10. Lakuna
𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙨𝙚𝙥𝙪𝙡𝙪𝙝 :
𝙇𝙖𝙠𝙪𝙣𝙖 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙧𝙪𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙩𝙞 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙢𝙖𝙨𝙞𝙣𝙜-𝙢𝙖𝙨𝙞𝙣𝙜
.
.
.
ーR E N J A H W A N Aー
Entah sudah keberapa kalinya kulirik jam di pergelangan tanganku. Hampir setengah jam aku berdiri menunggu Renjana yang katanya hendak memutar dari gang samping. Apa Renjana menemui teman-temannya dahulu? Apa ia dipanggil guru? Apa ada urusan mendadak sampai-sampai enam balon pesanku pun tak dijamah?
TIN! TIN!!
"Astaga, ya Tuhan! Kak Yovan ngagetin aja!" Aku menatap nyalang pengendara ninja yang berhenti tepat di hadapanku.
Setengah menahan kesal. Mengingat beberapa waktu lalu, aku memergoki Hugo yang tengah merokok bersama kakak kelas ini. Si pelaku hanya tertawa kecil. Walau Kak Yovan memakai helm full face, matanya yang tersenyum dapat terlihat jelas.
Seketika, bisikan-bisikan setan terdengar dari belakang. Aku menggeram dalam hati. Pastilah mereka penggemarnya Kak Yovan. Kalau begini, aku tidak berani jamin kalau besok akan bersekolah dengan tenang.
"Sopir lo ke mana?" Tanyanya, dengan suara yang teredam di balik helm itu.
"Hah?"
Kak Yovan melepas pelindung kepalanya. Membuat rambut hitam pekatnya sedikit berantakan.
"Nungguin sopir?"
Kalau aku jawab sedang menunggu Renjana, aku tak bisa menjamin adam itu akan baik-baik saja besok. Mengingat kalau Kak Yovan berteman dekat dengan Hugo. Satu paket malah. Alhasil aku menggeleng.
"Terus pulang sama siapa?"
Duh. Jawab bagaimana, ya? Lagi pula Renjana ke mana, sih? Mengapa sampai sekarang belum nampak juga wajah tampan itu?
"Nggak usah dijawab. Naik."
Aku menggeleng. Tidak mau! Aku tidak mau membuat Rahwana ringkihku kebingungan mencari Sintanya nanti.
"Nggak."
"Hei, cantik. Coba kau catat, keretaku tiba pukul empat sore. Takー"
"Kenapa, Mah?"
"Cepat pulang sekarang! Mama makin curiga kalau kamu main sama Yasmin yang nggak jelas itu!
Tut.
"Aku numpang Kakak," aku membuang nafas lirih. Menatap Kak Yovan malas.
Laki-laki ini terkejut. Tapi langsung disembunyikannya dengan apik di balik wajah sok tak pedulinya itu.
Aku tak benar-benar ikhlas menerika tawaran Kak Yovan. Aku hanya tak suka mendengar kata-kata Mama yang selalu memojokkan Yasmin kalau aku telat pulang atau terkena masalah di sekolah. Entah mengapa, gadis kesayanganku itu selalu buruk di mata Mama. Tapi di sisi lain, aku pun menyesal. Aku yang meminta Renjana untuk mengantarku. Tapi, malah aku yang meninggalkannya.
Renjana, kamu ke mana?
ーR E N J A H W A N Aー
PLAK!!
"Kamu disuruh les nggak mau! Katanya bisa belajar sendiri! Ini apa buktinya?! Enam puluh itu sangat menjijikkan, Anjani!"
Selembar kertas yang dipenuhi coretan tinta merah disodorkan ke hadapanku. Aku tak ingin melihatnya. Sudah sering. Kualihkan pandangku pada ubin dingin berwarna krem. Rasa-rasanya, inginku tulikan saja telingaku untuk malam ini. Rumah siputku seakan disobek paksa begitu nada tinggi Mama menyeruak.
"Mentang-mentang nggak ada Papa, sudah mulai seenaknya sendiri kamu, hah?!"
Aku mendongakkan kepalaku. Menatap tajam Mama yang berdiri di anak tangga kedua dari bawah.
