1. Persuaan Pertama

𝙅𝙪𝙯 𝙋𝙚𝙧𝙩𝙖𝙢𝙖 :
𝙋𝙚𝙧𝙨𝙪𝙖𝙖𝙣 𝙋𝙚𝙧𝙩𝙖𝙢𝙖

.
.
.

ーR E N J A H W A N Aー

Aku tak letih-letih tertawa bersama taruna tampan yang duduk di hadapanku sekarang ini. Sesekali mengusak gemas pucuk kepalaku. Lalu tersenyum manis sampai kedua bola maniknya termakan oleh garis matanya sendiri. Dia terlalu manis dan menggemaskan. Dan dia milikku.

Dua mangkuk mie ayam bakso di atas meja sudah habis sejak lima menit yang lalu. Tapi rasanya, baru saja aku menelan potongan daging sapi terakhir.

Memang. Bersama Hugo Hayden, waktu terasa berjalan dengan sangat cepat.

Kembali kukenang bagaimana dulu pangeran idaman satu sekolah ini menembakku dengan sepotong bunga lili di depan ruang BKーdengan bodohnya. Tapi, keberaniannya itulah yang membuatku tak menolaknya. Saat ketahuan oleh guru, tanpa malu Hugo menjawab, "latihan buat perform kemah besok, Pak."

Hubungan kami berjalan sangat baik. Lengkap dengan konflik-konflik kecil yang memererat intensitas kepercayaan satu sama lain. Bukankah lewat pertikaian kecil, sepasang kekasih bisa bertukar pendapat dan bersama-sama mencari jalan keluar?

"Udah, ah. Jangan ngelawak terus! Pegel nih perutku," celetukku dengan sisa tawa, sembari memegangi perut.

"Tapi kalau aku nggak ngelawak, aku nggak bisa lihat kamu ketawa, dong? Udah jadi candu buatku tahu nggak?" Hugo mencubit pipi kiriku.

"Gombal teruuuss!" Aku meringis. Mencoba menjauhkan tangan berurat Hugo dari pipiku yang tidak terlalu tembam ini.

"Makanya jangan gemesin, dong. Tanganku gatel terus buatー"

"Stop!" Aku menahan tangan Hugo yang kembali terulur ke arah pipiku. Kucebikkan bibir, kesal.

Pemuda berdasi miring di hadapanku ini terkekeh pelan. Melepaskan cekalan tanganku yang terlihat mungil di pergelangan tangannya.

"Jadi, sore nanti mau ke mana, nih?" Tanyanya setelah menyeruput habis es jeruk di hadapannya.

"Kamu beneran nggak ada kegiatan? Aku kira kamu masih sibuk ngurusin ulang tahun sekolah."

Hugo tersenyum, menggeleng pelan dengan tatapan lembutnya yang tidak beralih seinchi pun dariku.

"Semingguan udah ngurusin terus. Bosen. Mending jalan sama kamu."

Pacarku ini memang mengampu tanggung jawab sebagai ketua OSIS SMA Horizon Jakarta. Aku tidak heran, sih. Karena selama kami berpacaran, Hugo selalu mengertiku dan bijak dalam mengatasi masalah-masalah kecil. Implementasi sifat kepemimpinan yang sangat apik, bukan?

"Ya udah. Kamu ada ide mau ke mana nggakー?"

"Eh, sebentar, ya?" Hugo menunjukkan sebuah panggilan yang masuk ke ponselnya.

Aku tersenyum, mengangguk.

Taruna ini mengangkat panggilan di tempat. Ia tidak menambah jarak yang tercipta di antara kami. Tidak hanya sekarang. Setiap Hugo menerima telepon saat sedang bersamaku, dia secara terang-terangan berbincang di tempat.

Malah, tak jarang, aku merasa tak enak saat dia mengangkat telepon dari orang tuanya di hadapanku. Di saat-saat seperti itu, aku selalu pura-pura ke kios makanan. Intinya, kusediakan waktu untuk Hugo. Karena aku menghargai privasinya.

