6 || Di Balik Dusta
FATMA selalu menunggu-nunggu saat di mana Remi ketahuan membawa perempuan ke apartemennya.
Sudah hampir lima tahun dia tak melihat Remi tertarik mendekati perempuan mana pun. Semua perempuan yang dekat dengan kakaknya itu selalu dekat karena alasan profesional atau hanya teman karib semata. Tak ada dari mereka yang pernah Remi bawa ke apartemennya. Fatma tahu bahwa bagi sang kakak, apartemennya adalah suaka, tempat menyendiri dari gempita kaum elitis. Sehingga tidak ada perempuan selain keluarga yang Remi persilakan datang. Namun, Fatma yakin bahwa suatu hari nanti, Remi pasti akan membawa satu perempuan ke apartemen dan kabar ini akan mudah terendus olehnya.
Dia hanya tak menyangka bahwa kejadian itu datang di hari ini.
Dan bahwa perempuan itu adalah idolanya sendiri.
Omaygat, Fatma hanya mampu menyebut dalam otaknya. Bibirnya terlalu kelu oleh rasa kejut. Oh, my God, gimana bisa Kael tetep kelihatan kayak bidadari jatuh dari langit cuma dengan pake kaos oblong gitu? Is she even human?
Dan yang paling penting, bidadari itu kini berdiri di depannya.
Di dalam apartemen abangnya.
Omaygat, Abang, omaygat. Fatma rasanya kehilangan napas padahal dia hanya mematung di tempatnya berdiri. Gila ya lo, Bang, nggak pernah bawa-bawa cewek ke apartemen tapi sekalinya bawa, ceweknya adalah Kael. Terguncang sudah jagat persilatan kalau semua orang tahu tentang kejadian ini!
Ohhh, semua harus tahuuuuu! Siapa coba yang nggak bangga punya calon kakak ipar kayak Kael, hmmm? Anak-anak gengnya Mariska yang belagunya minta ampun itu aja sirik berat pas tahu gue punya Abang macam Remi. Gimana nanti begitu mereka tahu kalau Kael jadi kakak ipar gue? Astaga, gue ngggak sabar mau cerita kejadian hari ini ke semua orang! And even better, Mami pasti seneng deh kalau tahu Abang udah tambatan hati yang baru! Kyaaahhh!
Senyum Fatma makin semringah menatap Kael. OH, THANK YOU, DEAR GOD, YOU BLESSED ME WITH SUCH A PERFECT DAY! Nggak salah deh rela bangun pagi-pagi demi jenguk Remi!
"H-hai...." Fatma melambaikan jari-jarinya ke arah Kael. Otaknya masih mengawang-awang membayangkan Kael dan Remi menikah. Dalam bayangnya, mungkin dia bisa terpilih menjadi salah satu bridesmaid Kael.
"Halo," Kael menyapa dengan senyumnya. Tubuh Fatma bahkan hanya mampu mematung ketika Kael tersenyum—cantik banget, ya Tuhan, make-up dia tadi malam bahkan masih flawless sampai pagi ini, I mean, just how? "Kamu adiknya Remi, ya?"
OMAYGAT DIA TAHU GUE! "I-iya...."
"Ah, mau jenguk Remi, ya? Maaf ya saya ganggu waktu kalian. Saya udah mau pulang kok."
Astaga Abaaanggg! Lo tadi malem ngapain aja sama Kael? "I-iya, Kak, santai aja nggak apa-apa. Kalau mau seharian sama Remi juga bebas kok," ujar Fatma sebelum menatap abangnya dengan mata membeliak meminta penjelasan. Dari matanya, Fatma ingin berseru, Bukannya lo harusnya lagi sembelit yaaaa?
Namun Remi tak membalasnya. Lelaki itu justru meminta Fatma dan Farel masuk sedangkan dia di luar sejenak bersama Kael di balik pintu tertutup.
Ketika hanya berdua bersama Farel, Fatma memelotot. "What the hell? Sejak kapan Abang jadi deket sama Kael? Rel, lo tahu sesuatu tentang kedekatan mereka belakangan ini? Kok gue bisa ketinggalan sih?"