"Papa masih ada. Jangan asal bicara kalau menyangkutー!"
PLAK!
Kepalaku tertoleh ke samping kiri. Hampir mengenai ujung meja kalau aku tak cekatan menghindar.
"Oohh ... makin berani ya kamu sama Mama? Bukannya berubah jadi lebih baik, malah semakin merepotkan!"
"Harusnya Anja yang bilang begitu ke Mama," selaku tegas.
Netra wanita yang sempat kukira bidadari di hadapanku ini memerah padam. Entah berapa otot wajah yang bekerja untuk menampilkan ekspresi sedemikian rupa. Mama 'marah'. Wanita paruh baya di hadapanku ini mengangkat dagunya. Berkacak pinggang sembari menatapku remeh.
Lubukku tersakiti. Aku rindu Mama yang dulu. Sebelum Papa diboyong ke jeruji dengan pakaian serba biru tua.
"Memangnya apa kesalahan Mama? Kamu bisa tunjukkan, hah?"
Dari awal, aku tidak berniat untuk mengatakan hal ini secara gamblang. Apalagi di hadapan si pelaku, sekaligus wanita yang melahirkanku bertaruh nyawanya ini. Tapi, bendungan tetaplah memiliki kapasitas.
Aku belum berganti seragam. Begitu mendorong pintu utamaーbersamaan dengan suara ninja Kak Yovan yang menjauhーsuara menggelegar Mama menusuk gendangku. Suara Mama mendominasi. Sudah hampir satu jam Mama mengerahkan tenaganya untuk memakiku. Salah satu hal yang diperbuat Mama, yang berujung sia-sia.
"Nggak bisa jawab, 'kan?"
Aku masih menatap wanita berkemeja putih bersih di hadapanku. Ia bersedekap. Berdecih kecil, yang masih bisa kudengar dengan baik.
"Nggak usah berontak sama Mama lagi. Kalau apa-apa saja masih uang dari Mama."
Dengan angkuh, Mama berbalik. Meraup anak tangga demi anak tangga, menuju kamarnya yang berada tepat di seberang kamar kecilku.
"Uang dari Mama atau si Johansen Thomas?"
Aku menelan salivaku begitu langkah kaki Mama terhenti. Ini sangat privasi. Bukankah, dalam keluarga pun, masih ada suatu hal pribadi? Tapi aku mencoba melawan rasa takutku yang sudah kupendam lama. Berada di zona nyaman, tak membuat semuanya berkembang. Bertingkah seakan kondisi keluarga baik-baik saja, ternyata sememuakkan ini, ya?
"Cerita sampai mana ke Papa?"
"Anja nggak sebodoh itu untuk langsung cerita ke Papa," aku menggantung kalimatku, begitu menyadari bahu Mama bergetar.
Sangat pelan. Yang semakin lama, semakin hebat. Mama menangis.
Aku paham betul. Durhaka namanya, kalau menciptakan luka di hati orang tua. Sekecil apa pun itu. Terutama, kepada sosok 'Ibu'. Tapi, tak adil juga 'kan, kalau hanya Papa yang menderita?
Maaf, Ma.
"Anja masih butuh rumah. Walau pun udah keropos dimakan rayap. Seenggaknya, Anja bisa istirahat. Selamat malam, Ma."
ーR E N J A H W A N Aー
Matanya bertambah sayu. Sudah hampir dua jam pandangnya tak beralih dari layar ponselnya yang menampangkan ruang orbolannya dengan kontak yang ia beri nama "Sinta".
Matteo yang sedang menuang kopi panas di hadapannya, sampai geleng-geleng sendiri melihat adik sepupunya itu.
"Heh, tidur sana. Lukamu udah mendingan? Atau masih perih?"
Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya tatkala melihat respons yang tak ia duga. Raga malah melengkungkan bibirnya ke bawah.
"Astaga. Nih, bocah sejak kapan makin ngegemesin, sih?"
Atensi Raga langsung teralihkan dari gawai bertenaga 27% itu. Menatap horor laki-laki yang tengah menyesap cairan pekat dari mug kuning polkadot di hadapannya. Mereka berdua sedang duduk di ruang tengah, sekaligus ruang makan di hunian kecil nan nyaman itu.
