11. Dusta Pertama

𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙨𝙚𝙗𝙚𝙡𝙖𝙨 :
𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙩𝙖𝙠𝙖𝙣, 𝙠𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙚𝙣𝙘𝙞 𝙠𝙚𝙗𝙤𝙝𝙤𝙣𝙜𝙖𝙣. 𝙇𝙖𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙡𝙖𝙠𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙞𝙩𝙪 𝙖𝙥𝙖?

.
.
.

R E N J A H W A N Aー

Raga masih bertanya-tanya pada Sang Pencipta. Mengapa pula ia mendapat undian sahabat yang sebegini bobroknya?

Melihat Jude yang memakai jaket kulit dengan resleting sampai leher, ditambah dengan kacamata hitam khas bapak-bapakーyang mudah dijumpai di pasar malam, biasanya, dibanderol sekitar dua puluh ribu rupiah per bijinya. Lalu Javier, dengan jaket denim ala 'Dilan', dengan celana training olah raga Horiz yang dipakai terbalik. Bukan sakunya yang terbalik. Tapi, jahitannya. Sungguh, memang seperti itu yang dikenakan Javier. Akunya, mengantisipasi agar logo khas Horiz tidak terlihat.

Sedangkan Haidar ... tunggu sebentar. Raga memijat pelipisnya begitu sudut netranya beralih pada sahabatnya yang satu ini. Bagaimana tidak geleng-geleng kepala?

Haidar yang tidak pernah memakai jaket, entah dari mana mendapatkan sarung. Tidak sampai situ saja. Adam yang satu ini bahkan menutupi wajahnya dengan sarung itu, yang hanya menyisakan dua netranya. Persis seperti maling televisi di FTV-FTV kesayangan Mamanya.

"Ga, temen-temennya dibuatin sirupーMang Asep kasep pisan euy! Eh, goblok! Goblok! Eh, maap! Maap!"

Matteo yang baru saja dari dapur, terkejut setengah mampus begitu melihat salah satu yang paling menonjol, di antara kelima remaja yang berkumpul di ruang tengahnya. Siapa lagi kalau bukan Haidar?

"P-punten, Dek. Itu sarung dapet dari mana?"

"Gubuk di deket pohon pisang, Bang. Hehe," jawab Haidar sembari meringis di balik sarungnya.

"Sarungnya digantung di kentongan cabe?"

"Kok, Abang tahu? Juru ronda, ya?"

"Maunya sih gituーWeh, Dek! Itu pernah dikencingin Akik-Akik!

Mendengarnya, Haidar kelabakan melepas balutan sarung kotak-kotak biru-ungu di kepalanya itu.

Jude sampai merosot dari sofa. Kalau saja lelaki berseragam Karba itu tidak cepat-cepat melindungi kepalanya, mungkin sekarang Jude sudah merintih kesakitan karena terantuk meja yang terbuat dari kayu jati itu.

"Napa kagak bilang dari tadi, sih?!"

"Sengaja. Biar nggak gue doang yang jadi korbannya," sahut Matteo dengan wajah tanpa dosanya.

Laki-laki ini langsung menaiki anak tangga. Ini adalah saat yang tepat untuk tidur. Mengingat cuaca sekarang sudah mendung.

"Dar, lo juga kenapa sampai sarungan segala, sih? Mau cosplay kura-kura ninja?"

Haidar menatap sinis Raga yang duduk di sofa seberang. Ia sebalnya karena bau pesing yang kini melekat di surainya. Malah Raga yang kena imbasnya.

"Melindungi aset Horiz," gumamnya penuh penekanan, sembari melirik tajam satu-satunya lelaki yang nampak lebih tua dibanding mereka berempat.

Paham dengan apa yang dimaksud, Raga mengalihkan pandangnya bergantian, dari Javier, Jude, lalu yang paling terpojokkan di sini.

Laki-laki itu juga tengah menatapnya.

"Dia bukan seperti yang kalian pikirkan. Dia baik."

"Jaman sekarang, begal berkedok tampang malaikat, tuh, banyak, Ga," timpal Jude.

"Tapi gue nggak termasuk."

"Nggak termasuk gimana? Lo kira gue nggak tahu lo siapa? Marko. Mantan Ketos Karba. Setahun lalu tempuk sama Yunan."

