13. Layang Pertamamu
𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙩𝙞𝙜𝙖𝙗𝙚𝙡𝙖𝙨 :
𝙎𝙪𝙧𝙖𝙩 𝙥𝙚𝙧𝙩𝙖𝙢𝙖𝙢𝙪 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠𝙠𝙪
.
.
.
ーR E N J A H W A N Aー
Kemarin, semuanya terjadi begitu cepat. Tanpa pikir panjang, aku langsung menerima tawaran pemuda jangkung itu. Ia membawa kami menuju rumahnya yang tak jauh dari Horiz. Aku kelimpungan. Tak tahu nomor orang tua Renjana. Ponsel anak itu pun ia password. Pikiranku langsung jatuh pada Javier. KetiganyaーJude, Javier, dan Haidarーlangsung melesat ke titik lokasi yang kuberi via line.
Malam itu pula, aku baru ingat. Pemuda yang menawarkan bantuan kepada kami ialah salah satu anak Karba yang menghadangku saat tawuran.
"Hey, tas biru pudar! Berhenti!"
Ya. Ialah yang melayangkan seruan itu. Sempat ngeri bahkan terbesit pikiran untuk menelepon polisi. Mengingat di rumahnya, ia tinggal sendirianーberdasarkan pengakuannya.
Tapi, begitu melihat ia turun membawa kotak P3K, baskom, lap kain, dan es batu, ketakutanku perlahan menyurut.
Aku langsung mengobati Renjana. Mengoleskan salep pada luka-luka di badannya yang ringkih. Lantas dengan sekuat hati, mengompres lebam di sekitar matanya. Kalau kalian tanya apakah aku sekuat itu untuk menatap kelopak Renjanaku yang bengkak, jawabannya tidak. Anak Karba itu sempat menawarkan untuk berganti posisi, namun kutolak mentah-mentah.
"Mau dibawa ke rumah sakit? Kalau mau, saya hubungi rumah sakit dulu."
Jujur. Rentetan aksara itu sedikit memengaruhi pandanganku terhadap Anak Karba. Di saat yang sama, timbul suara gaduh dari pintu. Itu adalah gedoran tak sabaran Haidar.
Kalau Javier dan aku tidak segera melerai, Jude sudah menghabisi Anak Karba itu tanpa ampun. Ketiganya nampak kikukーbahkan Jude sepertinya masih tidak percaya sampai sekarangーsaat kuceritakan kalau Anak Karba inilah yang membantuku dan Renjana.
Haidar langsung menelepon seseorang, yang kuterka adalah keluarga Renjana. Karena terdengar kalimat meminta izin yang dilayangkannya. Kutanya siapa itu kala sambungan terputus. Tapi jawaban yang kudapat adalah, "di rumah sakit aja. Ntar lo yang nanya sendiri sama orangnya."
Tanpa bersiap lama-lama, kami berenam langsung melesat ke rumah sakit terdekat. Awalnya, Jude memaksaku untuk membawa Renjana. Namun kutolak halus. Mengingat mobilnya yang selalu diisi barang di jok belakangーberdasarkan cerita Renjana.
Sesampainya di rumah sakit umum, Renjana langsung dilarikan ke UGD. Kalau saja tidak ada keempat taruna itu, mungkin aku sudah menangis sejadi-jadinya.
Mengapa harus Renjana yang menjadi sasaran? Aku bersumpah. Tidak akan sudi memaafkan pelakunya. Bahkan kalau semakin dipojokkan satu sekolahan menjadi konsekuensinya. Malah bagus. Aku tak perlu berinteraksi dengan para pecundang, bukan?
Pukul sepuluh malam, Javier menyuruhku pulang dengan menumpang Jude. Alasannya karena ini sudah malam. Apalagi aku seorang perempuan. Ditambah besok adalah hari kegiatan belajar mengajar seperti biasa. Aku menggeleng tegas. Aku baru akan pulang jika Renjana sudah membuka netra teduhnya itu. Tak hanya sekali ia menyuruhku. Namun pada akhirnya, taruna Na itu menyerah juga.