"Kak."
"Hem?"
"Nggak jadi."
Matteo memelototkan kedua bola matanya ke arah Raga.
"Kamu udah aku ijinin. Alasannya sakit."
"L-lho?"
"'Kan kamu nggak suka orang bohong."
Lelaki bersweater hijau lumut itu bungkam. Menatap Matteo tak enak. Ia meletakkan ponselnya di atas meja kaca tersebut. Merasa bersalah juga karena sering mendiamkan kakak sepupunya, karena terfokus pada ruang obrolannya yang tak kunjung dijamah Anjani.
"Raga selalu nyusahin Kakak."
"Aduh. Itu lagi, itu lagi. Aku sampai hafal kalimat selanjutnya, lho, Ga," Matteo memutar kedua bola matanya malas.
Ia mengambil remote televisi di ujung meja kacaーtak jauh dari jangkauannya. Menyalakan dan mencari tayangan-tayangan yang menurutnya menghibur.
"Kamu adik Kakak. Harus Kakak lindungi bener-bener. Kakak malah nggak suka kalau kamu terus-terusan merasa jadi beban. Sekali aja. Coba, deh. Kurangi rasa 'nggak enak'-anmu. Hidup, tuh, diberi Tuhan untuk dinikmati. Nggak melulu diwaspadai. Namanya makhluk sosial. Manusia nggak akan lepas dari kegiatan tolong-menolong. Bahkan copet pasar pun pasti pernah menolong seseorang, seenggaknya sekali seumur hidup."
Terdengar seperti sabda langit bagi Raga. Maklum. Anak itu jarang mendapat nasihat sederhana namun sangat berpengaruh, bahkan dari Angela sekali pun. Mentok-mentok, mungkin Javier. Walau selalu diisi dengan guyonan juga.
Penuturan Matteo cukup untuk menamparnya, akan segala rasa tak enak hatinya. Dibalik sifatnya yang jarang memfilter ucapan itu, ia juga mudah sensitif.
"Makasih, Kak. Maaf."
"Ngomong maaf lagi gue tampol beneran, nih!" Matteo mengarahkan remote yang ia pegang ke arah betis Raga.
"I-iya, iya. Duh, seremnya," gumam Raga. Namun masih bisa didengar oleh Matteo.
Lelaki dewasa itu terkekeh pelan.
"Ga," celetuk Matteo di sela-sela iklan parfum.
"Kenapa, Kak?"
"Maaf sebelumnya, nih. Kapan terakhir kali lo ke lapas?" Tanya Matteo berhati-hati.
Kopi di mug kuning itu hampir habis. Matteo melirik Raga yang masih menatap datar layar televisi. Seakan enggan menjawab pertanyaannya barusan. Mengerti situasi, Matteo beranjak dari meja dan kembali ke dapur untuk menyeduh kopi lagi.
Remaja dengan celana jeans selutut itu, menarik sudut bibirnya sekilas.
"Sekeras apa pun kamu mengemis kebahagiaan yang semu, sebesar apa pun usahamu tuk terlihat pantas menerimanya, sekuat apa pun tekadmu tuk menghindari keterpurukan, tetap saja. Mengubur luka lama tak semudah menutup kover buku."
Lalu, senyum itu semakin samar.
ーR E N J A H W A N Aー
"Mi."
"Hm?"
"Mami."
Yasintha mengalihkan atensi dari layar ponsel yang digenggamnya ke anak semata wayangnya.
"Apa, Hugo?"
"Mami sesibuk itu, ya?" Tanya laki-laki itu dengan nada merajuk.
Terhitung sebelas bulan, sejak Yasintha memutuskan untuk memulai bisnis online di bidang traveling. Dan selama itu pula, Hugo merasa perhatian Yasintha yang selalu dikerahkan untuknya, menjadi berkurang.
