tanggal lima belas Oktober kemarin, perwakilan Horiz Children tiap kelas meng-invite semua anggota kelas ke MC di Line bentukan HugoーStop! Jangan dipotong dulu!"

Aku meredakan suasana hatiku yang mulai memanas karena cemas. Aku tidak merasa di-invite Caesar. Walau pun di sisi lain aku bersyukur, namun tetap saja, aku merasa tidak dianggap sebagai warga sekolah Horizon.

"Lo emang sengaja nggak di-invite. Ini titah Hugo sendiri. Dia nggak mau lo tahu apa-apa tentang tawuran. Awalnya gue kesel. Pengen keluar dari MC itu. Tapi setelah gue pikir-pikir, bahaya juga kalau gue ketinggalan berita.

"Maksud gue, mungkin gue bakal kecegah sama Anak Karba waktu pulang sekolah hari itu, karena segala pengumuman tentang jalan-jalan yang dipenuhi Anak Karba, jam tawuran di mulai, identitas Anak Karba yang biasanya menyamar, dan lain-lain yang serasa mengancam siswa-siswi Horiz di-share di sana. Maka dari itu, selepas bel pulsek, gue nyuruh lo langsung pulang. Karena gue udah tahu."

Pandangan Yasmin menurun.

"Gue langsung keluar MC setelah Kak Yunan mengumumkan Hugo seratus persen jadi ketua osis karena kemenangan Horiz di masa jabatannya."

"Bukan karena gue eneg sama MC itu. Kalau pun disuruh jujur, sebenernya gue nggak mau keluar dari sana. Karena gue mau memantau bagaimana bisa kekeluargaan Horiz begitu raket kalau menyangkut tentang tawuran. Padahal di dunia nyata, masih ada adik kelas yang di-bully fisik sama kakak kelas."

"Gue keluar MC karena nggak mau lihat ketikan-ketikan kasar yang ditujukan buat lo, Anja."

Aku menelan salivaku. Tak sekali pun mataku berkedip tat kala Yasmin menjelaskan semuanya. Tapi kali ini, kelopakku menjerjap beberapa kali dibuatnya. Tanganku meremas sprei kasur Yasmin.

"Kenapa?"

"Setelah Kak Yunan mengumumkan kemenangan Horiz, Hugo ngasih tahu kami semua. Kalau tanggal 1 November, bertepatan dengan ulang tahun Horiz, dia bakal mutusin elo."

"Kami semua terkejut, apalagi begitu membaca pesan Kak Yovan yang langsung menimpali kalimat Hugo. Kalau Hugo macarin lo biar dapetin civic-nya Kak Yovan."

Aku menghela nafas lirih. Yasmin, aku sudah tahu, bahkan sebelum kamu menjelaskan. Tapi, mengapa kamu tidak memberitahuku? Aku tidak suka kerahasiaan seperti ini. Ke mana Yasminku yang selalu terbuka?

Baru saja niat untuk bertanya timbul, ternyata Yasmin sudah lebih dulu menjawabnya.

"Gue nggak bermaksud berpura-pura nggak tahu, An. Karena Hugo ... dia mengancam semua anak Horiz. Bagi siapa pun yang membocorkan, dia nggak segan-segan untuk memersulit orang itu. Terlebih bagi anak-anak yang mengejar beasiswa kuliah."

"Lo tahu 'kan, kalau gue ngebet banget dapetin beasiswa?"

ーR E N J A H W A N Aー

Hari Senin. Hari yang pada umumnya dibenci oleh siswa-siswi. Aku pun. Tapi hanya kali ini, aku menyukai Senin. Karena Rahwanaku sudah kembali masuk sekolah.

Sebenarnya, bohong kalau aku tak kesal dengan Yasmin. Manusiawi saja. Memang, aku sangat menghargai impian Yasmin untuk mendapatkan beasiswa di luar negeri. Tapi, apakah tak bisa ia memberi tahuku saat tak di sekolah? Yasmin harus berterima kasih pada Renjana. Karena Renjana yang kembali bersekolah hari ini, kekesalanku pada Yasmin langsung pupus seketika, entah berantah.

"Hai, Fadillah."

Aku dan Yasmin sontak menoleh ke belakang. Mendapati Jude yang melempar senyum ramah. Sepertinya mereka memang berjodoh. Sama-sama memiliki eyesmile. Merasa menghalangi sejoli yang nampaknya sedang dimabuk asmara, kuputuskan untuk mundur.