"Kak Matteo!"
Atensiku langsung terserobot oleh eksistensi taruna yang baru saja tiba. Dengan jaket parasut merah, celana jeans, dan topi baseball putih, ia nampak sama paniknya denganku. Mempertimbangkan penampilannya, apakah ia kakaknya Renjana? Mengapa batinku berkata bukan?
"Kakak mau ke piutang dulu. Nggak apa-apa kalau pulang duluan. Terima kasih banyak," ucapnya terburu-buru, lantas jaket parasut merah itu lenyap di balik lift.
Ke mana orang tua Renjana? Mengapa Haidar tidak menelepon Bundanya Renjana saja?
"Tanya sendiri sama Kak Matteo," celetuk Jude yang seakan tahu eksistensi tanda tanya besar di dalam kepalaku.
Di ruang tunggu itu, aku tak melakukan apa pun selain memainkan ujung gaunku sembari menahan isakan. Aku sengaja duduk jauh-jauh dari mereka. Tak mau membuka suara kalau-kalau salah satu dari mereka mendapati mataku yang kembali sembab.
Kupeluk erat jas Renjana yang masih tersampir di pundakku. Aroma yang merebak ke indera penciumanku, semakin membuatku kalut dalam kekhawatiran. Rapalan doa-doa tak tersendat dari sanubari. Mengharapkan yang terbaik. Dan harus yang terbaik.
Malam itu, aku tak sadar akan sepasang netra yang selalu memerhatikanku dari kursi seberang. Nampak air wajah bersalah yang terpasang. Menatapku pilu. Seakan, aku adalah pemeran utama yang berakhir tragis dalam sebuah pertunjukan teather.
"Untuk sekali ini aja. Atas nama sahabat sehidup semati Raga, gue makasih sama lo," ujar Haidar yang terdengar ogah-ogahan.
Aku melirik si penerima pernyataanーsiapa lagi kalau bukan Anak Karba yang duduk di seberangku?
Taruna itu memasang wajah datar. Sangat berbeda dengan ekspresi paniknya saat di ruang lukis beberapa jam yang lalu.
"Santai saja."
"Gimana, Kak?" Javier berdiri. Pandangnya jatuh tepat di belakangku.
Kak Matteo mengangguk kecil, mengacungkan ibu jari seakan mengode bahwa urusan piutang dan segala administrasi yang terbilang sangat mendadak itu sudah beres.
"Anjani, ya?" Kak Matteo menepuk pundakku pelan.
"Iya, Kak?" sahutku parau.
Kak Matteo tersenyum. Ia mengajakku berjalan-jalan sebentar. Kubaca maksudnya, mungkin, adam ini ingin mengatakan beberapa pasal, yang lebih nyaman kalau dibicarakan jauh-jauh dari keempat laki-laki tadi.
Kami tiba di kantin utara rumah sakit ini. Yang paling dekat dengan UGD.
"Mau makan apa? Pasti capek nangis terus, 'kan? Sampai mata kamu ngalahin mata panda gitu."
Kalau mau mengakui, kalimat sederhana yang diucap Kak Matteo sedikit mengurangi rasa kekhawatiranku. Aku bingung. Apakah semua yang berhubungan dengan Renjana, memiliki magis yang dapat menenangkan hati seseorang?
"Samain Kakak aja," aku tersenyum kecil.
Aku memang lapar. Menangis itu butuh tenaga, bukan? Aku tidak mau kalau sampai aku pingsan dan bukan menjadi yang pertama kali melihat Renjana saat membuka netranya nanti.