Y'Vels, namanya. Traveller mana yang tidak tahu nama itu? Dari pertama kemunculannya saja, langsung sukses memikat sasaran yang memiliki hobi traveling. Baik dalam atau pun luar negeri. Menawarkan berbagai macam objek wisata menarik, hotel nyaman dengan harga yang sangat affordable, serta promo-promo yang selalu berganti tiap minggunya. Jangan lupakan strategi pemasaran yang cerdas. Nama Yasintha Agatha yang harus disematkan pertama kali kalau ingin membahas kilauan prestasi aplikasi itu.
Wanita paro baya itu tersenyum tulus. Menatap lembut anaknya yang tengah menatapnya malas.
"Buat kamu juga, 'kan?"
Hugo berdecak, "cukup Papi aja yang jadiin Adibara sebagai rumah pertamanya. Mami nggak usah ikut-ikut."
Laki-laki itu beranjak dari sofa hitam yang berada di seberang Ibunya. Melenggang pergi menuju kamarnya, meninggalkan Yashinta di ruang keluarga yang setahun belakangan ini selalu sepi. Tiap telapak kakinya meraup dua anak tangga sekaligus.
"Hayden."
Brak!
Matanya spontan terpejam karena terkejut. Lagi-lagi, detak jantungnya berpacu lebih cepat. Yashinta menarik laci meja yang terbuat dari kayu jati di tengah-tengah ruangan itu. Diliriknyasekilas ke pintu kamar anaknya yang tertutup rapat. Memastikan kalau tak ada yang memergokinya menggenggam obat anti depresan itu.
Sedang di kamarnya, Hugo menghentikan pergerakan ibu jarinya. Tiga detik sangatlah cukup bagi Hugo untuk mengingat alasan mengapa orang yang ia namai "DogFood" di line itu tak berangkat bekerja.
"Goblok. 'Kan gue yang bikin lo cacat," kekehnya pelan.
Lantas, ia menghapus untaian kata "heh, budak!" yang ia ketikkan di ruang obrolannya bersama Raga.
ーR E N J A H W A N Aー
"Heh, cuk! Si Moomin telat? Tumben amat?" Kalimat pembuka Javier setibanya di bangku kelas.
"Hah? Mana? Mana?" Haidar celingukan sendiri ke arah pintu kelas. Kedua alisnya bertaut, karena tidak menangkap bayangan sahabatnya yang dimaksud Javier.
Pletak!
"Goblok. Gue nanya, tolol!"
"Ya kaga usah pakai kekerasan segala! Namanya perundungan, tahu!" Sungut Haidar dengan wajah yang dibuat-buat.
"Tuh, muka nggak usah dijelek-jelekin, udah kek pantat panci kali," sahut Jude dengan entengnya.
Sedangkan yang dimaksud, hanya mendelik. Duh, Jude sampai bergidik ngeri, kalau-kalau kedua bola mata Haidar bisa keluar.
"Set, dah! Ini gue tanya beneran. Tumbenan amat si Moomin telat. Kalian ngechat dia, kaga? Chat gue belum dibaca dari tadi soalnya," Javier memangku pipi kirinya.
Atensinya tidak beralih dari ruang obrolannya dengan Raga sejak lima menit yang lalu. Bagaimana tidak cemas? Biasanya, sahabatnya itu selaku datang tiga puluh menit sebelum pelajaran di mulai. Sekarang sudah pukul 06.55 WIB. Bel masuk akan berbunyi lima menit lagi.
"Gue juga nggak dibaca. Nih," Haidarーyang entah sejak kapan sudah berbaikan dengan Judeーmenunjukkan layar ponselnya. Benar. Raga sama sekali tidak membaca satu pun balon pesan dari Haidar.
"Kalau, tuh, bocil sakit, pasti kabar-kabar."
Jude mengangguki penuturan Javier. Pemuda itu duduk menyamping, menyandarkan punggungnya pada tembok. Pandangannya dijatuhkan ke sembarang titik. Ia mengusap-usap dagu. Nampak mengingat sesuatu.
"Yah, padahal gue ngebet banget pengen main mahjong," Haidar mengerucutkan bibirnya di belakang Jude.
"Itu mah bisa lewat hape kali."
"Tapi enakan nyentuh baloknya langsung, njir! Apalagi punya Raga asli dari China!"