Kutatap hangat raut wajah Hugo yang memelas. Ia menatapku lesu. Aku yang peka, lantas melempar senyum, mengangguk.

Tak lama setelahnya, Hugo memutus panggilan tersebut.

"Maaf lagi," pandangannya menurun.

Ya Tuhan, mengapa Kau sandingkan manusia semanis ini denganku?

"Nggak apa-apa, Den. 'Kan bisa lain kali. Bisa besok, bisa lusa. Kaya habis ini nggak bakal ketemu aja," aku berusaha menenangkan Hugo yang masih menunduk.

"Tapi bukan karena OSIS," dia mengangkat kepala, menggenggam tangan kananku erat, "nanti kamu langsung pulang, ya?"

Aku menautkan kedua alisku. Menatap Hugo yang sengaja mengalihkan pandangannya dariku. "Kenapa?"

"Kalau aku jawab, jangan marah."

"Aku lebih marah lagi kalau jadi yang paling akhir tahu semuanya."

Hugo langsung menatapku. Aku merasakan sesuatu yang ganjal kala taruna ini merenggangkan tautan tangan kami.

"Aku sama temen-temen mau anu samaー"

"Anu apa?"

"Mmm ... tawuran."

"Eh?! Sejak kapan?!"

Siapa yang tidak terkejut kalau berada di posisiku? Di setiap waktu yang kami habiskan, Hugoku tidak pernah membahas hal-hal seperti itu. Dia itu adam yang baik.

"Panjang ceritanya, An. Jangan sekarang, ya? Anak-anak mau kumpul ...."

"Nggak boleh!"

Sorot mata Hugo memelas, "Anja, please. Kamu nggak tahu apa-apaー"

"Makanya ceritain!"

"Aku bakal cerita, tapi nggak sekarang."

"Pembual," desisku.

Aku menarik tanganku dari genggaman Hugo yang semakin merenggang. Mau kembali ke kelas saja. Marathon drakor bersama Yasmin jauh lebih asik daripada tersedot perbincangan yang berpotensi menyulut emosi ini.

"Anja," Hugo menahan tanganku. "Aku janji. Bakal ceritain semuanya ke kamu. Tapi nggak sekarang. Tolong ngertiin aku sekali ini aja. Okay?"

Aku menarik tanganku. Menatap Hugo dengan kerutan yang belum pupus. Apa maksudnya dengan "... sekali ini aja ..."?

"Maaf, Den. Tapi selama ini, bukannya aku yang selalu menekan egoku? Aku selalu bolehin kamu tenggelam sama tugas dan tanggung jawabmu sebagai Ketua OSIS. Tapi, kamu nggak pernah mengusahakan waktu untuk aku. Kenapa permintaanmu barusan seakan aku nggak pernah ngertiin kamu?"

Hugo memicingkan kedua matanya. Tangan kanannya mengacak surai belakang, dengan tangan kiri yang berkacak pinggang. Ia mengembuskan nafas kasar.

"Kenapa? Kamu merasa terbebani karena pacaran sama ketos yang selalu sibuk dan nggak punya waktu?"

"Aku nggak pernah bilang gitu."

"Tapi maksud perkataanmu tadi gitu 'kan?"

Hugo menatapku dengan tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Capek tahu nggak, An?"

Aku memutuskan untuk bungkam. Karena aku tahu, kalau aku membalas, perdebatan ini tidak akan berakhir. Aku tidak mau Hugo marah padaku. Aku tidak mau membiarkan hubungan kami retak hanya karena hal sepele seperti ini.

"Dari dulu aku yang pusing. Bagi waktu banyak hal. Ngurusin OSIS, les, nemenin Papah, ngurusin kamu. Kamu kira gampangー?"

Aku mendelikkan mata. Apa dia bilang? Mengurusku? Memangnya aku ini apa?