Kak Matteo memesan mie ayam bakso. Makanan yang selalu kupesan saat bertandang ke kantin sekolah. Baik. Tolong hentikan kepercayaan diriku yang melebihi batas normal ini. Bisa-bisanya aku berpikiran bahwa Kak Matteo tahu makanan favoritku karena diceritakan Renjana.
"Raga pernah cerita ke Kakak. Kalau kamu selalu pesan mie ayam bakso kalau lagi di kantin sekolah."
Aku membelalakkan mataku yang bengkak karena kelebihan kadar air mata ini.
"Mungkin kamu kenal Raga belum ada sebulan. Tapi potongan-potongan cerita Raga beratasnamakan Anjani Arunika Kemala, udah dibawa sejak tahun lalu."
Uhuk!
"Eh? Beneran kaget, ya? Maaf! Maaf!"
Kak Matteo menepuk-nepuk punggungku. Aku tersedak jeruk panas yang baru saja dihidangkan di hadapanku.
Tunggu. Bagaimana bisa Renjana sudah menceritakanku kepada Kak Matteo sejak tahun lalu?
"Kalau Raga udah sadar, tanya sama orangnya sendiri, ya?" Terdengar kekehan di akhir kalimatnya.
Penasaran. Tidak ada kata lain lagi yang mampu mendeskripsikan tanda tanya yang tersisa.
"Kakak ini teman kerjanya Raga. Eh, dia belum cerita, ya?"
Aku menggeleng cepat dengan kerutan di keningku yang sedalam palung saja rasanya. Teman kerja? Renjana, dia kerja? Sejak kapan? Di mana? Jadi apa? Mengapa rasanya seakan-akan aku belum tahu segalanya tentang Renjana?
"Ya udah. Anggep aja informasi tambahan tentang calon suami. Kami kerja di Adibara."
"A-adibara?" Selaku dengan suara tercekat.
Sorot mata yang tak terkejut sekaligus senyuman penuh arti dari Kak Matyeo, membuatku berpikir.
"Raga ceritain semuanya ke Kakak akhir-akhir ini. Kakak kaget. Soalnya, Raga itu tipikal anak yang jarang cerita. Tapi katanya, gara-gara kamu. Dia jadi mau membuka diri. Dia bilang. Kalau kamu selalu kasih dia kekuatan. Kamu negur dia, kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri semuanya. Namanya sombong."
"Nggak masalah untuk bilang nggak apa-apa. Tapi kalau terus-terusan, sama saja sombong."
Entah bagaimana rasanya menggambarkan perasaanku sekarang ini. Karena Renjana merekam dengan baik kalimatku. Aku berdeham. Mengenyahkan dahak-dahak dalam tenggorokan yang membuat suraku serak.
"Kalau boleh tahu, Renjana cerita apa aja ke Kakak emangnya?"
"Dia cerita singkat, sih. Katanya, kamu itu pernah pacaran sama anak pemilik Adibara. Sapa namanya? Guguk, ya?"
Aku tak dapat menyembunyikan kekehan. Tersembur begitu saja. Tiba-tiba aku teringat Yasmin. Taruni itu selalu menyebut Hugo dengan Guguk. Yang katanya, adalah plesetan dari "Gogo". Dulu, aku selalu marah-marah kepada Yasmin tatkala akronim itu keluar dari bibir tipisnya. Sekarang, diam-diam aku menyetujuinya.
"Eh, salah, ya?"
"Hugo, Kak."
"Ah, ya itu, deh. Katanya kamu pernah pacaran sama Hugo. Terus belum lama ini putus. Tapi, jangan marah sama Raga, ya? Soalnya, anak itu kelihatan seneng banget waktu cerita ke Kakak kalau kalian putus."
Entah apa sebabnya, senyum terlukis begitu saja dari bibirku.
"Kalian ini, kecuali kamu, masuk ke Horiz Children, 'kan? Makanya Kakak nggak heran kalau beberapa minggu lalu, Raga babak belur. Katanya, sih, Horiz menang lawan Karba."