Duk!

"Eh, maaf, maaf! Nggak sengaja!"

"Nggak apa-apa. Santai saja."

Kudongakkan kepala begitu mendengar suara yang sangat familiar ini. Senyumku terbit seketika.

Lihatlah Renjana! Kondisinya jauh lebih baik dari yang terakhir kali kulihat, tentunya. Bengkak di matanya sudah tak bersisa. Luka di pelipisnya karena pecahan kaca tempo lalu, tak lagi membuatku bergidik ngeri. Walau aku tak tahu, apakah lebamnya di perut sudah mengempes sepenuhnya atau belum. Mengingat anak itu sering lupa untuk mengobatinya.

"Mau melepas rindu di mana?"

Aduh, Papa. Mengapa hatiku belum terbiasa juga dengan sikap Renjana yang seperti ini? Lagi pula, ini di kantin, Renjana. Kalau ada taruni lain yang gemas dengan tuturmu bagaimana? Walau begitu, kubiarkan juga pipiku bersemu. Pasti kentara sekali. Buktinya, Renjana sampai terkekeh pelan. Tangannya terjulur, mengusak pucuk kepalaku pelan.

Aku sudah membuka mulut. Hendak mengajaknya pergi ke perpustakaan. Tapi, langsung bantir setir kala terbesit sebuah ide tiba-tiba.

"Tunggu nanti pulang sekolah."

Lantas, aku menarik Yasmin yang terlihat asyik bercanda dengan Jude. Meninggalkan kantin. Maaf sekali, Yasmin. Kali ini, aku pangkas waktu bermesraanmu dengan Jude, ya? Aku mau membalaskan dendam pada Renjana.

Enak saja, kamu, Renjana. Sudah hampir seminggu aku membendung lautan rindu sendiri. Tidak ada kabar, tidak bisa berkomunikasi, sahabat-sahabatmu menolak untuk memberitahu alamat rumahmu. Dan sekarang, langsung membuat jantungku berdebar tak karuan?

Dasar, Rahwana! Makan, tuh, rindu yang baru bisa terobati enam jam lagi!

"Ngeselin lo, An. Tadi, tuh, Jude mau ngelawak. Selama ini, gue belum pernah ketawa sama lawakannya dia. Rencananya tadi mau ketawa, walau gue tahu bakal garing lagi. Ck! Nggak asik, lo!"

Cekatan kujauhkan kepalaku dari tempelengan Yasmin. Kujulurkan lidah ke taruni garang itu. Sementara jemariku membuka room chat dengan seseorang.


Sintanjani : Rahwana, besok aku ada remed mtk, nih. Nanti pulang sekolah ajarin aku, ya?
09.37

Rahwana👺 : Maaf sekali, Anja.
Rahwana👺 : Pulang sekolah nanti, aku langsung ke rumah Lia. Mau menebus yang kemarin Minggu waktu Bunda masih melarangku untuk keluar.
09.38

Sintanjani : Y udh
09.38

"Awas, An!"

Yasmin menarikku ke samping. Aku sedikit terperanjat karena tidak fokus pada jalan.

Itu Kak Mina. Yang menyukai Hugo. Astaga, lalu apa urusannya denganmu, Anja?

"Tuh, Rah-wa-na lo nge-chat. Dibales, kek!"

Aku memelototi Yasmin yang seenaknya sendiri mengintip ruang obrolanku dengan Renjana. Bukannya melarang, namun, jangan sampai Yaamin juga ikut gemas dibuat ketikan Renjana. Hehehe ....

Cepat-cepat kuketikkan balasan.

Rahwana👺 : Kamu tidur jam berapa??
09.39

Kutautkan kedua alisku.

Sintanjani : Knp? Random bgt.
09.40

Katakanlah, aku masih dalam mode kesal. Kumatikan layar ponsel. Mengantonginya di saku rok.

"Ngapa lo? Marahan sama Raga?"

Aku hanya menggedikkan kedua bahu. Memercepat langkah kaki menuju kelas, meninggalkan Yasmin di belakang.

---R E N J A H W A N A---

"Lo napa, Ga? Kalau masih sakit mending di ijin, deh," ujar Haidar yang duduk di samping Raga.