"Gue seterkenal itu, ya?"

"Emangnya siapa yang nggak kenal Julian Marko? Pelaku yang merusak monitor di pos satpam belakang," Javier menaikkan sebelah alisnya.

"Oh, jadi masih ada yang salah tangkap juga. Mau tahu yang sebenarnya apa kagak?" Tawar Marko enteng. Seakan ia sudah terbiasa dipojokkan kalau membahas topik ini.

Remaja itu menaruh plastik putih di atas meja jati, "buat lo, Ga." Raga menaikkan kedua alisnya. Menatap Marko seakan bertanya, "apa?" tanpa membuka mulut.

"Buah."

"Eh, maaf ngerepotin, Kak!"

"Kok kalian akur?" Haidar menautkan kedua alisnya dengan nada yang sedikit menjulang. Lagi-lagi, ia melirik Marko tak suka.

"Kak Marko itu orang baik, Haidar."

"Kalau gue nggak cerita, kayanya kesalahpahaman ini nggak bakal hilang. Maka dari itu, dengerin gue. Nggak terima penolakan atau penulian telinga," ujar Marko mantap.

Jude, Javier, dan Haidar kompak menatap Raga keheranan. Sedangkan yang ditatap, langsung mengangguk meyakinkan.

"Tahun lalu, yang merantas monitor cctv pos satpam kalian itu bukan gue. Tapi Jeffrey. Gue rasa, gue nggak perlu jelasin siapa ituー"

"Emang Jeffrey, teh, saha?" Bisik Haidar pada Javier yang duduk di sebelahnya. Namun, Marko masih bisa mendengarnya.

"Lo belum lama masuk Horiz Children, ya?"

Ketegangan sempat mengisi kelimanya. Karena bagaimana pun, Marko adalah anak SMK Karya Bhakti. Pemimpin Anak Karba saat tawuran tahun lalu. Dan barusan, ia bertanya mengenai secuil informasi anggota Horiz Children angkatan sekarang.

Diam-diam, Javier menuliskan sesuatu pada notes ponselnya.

"Dia legendarisnya Karba. Konon katanya, jangan sebut-sebut nama dia sembarangan kalau lagi di sekolah atau pun di wilayah Karba."

Ia mendekatkan ponselnya pada Haidar. Supaya sahabatnya itu bisa membacanya. Upayanya berhasil. Haidar melipat bibirnya ke dalam. Kalau Javier sudah serius seperti ini, berarti sekarang bukan saatnya bercanda. Batinnya.

Peka akan situasi, Raga langsung menimpali, "karena ke-gep Hugo merusak motornya Dony, Kak. Dia cemburu dengan kedekatan Dony sama Sheren. Mungkin Hugo pikir, Haidar adalah juru perusak mesin."

Raga tak menggubris pelototan dari Haidar. Marko manggut-manggut paham. Dalam hati, ia menahan tawanya mati-matian. Duh, kekanak-kanakan sekali oknum Haidar Reyhan Abyasa ini.

"Jeffrey Athala. Sebenernya, dia nggak bisa dibilang alumni juga, karena nggak lulus-lulus. Sampai akhirnya, pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan dia. Nggak sendiri. Tapi sama sohibnya," Marko menatap Jude, Javier, dan Haidar satu per satu.

"Namanya Morgan Rakai Mahendra."

"Morgan yang nyanyi you know me so well itu bukan, sih?" Bisik Haidar kepada Javier. Lagi.

Sedangkan Javier hanya meresponsnya dengan pelototan mata. Menyuruhnya untuk diam sejenak.

"Walau pun udah keluar dan seharusnya memasuki usia kerja, mereka selalu melakukan apa pun untuk mengabdi kepada Karba. Semua tawuran yang melibatkan Karba, mereka bantu. Nggak lupa pakai seragam kebanggaan Karba yang selalu mereka simpan baik-baik. Sampai sekarang, keduanya adalah senjata rahasia anak Karba. Tapi, yang paling legendaris itu, ya si Jeffrey. Lelaki berkalung tengkorak. Itu julukan dia. Karena sebenernya, nggak sembarang orang bisa menyebut namanya. Seharusnya juga begitu di Horiz," tatapan Marko jatuh pada Haidar.