"Dulu, Kakak alumni Horiz. Enam angkatan yang lalu. Cikal bakal permusuhan Horiz sama Karbaーduh, jadi ngalor ngidul, 'kan topiknya."
"Kamu mau tanya apa aja ke Kakak?"
Aku menimang-nimang kalimat tanya yang akan kulontarkan. Berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.
"Maaf, Kak, kalau kesannya lancang. Tapi, kenapa Haidar nggak nelepon Bundanya Renjana? Maksudku, seenggaknya pihak keluarga Renjana yang seharusnya dikabari pertama kali, 'kan?"
Kak Matteo menyuap satu potong bakso ke dalam mulutnya.
"Raga nggak mau orang tuanya tahu kalau dia terluka atau kenapa-napa. Makanya, tiap kali dia sakit, kalau nggak ditahan sendiri, ya larinya ke Kakak. Dulu sering banget nginep di rumah Kakak waktu Horiz sama Karba lagi sering-seringnya tawuran. Dia beralibi ke Bundanya kalau mau main ke rumah Kakak. Di rumah 'kan dia nggak ada temen main. Kakaknya udah meninggalーeh, maaf, lupain aja yang barusan."
Renjana memiliki saudara? Saudara kandung 'kah? Dan lagi, sudah tidak ada? Mengapa Renjana tak menceritakannya kepadaku?
"Kak, waktu Renjana bawa aku ke panti asuhan, aku lihat ada luka memar di perut Renjana. Padahal setahuku, tawuran tanggal lima belas Oktober kemarin itu yang terakhir, karena dimenangin sama Horiz."
Tanpa kusadari, Kak Matteo menghentikan kegiatannya yang hendak menyeruput es jeruk di samping mangkoknya.
"Waktu aku tanya karena apa, katanya gara-gara tawuran. Tapi selama tawuran, Renjana jagain aku terus, Kak. Apa Kakak tahu sesuatu?"
Tingkah Kak Matteo membuatku semakin yakin kalau ia memiliki hubungan darah dengan Renjana. Sama-sama suka mendiamkan pertanyaan seseorang.
ーR E N J A H W A N Aー
"Hugo, Fabian, Javas, sama Stevan pada diskors dua hari."
Yasmin meletakkan kaleng cola tepat di hadapanku. Jangan lupakan. Yasmin Nurul Fadillah adalah taruni yang paling update akan berita terkini di Horiz. Bukannya biang gosip, namun bukankah sudah kukatakan kalau relasinya begitu luas?
Sejujurnya, tadi aku ingin ijin sekolah saja. Bagaimana bisa raga dan batinku semangat sekolah saat adam yang teramat ingin kutemui di sini masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit? Pesanku tak kunjung dibalas. Tapi aku memakluminya. Renjana butuh istirahat.
Air wajah Yasmin yang kusut karena aku tak sempat berfoto bersama dengannya kemarin malam, langsung berubah drastis begitu kuceritakan semuanya.
Tapi, ada satu tanda tanya besar yang masih mengambang. Mengapa Kak Matteo mengalihkan topik begitu kutanyakan perihal memar Renjana di perut terlepas dari tawuran? Pikiran-pikiran buruk mulai merasukiku tanpa kusuruh.
"Anja, jangan kaget, ya?"
Wajahku menatap Yasmin tanpa ekspresi. Sungguh, ingin rasanya membolos dan merangsek ke ranjang Renjana saja. Aku sudah rindu.
Yasmin membuang nafas pelan. Air mukanya berubah menjadi masam.
"Raga juga di skors. Bahkan empat hari."
"Demi apa?!"
Persetan dengan sekian pasang mata yang menatap meja kami. Ini sama sekali tidak adil!
"Siapa yang bikin keputusan, sih? Renjana korbannya! Dia nggak salah sama sekali!"