"Nggak tahu," jawab Farel sambil duduk di sofa ruang tamu. "Duduk aja sini, tungguin Remi kasih penjelasan."
SANTAI AMAT MASNYA! Fatma ingin berseru, tetapi akhirnya mengikuti apa kata Farel.
Remi kembali memasuki unit apartemennya tak lama setelah mereka duduk. Sementara Fatma membayangkan bagaimana reaksi keluarganya nanti akan kejadian hari ini. Remizard Tanureja, abangnya yang luarbiasa santun, terhormat, baik-baik dan kaku itu setelah lima tahun absen mendekati lawan jenis, akhirnya membawa perempuan ke apartemennya. Perlu digarisbawahi bahwa ini dibawa ke apartemen, bukan restoran, mal, kelab malam, ataupun hotel. Apartemen. Mengenal abangnya seumur hidup membuatnya tahu bahwa siapa pun perempuan selain keluarga yang Remi bawa ke apartemen pasti tidak main-main.
Serius nih pasti si Abang, orang dibawa ke apartemen gitu, pikir Fatma. Nanti mereka nikahnya gimana, ya? Bakal diadakan di hotelnya Papi atau dari salah satu hotelnya keluarga Soerjodiningrat? Bakal dilaksanakan di Jakarta, Bali, atau mungkin luar negeri? Yang mana pun nggak masalah sih sebenernya karena baik Papi sama keluarga Soerjo kan sama-sama punya hotel di Jakarta dan daerah-daerah wisata. Tapi, modelan old money mah harus hotel bintang lima dan hotel bintang limanya Papi cuma ada di Jakarta. Atau mungkin, mereka mau sewa pulau sekaligus vila-vilanya gitu buat para tamu? Keluarga Soerjo mah pasti lebih dari mampulah ya.
"Gue nggak ngerti," ujar Farel yang duduk di samping Fatma. Sementara Fatma masih berkhayal tentang pesta pernikahan abangnya dan idolanya. "Kenapa Kael bisa ada di apartemen lo, Rem? Apa kalian berdua tadi malem sama-sama sembelit gitu?"
Sontak, Fatma memelotot atas kesimpulan Farel yang membuat khayalannya agak tersendat. Excuse meee? Sembelit berdua? Helloooww, kalau kayak gitu ya ngapain juga mereka seapartemen bareng, dodol? "Ya kali. Kalau mereka sembelit berdua harusnya mereka ke klinik berdua, bukan seapartemen berdua," tukas Fatma.
Farel memutar bola mata. "Ya gue tahu, Oneng. Gue tuh tadi cuma bercanda."
"Bercanda apaan nggak ada yang ketawa gitu. Abang aja datar-datar gitu mukanya."
"Itu mah udah setting default muka abang lo. Kapan sih lo pernah lihat Remi ketawa lepas gitu ngelihat orang ngelawak?"
Fatma hanya memutar bola mata dan tak membalas. Khayalannya tadi padahal sudah sampai ke gaun pengantin dan interior pernikahan macam apa untuk Kael dan abangnya. Dia sedang membayangkan desain mewah pernikahan Remi dan Kael serta kepuasan batin melihat wajah dengki Geng Mariska yang sirik kepada dirinya. Hah! Nggak sabar lihat muka penuh kekalahan mereka, tapi ditutup-tutupin pakai muka benci sok-sok ngerendahin padahal mah sirik! Sebab dia akan memiliki Kael sebagai kakak ipar. Pestanya pasti megah, soalnya, ini Kael gitu loh, pikir Fatma, masih berkhayal tinggi sedangkan kedua lelaki di ruang tamu terlihat serius.
Remi mengernyit, masih terpaku pada bagaimana adik dan sahabatnya datang di saat Kael baru saja mau pulang.