"Perkenalan mereka cukup sampai sini. Karena fokusnya adalah menghilangkan kesalahpahaman kalian tentang apa yang sebenarnya terjadi setahun yang lalu. Kalau gue sebut "dia", harusnya kalian paham, 'kan, siapa yang dimaksud?"

"Dia nggak bawa seragam. Karena memang, tawuran tahun lalu itu sangat sangat sangat mendadak. Gue akui, ini kesalahan anak Karba yang memekakkan telinga satpam kalian lagi. Di jam yang sama pula, Yunan langsung 'ngajak'."

"Back to topic, gue langsung minjemin seragam gue ke dia. Nggak masalah gue pakai kaos. Intinya, jangan sampai Horiz Children sadar, kalau ada dia di tengah-tengah perkelahian. Gue kira, dia bakal terjun lapangan. Nyatanya enggak. Dengan bantuan Mahen, dia berhasil nerobos gerbang belakang Horiz yang udah digembok. Dia rantas monitor cctv di pos satpam, supaya detik-detik saat anak Karba memekakkan telinga satpam kalian sampai limbung itu kehapus. Dan saat itu, lo," telunjuk Marko mengarah ke Javier.

"Dengan mata bengkak yang nggak bisa terbuka lebar-lebar, cuma bisa baca bordiran nama di seragam yang dia pakai. Julian Marko. Dan mulai dari situ, gue tahu, nama gue jadi makin terkenal di Horiz. End. Nggak terima bon chapter. Apalagi sekuel."

Marko menyandarkan punggungnya pada sofa. Rasanya sangat pegal. Bagaimana tidak? Selama ia bercerita tadi, badannya selalu condong ke depan.

"Oh," Jude mengalihkan pandangnya ke arah lain.

"Nggak usah merasa bersalah gitu. Lupain aja. Anggep gue nggak pernah cerita ini," ujar Marko yang mudah peka dengan situasi.

Ingin memecah keheningan, akhirnya, pelaku cosplay kura-kura ninja tadi membuka mulut, "Ga, lo dibawain jeruk kenapa emang? Sakit?"

"Kalau nggak mau cerita, sekalian gue aja, ya, Ga?"

Atensi ketiganya direnggut kembali oleh satu-satunya siswa SMK di rumah itu.

"Lo pelakunya?" Rahang Jude mengeras. Jangan lupakan tatapan tajamnya.

"Astagfirullah. Dengerin dulu, oke? Kemarin, Jeffrey sama Mahen berulah. Tuh bocil jadi korbannya," tunjuk Marko ke arah Raga dengan dagunya.

Pemuda itu menjelaskan dengan runtut segala kejadian yang ia lihat kemarin sore. Tanpa melebih-lebihkan dan tak kurang. Membuat Jude, Javier, dan Haidar kalut dalam secuplik kilas balik.

Sekarang, keempat pasang mata di ruangan bercat putih itu, tertuju ke arah remaja dengan kaos bermotif Moomin. Ia menggigit bibir bagian dalamnya.

"Nggak semua cerita harus dipendem sendiri, Ga. Kalau gitu mah, buat apa istilah 'sahabat' ada di muka bumi?"

Raga tertegun oleh ucapan Haidar. Seakan tertampar oleh nilai kehidupan yang dipegangnya sendiri : hidup untuk saling mengulurkan tangan.

"Gue juga nggak tahu. Tapi yang gue denger, dia bilang. Kalau yang kita percayai, belum tentu pantas mendapatkan kepercayaan itu dari kita," adam itu menirukan kalimat yang diucapkan Jeffrey sama persis.

"Udah. Yang gue tangkap cuma itu. Beneran."

"Maksudnya ...."

"Ada Horiz Children yang berkhianat."

Keempat anggota HC di sana kompak menoleh ke sumber suara.

"Jangan kira gue ngadi-ngadi. Beberapa bulan lalu, dia juga pernah dimintai tolong sama anak SMK lain buat membabibutakan temennya sendiri. Temen gue yang jadi saksi dan denger semuanya. Kalimat yang dia ucapkan saat itu, nggak ada bedanya dengan yang lo tuturkan, Ga."

"Hugo bangsat," desis Jude. Tangannya terkepal kuat. Rahangnya kembali mengeras, lengkap dengan tatapan matanya yang seperti elang.