"Gue inget," celetukan teman sebangku Javier itu, sukses menyita atensi kedua sahabatnya.
Sebelum kembali bersuara, Jude memajukan badannya. Peka akan yang dimaksud, Javier dan Haidar langsung mengikis jarak mereka bertiga. Kalau sudah begini, artinya privasi.
"Kemarin, gue lihat Raga lagi ngobrol sama Anja di lorong samping ruang danceー"
"Ngapain lo ke sana? Katanya lo nggak jadi pair-an sama Yasminー"
"Diem dulu, sat," desis Jude, memotong kalimat Haidar.
"Gue emang digantiin sama Yunan. Syailendra emang nggak ngasih alesan yang jelas. Tapi menurut gue, itu kemauan Yunan sendiri. Lo pada tahu, 'kan, kisah masa lalunya Yunan sama Yasmin?"
"Lah? Udah kelas dua belas, masih ngejar Yasmin aja, tuh, Yunan?"
Jude menggidikkan bahunya.
Javier mengalihkan pandangnya dari Jude ke Haidar berulang-ulang, sebelum akhirnya membuka suara dengan sedikit nada jengkel di sana.
"Kita mau bahas Raga apa Yunan-Yasmin, sih?!" Sungutnya.
"Y-ya maap. Si item mancing. Ya udah. Firasat gue, Anja pulang nebeng Raga. Soalnya, tuh, bocil langsung buru-buru ke parkiran. Gue panggil aja sampai nggak denger."
Ketiganya disibukkan oleh pemikiran mereka masing-masing.
"Udah mastiin Anja naik ke CBR-nya Raga?"
Pertanyaan dari Haidar sedikit menohok Jude. Laki-laki itu sangat yakin kalau Anjani menumpang Raga. Tapi kemarin, ia sendiri bahkan tak melihat benar-benar duduk di jok motor sahabatnya itu.
"Njing!" Desisnya. Keningnya berkerut.
Sontak kedua sahabatnya kembali menajamkan pendengaran mereka.
"Tasnya Anja biru pudar, 'kan?"
Javier dan Haidar sama-sama mengangguk.
"Anja nggak nebeng Raga. Tapi Yovan. Sumpah gue yakin! Dari gelagat Anja sama Raga di lorong ruang dance, mereka mau pulang bareng. Biasanya Anja juga langsung pulang, 'kan? Ini kenapa dia nemuin Raga dulu coba?"
"Ck. Ntar pulang kita bakar rumahnya! M-maksud gue kita samperin, tuh, bocil di rumahnya. Sapa tahu sakit tapi kuota abis, 'kan?" Haidar menimpali kalimatnya sendiri begitu mendapat tatapan tajam kedua sahabatnya.
"Selamat pagi, Javier, Jude, dan Haidar!"
Ketiganya terkesiap. Langsung menghadap ke arah papan tulis.
"Asik gibah, hm?"
Mereka bertiga bingung. Sejak kapan Pak Yosi sudah berdiri di depan kelas?
Halaman demi halaman buku paket itu diajari dengan detail oleh Pak Yosi yang selalu perfeksionis. Namun, pikiran ketiganya tetap saja berkelana pada hal lain.
Moomin mereka kenapa?
ーR E N J A H W A N Aー
Seorang gadis yang biasanya selalu aktif di kelas saat pelajaran ekonomi itu, mendadak jadi pendiam. Sudah kelima belas kalinya, ia menarik ponselnya dari laci dengan hati-hati.
Berharap pesannya segera dibaca. Itu aku.
Sampai jam pelajaran terakhir pun, keinginanku tetap belum terwujud.
"Mungkin ponselnya ketinggalan kali, An," Yasmin mencoba menenangkanku kembali. Mungkin ia risih melihat bahuku yang menurun lesu sejak tadi pagi.
Tapi agaknya, semua kemungkinan-kemungkinan positif yang dilontarkannya, tidak merubah mood-ku sedikit pun. Maaf, Yasmin. Terima kasih juga.
Melihatku yang masih murung, membuat Yasmin mengurungkan niat untuk bercerita tentang latihannya kemarin bersama Kak Yunan. Duh, jadi makin merasa bersalah. Tapi kalau aku memaksakan mood-ku, tidak baik juga.
