8 || Di Balik Kepala

A/N

Rating cerita ini gue ceklis dewasa, ya. Dan chapter ini gue pecah jadi dua bagian.



SOSOK Remi sudah diketahui Kael sebelum pulang ke Indonesia. Shasha dengan senang hati bercerita tentang sosok sang Pangeran Sempurna tanpa Kael perlu bertanya.

Di antara kiriman pesan dan panggilan video, kadangkala nama lelaki itu sempat terselip di antara obrolan Kael dan Shasha tentang peragaan busana musim terakhir, barang-barang merek lokal rekomendasi, dan eligible bachelors tahun ini. Sampai di Indonesia, Kael sudah tak asing jika adiknya menyebut nama Remi—"Remi yang itu loh, Kak, si Prince Perfect dari keluarga Tanureja yang punya perusahaan real estat!"—sebab adiknya sudah beberapa kali menyebut nama lelaki itu. Shasha juga sempat menunjukkan foto-foto Remi—yang sangat sedikit—kepadanya untuk menilai sendiri. Di antara foto-foto formal Remi yang mengenakan jas atau kemeja, ada salah satu foto Remi yang sedang berada di sebuah curug, berlatar air terjun, dan Remi di sana sendirian, shirtless.

"Efeknya lebih berasa kalau ngelihat langsung," ujar Shasha saat menunjukkan foto-foto Remi.

Kael spontan heran, butuh kejelasan. "Efek apa?"

"Efek bikin lemes," jawab Shasha, terlihat sama sekali tidak sedang bercanda. "Yang namanya perempuan ya, Kak, nggak tua, nggak muda, mau dia single atau udah bersuami dan beranak pun pasti bakal lemes cukup dengan ditatap Pangeran Remi. Ditatap doang, Kak El, di-ta-tap. Nggak pakai disenyumin. Karismanya si Pangeran itu, beuh, kayak bom nuklir! Dia tuh cukup berdiri dan bernapas aja semua perempuan se-Indonesia juga langsung luluh. Ini menunjukkan kalau Remi itu bukan sekadar ganteng. Tapi auranya mahal. Jadilah efek ditatap dia rasanya bombastis!"

Kael pikir penjabaran adiknya itu terlalu berlebihan.

Tapi, Kael akhirnya menyetujui penjabaran Shasha terhitung mulai hari ini.

Di dekat lobi mal tempat banyak orang berlalu-lalang, meski hanya berdiam sambil menatap ke kejauhan dengan wajah tanpa ekspresi, Remi berdiri layaknya mimpi siang bolong; indah dan tak tergapai. Seolah Remi hanya butuh diam dan bernapas, menunjukkan bahwa dirinya ada, dan cukup dengan itu perhatian orang-orang bisa langsung dicurahkan kepadanya.

He's a perfect daydream material, indeed, batin Kael dalam benaknya. Dia menarik napas sebelum mendekati Remi dari belakang. Kakinya berjalan diam-diam, kemudian dia menepuk punggung Remi sebelum tersenyum dan menyapa, "Hai, Remi."

Reaksi yang tak diduga Kael adalah senyum semringah Remi ketika membalas sapaannya, "Halo, Kael."

Sesaat, Kael kehilangan napas ketika mata Remi beradu dengan matanya, serta ketika mendapati Remi tersenyum semringah. Pasalnya, perlakuan Remi di apartemen dua minggu lalu cenderung terasa dingin. Iya, memang baik dan sopan, tetapi terasa begitu ingin menjaga jarak. Sesuatu yang tak akan diprotes Kael karena itu normal. Sebab mereka cuma orang asing.

Namun senyum Remi barusan terasa begitu ... bahagia. Seolah Remi sungguhan merasa senang mengetahui bahwa dirinya datang.

Atau mungkin itu cuma perasaan lo aja, Kael.

Kael segera berdeham. "Udah nunggu lama?"

"Nggak kok. Kamu sendiri udah lama di mal ini?"

"Hm... lumayan. Aku di sini dari jam sebelas." Kael terkekeh, tapi kemudian baru menyadari, Eh, kok jadi aku-kamu, sih? Kebawa nih gara-gara Remi nyebut 'kamu'. "Oh iya, jadi, gue punya waktu berapa lama sama lo? Kan lo pasti izin kerja. Kecuali kalau lo pemilik malnya."

Remi menatap Kael dengan senyum geli.

Kael seketika langsung paham. "Oh, my bad," ujarnya, menepuk kening. "Lo yang punya malnya."

"Nggak juga, sih. Saya cuma megang sedikit saham di perusahaan."