"Lo nebak?"

"Siapa lagi yang berani berkontak dengan si tengkorak kalau nggak punya jabatan tinggi di Horiz, Dar?"

Pertanyaan Jude yang sebenarnya berupa jawaban itu, tidaklah mengagetkan si korban. Karena ia sudah tahu. Cepat atau lambat, saudara tirinya itu akan melakukan segala cara untuk membuangnya.

Setelah lama mengamati respons sahabatnya satu per satu, ia meloloskan satu permintaan. Yang kali ini, terselip nada paksaan di dalamnya.

"Kita keluar dari Horiz Children. Nggak ada gunanya bergabung sejak kesalahpahaman Hugo dua minggu lalu. Gue nggak mau kalian mengalami hal serupa."

ーR E N J A H W A N Aー

Gadis jelita itu tidak jarang terdistraksi dengan pahatan wajah elok milik adam di hadapannya. Sedang yang diperhatikan, masih fokus menjabarkan langkah demi langkah bagaimana rumus-rumus itu bisa diperoleh.

Ini hari Minggu. Hari ketiga sejak ketiga sahabatnya bertandang ke rumah Matteo Mason. Mereka terkejut saat mengetahui bahwa Matteo adalah rekan kerjanya. Ah, lebih tepatnya, mereka tak pernah menerka kalau tiap sore sepulang sekolah, Raga selalu berkendara menuju PT. Adibara.

Ketiganyaーterutama Judeーsempat hampir meledak. Apalagi saat tahu tugas apa yang diampu sahabatnya itu. Tapi, sumbu amarahnya mulai mereda begitu mendengar alasan Raga. Anak itu juga meminta ketiganya untuk bungkam terkait semua yang menyangkut dirinya dengan Adibara.

"Julia."

"Ya? Eh, maaf, maaf! Gimana, Ga?"

Jangan kira adam itu tak peka akan perasaan Lia terhadapnya.

Gadis jelita seperti Lia, lengkap dengan kepintarannya, fasih berbahasa asing, wajah imut, dan sikapnya yang selalu santun, nyatanya tidak pernah berhasil membuka pintu hatinya.

"Kalau bosan bisa istirahat."

"Nggak! Nggak bosen, kok. Lanjut aja. Hehehe," kedua mata gadis itu menyipit. Menyisakan eyesmile-nya yang begitu memikatーsekali lagi, terkecuali untuk taruna di hadapannya.

Raga mengangguk. "Sampai sini ada yang mau ditanyakan?"

Lia menggeleng pelan.

"Kalau benar sudah paham, kerjakan uji kompetensinya. Bagian uraiannya saja. Jangan lupa pakai cara," tangannya menyodorkan buku paket berisi 297 halaman tersebut.

Yang disodorkan mati-matian menyembunyikan keterkejutannya. Dalam hatinya, ia mengaduh. Bahkan sejak dua sub bab sebelumnya saja, ia masih pah poh. Namun, kalau meminta dijelaskan kembali, bukannya sangat memerlihatkan betapa tidak fokusnya ia?

"O-oke."

Gadis itu membuka bindernya, melepas beberapa kertas loose leaf dengan motif kotak-kotak, lantas menguatkan batin dan pikiran untuk meraup soal demi soal.

Ibu Julia, Priska adalah sahabat dekat Jinan Abraham. Bahkan beberapa tahun lalu, mereka sempat memikirkan untuk bekerja sama dalam bisnis bidang properti. Tapi sayang, dua hari setelah pertemuan di rumah Agung, ia dipanggil Tuhan.  Ini merupakan salah satu alasan mengapa Lia sangat disayang oleh Ayahnya.

Raga memerhatikan angka demi angka yang dicoret teman lamanya itu. Hebatnya, sampai sini, belum ada yang salah. Padahal, materi itu termasuk salah satu materi yang paling diprotes teman-temannya. Karena saking rumitnya.

Drtt!

Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja.

Hanya dua balon pesan yang tersemat dalam layar ponsel. Tapi, efeknya begitu luar biasa bagi si pembaca. Cepat-cepat ia usap layar itu.

