1. Penghuni Kontrakan Sebelah

Kontrakan bercat putih itu berlantai tiga. Bukan kontrakan mewah, biasa saja. Mau naik ke lantai tiga sekalipun, tetap harus naik tangga. Tangga yang kerap membuat Anis—perempuan berhijab itu—seperti kehabisan napas ketika harus terpaksa turun terburu-buru karena terlambat.

Terlambat kuliah sudah sering dan bikin malu. Tapi lebih malu kalau terlambat di depan murid-muridnya, apalagi hari Senin pagi. Saat upacara bendera berlangsung, Anis harus terima berdiri di belakang barisan siswa, meletakkan motor matic hitam berpadu merahnya di depan pagar. Lalu setelah selesai upacara, Balqis—sahabat kecil kesayangannya—berkata, "Hiyah, Bu Guru terlambat!"

Guru, katanya, digugu lan ditiru. Sebuah kalimat peribahasa dalam bahasa Jawa yang artinya dipercaya dan ditiru. Suatu beban berat yang harus gadis berbulu mata lentik itu tanggung sejak terpaksa berkuliah di jurusan PGSD. Tidak ada bagusnya meniru pola hidup Anis.

Anis itu sering berangkat kesiangan. Bukan karena ia tak pernah menjalankan ibadah Subuh, tapi ia kerap ketiduran lagi setelah membaca kalam di meja belajar kamarnya. Selama kuliah, belajarnya pun ogah-ogahan. Prinsipnya, yang penting melewati batas lulus sudah alhamdulillah. Kalau bukan paksaan orang tuanya untuk masuk ke jurusan yang sedang dijalani hampir empat tahun ini, Anis lebih memilih ikut Paman Danu—pemilik kontrakan yang tinggal di rumah sebelah gedung kontrakan di mana gadis itu tinggal.

Laki-laki yang masih mempunyai hubungan pertalian saudara dengan sang ayah. Putra kedua keluarga Handoyo yang memilih membuka usaha furniture kecil-kecilan daripada menjadi penerus bisnis property keluarga besarnya. Hanya Danu dan istrinya yang menerima dengan baik kedatangan Anis di keluarga Handoyo. Mengingatnya, membuat gadis itu tersenyum getir.

Perempuan berpasmina cokelat susu itu menghela napas panjang, membuang sesak di dada setiap kali mengingat betapa sulitnya menyesuaikan diri dengan keluarga barunya. Setidaknya sejak empat tahun lalu, ketika Ibu memilihnya mengirim ke Jakarta.

Anis asyik menggosok potongan balok kayu berukuran kecil dengan amplas. Sesekali meniup butiran debu dari kayu yang terkikis sebelum menggambar di atasnya. Proyek bulan ini adalah membuat aneka media belajar serta sarana dan prasarana untuk Taman Kanan-Kanak kenalan Paman Danu. Menyenangkan!

Anis bisa menghabiskan waktunya berjam-jam—ketika tak ada kegiatan—hanya untuk mencoret-coret potongan balok kayu, papan, meja, atau kursi dengan aneka warna cerah yang mencolok. Jemari lentiknya bahkan terbiasa pegang palu, memukul paku untuk menyatukan bagian-bagian yang perlu. Pakaian dan pipinya pun sudah biasa coreng moreng dengan cat. Bukan pemandangan aneh bagi Danu—pemilik usaha furniture dan sewa kontrakan tiga lantai itu.

"Memangnya kamu sudah menyelesaikan tugas kuliahmu?" Pria berkumis tipis itu masih sibuk mengecat kursi kayu berukuran kecil khas Taman Kanak-Kanak.

Gadis itu menoleh, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang bersih. "Belum, sih. Entar malam aja nggak apa Anis kerjain. Tinggal bikin lembar kerja siswa aja, kok."

"Laah, masih panjang prosesnya itu, Nduk! Kamu harus perbanyak juga lembar kerjanya to? Difotocopi sejumlah siswa. Jangan terlalu malam, takut tutup tempat fotocopiannya nanti. Di sini cuma ada tukang fotocopian satu di depan gang itu, punya Mas Amir. Jam sepuluh aja udah tutup."

