9 || Di Balik Lingerie


PADA langkah kelima, Remi menyesali keputusannya memasuki toko lingerie bersama Kael. Fantasi aneh-aneh tentang Kael langsung menghinggapi otaknya dan dia tahu bahwa tidak sepatutnya dia memikirkan itu.

Banyak lingerie yang terpampang dengan berbagai desain. Mulai dari yang menerawang, yang ditambah bulu-bulu, serta yang ditambah sulaman floral. Remi berusaha tidak memikirkan lingerie berdesain rumit yang entah bagaimana cara memasang dan melepasnya. Dia langsung duduk di kursi yang tersedia, mengamati Kael yang memanggil pramuniaga toko sambil menggenggam sebuah catatan. Remi tak melewatkan wajah terbengong sang pramuniaga ketika melihat Kael. Pramuniaga itu mengerjap-ngerjap, seperti ingin meyakinkan diri bahwa gadis yang baru saja memanggilnya adalah manusia sungguhan sebelum merespons.

Remi kemudian tersenyum kecil dan mengeluarkan ponsel. Sedangkan Kael mulai berbicara dengan sang pramuniaga. Setelah pramuniaga pergi, Kael mengambil keranjang kecil untuk berbelanja, lalu mencari Remi yang ternyata duduk agak jauh darinya. Kael pun mendatangi lelaki itu.

Remi menyimpan ponselnya saat melihat Kael datang. Dia berbasa-basi, "Jadi lihat-lihat?"

"Jadi kok. Bareng yuk lihat-lihatnya. Sambil ngobol."

Remi bergeming sejenak sebelum menuruti Kael. Benaknya masih tak paham bagaimana Kael bisa membuat hal seperti ini terasa natural, seolah bukan hal yang aneh untuk dilakukan dua orang yang baru pertama kali kencan.

Kael mendekati desain lingerie transparan dengan sulaman floral. Dia menyentuh sulamannya, lalu menoleh ke Remi. "Lo nggak mau beli juga?"

Remi spontan mengernyit. "Beli buat siapa?"

"Buat siapa gitu. Pacar atau calon istri kan bisa."

Sang lelaki pun mendengus. "Kamu menghina, ya? Saya nggak punya pacar."

"Ah, masa? Punya kali." Kael tersenyum sambil melihat desain-desain lainnya. "Farel, kan?"

Remi hanya tersenyum masam. "Haha. Very funny."

Kael terkekeh. "Habis kalian kayak kembar dempet gitu ke mana-mana selalu berdua."

"Habis udah kebiasaan juga dari lama. Dari kuliah, jadi ya udah." Remi memandang Kael yang tersenyum sambil memilah lingerie-lingerie dengan tangannya. Dan Remi tak yakin dia harus bertanya sesuatu yang membuatnya penasaran dari tadi atau tidak. Namun, pada akhirnya rasa penasarannya menang. "Beli lingerie buat siapa?"

"Buat temen. Dia mau nikah."

Remi tahu pembicaraan ini akan terdengar nakal, tetapi dia jelas-jelas sudah bertanya, jadi sekalian menceburkan diri saja. "Nggak mau beli buat diri sendiri?"

"Mau nih, sekalian buat tambah-tambah koleksi."

"Hah? Koleksi?" Harusnya Remi mempersiapkan diri dengan jawaban itu. Namun nyatanya, dia tidak siap sama sekali. "Buat apa dikoleksi?"

"Buat dipakailah. Masa buat dipajang doang?"

"Ngapain dipakai? Emang ada yang mau lihat?"

"Pangeran, Anda ini lagi ngejek ya? Gue emang nggak punya pacar atau suami. Tapi bukan berarti gue nggak bisa beli lingerie buat gue sendiri."