Dimas : kenapa kamu gk bilang ke Anja kalau jadwalmu diubah? Dia nanyain kamu trs drtd. Katanya, kamu gk prnh baca pesanny.
12.09

Dimas : Raga, kalian marahan? Saya gk mau tau y, kamu ke sini skg! Selesaikan urusan kalian. Kalau gk mau, Anja buat saya.

12.10

Kedua bola matanya hampir lepas saja rasanya. Memang benar. Sejak terakhir kali ia mengucapkan selamat malam pada Anjani beberapa hari sebelumnya, ia tak pernah sekali pun membuka balasan taruni itu.

Alasannya? Anak itu terlalu bingung akan menjelaskan apa kalau sampai Anjani menanyakan keabsenannya selama sekolah. Mana mungkin ia memberi tahu si dara kalau ia dihabisi mati-matian oleh jagoannya Anak Karba? Tak pernah terbesit sekali pun dalam pikirannya, untuk membagi lukanya pada si hawa.

Ibu jarinya menekan tombol power.

"Kalau ada urusan penting dan mendadak, pulang duluan nggak apa-apa. Papah baliknya masih dua jam lagi, kok."

Duh, Raga jadi merasa bersalah. Mengapa ia dihadapkan dengan situasi seperti ini, sih? Lia adalah gadis berhati malaikat yang benar-benar nyata. Rasa-rasanya, seperti berbuat dosa saja jika menyakiti hati gadis itu.

Tapi di samping itu, ada hawa lain yang tengah menunggunya.

"Nanti jawabannya aku fotoin di line, oke? Santai aja kalau sama aku, Ga. Kayanya penting banget, tuh."

Renjun menarik nafas dalam, sebelum akhirnya mengangguk tak enak.

"Maaf, Lia."

"Iya, nggak apa-apa," senyumnya terbit, sepaket dengan eyesmile cantiknya.

Adam itu mengangguk kecil. Lantas membereskan alat tulisnya, memasukkannya ke dalam ransel merahnya.

"By the way, Ga. Jangan baku-baku, dong, ngomongnya. Aku tahu, waktu kamu pakai gue-lo sama temen-temenmu, kamu nggak sebaku ini," kikikan kecil terdengar di akhir kalimat.

Bahkan, si penerima saran pun baru tersadar. Jika gaya bicaranya mengikuti kata gantinya untuk seseorang. Jadi, sebaku itu 'kah ia saat berbincang dengan Anjani?

Adam itu tersenyum tipis. Sangat tipis.

"Makasih, Lia. Permisi."

ーR E N J A H W A N Aー

"Cemberutnya udah, dong. Tuh, Pangeranmu sudah datang."

Secepat anak panah melesat pada titik target, pandanganku langsung mengikuti arah yang ditunjuk Mas Dimas.

Itu Rahwana! Aku langsung bangkit dari kursi kayu. Berlari ke arah Renjana yang baru saja turun dari motornya.

"JAHAT!"

Kupeluk erat adam ini. Kutenggelamkan wajahku pada dadanya. Biarkan kalau ia sampai kesulitan bernafas. Ia harus merasakan sesak yang kurasakan selama malam-malam belakangan. Aku sudah rela begadang, tapi, tak ada satu balasan pun muncul darinya.

Tubuh anak ini kaku. Aku tahu. Kudongakkan kepalaku. Senyum jahil langsung muncul, begitu menyadari wajah anak ini memerah. Bahkan ia menatap lurus ke depan. Tak berani menatapku, ya?

"Tatap aku atau aku hilang dari muka bumi!"

Renjana langsung menatapku dengan tatapan khawatirnya.

"Kenapa nggak baca lineku, sih? Kamu nggak pernah pacaran, ya? Makanya nggak tahu rasanya berada di ambang kehidupan dan kematian waktu pesan kita nggak dibales sama doi hampir seminggu lamanyaー"

"Aku juga kangen kamu," selanya dengan tersenyum manis. Manik kelamnya menatap dalam netraku, damai.

Masih dengan tanganku yang menangkup pipinya, aku mengerucutkan bibirku kesal.

"Jangan frontal gitu ngomongnya, dong!"

Renjana menarikku ke dalam pelukannya. Ditumpukannya dagunya di pucuk kepalaku. Suraiku dibelainya lembut.

"Maaf."

"Duh, enaknya berpelukan di depan bayi-bayi."