Farel cepat menarik benang merah atas kabar kepergian Kael tadi malam dan kepergian temannya. "Ada cowok yang ikut mobil Kael pas Kael pergi dari pesta," ujar Farel bagai pernyataan. "Jadi cowoknya itu elo, Rem?"
Remi hanya mengalihkan wajah.
Cukup dari wajah itu sebenarnya Farel sudah bisa mengambil kesimpulan. Namun dia memilih memberi pertanyaan yang mudah dijawab Remi dahulu. "Jadi nih lo sebenernya beneran sembelit apa kagak?"
"Enggak." Mulut Remi terasa berat untuk berucap. Dia tak biasanya mengelabui orang seperti ini. Terlebih mengelabui teman baik dan keluarganya sendiri. Niatnya hanya ingin sedikit berbohong untuk tak menambah masalah sebab dia tahu betapa hal tentang Kael bisa dibesar-besarkan cukup dari kabar selentingan saja. Tapi, mungkin Kael benar. Mungkin dia memang tak berbakat berbohong. Atau mungkin ini karena situasinya tidak berjalan sesuai prediksinya saja.
Farel kembali bertanya, "Terus gimana ceritanya Kael bisa tiba-tiba ada di apartemen lo, sedangkan lo aja baru tahu siapa dia tadi malem? "
"Iya nih," Fatma menimpali dengan wajah penasaran. "Lo kan nggak pernah bawa-bawa cewek ke sini. Detailnya sampai akhirnya kalian bermalam berduaan di apartemen lo itu gimana, Bang? Cerita-cerita dong! Masa lo deket sama Kael nggak cerita-cerita ke gue, sih. Gue kan ngefans sama dia dari lama."
Remi sudah meyakini bahwa hal itu akan terseret juga. "Pas keluar kamar mandi hotel tadi malam, gue lihat ada Office Girl jatuh, kakinya terkilir. Pas gue mau bawa ke klinik, Kael keluar dari kamar mandi cewek dan nawarin buat anterin kami ke klinik."
"Abis dari situ? Kok bisa ada di sini pagi-pagi?"
"Habis dari klinik dan anterin si OG pulang, gue diajak Kael minum di bar. Nggak tahunya Kael mabok, hapenya lagi rusak, jadi gue bawa ke apartemen gue."
"Lho? Terus kenapa lo nggak telepon gue?" ujar Fatma. "Gue kan masih di pesta, Bang. Gue bisa kok kasih tahu ke Shasha kalau kakaknya lagi mabok dan dia bisa jemput saat itu juga."
Karena emang nggak kepikiran, Fatma, gue panik lihat keadaan dia pas mabuk, batin Remi. "Kael nggak mau. Katanya nanti ngerepotin. Shasha kan juga mau seneng-seneng di pesta."
"Iya sih, tapi jadinya Shasha tuh panik pas Kael nggak balik-balik. Ditelepon juga nggak diangkat."
"Karena itu tadi, hapenya rusak."
"Terus, lo nggak...." Fatma berhati-hati bertanya, "Lo nggak apa-apain Kael, kan?"
Remi paham apa yang adiknya maksud. "Enggak. Gue cuma bawa dia ke kamar tamu, terus gue tidur di kamar gue sendiri."
Fatma terdiam. "Gue percaya sama lo kok, Bang. Cuma ya, kan kali aja lo juga agak mabok, terus nggak sadar begituan sama Kael tanpa pengaman, terus tahu-tahu Kael hamil dan lo harus tanggung jawab nikahin dia."
Farel mendengus. "Kurang-kurangin nonton sinetron, Dek."
"Ih, bukan di sinetron ini mah. Ini tuh dulu ada temen SMP gue dihamilin pacarnya. Kalau lihat-lihat mah ya kasus begini tuh nggak sedikit."
"Tapi kan Remi bukan bocah ingusan. Have a faith on your brother."
"Iya, sih. Tapi ya namanya manusia juga punya batasannya gitu. Mana Kael kan cantik, nggak mungkin cowok nggak tergoda walau cuma sedikit. Ya kan, Bang?"