Ke mana Renjana? Aku sudah bela-belain membeli jepit rambut berwarna merah. Sudah tersilang rapi di rambutku. Niatnya, inginku pamerkan pada Renjana saat bertemu. Tapi, kapan bersuanya?
Aku menghela nafas lirih. Rasanya sesak sekali. Padahal baru tingkat "pesan tidak dibalas". Bagaimana kalau sampai "perasaan tidak dibalas" sungguhan? Eh, jangan sampai!
Duh ... Renjana. Karenamu, aku dilanda gundah gulana. Kembali kulihat riwayat obrolan terakhir kami. Aku tidak bisa janji kalau ini yang terakhir kalinya di hari ini.
Sintanjani : Kamu nggak berangkat? Aku udah empat kali ijin ke toilet. Padahal mau cari-cari kesempatan buat lihat kelasmu. Tapi kayanya Haidar duduk sendirian. Apa penglihatanku yang nggak beres?
13.41
Sudut bibirku terangkat, walau mungkin tak nampak. Mengingat beberapa hari lalu, aku langsung mengganti nama profileku sedemikian rupa.
Tepatnya di mobil. Setelah Pak Nanta mengklarifikasi kalau arti wo de xin adalah "hatiku". Hari di mana Renjana menyebutku sebagai "Sinta." Ah, lebih tepatnya, "Sinta-nya".
Yasmin saja sampai minta diceritakan bagaimana kisah Ramayana.
Kalau begitu, aku tidak bisa, Yasmin. Karena kalau di Ramayana, Sinta akan tetap mencintai Rama. Sejauh apa pun jarak memisahkan, sekuat apa pun Rahwana berusaha untuk merebutnya.
Tapi, Ramayana tidak berlaku untuk kisahku dengan Renjana. Mungkin, kalau aku karang sendiri, judulnya bukan Ramayana. Tapi Rahwayana. Lha? Aku baru paham kalau judul buku Sujiwo Tedjo yang kubeli itu merujuk ke kisah Ramayana yang diganti perannya oleh Rahwana. Terbitlah "Rahvayana". Karena yang memenangkan hati Sinta, bukan Rama. Melainkan Raksasa Merah itu.
Di Ramayana, Rahwana memiliki sifat angkuh, penuh amarah, egois, mudah emosi. Tapi, Rahwanaku berbeda. Ia sangat ringkih. Selalu berusaha terlihat baik-baik saja, walau aku yakin. Banyak sekali luka-luka yang ia bungkus dengan apik, yang sengaja disembunyikan dariku.
Dia Renjana. Dialah Rahwanaku. Dan aku Anja. Akulah Sintanya. Yang katanya, bukan ia culik dan diboyongnya paksa ke Alengka. Melainkan ia patri dengan megah di "wo de xin". Hatinya.
ーR E N J A H W A N Aー
"Bener, 'kan, alamatnya?"
Netra Haidar mencocokkan nomor rumah dan deskripsi yang tertera di sobekan kertas di tangannya dengan papan nomor yang tergantung di dinding rumah serba putih di hadapannya.
"B13. Putih. Pagar hitam. Banyak tanaman lidah mertua, umbrella, lidah buaya. Satu pohon kiwi di sebelah kiri. Nah! Bener!" Javier mengangguk mantap.
Kemarin malam, Raga sudah mengabari Bundanya jika beberapa hari ke depan, ia akan menginap di rumah sepupu kandungnya itu. Awalnya, Angela terkejut, bahkan sampai berpikiran kalau Raga sudah tidak nyaman tinggal dengannya. Tapi, Raga segera menampik itu semua. Ia mengatakan kalau ia memang sedang merindukan Matteo. Lagipula, Matteo memiliki satu kamar kosongーyang dulu sempat dipakai oleh adiknya, namun bersama dengan Widya, nyawa mereka direnggut.
Bukankah tak mungkin jika anak itu menceritakan hal yang sebenarnya pada Bundanya?