"B-bukan gitu." Remi berdeham ketika mendengar suaranya terdengar canggung. Dia tak ingin terdengar gugup di depan Kael. "Nggak apa-apa, cuma, saya jarang aja lihat cewek beli lingerie untuk diri sendiri. Biasanya beli buat ditunjukkin ke pasangannya."

Alis Kael meninggi. "You haven't met much women, then."

Mata Remi menyipit. "Are you just pinpoint my inexperience?"

"Pangeran ini mudah sekali tersinggung, ya? I'm just pointing out that you haven't met much women, bukan bilang kamu nggak berpengalaman sama perempuan. Temen-temen gue nggak sedikit yang beli lingerie untuk diri sendiri. They buy lingerie to make them feel sexy. Nggak ada urusannya dengan udah punya pasangan atau belum." Kael mengamati desain-desain lain sambil berjalan. "But, are you, then?"

"I'm what?"

"Inexperienced?"

"I'm not—" Remi memutus ucapan dan memejamkan mata. "Seharusnya kita nggak ngomong hal kayak gini dulu."

Kael menyengir lebar hingga gigi-gigi rapinya terlihat. "You can't blame me. You brought it first."

Remi melempar pandangan ke arah lain. Menatap ke arah bralette biru dengan dua tali melintang di bagian tengah dada, motifnya terlihat timbul, tetapi juga terlihat halus dan membuat Remi penasaran bagaimana tekstur bahannya. Pakai ginian bakal bikin gatel nggak, sih?

Dia memilih untuk tidak menyentuh bahannya sama sekali. "Ini nanti kamu nggak akan iseng nanya ke saya lingerie-nya cocok buatmu atau enggak, kan?" tanya Remi asal. Entah mengapa masuk ke sini membuat otaknya agak sulit berpikir jernih.

Kael menatap Remi. "Oh, kamu mau ditanyain?"

"Ap—e-enggak gitu. Saya kan cuma nanya."

"Gue juga cuma nanya kok."

Kenapa Remi merasa otaknya makin tumpul ketika berhadapan dengan Kael? Kenapa dia selalu disekakmat? Kenapa dia membiarkan dirinya disekakmat? Apa ini efek dari masuk ke toko lingerie bersama Kael? Jadi dia mendadak bodoh?

Karena tahu segala pembicaraan tentang lingerie ini jadi senjata makan tuan baginya, Remi memilih mengganti topik. "Tadi kayaknya kamu mau nanya sesuatu, terus kepotong gara-gara lihat toko ini. Mau nanya apa?"

"Oh, itu. Kan tadi kamu tanya-tanya tentang karierku. Jadi mau nanya balik aja."

"Nanya apa?"

"Simple question. Apa pekerjaanmu sekarang itu kerjaan yang memang benar-benar kamu inginkan?"

Kernyitan Remi muncul karena bingung. Pertanyaan itu agak aneh untuk Remi. Sehingga Remi hanya menjawab, "I think it is."

"Good, then." Kael manggut-manggut. Menatapi desain-desain bra berbagai motif. "It means you are happy with your job, terlepas dari kesulitan dalam pekerjaan tersebut. Aku kenal orang-orang yang nggak bahagia menjalani karier mereka meski pekerjaan mereka menghasilkan banyak uang. If that is the job that you want, then that's good. Seengaknya kamu udah tahu risiko dari apa yang kamu inginkan."

Remi sedikit menautkan alis. "I don't think it's really about what I want." Dia mengangkat bahu. "Dari saya kecil, saya selalu tahu bahwa saya akan bekerja bantuin keluarga saya. Jadi saya belajar dan berusaha untuk bantu ayah saya, dan ends up kerja kayak gini. Mungkin bisa dibilang, saya nggak tahu saya akan jadi apa kalau bukan karena orangtua saya. Saya cuma tahu saya mampu di pekerjaan ini, jadi saya stay."

Kael menatapnya dengan tatapan tak terbaca. "Why that sounds sad?"