"Sstttt! Ini masih di kantin, An!" Yasmin berbisik dengan delikannya. Lantas, atensinya teralihkan ke ponsel di genggamannya lagi.
Aku mendengus kesal. Ini bukan SMA Horizon. Aku salah masuk sekolah. Ini pasti mimpi.
"By the way, Jude, Javier, sama Haidar solidnya gede banget ya? Mereka bertiga sampai bolos satu hari full karena jengukin Raga," Yasmin meletakkan ponselnya.
Aku mengernyitkan dahi adalah, sejak kapan Yasmin membahas hal-hal berbau Jude dkk?
"Kamu tahu dari mana?"
Laksmi bermata kucing ini menyengir lebar, sebelum mengatakan satu rentet aksara yang membuatku membelalakkan mata kesekian kalinya.
"Jude. Eheheheh."
---R E N J A H W A N A---
Hari ini, kami dipulangkan cepat, entah apa sebabnya. Intinya, aku dan Yasminーyang merengek untuk ikutーlangsung memesan taksi online. Kami akan menjenguk Renjana. Ah, ralat. Aku ingin menawar rinduku dengan temu, sedang Yasmin, sepertinya ia lebih menitikberatkan pada persuaannya dengan Jude.
"Yaaahh, Anja," Yasmin menyikutku.
"Jude bilang, Raga barusan udah dipulangin. Ck!"
"Kok malah mendecak, sih? Ya baguslah, Yas! Artinya Renjana udah sehat! Kamunya aja yang ngebet ketemu Judeーaw! Sakit! Sakit! Ampun, Yas!"
Aku mengusap lenganku yang menjadi sasaran cubitan maut Yas. Terkekeh puas karena berhasil menggodanya. Diam-diam, aku tak henti bersyukur pada Tuhan. Cepat sekali Tuhan mengabulkan doaku.
"Ya udah, gue langsung balik, ya? Mau diajak bokap ke mall."
"Hati-hati!" Seruku begitu punggung Yasmin langsung menjauh dari jangkauan.
Rumah Yasmin memang terbilang dekat dari sekolah. Jadi, ia bisa berjalan kaki.
Mengapa tiba-tiba aku teringat akan anak Karba yang menolong Renjana kemarin? Apa Yasmin bertetangga dengannya?
ーR E N J A H W A N Aー
Netraku menelisik diam-diam di balik gorden. Memerhatikan tukang pos yang sudah sepuluh menit yang lalu mondar-mandir di halaman rumahku. Creepy sekali! Kata Papa, kalau ada orang kebingungan, cobalah untuk mengulurkan tangan. Tapi, mas-mas itu hanya mondar-mandir. Tengok kanan tengok kiri. Kalau pun memang ditujukan untuk rumahku, mengapa ia tak mengetuk pintu, sih?
"P-per-permisi!"
Astaga! Mengagetkan saja! Baru saja dirasani. Bke, Anja. Mas-mas itu orang baik. Hanya melakukan pekerjaan. Kubur dulu pikiran negatifmu itu.
Cklek.
"E-eh, M-mbaknya."
"A ... da apa ya, Mas?"
"I-i-ini a-da su-sur-surat."
Mas-masnya ini gugup atau ... ah, ya Tuhan. Baru saja netraku menangkap tulisan yang terpatri di sobekan kertas, yang ditempel di helm mas-mas ini.
"Maaf kalau suara saya mengganggu. Saya gagap dari kecil. Mohon pengertiannya:) semoga selalu diberi kebahagiaan oleh Tuhan. Aamiin."
Hatiku menghangat. Aku bersyukur karena masih ada manusia yang memekerjakan sesama yang berkebutuhan khusus. Hal seperti ini sangat langka ditemui.
"N-nama pa-pacar mbak lu-lu-lucu, ya? Be-bener yang dika-kasih tahu M-masnya ka-kalau Mb-ak ini medhok," mas ini terkekeh. Memamerkan giginya gingsulnya di atas kanan.