"Tadi kamu bilang apa? Ngurusin aku?"

"Siapa suruh kamu sela aku? Apa itu sopan?"

Taruna tampan di hadapanku ini berhasil memberiku kejutan untuk kesekian kalinya dalam satu menit terakhir. Aku tidak merasa sedang bersama Hugoku. Jujur, selama satu tahun kami bersama, dia tidak pernah bersikap begini.

"Kenapa? Ngerasa aku berubah?"

Butuh sekitar lima detik sampai bisa kulihat seringaian tipis milik Hugo. Demi Tuhan. Raut wajah itu, sangat bukan milik Hugoku yang pengertian.

"Aku udah bilang aku capek. Udah satu tahun aku dampingi kamu. Aku kelihatan baik di mata kamu dan emang seharusnya begitu. Kamu pernah bilang kalau aku cukup jadi diriku sendiri aja. Tapi sekarang apa? Giliran aku kasar dikit, kamu udah nggak terima gitu," satu alisnya terangkat, yang tidak kusadari bahwa itu adalah tatapan meremehkan dari Hugo.


"Kalau emang capek dan nggak suka sama sikapku yang kaya gini, mendingー"

"Aku mau balik ke kelasー"

"Gue nggak suka ada yang motong omongan gue, Anja."

Aku menatap tidak percaya taruna di hadapanku ini. Gue? Aku ... salah dengar, ya? Hugo tidak pernah memakai bahasa seperti itu kepadaku. Ia selalu menggunakan aku-kamu saat bersamaku. Sungguh, mengapa Hugo jadi seperti ini? Ini semua terlalu tiba-tiba bagiku. Sampai aku tidak sadar bahwa nada bicaranya juga sudah meninggi.

Hugo mendesah frustasi. Ia mengusap wajahnya pelan. "Maaf. Sana ke kelas. Inget, jam pulang langsung balik."

Tanpa melihatku, Hugo berjalan menjauh tanpa ragu.

Aku menatap bahu lebar taruna itu dengan nanar. Membiarkan kepedihan berkecamuk dalam kalbuku. Rasa yang aneh. Yang belum pernah hinggap di dada, saat aku sedang bersama dengan Hugo. Dan aku tak tahu. Bahwa rasa asing yang kumaksud, adalah kekecewaan.

Lelaki jenaka itu, entah mengapa, rasanya bukanlah milikku hari ini.

Aku mengatur deru nafasku yang sempat tak terkendali. Kusurutkan emosi. Meyakinkan kepada diri sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja. Nanti malam, pasti hubungan kami sudah membaik. Dan memang seharusnya begitu.

Ingin cepat-cepat bertemu Yasmin saja rasanya. Hanya gadis bermata kucing itulah, tempatku menawar sisa emosi yang kerap tertinggal dalam dada.

Belum genap meraup empat ubin, langkah kakiku terhenti. Seakan memberitahuku untuk melakukan sesuatu dahulu.

Ah, mangkuk bakso!

SMA Horizon memang selalu menuntut sikap kemandirian. Salah satunya, dengan menertibkan seluruh warga sekolah untuk mengembalikan piring, gelas, atau mangkuk kotor ke tempatnya.

Aku berbalik badan. Membereskan mangkuk makanku dan Hugo yang kutaruh di atas nampan coklat tua. Lalu mengembalikannya ke kios makanan yang tak jauh dari meja kami.

Bisikan-bisikan yang entah sejak kapan tertangkap indera pendengaranku, membuatku tersadar. Jadi ... ceritanya mereka mendengarkan perdebatanku dengan Hugo?

"Terima kasih, Nak Anjani." Suara ibu kantin yang kukenal dengan baik ini membuyarkan pikiranku.

Kuserahkan nampan cokelat di genggaman. "Sama-sama, Bu Banu. Mari."

"Eh, Nak Anjani!"

Aku menoleh, langkahku terhenti, "ada apa, Bu?"