"It should. But I don't feel sad at all," Remi berkata dengan tenang. "I'm a boring person, Kael. I don't have a passion like you. I don't even know if I have any. Saya jalanin hidup sebagaimana adanya aja. Tapi, saya senang lihat kamu memenuhi mimpi yang selama ini kamu bangun. Lepas dari keluarga, kamu masih bisa hidup. Saya mungkin nggak akan bisa kayak gitu."

Bibir ranum Kael tertarik ke atas. Dan Remi agak terbius oleh wajah elok mulus tak tercela dengan lesung pipi milik gadis itu. Dia tak ingin terdengar berlebihan, tetapi senyuman Kael memang terasa memikat; manis, enak dilihat, membuatnya betah berlama-lama menatap.

Gadis itu mendekat untuk menepuk pelan lengan Remi. Wajah eloknya terlihat lebih jelas, begitu halus bagai boneka. "You are definitely Prince Perfect at its finest."

Remi hanya tersenyum tipis. Otaknya bukan sedang mencerna pujian itu, tetapi sedang sibuk agar tak memikirkan bagaimana rasanya mencium Kael.

"Jadi, lo nggak akan takut ya, Rem?" lanjut Kael sambil melangkah. Sekarang sudah ada dua lingerie tersampir keranjang belanjanya. Remi tak ingin mengingat desainnya, berusaha melupakan ketika tadi Kael mengambilnya ke keranjang, tapi entah mengapa otaknya bekerja melawan keinginannya dan sekarang desain itu tertempel dalam memori begitu saja.

Remi menggeleng untuk mengusir pikiran tak diinginkan segera pergi. "Takut apa?"

"Nggak takut kalau disuruh memimpin perusahaan dan membesarkannya?"

Lagi-lagi, pertanyaan Kael aneh untuk Remi. "Enggak. Kenapa harus takut? Kan udah dilatih dari lama."

Kael tersenyum. "Glad to hear that."

Remi mengambil jeda sejenak. "Kamu sendiri? Nggak takut?"

"Takut apa?"

Remi teringat bahwa apa yang didengarnya tentang Kael masihlah rumor dan asumsi semata. Baru sedikit yang benar-benar bisa Remi konfirmasi tentang Kael. "Saya dengar selentingan kabar."

Kael mendengus terkekeh. Dia kembali berjalan. "Kali ini gosip yang mana?"

"Tentang Rajayanti Group. Katanya bakal diserahin ke kamu."

Kael mengibas tangan. "Itu cuma gosip." Seringainya terbentuk. "Apa ada lagi gosip yang mau Pangeran konfirmasi ke saya?"

"Apa kamu bakal jawab jujur kalau saya tanya apa pun itu?"

Kael berhenti melangkah dan menatapnya tanpa bicara apa-apa.

Remi lalu terheran melihatnya. "Kenapa diem aja?"

Kael mengangkat keranjang belanja yang dia bawa. "Aku mau nyobain baju. Kamu mau ikut ke ruang ganti?"

Remi menatap ke pintu di balik tubuh Kael, baru sadar bahwa Kael berhenti di depan ruang ganti. Pipinya seketika memanas. "O-oh, euhm, kalau gitu saya tunggu di luar aja."

"Atau masuk aja, Rem." Kael menggamit tangan Remi, dan darah di tubuh Remi seketika mengalir cepat dengan melajunya adrenalin.

Remi sempat terpaku sesaat. "H-hah?"

"Sini masuk."

Sebelum Remi sempat protes, Kael menariknya masuk ke ruang ganti, tak terlihat oleh pramuniaga di situ. Remi ingin segera pergi. Namun dia ingin menghadapi masalah ini dengan tenang dan terkontrol, bukan dengan bahasa tubuh yang kentara panik. "Kael, kamu tahu nggak sebaiknya saya masuk ke sini. Kamu perempuan, saya laki-laki. Kamu mau saya ngelihat badan kamu pas kamu ganti baju?"