"Nggak apa, Pak. Nanti bisa pake printer Anjani di dalam." Rum—istri Danu—menawarkan mesin printer putrinya yang bekerja sebagai PNS guru.

Perempuan bertubuh kurus dengan rambut tergelung rapi itu memiliki pribadi yang hangat. Anis ingat betapa Rum peduli padanya. Wanita berusia kepala empat itu bahkan orang paling rajin bertanya bagaimana kondisinya sewaktu awal-awal tinggal bersama ayahnya. Ketika Anis jatuh sakit, bukan Ayah yang menungguinya di rumah sakit, tapi Rum—perempuan pengganti ibunya selama bertahan hidup di Jakarta.

Anis tersenyum lagi. Sejujurnya, ia menemukan keluarga di tempat ini. Danu yang selalu bijak memberikan banyak nasihat. Rum yang hangat dan lembut padanya. Serta Anjani—sang sepupu—yang siap menjadi tempat Anis bertanya mengenai tugas kuliah dan membimbingnya.

Gadis itu tak menyesal menolak tawaran apartemen dari ayahnya saat memutuskan ingin hidup mandiri. Tinggal di sini, Anis tak hanya menemukan sosok keluarga, tapi juga menemukan dunianya. Wangi cat dan kayu yang pekat. Suara palu dan paku yang beradu. Gerakan pensil di atas kertas skets untuk membuat desain. Indahnya gambar-gambar interior dalam tumpukan majalah di rak buku pojok bengkel mebeler milik Paman Danu. Dan semua tentang dunia estetika bagaimana sebuah interior rumah terbentuk.

Anis mencintai dunia itu. Semua itu mengingatkannya tentang Abah di Jogja sana. Ia rindu pulang, tapi bertahan di sini adalah mimpi ibunya yang harus ia penuhi.

Gadis itu baru akan berucap terima kasih pada tawaran mencetak tugas kuliahnya dengan printer Anjani, ketika laki-laki bermata bening itu turun dari kontrakan, melangkah dengan lari kecil menuju bengkel pertukangan Paman Danu.

"Pagi, Paman," sapanya. Ia sempat melirik sekilas pada sosok Anis yang mendadak tertunduk.

Sungguh, gadis itu masih canggung kalau harus bertemu muka dengan pemuda itu. Pertemuan dan perkenalan absurd mereka di gerbong kereta sungguh membuat keadaan teramat membingungkan. Seperti kebetulan aneh yang ditakdirkan Tuhan. Belum lagi ketika Anis dengan lugasnya pasang kuda-kuda, bersiap memukul kalau saja laki-laki itu macam-macam padanya.

Malam itu, setelah berjam-jam duduk di dalam gerbong kereta, mereka sama-sama turun di Stasiun Gambir. Keduanya membisu selama dalam perjalanan. Sepertinya laki-laki itu tersinggung atas cara frontal Anis yang menolak berjabat tangan dan menggeser posisi duduk lebih menepi lalu meletakkan tas ranselnya di tengah-tengah. Begitu sampai ditujuan—yang ternyata sama-sama di Gambir—keduanya sempat saling melirik satu sama lain. Namun, Rengga memilih berlalu mendahuluinya dan menaiki taksi yang berbeda.

Kebetulan lagi, ternyata mereka turun di depan gang yang sama, membuat Anis berprasangka. Rengga tampak berjalan sambil sesekali menilik ke layar ponsel, sementara Anis sesekali menengok ke belakang di mana laki-laki berjumper merah itu berjalan lambat.

Sebuah neon box bertuliskan Kontrakan Paman Danu sama-sama menghentikan langkah keduanya. Gadis itu berbalik cepat, mengepalkan dua tangan, dan bersegera pasang kuda-kuda.

"Kamu mengikutiku?!" gertaknya dengan tatapan sengit. Bola mata hitam pekatnya menatap tajam.