Remi tak memungkiri. Fatma benar. Mungkin malam ini dia masih cukup waras dan terkontrol untuk menahan diri. Tapi lain kali bisa jadi tidak seperti itu. Lain kali, bisa jadi justru dirinyalah predator yang memanfaatkan kondisi mabuk Kael. "Iya."
"Tapi, tapi, ini kalian bener-bener baru kenal hari ini? Bukan udah kenal dari lama gitu?" tanya Fatma dengan mata penuh harap. Entah harapan apa, Remi tak bisa menebak. "Mungkin diem-diem lo udah temenan lama sama Kael tapi nggak kasih tahu ke kami?"
"Enggak. Gue baru kenal dia kemarin."
Fatma menatapnya skeptis. Remi merasa dia akan diinterogasi. Mata adiknya itu menatap dengan tatapan menyelidik. "Do you like her?"
Remi memandang ke arah jendela, mengangkat bahu, berusaha terlihat santai. "Well, she proved herself to be a good drinking companion."
"Oke, kayaknya gue kurang jelas. Pertanyaan gue harusnya: do you feel romantically attracted to her?"
Jika tadi Remi agak panik, kali ini Remi membeku. Pertanyaan itu benar-benar menyentaknya dan terlalu terus terang untuk dia abaikan.
Sepasang alis Fatma sedikit terangkat. "So it's a yes."
"Jangan main tarik kesimpulan gitu aja," ujar Remi, lalu menatap lantai, mengetuk-ngetukkan tumitnya dan menarik napas. Kemudian mengatakan hal singkat yang dia pikir sudah bisa menjadi sebuah penjelasan, "She's pretty."
"Makasih atas pengetahuan umumnya, Bang. Tapi, gue nggak buta."
"I mean, she's pretty. So of course I'm attracted. It's normal." Remi menatap Farel, mengangkat tangannya ke arah sahabatnya itu. "Farel pun mengakui, kok."
"Well, dude." Farel terkekeh dan mengangkat kedua tangan. "I know she's pretty. Tapi di sini yang menghabiskan satu malam bareng Kael yang lagi mabok itu elo, bukan gue. Karena itulah Fatma nanyain lo kayak tadi."
Remi mengernyit ke arah adiknya. "Emang maksud lo nanya hal tadi buat apa?"
Fatma bergumam panjang sambil tersenyum. "Ya ... nggak apa-apa, sih. Cuma maksud gue, kalau lo tertarik ya pepet aja gitu. Siapa tahu jodoh, kan, hehe."
Remi tak berekspresi. Sedangkan Farel angkat bicara, "Okay, I won't lie. Gue kurang setuju kalau lo deketin Kael." Lelaki itu berdeham. "Nggak, gue nggak setuju bukan karena gosip-gosip buruk tentang Kael-nya. Tapi karena nama hitam keluarganya bukan sekadar gosip. Lo tahu itu, Rem."
Tentu saja Remi tahu. Remi mengingat jelas kisah yang dituturkan korban dari hausnya keluarga Soerjodiningrat untuk berkuasa lebih. Tak sedikit korbannya. Dan tak sedikit pula yang mulutnya dibungkam oleh keluarga itu—entah oleh cara halus maupun kasar.
Terlalu berbahaya dan terlalu kuat untuk lo hadapi sendirian, Rem, pikir Remi, mengetahui fakta itu bagai membalikkan telapak tangan. Is she worth the risk, though?
"Tapi," lanjut Farel, mengangkat kedua tangannya. "Gue nggak akan menekan lo untuk nggak ngedeketin Kael. Asalkan lo paham risikonya aja. The choice is yours."
"Hubungan kami nggak sejauh itu, Rel," balas Remi. "Kami cuma minum bareng, ngobrol biasa, udah."
"Ngobrol 'biasa'nya ini bikin lo jadi pengin sayangin si Kael, nggak? Biasanya orang tuh kalau lagi high bakal lebih terbuka tentang sisi lain hidup dia." Farel mendengus terkekeh melihat wajah Remi. "Duh, udah deh, Rem. Gue tuh udah hafal kelakuan lo. Ini ibarat lo di tepi jurang, ya. Tinggal disentil aja, jatoh udah lo."