Apa? Pacar katanya?
Langsung kuraih surat itu. Netraku gencar mencari identitas si pengirim surat. Pikiranku kalang kabut. Apa jangan-jangan dari Johansen Thomas? Si bajingan yang menjadi simpanan Mama? Aku terlalu kalut. Dadaku berkecamuk.
Sampai sekelumit aksara indah tertoreh di sampulnya, pikiran burukku langsung luruh seketika.
"Dari : Rahwana
Untuk : Sinta
Catatan : Kalau Bapak/Mas kesusahan mencari si pemilik asma laksmi ini, cari saja gadis manis dengan potongan rambut sebahu. Kalau masih bingung, ajak ngobrol saja, Pak/Mas. Suaranya medhok khas Jogja. Lucu. Tapi jangan sampai terlena, ya, Pak/Mas. Punya saya soalnya."
"Masー"
Brrrmmmm!
Kutatap plat motor yang semakin menjauh.
"Punya saya soalnya."
Aku bergegas menutup pintu. Berlari ke kamarku secepat burung unta. Kenapa Renjana bisa seimut ini, sih?
Sehempasnya tubuhku di kasur, kuamati lamat-lamat amplop putih khas arisan ibu-ibu ini. Tulisan Renjana rapi sekali. Bahkan lebih rapi dari Yasmin. Dengan hati yang bagai ditabuh berulang kali, kukeluarkan secarik kertas coklat bergaris di dalamnya.
"Selamat pagi, Sinta. Ini Rahwana. Aku menulis ini saat sinar surya pagi menerabas jendela. Nggak tahu akan sampai ke kamu kapan.
Jangan bingung! Sepulang dari rumah sakit, aku langsung menulis ini diam-diam di kamar. Untung, Dewi Sukesi punya stok amplop banyak di tas arisannya. Lantas, aku langsung menuju kantos pos diam-diam berbekal sepeda ontel Kakakku. Eh, kamu nggak bingung siapa Dewi Sukesi, 'kan, Sinta? Itu, lho. Bundaku. Bundanya Rahwana.
Pasti banyak sekali yang ingin kamu tanyakan, ya? Baiklah, akan aku jawab satu-satu.
Kenapa aku nggak mengirim pesan lewat line? Kenapa aku nggak membaca pesanmu?ーmaafkan aku yang terlalu percaya diri kalau beranggapan kamu mengkhawatirkanku.
Jadi begini. Sepulang dari rumah sakit tadi, Dewi Sukesi langsung menyita ponselku. Katanya, aku nggak boleh megang benda pipih nan pintar itu sampai aku benar-benar pulih. Aku terus-terusan disuruh istirahat. Tapi ternyata, nggak kunjung istirahat juga. Karena kamu.
Aku terlalu mabuk benih rindu, nggak tahan berjarak sebegini lamanya dengan kamu. Maaf, kalau terkesan berlebihan, padahal baru satu hari nggak bersua. Tapi memang ini yang aku rasakan. Alhasil, layang dengan untaian aksara rapuh inilah yang menjadi perantara kerinduanku kepadamu.
Omong-omong, Kak Matteo sudah menceritakan semuanya kepadaku. Mengenai kamu yang terus bertanya ini-itu. Aku minta maaf sudah membuat titisan laksmi secantik kamu terlampau cemas. Demi Tuhan, aku nggak bermaksud membuat kamu merasakan situasi nggak nyaman seperti ini.
Perihal kabar kalau aku di skors, sudah sampai di telinga Dewi Sukesi. Syukurlah, aku nggak kena amukan lagi karena bertengkar dengan Ramamu.
Pasti kamu menanyakan kabarku seharian iniー'kan, percaya diriku kambuh lagi ....