Rengga sontak berjengit mundur selangkah, tapi tetap tenang menatap gadis itu dengan dua tangan tersimpan di saku jumper. Manik hijaunya yang bening membuat Anis sempat tertegun dan kepalan tangannya melemah.

Lalu, begitu laki-laki itu berkata, "Aku mau menemui Paman Danu."

Kelopak gadis beransel hitam itu mengerjap-ngerjap, agaknya ia mulai sadar kalau dirinya sudah melakukan hal yang memalukan. Dua kepalan tangan berkulit putih itu turun ke samping badan. "O-oh ...."

Rengga lagi-lagi mendahuluinya membuka pintu pagar setinggi dada yang tak terkunci. Laki-laki yang kerap disebut Balqis sebagai Kak Engga itu menuju rumah bergaya rustic. Sebuah rumah dengan dominan warna tanah dan material nuansa alam.

Saking malunya sudah salah sangka, Anis memilih cepat-cepat masuk ke gedung kontrakan, berlarian menaiki anak tangga sampai ke lantai tiga di mana kamarnya berada.

Fiyuh, lelah sekali! Batinnya ketika teringat kekonyolannya kala itu.

"Gimana, Mas Rengga betah di sini?" Danu bertanya sembari mengusap tangan kotornya pada permukaan kaus butut tanpa lengannya. Meraih cangkir berisi kopi hitam yang masih mengepulkan uap hangat. Kopi instan seribuan yang kerap Anis beli di warung sebelah. "Bikinin minum satu lagi buat Mas Rengga, Bu. Eh, kamu mau, Nduk?"

Sementara Rengga mengangguk berhias senyum, Anis terperanjat mendapat tawaran tiba-tiba dari pria berambut cepak itu. Rum bahkan sama tersenyum dan mengangguk menunggu keputusannya. Ditodong seperti ini, mau tak mau Anis mengangguk, meletakkan kuas bercat biru muda kembali ke tempatnya.

"Boleh, Bi."

Dan tertahanlah di sini gadis itu sekarang. Duduk melingkari meja kayu bundar bersama pemilik bengkel dan sosok pembuat canggung Anis dua hari ini.

Rengga menggeser cangkir yang Rum sodorkan ke hadapannya, memilih mengutamakan gadis yang duduk berjarak satu kursi darinya.

"Maaf, Mas Rengga, di sini yang ngontrak rupa-rupa warnanya. Paling manis, ya, ini!" Rum menunjuk Anis.

"Eh?" Gadis itu menoleh, tersenyum dengan dua pipi putihnya yang berubah memerah. "Bibi bisa aja."

Rengga hanya tergelak. Laki-laki itu hanya mengusap ujung hidung mancungnya sambil sesekali melirik ke arah Anis. Sayangnya, yang dilirik malah tertunduk semakin dalam.

"Eh, sudah kenalan, kan?" Kening Danu mengernyit.

"Sudah." Keduanya menjawab bersamaan.

Kekompakan yang semakin membuat Anis kikuk dan berdeham seraya menggenggam cangkir di atas meja. Gadis yang mengenakan tunik putih itu sempat mendongak. Lagi-lagi mata bening laki-laki itu menatapnya. Kali ini lebih lama. Tapi Anis memilih memutus pandangan usai tersenyum sekilas.

Rengga mengembuskan napas pelan sembari membuang muka. Ia memilih membuka obrolan hanya dengan Danu, membuat Anis merasa bingung meski terkadang pamannya ikut mengajak bicara. Apa iya, laki-laki ini tersinggung lagi karena Anis selalu menghindari tatapan dan kedekatan yang kadang tanpa sengaja terjalin?

**

(04-06-2022)

Notes:

Hai, selamat pagi! Happy weekend! :)

Seperti yang aku janjikan, cerita ini update setiap akhir pekan di Wattpad. Di KaryaKarsa update lebih cepat. Di sana sudah sampai bab 2.

Jangan lupa vote dan ramaikan komentar, ya. Wait, tunggu anakku tidur dulu, habis ini aku mau utak-atik Sang Perawan. :v

Semoga Minggu bisa update Sang Perawan.

Terima kasih. :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top