"Jadi kamu mau ngelihat aku ganti baju?"

"Bukan itu yang saya tanyakan. Kamu itu—" Remi terdiam, mengambil jeda sesaat untuk bertanya, "Kael, apa kamu lagi ngejebak saya?"

"Ngejebak gimana?"

"You bring me to a lingerie shop of all place, dan sekarang kamu bawa saya di ruang ganti berduaan. Ini maksudnya apa? Apa kamu selalu kayak gini ke laki-laki yang jalan sama kamu?"

Hening. Dan Remi menahan napas menyadari ucapannya barusan.

Ucapan itu terlalu kasar bagi Remi. Tak seharusnya dia berbicara seperti itu kepada perempuan. Namun, wajah Kael tak berubah ekspresi. Gadis itu justru melangkah lebih dekat ke arah Remi. Dan Remi menahan diri untuk tidak mundur. Dia tetap tegap berdiri di posisinya. "Kael," panggil Remi dengan nada memperingatkan. Namun Kael mengabaikannya dan tetap maju. "Kael."

"Dengerin dulu," ujar Kael dengan suara rendah. Wajahnya maju. Bibirnya mendekat ke telinga Remi, lalu berbisik, "Kita dikuntit."

Penjelasan itu sama sekali tak diduga oleh Remi. "What?"

"Kita dikuntit. Dan kamu jangan bersuara keras, ntar ada yang denger."

Remi menelan ludah. "Memang siapa yang nguntit kita?"

Wajah Kael menunduk. Sekilas raut bersalah terlintas sejenak di air mukanya. "Orang suruhan kakakku."

"Kakakmu siapa? Calvin?"

"Bukan. Kakak sepupuku, Erlangga."

Remi membeliak mendengar nama itu. Erlangga Soerjodiningrat adalah putra mahkota yang akan mewarisi grup Rembangi. Dia adalah anak emas, sang cucu pertama dari anak pertama. Untuk apa lelaki itu menyuruh orang untuk menguntit adik sepupunya? "Buat apa Erlangga kirim orang buat nguntit kamu? Overprotective big brother much?"

Kael mengatupkan bibirnya. "I guess so."

"Terus sekarang gimana? Habis ini dia bakal nguntit saya ke mana-mana?"

Kael menunduk, terlihat makin merasa bersalah. "I'm sorry. I should have told you this from the start."

"Hey, hey, it's okay." Remi mengelus pundak mungil Kael. Merasa bersalah, terutama karena ucapannya tadi. "Seharusnya saya yang minta maaf karena udah berprasangka buruk ke kamu."

Kael tersenyum tipis dan mendengus. "Santai aja. Udah biasa."

Remi makin merasa bersalah. "I'm not like them," ujarnya tegas. Ingin meyakinkan Kael bahwa dia tak seperti para elitis yang bergosip buruk tentang Kael, bahwa dia lebih baik dari itu, tetapi Remi tahu bahwa berjanji untuk membuktikan diri akan terkesan mengumbar janji palsu.

"I know you aren't." Kael menyunggingkan bibir ke atas. "Seharusnya aku nggak bikin kamu berada di bawah pengawasan Erlangga."

"No, it's okay. Lagian ... saya juga nggak pernah aneh-aneh."

Kael terkekeh. "I know."

"Tapi kenapa baru ngomong di sini?" tanya Remi. "Emangnya dia punya alat penyadap di tempat-tempat lain?"

"Nggak ada—hng, nggak tahu, sih. Dan aku belum kasih tahu kamu seluruh ceritanya." Kael menatap Remi dengan agak memohon. "Tapi sebelumnya, Remi, kamu mau nggak bantuin aku?"

"Bantu apa?"

Kael menarik napas dengan mata terpejam. Ketika matanya terbuka, dia memegang kedua pundak Remi sambil menatap serius. "Pura-pura jadi pacarku."

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top