Aku baik-baik saja, Sinta. Kali ini sungguhan. Bengkak di netraku sudah mengempes. Kata taruna berkalung tengkorak itu, kamu yang mengompresnya sebelum aku dibawa ke rumah sakit. Terima kasih sekali, Sinta.
Bagaimana kabarmu sekeluarga?
Dari sini, aku selalu merapal doa pada Sang Kuasa agar selalu menjagamu. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup! Jangan lupa belajar juga! 'Kan sebentar lagi ujian akhir semester.
Wah ... rasa-rasanya baru kemarin kamu mengembalikan 'death note'ku di kantin, Sinta. Memang ya, rajutan waktu takkan terasa kalau dilalui dengan pujaan hati.
Aku bingung mau menulis apa lagi. Kertasnya juga hampir habis. Sebenarnya aku ikut melestarikan pohon dengan meminimalisir penggunaan kertas. Namun untuk melepas rasa kangen yang nggak karuan ini, untuk pertama kalinya, aku berani menyobek kertas di tengah-tengah buku catatan Matematikaku.
Sinta, mungkin segini dulu layangku untukmu. Duh ... ini pertama kalinya aku menulis surat untuk taruni. Dan aku senang karena taruni itu kamu.
Ingat pesanku tadi, ya?
Titip salam untuk bidadari cantik yang telah merawatmu dengan baik di bumi pertiwi ini. Dan juga Prabu Janaka, ayahmu yang teramat gagah.
Bukan Alengka, 2 November 2017
Salam rindu lima puluh satu miliar,
Rahwana.
ーR E N J A H W A N Aー
Pagi ketiga sejak Renjana dilarikan ke UGD. Hugo dan antek-anteknya sudah menongkrong di kantin. Sikap mereka sama sekali tidak berubah. Selalu mengusik murid-murid yang dirasa mengganggu mereka. Bedanya, kali ini, mereka berempat sedikit berjarak dengan gengnya Kak Yovan. Terbukti, saat Kak Yunan baru saja menginjakkan sepatunya di lantai kantin, mereka berempat kompak meninggalkan tempat yang sama.
Yasmin menyikutku tidak tanggung-tanggung. Membuatku sedikit tersedak kuah mi ayam bakso Bu Banu.
"Dari tadi Kak Yovan ngelihatin lo terus. Pengen gue tusuk matanya," bisiknya.
Aku hanya menggedikkan bahu tak acuh. Bukannya terlalu percaya diri. Tapi, aku juga merasa sepikiran dengan Yasmin. Selepas mengantarku pulang tempo lalu, aku merasa teman-teman Kak Yovan lebih sering menyapaku. Padahal, hampir semua kakak kelas yang berkoneksi dengan Hugo sudah tidak menganggapku.
Sejak berpas-pasan dengan Javier di gerbang tadi pagi, suasana hatiku dipenuhi kabut.
"Sorry, An. Bukannya gue nggak mau kasih tau alamatnya. Tapi ini pesen nyokapnya untuk jangan jengukin Raga dulu. Gue aja sama anak-anak gabut banget nggak ada bahan bully-an."
Aku harus menguatkan hati berkali-kali untuk tahan satu pagi lagi. Kalau menunggu sampai Senin depan, sudah keropos dimakan rayap nelangsa aku! Tiga malam belakangan ini pula, membuka surat Renjana sebelum terlelap menjadi tradisi wajibku. Kalau tidak, aku jamin. Aku akan melek sampai pagi-pagi buta.
Sedari pagi, Yasmin juga terus bercerita tentang riwayat chatting-nya dengan Jude. Tiap kali kutanya bagaimana awal mula kedua insan itu bisa menjadi dekat, jawabannya selalu sama, "enggak tahu, nih. Ngalir gitu aja. Titah Tuhan untuk ngelupain Kak Yunan kali, ya?" Dan ditutup dengan senyum malu-malu kucingnya. Ingin kukatai, "sok imut!" Tapi taruni ini memang lucu.