Adam pemilik papan nama Renjana Ragasuci Anggara tersebut menggeleng kecil.

"Nggak kenapa-kenapa."

Dusta. Padahal, logika dan hatinya sedang bimbang tak terkira.

Sintaku

Ragasuci : Habis dari rumah Lia, aku langsung ke rumahmu. Mau bertemu dengan Ibumu juga.
Ragasuci : Boleh?
09.45

ーR E N J A H W A N Aー

Pukul setengah enam sore, di hari yang sama.

Aku duduk bersila di ruang tamu, dengan televisi yang sudah menyala sekitar setengah jam yang lalu. Tapi rupanya, acara talk show nomor satu di Indonesia ini tidak mampu merebut atensiku.

Memangnya berapa lama, sih, Renjana mengajari Julia? Sudah dua setengah jam sejak bel pulang sekolah berbunyi, yang berarti sudah dua jam pula Renjana bertandang ke rumah si dara itu. Hm. Seasyik itu 'kah mengajari dara secantik Julia?

Tanganku membuka layar ponsel. Memejet aplikasi kamera. Kuperhatikan lamat-lamat wajahku yang terdapat dua-tiga jerawat mampir di pipi sebelah kiri dan dahi. Pori-pori yang tidak kecil di sekitar hidung, beserta komedo. Hei, Anja! Berhenti membandingkan dirimu dengan si Julia itu! Kalian itu hawa yang berbeda. Aduh, mengapa akhir-akhir ini aku menjadi lebih sensitif? Apa efek menstruasi sehebat ini?

Line!


Rahwana👺 : Om Agung menahanku sebentar. Mau menolak, tapi jatuhnya nggak sopan.
Rahwana👺 : Kamu sudah makan belum?
17.44

Om Agung? Papanya Julia, 'kah?

Sintanjani : Aku belum makan, heheheh
17.45

Sengaja kuketik demikian. Karena kuterka, Renjana sedang membeli makanan untuk kami berdua nanti. Aduh, calon idaman sekali, ya.

Rahwana👺 : Kenapa belum makan? Sengaja membuatku khawatir, ya?
Rahwana👺 : Aku belikan carbonara satu.
17.45

Sintanjani : Eh? Beneran? Tapi gpp sih kalau kamu maksa.
Sintanjani : Tapi, kok cuma satu?
17.45

Rahwana👺 : Untuk kamu saja. Aku sudah makan di rumah Lia tadi
17.46

Hm. Makan. Di. Rumah. Lia. Hm.

Sintanjani : Y udh.
17.46

Rahwana👺 : Cemburu lagi, ya? Ya sudah, aku makan lagi di rumahmu.
R

ahwana👺Nanti aku yang masak, biar kamu nggak cemberut lagi:)

17.47

Renjana, kumohon. Berhenti bertingkah seperti ini!

Drtt!

Jemariku langsung menggeser ikon berwarna hijau kala melihat nama Yasmin mencuat di layar ponsel. Yasmin itu taruni yang setipe denganku. Jarang menelepon. Kalau sekalinya menelepon, pasti bukan tentang hal remeh.

"Halo, Yas? Kenapa?"

"Anu ..."

Aku mengerutkan kening.

"Kamu tahu aku nggak suka dibuat penasaran, 'kan? Kenapa, sih?"

"Jauhin Jeffrey."

"Aku kira apaan. Nggak kamu suruh pun, aku udah ada niatan, Yasmin sayang."

"Tapi gue serius, Anja. Karena sekalinya anak Horiz Children tahu tentang pertemuan kalian tempo lalu, gue nggak bisa jamin lo bakal tenang bersekolah di Horiz lagi. Ada satu fakta yang lupa gue ceritain kemarin."

"Apa lagi?"

"Mantan Jeffrey ituー"

Tok! Tok! Tok!

"Eh, bentar, ya, Yas? Renjana udah dateng. Disambung besok, ya? Maaf bangeeeettt! Bye, Yasmin sayang!

Tut!

Tanpa dipaksa berdiri, tungkaiku sudah mengacir dengan kecepatan bak pebalap motoGP ke arah pintu. Jemariku menekan knop.

Demi Tuhan. Aku semakin yakin kalau Renjana diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum.