Bu Banu berjalan menyusulku dengan celemek bermotif Hello Kitty kesayangannya yang menggantung di lehernya.

Sebuah buku agenda berwarna hitam kecil seukuran telapak tangan orang dewasa terulur dari tangan kanan Bu Banu.

"Nak Anjani kenalannya luas, 'kan? Ibu minta tolong untuk dikembalikan ke yang punya, ya? Kalau Ibu yang nyimpen, takut hilang. Soalnya kecil. Nanti malah ketlingsut, hehehe," Bu Banu menyengir. Memertontonkan deretan giginya yang rapi, dengan satu gigi emas di pojok kiri atas.

Aku menerimanya. Tidak enak juga menolak kepercayaan Bu Banu.

"Pemiliknya suka nongkrong di pojok sana sendirian sekitaran jam empat. Nggak tahu kenapa Masnya itu nggak langsung pulang. Kemarin, Ibu udah manggil-manggil Masnya, tapi Masnya pakai headphone, jadi nggak denger."

"Nanti Anjani kasih ke orangnya, ya, Bu. Semoga cepet ketemu," aku menyengir kuda, walau kondisi hatiku masih sedikit kacau karena sikap Hugo tadi.

"Makasih, Nak Anjani. Ibu masak pisang goreng dulu, ya?"

"Iya, Bu. Mari," aku sedikit membungkukkan badan. Lantas berjalan keluar kantin menuju kelasku.

Selama menyusuri lorong, atensiku direbut sepenuhnya oleh notebook bersampul kulit sintesis berwarna hitam polos ini.

Aku tahu sangat tidak sopan jika membukanya tanpa ijin pemiliknya. Namun, bagaimana caranya mengetahui si empunya, jika tidak tahu namanya? Lagi pula, tidak ada petunjuk di sampulnya.

Aku menghentikan langkah. Kurapatkan badanku dengan tembok.  Setelah memastikan tidak ada orang yang berjalan mendekat, ibu jariku perlahan membuka halaman paling depan notebook itu.

Hanya ada satu kata yang tertoreh di sana.

Renjana.

ーR E N J A H W A N Aー

"Anja, lo mau ke mana?"

Kuhentikan langkah. Sedikit brgeser ke kiri, memberi jalan teman-teman yang lain untuk keluar kelas. Aku menoleh ke arah Yasmin, si pelayang pertanyaan barusan.

"Ke kantin bentar. Kamu langsung pulang?"

Yasmin berjalan mengikis jarak kami sembari menarik resleting jaket parasut favorit-nya. "Tumbenan amat ke kantin? Nggak mau gue temenin?"


Aku menggeleng, "nggak usah. Ada perlu sebentar sama Bu Banu doang, kok."

Perempuan bermata kucing yang kuakui mirip dengan pacarku ini mengangguk. "Ya udah, duluan! Langsung pulang ya nanti!"

Aku mengerutkan kening. Teringat perkataan Hugo saat di kantin tadi. Kutoleh Yasmin yang punggungnya mulai tenggelam di antara lautan siswa-siswi yang hendak pulang. Ah, jangan. Jangan sampai Yasmin juga ikut-ikutan tawuran tidak jelas itu. Walau terkesan berlebihan, namun aku benar-benar khawatir.

Segera kukirim pesan kepada Yasmin. Memastikan apakah sahabatku itu benar-benar langsung pulang atau tidak.

Sepasang netraku kembali memerhatikan siswa-siswi yang nampak berjalan terburu-buru. Beberapa di antaranya bahkan membahas tentang hal yang sangat tidak kusukai : tawuran.

Ternyata, mereka semua sudah tahu kalau sore ini akan ada pertikaian fisik yang melibatkan beberapa siswa Horizon. Namun, dari mana mereka tahu? Aku tidak pernah mendengar pengumuman apa-apa, tuh. Yasmin saja tidak pernah membahasnya dengankuーastaga, aku baru sadar! Yasmin menyuruhku untuk segera pulang, bukan karena perempuan kucing itu juga ikut andil dalam tawuran. Namun karena ia memang sudah tahu!