Kegiatan sekolah berjalan dengan lancar. Desas-desus tawuran antara Horiz dan Karba langsung lenyap seketika. Dan kabar baiknya, telingaku sudah tidak lagi mendengar bisikan-bisikan yang menjatuhkanku. Aku tidak tahu. Antara mereka yang sudah lelah atau memang akunya yang seratus persen memutuskan untuk 'bodo amat'.
"Eh! Jangan minta dijemput dulu! Nyokap gue bikin karedok enak banget, sumpah! Tadi pagi gue udah nyicipin. Aman, kok! Nggak kaya bulan lalu, yang asinnya mengalahkan Samudera Pasifik. Mau, ya? Oke. Yuk!"
Tanpa menunggu balasan dariku, Yasmin langsung menarik lenganku, berjalan menuju rumahnya yang tak jauh dari sini.
ーR E N J A H W A N Aー
Yasmin melesat ke toilet di kamar yang berukuran sama dengan kamarku ini. Di ruangan bernuansa kuning lemon ini, di kasur, nakas, meja belajar, wall grid, dan lemarinya, dipenuhi aksesoris salah satu kartun yang memiliki paras serupa dengan Yasmin. Entahlah. Aku bingung menyebutnya apa.
Cklek!
"Anjani, yuk, turun! Nasi gorengnya udah siap, nih! Dari pada nungguin Yasmin kalau mandi bisa setengah jam sendiri," ajak Bunda Yasmin yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
"Aku nungguin Yasmin aja nggak apa-apa, Tan. Sekalian mau liat-liat, soalnya udah lama nggak main," tolakku halus, seraya tersenyum.
Tidak mungkin juga aku mendahului tuan rumah untuk makan. Walau pun aku dan Yasmin sedekat nadi dan arteri, aku tetap menghormatinya. Bunda Yasmin mengulum senyum, mengangguk paham, lantas menutup pintu kamar pelan.
Suara air shower terdengar dari dalam toilet. Aku berani jamin kalau Yasmin baru saja menaburi kelopak tujuh kembangーah, ya tidak sampai sebegininya juga, sih.
Bosan melanda. Dengan iseng, kuraih bola kasti yang disimpan Yasmin di laci meja belajarnya.
Puk! Puk! Puk! Puk! Puk!
Kedua mataku membola seketika kala menyadari bola hijau kecil itu melesat menembus kacaーtidak! Aku menyembulkan kepala keluar jendela. Ketakutan menyergap seketika. Sejak kapan kaca jendela kamar Yasmin tidak ada?
Dengan terbirit, kuputar kenop pintu kamar kuning lemon ini, melejit cepat keluar rumah Yasmin, lantas berlari tanpa alas kaki menyusuri taman kecil yang berhadapan langsung dengan kamar Yasmin.
Masa bodoh dengan pandangan orang sekitar terhadap penampilanku yang urakan ini. Masih berbalut seragam, tanpa alas kaki, rambut berantakan, peluh membanjiri. Ini perihal bola kasti milik Yasmin! Hal-hal berbau olahraga akan selalu dijaganya dengan sepenuh hati.
Aku memajukan bibir bawahku. Semoga Yasmin mandinya lebih lama dari biasanya. Amin. Tungkaiku terus melangkah ke kanan, mengikuti alur semak-semak taman yang ditata pemerintah sedemikian rupa, tanpa memerhatikan jalan yang kupijak.
Sampai telapak kaki kananku yang tanpa alas ini menginjak sepatu. Kelopakku mengerjap beberapa kali begitu menyadari alas kaki yang tidak asing bagiku ini.
Degup jantungku semakin menjadi begitu si pemilik bersuara, "kamu mencari ini?"
𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...
ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."
"Aku menulis ini saat sinar surya pagi menerabas ke jendela. Nggak tahu akan sampai ke kamu kapan.
a.n :
Nggak tahu kenapa mood menulis lagi surut ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top