Kael memiringkan kepala, memasang wajah tak yakin. "Sedikit saham?"

"Iya, sedikit. Cuma nol koma sekianlah."

"Oh!" Kael meletakkan tangan di dada, memasang wajah tersinggung yang dibuat-buat. "Are you trying to fool me? Om saya yang notabene pewaris Rembangi juga sahamnya cuma nol koma sekian atas namanya sendiri."

Remi pun tertawa pendek. Membuat Kael agak heran karena Remi jarang tersenyum, dan lebih jarang lagi tertawa—meski cuma tawa kecil samar. Atau barangkali Remi aslinya memang seperti ini dan dia belum begitu mengenal Remi untuk mengetahuinya.

Remi pun membalas, "Saya minta izin sejam."

Kael manggut-manggut. "Generous enough. Let's make it worth, then."

Mereka pun berjalan tanpa arah ke sekitar mal. Kael melihat-lihat sambil bertanya denah per lantainya. Mereka baru berhenti berjalan ketika Kael berhenti di depan kios penjual bubble tea.

Remi menunggu Kael membeli bubble tea di luar antrean kios sambil mengamati penampilan gadis itu. Kael tetap cantik seperti biasa. Tetap memikat dan mencuri perhatian orang-orang karena wajah boneka dan rambutnya yang sewarna pastel. Baik laki-laki maupun perempuan semua menoleh untuk mengamati Kael lekat-lekat. Entah apa yang ada di pikiran mereka sekarang. Barangkali mereka heran kenapa ada boneka tersasar di mal ini. Namun bukan kecantikan Kael yang sekarang jadi perhatian Remi. Perhatiannya kini terletak di baju sang perempuan. Dan Remi jadi teringat ucapan Farel.

Dia bahkan sampai nanyain warna favorit lo apa. Berani taruhan, cenil lo sekarang pasti warnanya biru, item, sama putih.

Bukan cenil, ternyata, batin Remi, mengamati busana Kael yang hanya terdiri dari tiga warna: biru, hitam, dan putih. Bukan cenilnya, tapi bajunya, tapi kenapa warnanya harus tiga warna itu?

Remi berusaha tak memikirkannya. Barangkali Kael juga tidak sengaja mengenakan busana dengan warna-warna tersebut. Tapi, sulit untuk tidak memikirkannya. Sebab kenapa pula Kael sampai bertanya tentang warna favorit hanya untuk berterima kasih? Atau mengajak bertemu sekarang? Ini cenderung berlebihan jika hanya ingin berterima kasih sebagai teman.

Kecuali kalau dia punya intensi lain, pikir Remi, teringat dengan perusahaan Rembangi. Dan dia seketika menyadarkan diri bahwa tak sebaiknya dia berprasangka buruk kepada Kael, berpikir Kael punya intensi buruk kepadanya demi Rembangi. Mungkin Kael memang cuma ingin berteman, sesulit apa pun itu bagi Remi untuk memercayainya.

"Mau ke mana kita? Mau jalan-jalan aja?" tanya Kael, seketika mengagetkan Remi dari lamunannya.

Remi terdiam sejenak, merasa harus mengambil waktu untuk membiasakan diri pada kecantikan Kael—sehiperbolis apa pun ini kedengarannya, wajah bidadari Kael beserta lesung pipinya sungguh mencuri napas Remi—sebelum menganggukkan kepala. Mereka pun keluar dari kios bubble tea. Remi berjalan di samping Kael, lalu berdeham. "Kamu udah jalan-jalan di sekitar mana aja?"

"Baru di lantai ini sama lantai dua sih. Ke lantai tiga, yuk?"

Remi mengangguk lagi. Mereka berjalan ke lantai tiga lewat eskalator.

Hampir tak ada satu pun orang yang melewatkan mereka; sepasang manusia dengan paras indah yang mencolok perhatian. Remi selalu sadar bahwa orang-orang tengah memerhatikannya. Setiap dia pergi, atensi orang akan terlimpah kepadanya dan orang-orang yang berjalan bersamanya. Sebesar apa pun usaha Remi untuk mengabaikan, Remi tetap sadar tatapan macam apa yang dilayangkan khalayak kepada orang-orang yang berjalan bersamanya, terutama kepada perempuan. Di sini tidak terlalu kentara karena banyak orang awam. Tetapi di acara kaum elitis, penghakiman terasa begitu kentara.

Tapi kali ini, Remi sadar bahwa perhatian orang awam lebih banyak dicurahkan kepada Kael alih-alih dirinya. Dan ini adalah perhatian positif yang terlihat dari wajah takjub atau terbengong orang ketika melihat Kael lewat. Bukan perhatian sesaat karena asumsi negatif.