Okay, Anja. Hanya menemui si pemilik buku agenda ini, lalu langsung pulang. Aku menghela nafas pelan, mengusir kegelisahanku yang entah sejak kapan mulai menyergap.

Kulanglahkan tungkai berlawanan arus dengan siswa-siswi yang berjalan terburu-buru bagai dikejar deadline tugas ini.

Baru terpikirkan olehku. Kalau mereka semua tahu akan ada perkelahian pelajar, mengapa tak satu pun berani melapor ke guru?

ーR E N J A H W A N Aー

Sesampainya pada bingkai pintu kantin, indera penglihatanku langsung bertubrukan dengan netra Bu Banu yang berdiri di depan kiosnya. Ibu jari kanannya teracung pada seorang laki-laki yang sibuk sendiri di pojok kantin, dekat dengan posisiku. Kucerna sebentar maksud Bu Banu, sebelum mataku terbelalak.

Aku menoleh ke arah laki-laki tersebut. Ah. Dia insan yang kamu cari, Anja.

Aku mengangguk kecil ke arah Bu Banu. Beliau menyengir sembari mengacungkan kedua ibu jarinya.

Sengaja tak langsung kuhampiri taruna itu. Kusandarkan bahu pada bingkai pintu kantin. Memerhatikan gerak-geriknya yang menurutku lebih mirip seperti anak kecil laki-laki yang cemas akan robotnya yang hilang, ketimbang remaja yang mencari-cari buku agendanya. Tanpa kusadari, senyum terkulum dari bibir tipisku sedari tadi.

Sampai pandangan kami bersibobrok, aku mengerjapkan kelopak mataku. Menegapkan posturku yang tampak sangat tidak elegan.

Taruna itu melirikku sekilas, lantas melanjutkan pencariannya.

Hei, bodoh! Barang yang kamu cari itu ada di tanganku, tahu!

Kubawa tungkaiku mendekatinya. Rupanya, dia masih tidak sadar akan eksistensiku yang terpampang jelas di samping kanannya.

"Mas Renjana?"

Panggilanku sukses membuatnya mendongakkan kepala. Menatapku terkejut. Namun, langsung berganti dengan tatapan dingin.

"Nih, Mas," tanganku terulur dengan notebook di atasnya.

Secepat kilat menyambar, laki-laki ini meraihnya.

Aku mendelikkan mataku. Dasar wong edan! Memangnya aku mau menyolong death note itu? Sudi sekali!

"Mas, saya juga nggak akan nyolong notebook begituan kali. Udah kaya death note aja," celetukku saat taruna itu hendak pergi.

Tanpa menoleh ke belakang, serentet frasa terdengar darinya. "Terima kasih. Cepat pulang."

Untuk kedua kalinya pula, kutatap nanar punggung taruna itu yang menjauh dari kantin.

Apa dia teman Hugo? Tapi, kukira dia kelas dua belas. Apa kelas dua belas boleh ikut tawuran? Atau jangan-jangan, dia anak kelas dua belas yang tahu kalau ada tawuran, namun tidak bisa ikut? Ah, mungkin iya.

Kalau dia teman Hugo, pasti dia tahu aku. Dan bukannya melempar tatapan tidak bersahabat seperti tadi.

Tunggu. Anehnya, aku merasakan ranselku jauh lebih enteng dari tadi pagi saat berangkat.


Astaga! Laptopku tertinggal di laci!

T-tawurannya sudah dimulai belum, ya?!












𝘉𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘣𝘶𝘯𝘨...

ーR E N J A H W A N Aー
"Dia Renjana. Rahwanaku."

a.n :
Adakah tim baca ulang?;)

Aku berterima kasih banget untuk yang mau mengingatkan kalau masih ada typo atau nama yang belum kulokalkan:)

Tysm and stay safe♡


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top