"Kenapa? Aku berantakan, ya? Maaf, belum mandi," adam di hadapanku ini mengusap tengkuk belakangnya kikuk.

"Kamu belum mandi aja ganteng."

Sebelum Renjana bersuara dengan wajahnya yang menunjukkan ekspresi keterkejutan, aku sudah lebih dulu meninggalkannya di bawah bingkai pintu. Berjalan menuju dapur, menyalakan kompor untuk memasak carbonara yang dibawa Renjana.

"Renjana? Kenapa nggak masuk?"

Taruna tampan itu tak langsung menjawab. Ia nampak menimang-nimang sesuatu.

"Ibu kamu ke mana?"

"Mama masih di butik."

Aku terdiam. Tadi, Renjana hanya menanyakan eksistensi Mama. Berarti, anak ini merekam dengan baik apa yang kuucap saat ulang tahun Horiz tempo lalu.

"Papa yang disalahkan. Papa yang dipaksa mendekam di bui. Padahal aku yang jahat."

"Kamu mau ketemu Papaku?"

Tenang saja, Pah. Renjana baik. Teramat baik. Anja yakin, Renjana bisa menerima Papah dengan tulus.

Renjana mengangkat kedua alisnya. "Ke lapas?"

Aku mengangguk. Tersenyum simpul.
Diam-diam merapal doa agar Renjana merespons perkataanku dengan baik.

"Boleh, kalau kamu nggak keberatan."

"Bagus. Eh, Renjana! Kenapa, sih? Sini masuk! Kalau ketahuan tetangga, dikira aku nggak bisa menjamu tamu dengan baik."

Tanganku menarik lengan Renjana, saat mendapati anak itu malah celingukan sendiri, dengan kakinya yang masih memijak karpet pintu depan.

"Kamu sendirian di rumah?"

"Tadi iya. Sekarang sama kamu."

"Kenapa nggak bilang kalau sendiri di rumah?"

"Kenapa emangnya?"

Renjana menghindari pandangku. Tangan mungilnya meletakkan sebungkus plastik yang kuyakini berisi dua carbonara yang dibelinya tadi.

"Aku sudah pernah bilang, Anja. Aku ini adam dan kamu hawa. Nggak baikー"

"Idih! Kamu ngomong gitu padahal udah dua kali nyium aku!"

Setelah mengambil dua bungkus mie carbonara, aku melenggang menuju dapur. Meninggalkan Renjana yang menatap punggungku dengan pupilnya yang melebar.

"P-pintunya dibiarkan terbuka saja, ya?" Tanya Renjana yang langsung membuka pintu bahkan sebelum aku meresponsnya.

Anak itu menghirup udara sore menjelang malam hari. Berusaha meredakan kegugupannya. Bukannya ia tak sadar dengan rona yang menghinggapi wajahnya.

Aku bahkan tidak tahu kalau sepenggap kalimatku tadi mampu membuat anak itu memegang dadanya diam-diam.

Renjana tersipu.

Tak lama kemudian, Renjana mengambil alih posisiku. Memberi kabul pada perkataannya, anak itu memasakkan carbonara.

Sementara itu, aku menaiki anak tangga, menuju kamar Papa. Membuka lemari kayu jati dengan tinggi dua meter yang tidak pernah nampak usang ini. Jangan tanya siapa yang membersihkannya. Yang jelas bukan Mama. Dengan cekatan aku memilih pakaian milik Papa yang sekiranya muat dipakai Renjana.

Kututup kamar Papa. Memerhatikan gerak-gerik Renjana dari atas. Tangannya yang lihai menyiapkan dua mangkuk, sekaligus sendok dan garpunya. Menuang bumbu dengan sekali sobekan.

"Renjana! Aku aja yang masak. Kamu mandi. Udah aku siapin beberapa baju Papah yang semoga muat kamu pakai."

Pergerakan tangannya yang hendak memecah telur terhenti.

"M-mandi? Aku mandi di rumah saja."

"Udah aku siapin, lho, ya! Lagian ini udah malem, Renjana. Nanti bisa rematik!" Aku memelototi Renjana yang langsung melempar pandang dariku lagi.

"Ya sudah. Tapi setelah selesai masak, ya?"

Aku berdeham. Mengingat kalau anak yang satu ini keras kepala. Mengiyakan suruhanku untuk mandi saja seharusnya aku sudah bersyukur.