Kami langsung melepas pelukan. Kuedarkan pandangku ke belakang dan betapa terkejutnya diriku saat mendapati banyak anak-anak yang memerhatikan. Bahkan, ada Rena dan Rio juga di sana. Sejak kapan mereka semua berdiri di sini? Sepertinya, tadi hanya ada aku dan Mas Dimas di kursi kayu sana.

"Kak Raga sama Kakak Cantik pasti udah nikah, ya?" Tanya Rio.

Seketika, siulan-siulan terdengar. Lengkap dengan ledekan-ledekan yang keluar dari mulut-mulut kecil ini. Memangnya, dilayangkan kepada siapa lagi kalau bukan aku dan Renjana? Dan lagi, nikah katanya? Aku tak kuasa menahan senyumku. Polos sekali kamu, Rio.

Kulirik Renjana sekilas yang berdiri di sampingku. Ia mengusap tengkuknya kikuk. Wajahnya bahkan semakin merona. Jelas sekali walau dilihat dari samping.

"Lho, Nak Raga? Eh ada Nak Anjani juga?"

Semua atensi kami diserobot oleh wanita berdaster coklat tua yang berjalan mendekat ke arah kamiーdi bawah kincir angin yang terbuat dari kayu.

"Selamat siang, Bu Ratih."

Renjana menghampiri Bu Ratih, menyaliminya. Aku pun mengekor Renjana. Melempar senyum manis ke arah pengurus panti asuhan ini. Bergantian menyalimi beliau.

"Jadwal anak-anak sekarang apa, Bu?" Tanya adam di samping kananku ini. Santun sekali nadanya masuk ke telinga.

"Enggak ada. Lagian, kemarin kamu bilang kalau jam melukis diundur jadi jam dua. Kenapa sekarang sudah datang?"

Aku langsung menoleh ke Renjana. Jam melukis diundur? Mengapa Renjana tak memberitahuku? Nah, 'kan! Renjana hanya melirikku cepat. Ketakutan tersirat dalam air wajahnya.

"Khusus hari ini saya mulai sekarang saja, ya, Bu?"

"Boleh sekali. Bahkan, tiap saat pun kalau kamu mau, bisa, kok. Tinggal menggeser jadwal kegiatan lain. 'Kan Anak Bintang juga rumahmu, Raga," ujar Bu Ratih dengan senyum tulus yang tak pernah tanggal.

"Terima kasih, Bu Ratih."

"Sama-sama. Nak Anjani, Nak Raga ditemani ya?" Tangannya menyentuh bahuku. Mengusapnya pelan.

Bu Ratih berjalan menjauh. Memasuki sebuah bangunan lain bercat hijau, yang lebih kecil dari bangunan utama panti asuhan ini. Aku hafal betul. Itu kantor. Aku pernah menginjakkan kaki di sana.

"Kamu utang penjeーRenjana!"

Dasar. Untung cinta.

ーR E N J A H W A N Aー

"Renjana! Itu namanya siapa? Lucu bangeeett!" Aku menunjuk ke anak kecil yang sedang duduk di kursi makan bayi sambil disuapi salah satu pengurus panti.

Bayi perempuan itu lucu. Rambutnya sudah lebat, hitam legam. Memakai dress berwarna merah muda, dengan motif kupu-kupu. Pipinya seperti ingin tumpah. Bola matanya bak kelereng paling jernih di muka bumi. Duh, benar-benar mirip seperti boneka.

"Renjani."

"Eh? Kaya gabungan nama kita! Renjana," telunjukku mengarah ke dada Renjana, lantas beralih menunjuk diriku sendiri, "Anjani!"

"Jangan-jangan kalau besok kita nikah, anak kita bakal selucu itu, ya?" Aku terkekeh pelan. Bahkan, aku tidak sadar telah mengucapkan apa.

"Ngarang."

"Kok ngarang? Kamu nggak mau nikah sama aku?!" Aku mendelik.

"Kita masih murid SMA, Anja. Pernikahan itu sakral. Siapa tahu kita bukan jodoh."

"Tapi aku maunya sama kamu!"

"Sama. Aku juga."

Kudelikkan kedua bola mataku lagi. Mohon maaf, Ananda Renjana Ragasuci Anggara. Bagaimana? Bisa diulangi lagi?