Sialnya Remi tak bisa menyangkal.
"Gue nggak nyalahin lo kalau emang lo tertarik," ujar Farel. "Gue nggak buta. Kael itu cakepnya keterlaluan. Lo yakin lo nggak akan gerak buat deketin dia? Masalahnya kalau lo mau deketin, cepat atau lambat lo juga harus hadepin keluarganya."
Jelas tak salah Farel mempertanyakan. Kael tak hanya cantik yang enak dilihat. Kecantikan Kael menyilaukan, membuat napas siapa pun tercuri kala mata mereka berlabuh pada paras Kael. Bahkan cukup dari kecantikan itu saja, Remi yakin banyak lelaki rela membunuh untuk mendapatkannya.
Tapi, Remi telah melihat lebih dari sekadar kecantikan.
Dan dia cukup sadar bahwa dia menginginkan lebih dari teman.
Tapi itu nggak mungkin, Remi mengingatkan diri. Kondisinya nggak memungkinkan. Mending sadar diri dari awal.
"Kami cuma orang asing yang dipertemukan keadaan, trus jadi teman minum-minum," ujar Remi. "That's it, and that's all. Hubungan terjauh yang bisa kami jalani paling temenan. Nggak akan bisa lebih juga karena gue yakin keluarganya nggak akan setuju Kael sama OKB kayak gue."
"Well, to be fair sih, Bang. Emaknya Kael pun dulu nikahnya sama OKB kok sebelum akhirnya sama si Om Umbhara," ujar Fatma. "Dan ada juga adiknya Tante Rosaline yang cewek nikah sama cowok biasa. Yah ... walau sampai sekarang udah nggak tahu gimana kabarnya lagi sih karena nggak pernah muncul di acara-acara lagi setelah nikah."
"Yang itu bukannya diusir, ya? Makanya nggak muncul-muncul lagi di acara mana pun?" tanya Farel, lalu menutup mulutnya dan menatap Remi. "Sori, nggak bermaksud nakutin. Tapi itu pun masih belum nakutin, sih. Yang adik bungsunya Tante Rosaline, coba." Farel meringis. Air mukanya terlihat ngeri. "Dibunuh."
"Itu semua cuma gosip, kan," ujar Remi. Kemudian buru-buru menambahkan, "Tapi, mau itu gosip ataupun bukan ya nggak jadi masalah. Karena gue juga nggak mungkin ngebiarin keluarga kita masuk ke lingkaran keluarga Soerjodiningrat."
"Yakin lo?" Farel terlihat skeptis. "Ntar tahu-tahu Kael nongol di depan lo sambil senyum aja lo langsung luluh lagi."
Kenapa tebakannya setepat itu? "Kans gue sama dia tetep sangat kecil."
"Tapi lo mau, kan?" tanya Farel. "Ini bukan soal berapa persen kans lo berhasil dan bukan masalah Kael anak old money dan kita semua OKB. Ini masalah kemauan lo. Yang namanya manusia tuh selama ada kemauan pasti ada jalan. Jadi selama lo mau jadian sama Kael, lo pasti bakal nyari celah buat deket sama dia."
"Tapi nggak semua kemauan kita harus kita turuti kan, Rel?" Remi bertanya retoris. "Ibaratnya, hanya karena gue benci sama orang dan mau orang itu mati, bukan berarti gue akan membunuh dia. Karena itu hal yang salah."
"I know. Tapi ngedeketin cewek yang lo suka itu bukan hal yang salah—tentunya selama kalian sama-sama lajang. Yang jadi masalah cuma risikonya gede aja berhubung Kael keturunan Soerjodiningrat. Lagian, emang sekuat apa sih lo menahan diri dari keinginan untuk mendapatkan orang yang lo suka?"
Remi tahu Farel memang benar. Dan dia benci itu karena dengan demikian, segala alasan bertahannnya untuk tidak mendekati Kael akan mudah retak.