Dengan kaos kenang-kenangan SMA Papa yang terlampir di lengan kiri, aku menuruni anak tangga. Meletakkannya di meja kaca ruang tengah. Menyusul Renjana.

"Renjana!" Kusandarkan lengan pada kulkas. Bersedekap dada memerhatikan Renjana.

"Dulu Hugo pernah masakin aku carbonara juga, lho! Malah kalau disuruh jujur, buatan Hugo lebih enak dari Mamah."

Tidak ada dusta di dalam kalimat yang kukatakan barusan. Sungguh.

"Renjana!"

Eh? Fokus sekali ya, masaknya?

"Rahwana!"

"Dalem, Sinta?"

"Ngapain kamu? Kenapa tadi nggak nyahut aku?

"Lagi mengatur api biar suhunya pas. Nyuci telur biar nggak ada kuman yang masuk waktu dipecah nanti. Oh, iya, kamu suka ditambahin daun bawang saja, bawang bombay, atau dua-duanya? Kamu suka pedas nggak? Ini kecapnya sedikit, setengah, atau semuanya? Kriuk-kriuknyaー"

"Renjana! Kamu kenapa, sih, nanyanya udah kaya wartawan aja?"

Tidak langsung menjawabku, anak itu malah menggigit bibir bawahnya sembari memainkan jemari. Ia mengalihkan pandangnya dariku.

"A-aku mau juga dipuji kamu seperti kamu memuji masakan Hugo tadi."

"Aku cemburu."

ーR E N J A H W A N A

BRAKK!!

"Jinan Abraham! Kami tahu bahwa kamu adalah Huang Jingyu! Cepat keluar karena Anda sudah tidak memiliki perlindungan lagi!"

Sementara suara bariton nan tegas itu menyeruak ke bilik-bilik, seorang pria berusia empat puluh tahunan tengah bersembunyi di lemari pakaiannya.

Hatinya mengumpati satu asma yang sama sedari tadi, tak henti-henti.

"Chairul sialan!"

Jemarinya mengetikkan sesuatu pada benda pipih nan canggih itu.


Jinan : Hey, Chairul! Bukankah kalau aku tertangkap, namamu juga ikut terseret?
23.45

Di seberang, seorang pria dengan kemeja eksekutifnya membuang nafas kasar. Ia memijat pelipisnya sendiri. Bagaimana bisa ia abai akan konsekuensi kalau Jinan sampai tertangkap?

Chairul Wangsa : Serahkanlah dirimu
23.45

Jinan memelototkan kedua bola matanya. Di samping itu, ia terlampau terkejut kala menyadari pintu kamarnya sudah mulai dicongkel dari luar.

Chairul Wangsa : Ini bagian dari rencana. Serahkan diri dahulu, aku akan memersiapkan cara untuk membebaskanmu.
23.46

Jinan : JANGAN OMONG KOSONG KAMU!
23.46

Chairul Wangsa : Huang Jingyu, santai saja. Jangan kira atasanmu ini tidak punya rekan di ranah kepolisian.
Chairul Wangsa : Tapi tidak gratis.
23.47

Jinan : Aku harus melakukan apa lagi?!
23.47

Chairul Wangsa : Bukan kamu. Tapi anak haram itu yang akan menanggungnya.
23.48

Bagai dijatuhi bom, jantung Jinan berdetak lebih kencang.

Jinan : Ya Tuhan, Chairul! Mau kausiksa seperti apa lagi anak itu?!
23.48

Chairul Wangsa : Bukan aku yang melakukan, tapi anakku. Jangan sepelekan pembullyan di Horiz, Jingyu. Apa lagi anakku sendiri adalah ketua gengnya.

23.50

BRAKK!

Jantung Jinan seakan meloncat dari rongga dadanya. Sepersekian detik kesempatan yang dimilikinya, sebelum pintu lemari itu dibuka paksa, ia habiskan untuk meremat ponselnya tat kala membaca pesan terakhir dari Chairul.

Chairul Wangsa : Peringatan terakhir
Chairul Wangsa : Pembullyan di Horiz dua tahun lalu menyebabkan korbannya meninggal.
23.50









𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...

ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."

Hwang Chansung 2PM

As

Hwang Chansung

a.n :
Tim sad or happy ending?

Tenang, tenang, masih lama kok endingnya wkwkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top