Sore tadi, saat mereka bertigaーJavier, Jude, dan Haidarーberkunjung ke rumah Raga, Angela sempat dibuat panik.
"Punten, Tante. Anu, Raganya ada di kandang nggak, Tan?" Tanya Haidar ramah.
Sedangkan Jude sudah mencubit kecil pinggang Javier. Menyalurkan rasa malunya karena ulah sahabatnya itu. Siapa lagi kalau bukan Haidar si blasteran Jawa-Sunda-Neraka. Untung saja, Angela sudah terbiasa dengan humor mereka. Tapi, keningnya tertekuk.
"Lho? Memangnya Raga nggak sekolah?"
Sontak ketiganya terkejut. Bundanya saja tidak tahu.
Cepat paham akan situasi, Jude langsung menimpali, "b-berangkat, kok, Tan. Kita rencananya mau main bareng. Tapi Raga bilang, dia mau pulang dulu. Terus," Jude menggigit pipi bagian dalamnya. Berpikir ekstra untuk menyambung kalimatnya.
"Terus?" Angela menaikkan sebelah alisnya. Semburat kekhawatiran terpampang jelas di air wajahnya.
"T-terus Raga nyuruh kita nyamperin ke rumah, Tan. Nah, makanya kita ke sini ... Raga masih ndekem di kandang 'kah, Tan?"
KeduanyaーJude dan Javierーbersyukur dalam hati. Karena setidaknya, pemikiran Haidar sedikit diencerkan di saat-saat genting seperti ini.
"Oh, Raga nyuruh kalian nyamper ke rumah tapi nggak kasih tahu kalau dia nginep di rumah sep-temennya?" Angela merutuki dirinya sendiri yang hampir kelepasan.
"O-oh, Raga nginep di rumah temennya, Tan?" Tanya Haidar.
Laki-laki itu sebenarnya sedang menahan emosi. Bisa-bisanya, teman sebangku sekaligus sehidup sematinya itu tidak mengabari kalau ia tengah menginap di rumah temannya. Haidar sudah cemas sendiri selama di sekolah tadi.
Angela mengangguk mantap, "nih, Tante kasih alamatnya. Susulin, ya?"
"Sok atuh!" Dengan percaya dirinya, laki-laki yang masih terbalut seragam kebanggan Horiz itu melenggang mendekati pagar besi berwarna hitam.
"ANYBODY HOME? RAGA THAYANK! BEBEB IDAR MENJEMーMPPH!"
"Diem, sat," desis Jude yang membekap mulut Haidar.
Sementara laki-laki yang sering memanggil dirinya "fullsun" itu kebingungan sendiri. Javier sudah mengancingkan jaket denimnya, begitu pula dengan Jude.
"Napa, sih? Kek maling aja, njir."
"Tutupin seragam lo. Kalau perlu lepas," Jude menatap tajam manik Haidar. Membuat si penanya semakin keheranan.
"Fullsun butuh penjelasan!"
"Brisik banget! Lo nggak lihat di situ ada anak Karba?!"
Haidar membelalakkan matanya. Pandangnya mengikuti arah yang ditunjuk Javier dengan dagunya. Terlihat seorang laki-laki tengah duduk di atas jok motornya. Memunggungi mereka. Jangan lupakan seragam olah raga khas SMK Karya Bhakti.
"Cabut bentar. Pantau dari gubuk sana. Kalau udah aman, baru balik lagi," titah Javier, setengah berbisik.
Laki-laki yang sering disebut kembaran jauh Iqbal Ramadhan itu sudah duduk di atas motornya, dengan Haidar yang bersusah payah menutupi seragam belakangnya. Sedangkan yang satu lagi, remaja penyandang asma Jude itu, masih diam di tempat. Cukup satu yang menjadi alasannya tak kunjung menjauh dari sana.
Di spion motor itu, sebuah kalung berantai terjuntai. Dengan bandul tengkorak yang berayun ke sana ke mari akibat tiupan angin.
"Jー!"
"Jude! Cepetan!"
𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...
ーR E N J A H W A N Aー
Dia Renjana. Rahwanaku.
a.n :
Kalau Renjun debut jadi aktor gimana ya? Heuheuheuheu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top