Mungkin memang benar bahwa manusia tidak boleh menilai orang hanya dari tampilan luar. Namun, rasanya mustahil untuk tidak takjub ketika Kael lewat—sebesar apa pun keinginan manusia itu untuk tidak menilai orang dari fisik dan penampilan.

"Ini malnya udah dibangun dari kapan?" tanya Kael sambil menatapi langit-langit dan pita-pita metalik yang menjuntai dari sana. Mereka sampai di lantai tiga, melangkah di atas lantai marmer mengilap.

"Dari enam tahun lalu," jawab Remi. Dan karena waktunya bersama Kael cuma satu jam, Remi tahu waktu ini tak boleh dia sia-siakan, jadi dia sadar untuk harus lebih aktif berbicara. "Masih baru tapi pengunjungnya udah cukup ramai."

"Kayaknya ini semua tenant full, ya. Atau masih ada sisa tenant, kah?"

"Full semua. Tapi ada beberapa yang akan pindah tangan."

Kael beralih dari menatapi toko yang menampilkan tas di jendela display. Dia menatap Remi. Bibirnya tersungging ke atas. "So, are you enjoying you job?"

Remi mengernyit. Pertanyaan seperti itu agak jarang dia dengar dari rekan sejawat. "I suppose I am." Dia mengambil jeda. "How about you?"

"About me?"

"Kerjaanmu. Are you enjoying it?"

"Oh, yes." Kael tertawa. "Gue nggak terlalu tertarik sama bisnis besar keluarga soalnya."

"Why?"

"Gue nggak suka ngatur-ngatur orang."

Remi mendengus. "Business isn't just about that."

"Yeah, but mostly, it's about that. Lo ngatur si A harus ngapain, B harus ngapain, semua harus sesuai regulasi, semua repetisi. Awal-awal mungkin seru, tapi lama-lama repetisi jadi, well, it's boring for me."

Remi mengangguk. "Tapi, nggak niat kerja di lain bidang? Mungkin yang masih berhubungan, kayak di bidang entertainment, mungkin? You're also a model, right?"

"Yeah, tapi nggak niat kerja jadi aktris atau penyanyi. Dulu pernah belajar drum, but it's just for fun. Lagian," Kael melirik Remi, "kan, kita sendiri yang memilih kita mau terkenal sebagai apa. Of course, ada opini publik terhadap kita berdasarkan interpretasi mereka sendiri. Tapi, tetap kita yang memilih kita mau terkenal sebagai apa. Dan gue lebih mau dikenal sebagai MUA yang beneran paham apa yang gue lakuin, bukan dikenal sebagai artis dadakan."

"Interesting." Remi tersenyum. "But what's so good about make-up? Sampai kamu memilih untuk menekuninya? Ada bidang lain kayak fotografi, animasi, gaming, and many else. Why make-up?"

Kael bergumam panjang. "Pertanyaan ini sebenernya udah sering ditanyakan sama orang-orang. Biasanya gue jawab karena udah passion."

"Is it true, though?"

"Yes, but, also." Kael seperti menimang-nimang untuk melanjutkan atau tidak. "Also, it's because I think my face is boring."

Remi agak termenung sesaat. "Are you serious?"

"Yeah. Udah pernah lihat muka bare face gue, belum? It looks okay, but it's boring. Biar nggak boring jadinya gue pakai make-up. Soalnya bisa coba-coba with many different looks."

Remi tahu dia tak pernah melihat wajah tanpa make-up Kael, tetapi dia yakin wajah Kael tetap cantik sebagaimana adanya. "Saya nggak pernah lihat foto bare-face kamu. Kamu ada fotonya?"

Kael memelankan langkah sambil merogoh tas, mengambil ponsel dan membuka-buka galeri. Setelah beberapa saat, gadis itu menunjukkan ponselnya kepada Remi. "Tuh. Muka gue pasaran."

"Coba lihat dulu." Remi mengambil ponsel Kael, dan mengamati wajah Kael yang bebas make-up. Seperti dugaannya, Kael tetap cantik. Kulitnya terlihat halus dan bersih tanpa jerawat dan noda. Tetapi, Remi paham bahwa preferensi orang berbeda-beda dan Kael mungkin lebih suka melihat wajah yang tidak sama tiap harinya. Remi pun mengembalikan dengan wajah tanpa ekspresi. "You still look beautiful in here."

"Aw, that's so sweet of you." Kael terkekeh. "Tapi, lain kali kalau muji pakai ekspresi dong, Pangeran. Biar orang-orang nggak mengira Anda ini lagi sarkas."