"Lu-lupakan! Intinya kita masih SMA. Belum kuliah. Jangan berpikiran jauh-jauh dulu."

"Ya udah. Aku bakal booking kamu. Tinggal minta tolong orangtuaku buat jodohin aku sama kamu."

"Kamu bukan Siti Nurbayah, Anja."

"Beda, Renjana. Kalau Siti Nurbayah, dia dijodohin bukan karena keinginannya. Tapi ini, aku ngotot supaya kamuー"

"Ya sudah. Ayo menikah," ujarnya mantap. Kali ini, Renjana bahkan menatapku.

Aku menelisik ke dalam sorot netranya. Dia pasti bercanda. Tapi, mengapa yang kutemukan dalam tatapannya, hanyalah keseriusan?

"Kalau kita berjodoh," imbuhnya.

"Terserah!" Aku mengalihkan pandangku dari Renjana.

Sekarang, kami tengah duduk di teras bangunan utama. Lebih tepatnya, lesehan di anak tangga. Langsung dihadapkan dengan belasan anak-anak yang tertawa riang, berkejaran ke sana ke mari, bersama-sama menaiki wahana permainan dari plastik. Aku mendonasikan beberapa di antaranya beberapa bulan yang lalu.

Sedang di samping, Renjana mengulum senyum lebar. Tangan kanannya terangkat, hendak meraih suraiku. Tapi langsung ditariknya begitu aku menoleh lagi ke arahnya. Ya, secepat itu amarahku padam. Mana mungkin aku betah berlama-lama kesal dengan taruna tampan ini?

"Kamu nggak mau jelasin kenapa kemarin nggak jadi nganterin aku? Terus kenapa jam ngelukis diundur jadi jam dua? Dan empat hari belakangan, kamu absen sekolah kenapa? Asal kamu tahu, aku jadi nggak semangat berangkat sekolah. Chat-ku juga nggak ada yang kamu baca. Kenapa, sih? Aku ada salah sama kamu, ya?" Tanyaku memelas.

Adam di sampingku ini tak langsung menjawab. Sejenak, ia memandangi kincir angin buatan dari kayu yang berdiri tegak puluhan meter di hadapan kami.

"Aku jawab satu-satu, ya? Kemarin, ada Kakek-Kakek minta tolong di antarkan ke toko buku bekas. Karena kasihan, aku turuti permohonannya. Masalah empat hari belakangan, aku absen karena maagku kambuh. Aku jadi sering tidur di rumah. Walau begitu, aku harus tetap mengejar materi. Makanya, aku jarang mengecek ponsel. Maaf yang sebesar-besarnya, Anja. Sungguh, bukan maksudku membuat kamu khawatir."

Bibirku melengkung ke bawah. Kuperhatikan Renjana yang menunduk. Menatap rumput yang terpangkas rapi.

"Oh, kalau menolong orang, sih, nggak apa-apa. Malah bagus. Tapi, maagnya lama banget, ya? Aku juga punya maag. Tapi kayanya belum pernah separah itu. Eh, tapi Yasmin pernah! Sampai dibawa ke rumah sakit. Duh, pasti sakit banget, ya? Kamu sampai dibawa ke rumah sakit, nggak?"

Renjana menggeleng kecil. Masih menundukkan kepalanya.

"Tapi sekarang udah nggak apa-apa?"

Ia mengangguk.

"Ya udah. Terus kenapa jam ngelukis diundur?"

Renjana nampak memproses sesuatu sebelum membuka suara.

"Mulai hari ini, aku jadi tutor matematika teman lamaku. Dia home schoolling."

Aku menaikkan kedua alisku penasaran. Home scholling? Wah ... enak sekali sepertinya. Jadwalnya fleksibel dan bisa lebih fokus.

"Sepantaran sama kita?"

Renjana mengangguk.

"Perempuan atau laki-laki? Siapa namanya?"

"Perempuan. Namanya Julia."

Hm. Taruni ternyata.

"Namanya cantik, ya?" Pancingku.

"Iya."

"Kayanya, orangnya juga cantik."

Termakan tidak, nih?

"Iya."

Heh? Aku memutar kedua bola mataku malas. Kualihkan pandangku ke sembarang arah. Intinya tidak untuk Renjana. Dasar Rahwana Buaya Darat!

"Tapi sayang."

Demi Tuhan, Renjana sudah sayang-sayangan dengan si Julia itu?!

"Alasan dia home scholling, karena penyakitnya. Sudah nggak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan berat."

Eh, Julia sakit? Maka dari itu dia home scholling? Seperti kisah Luna di My Heart saja.

"Kalau boleh tahu, sakit apa?"

Renjana menghela nafas pelan.

"Kanker otak."

"Ya Tuhan!" Aku menggigit bibir bawahku. Duh, maafkan aku, Julia. Aku sudah berpikiran buruk tentang kamu.

"Orang tuaku dan orangtua Juー"

Line!

Kalimat Renjana terpotong tatkala bunyi notifikasi mencuat dari ponselnya. Anak itu mengusap layarnya.

Aku yang sadar diri akan privasi orang lain, segera mengalihkan pandangan. Kuperhatikan Rena dengan keenam temannya yang tengah bermain petak umpet. Aku belum menyadari raut Renjana yang penuh dengan kecemasan. Bahkan, kedua bola matanya mulai memanas.


Kak Matteo :  Bibi jatuh dari tangga, udah Kakak angkat ke kamar. Kayanya kecapekan, ada beberapa memar juga di tangan Bibi.

Kak Matteo : Kakak curiga sama Hugo. Soalnya dari kemarin, Hugo selalu ada di sekitar Bibi waktu kamu absen.
13.47


"Mau ke mana?" Tanyaku begitu mendapati Renjana yang sudah melangkah di hadapanku.

Ia membalikkan badannya sekilas.

"Maaf, Anja. Bundaku sakit. Kalau Bu Ratih tanya, jawab saja aku ada keperluan mendadak. Jangan bilang kalau Bunda sakit. Boleh?"

Aku langsung berdiri, berlari menghampiri Renjana.

"Mau aku temenin?" Tawarku. Sungguh. Kecemasan Renjana menular kepadaku.

Renjana menggeleng pelan, "terima kasih banyak."

"O-oke. Hati-hati! Titip salam buat Ibumu, ya!"

Renjana tersenyum kecil. Tangan kanannya terangkat. Mengusak suraiku cepat, sebelum akhirnya berlari menuju motornya.

Begitu suara motor Renjana semakin terdengar menjauh, aku kembali memerhatikan anak-anak yang kini tengah berlomba bermain hulahoop rotan. Mereka begitu polos. Seakan belum pernah menemui sisi kejamnya dunia dan memang seharusnya begitu. Tapi, bukankah keberadaan mereka di sini, adalah karena orang tua mereka yang tidak bertanggung jawab?

Saat ini, aku belum tahu. Kalau argumen Renjana mengenai keabsenannya empat hari belakangan adalah karena maag, merupakan suatu kebohongan.

Sampai Mas Dimas menepuk pundakku. Membuatku tersentak.

"Raga ke mana?" Mas Dimas duduk di samping kiriku. Di tempat Renjana tadi.

"Ada urusan mendadak katanya, Mas."

"Bundanya sakit. Saya tahu," ucap Mas Dimas, tersenyum.

"Raga selalu terbuka sama aku. Bukannya percaya diri. Tapi, ya, memang begitu. Omong-omong, luka Renjana sudah kamu obati belum?"

Aku mengernyitkan keningku. Maag maksudnya?

"Renjana bilang, maagnya udah sembuh, kok, Mas."

Aku menyadari sesuatu yang ganjal begitu Mas Dimas mengubah air wajahnya.

"Kamu nggak sadar?"

"Kenapa, Mas?" Tanyaku cemas. Kerutan di keningku semakin jelas.

"Tadi, saya memergokinya lagi di kamar. Sepertinya, betisnya melepuh. Saya kira dia cerita ke kamu."

Sementara itu, di persimpangan jalan lain, seorang taruna menghela nafas lirih.

"Yang sakit itu Bundaku, Anja. Bukan Ibuku. Mereka berbeda."













𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...

ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."

Jung Jaehyun

as

Jeffrey Athala


a.n :

Aku bucin renhyuck):

Bagi pembaca lama, apa ada yang merasa bab ini berbeda dari sebelum di revisi?:) heuheuheu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top