Remi mengambil lagi ponsel Kael, lalu kembali menjulurkannya dengan senyuman. Dia pun mengulang ucapannya, "You still look beautiful in here."

"Better." Kael tertawa. "Bisa bercanda juga ya ternyata Anda ini."

Remi hanya tersenyum. Dan Kael menyadari mereka sudah berkeliling di lantai ini. Dia pun berjalan ke arah eskalator untuk naik ke lantai atas diikuti Remi.

Ketika Kael menoleh ke belakang untuk mencari Remi, Remi seketika menahan napas karena jarak mereka hanya berselang lima senti dari sekarang. Tinggi mereka jadi sejajar karena Kael mengenakan sepatu hak tinggi dan Remi berdiri pada satu anak tangga di bawah Kael.

Remi mencengkeram birai eskalator. Sedikit memundurkan punggung. Menahan diri untuk tidak memajukan tubuh. Tadi itu dekat sekali, begitu mudah baginya untuk mencium bibir Kael jika dia berusaha mendekat.

Namun Kael terlihat biasa saja dengan kedekatan tadi. Atau mungkin Kael udah biasa deket-deket sama cowok?

Remi membuang muka sejenak, kemudian berdeham untuk mencairkan suasana. "Kenapa, Kael?"

"Euhm, nggak apa-apa. Cuma tadi mau nanya aja." Kael melangkah ke depan setelah eskalator sampai di lantai selanjutnya.

Saat Remi menoleh ke Kael, hendak bertanya apa yang ingin Kael tanyakan, Remi merasakan bahwa Kael sedang melihat ke sesuatu di belakang kepalanya. Dia terdiam dan mengikuti arah pandang Kael. Sontak pipinya memanas karena Kael sedang menatapi toko lingerie.

Kael segera melengang memasuki toko. Sedangkan Remi membatu, sadar diri bahwa tak seharusnya dia masuk.

Setelah beberapa langkah maju dan menyadari Remi tak mengikutinya, Kael berbalik dan mengernyit, "Ngapain cuma berdiri di situ?"

Remi balas ikut mengernyit. Memasang wajah gelisah. Masa iya dia harus menjelaskan kenapa dia berdiri di luar kios lingerie dan bukannya masuk ke dalam bersama Kael?

Kael mengibas tangan, mengajak masuk ke dalam. "Ayo masuk, Rem. Sambil ngobrol. Kita cuma punya waktu satu jam, kan?"

Itu memang benar. Remi pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Tapi ... apa harus sekali masuk ke kios lingerie? Kenapa Kael tidak masuk ke kios baju biasa saja? "Harus banget ke sini?"

Kael terdiam, kemudian tersenyum menggoda. Perasaan Remi jadi tidak enak. Kael pun mendekati Remi kembali dan menyeringai. "Aw ... saya membuat Pangeran merasa tidak nyaman, ya?"

Remi menautkan alisnya lebih dalam. "Istilah 'tidak nyaman' agaknya kurang cocok."

"Terus apa dong yang cocok? Pangeran ngerasa malu?" Kael terkekeh geli. Sementara Remi memasang wajah masam. "Udah, masuk aja, Pangeran. Ngapain malu coba? Kan nggak mungkin lo nggak pernah lihat toko lingerie sebelumnya."

Tentu saja Remi pernah melihat, ya Tuhan, dia tahu ada tiga toko lingerie di sini sebab ini adalah malnya. Yang jadi pertanyaan—dan juga akan dipertanyakan orang-orang yang mengenalnya di mal ini adalah: untuk apa dia mendatangi toko lingerie berdua bersama perempuan?

Remi memejamkan mata dan menghela napas. Why now? Kan bisa beli lingerie nanti, pikir Remi. "Harus sekarang kah lihat-lihat tokonya?"

"Of course, Remi! Itu desain-desainnya lucu. Lihat nggak yang bahannya lace gitu? Lucu tahu. Jadi pengin lihat-lihat ke dalem sana. Yuk ke dalem, sambil ngobrol!"

Orang-orang nggak pada ngelakuin ini di first date mereka, kan? pikir Remi, kemudian dia teringat kehidupan beberapa teman-temannya. Oh, iya, bahkan udah ada yang langsung had sex di pertemuan pertama. Lihat-lihat toko lingerie bareng kayaknya masih lebih jinak dibanding itu.

Mengambil napas dalam-dalam, Remi akhirnya mengikuti Kael untuk memasuki toko. Dalam hati berharap dia tak menyesali keputusannya sendiri.

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top