"Here, Remi," lanjut Farel. "Pedekate lo ke cewek itu harusnya jadi hal personal dan nggak perlu gue intervensi. Tapi masalahnya, Rem, lo tertarik buat menjalin hubungan sama Kael. Dan berhubungan dengan trah Soerjodiningrat bakal jadi bom waktu buat siapa pun yang mau engage ke keluarga itu. Yang udah telanjur kerja sama mereka mungkin udah pasrah. Tapi kita belum—dan enggak berniat—engage sama mereka, Rem. Kita harus manfaatin masa ini sebaik-baiknya sebelum salah satu dari anak usaha Rembangi ada yang tertarik buat ngerecokkin perusahaan kita."
Lagi-lagi, Farel tidak salah. Sebagai anak dari orangtua yang bekerja sama membentuk perusahaan yang kini menjadi tempat mereka bekerja, Farel sangat berhak untuk mengingatkannya. Namun argumen Remi selalu sama, "Kael nggak akan deketin gue untuk bikin hubungan kami jadi lebih dari teman. Trust me."
"Pegang ya omongan lo. Karena kalau dia sampai sedikiiiit aja ngerayu lo, udah pasti lo bakal langsung jatuh."
Remi tidak menyangkal.
"Ya udah, nih. Jadi lo nggak sakit beneran, kan?" tanya Farel sambil berdiri. "Cabut nih gue main basket."
"Sama siapa?"
"Sama anak-anaklah."
'Anak-anak' yang dimaksud adalah teman-teman dekat mereka. Dan alis Remi pun seketika bertaut, protes. "Kenapa lo nggak ajak gue?"
"Ya kan lo lagi sakit. Lagian lo emang nggak baca grup chat tadi malem?"
"Ngapain baca. Chat-nya sampe ratusan. Lo semua habis bahas apaan emangnya?"
"Biasalah. Share link."
"Share link apaan yang chat sampai ratusan?"
"Yang ena-ena."
"Mana ada. Kalian kalau lagi share link gituan nggak ada cerita chat-nya sampai ratusan." Remi meraih ponselnya untuk mengecek sendiri. "Chat ratusan tuh pasti lagi ngomongin orang."
Farel terkekeh-kekeh. "Ya ngomongin orang, bener. Orangnya itu artis bokepnya!"
"Nggak percaya gue." Remi membuka grup obrolan teman-temannya untuk memastikan. Dia hampir membuka tautan pertama yang ada di bagian awal pesan-pesan tak terbaca grupnya. Namun, dia menahannya dan menyadari keberadaan Fatma. "Feeling gue kayaknya ini prank."
"Buka aja dulu." Farel bersandar di meja dapur. "Suaranya di-mute kalau perlu."
"Ada Fatma."
"Gue diem-diem aja kok," ujar Fatma sambil menatap ke arah lain. "Tenang aja keleus. Gue nggak akan bilang-bilang juga kalau kalian share link gituan."
Remi menutup grup obrolan dan menyimpan ponselnya. Dia lalu mendekati adiknya sambil meletakkan kedua tangan di bahu Fatma. "Fatma," panggil Remi dengan tenang. Matanya memandangi wajah Fatma dengan begitu serius. "No words about this morning to anyone."
Fatma tersenyum kecut. "Iya, iya, aku diem-diem aja kok nggak akan bilang ke Mami kalau Abang suka nonton gituan."
"Gituan apa? Abang lagi ngomongin Kael."
"O-oh." Fatma baru paham. "Euh ... emang kenapa?"
"Nanti jadi bahan omongan banyak orang."
"Emang kalau jadi omongan banyak orang, kenapa? Cuekin aja kali."
Tentu mudah untuk mengabaikan, tetapi keadaannya nanti takkan semudah itu. Remi awas bahwa kabar ini akan menimbulkan beragam rasa penasaran dan berakhir dengan dirinya diinterogasi para lelaki tentang bagaimana aksi Kael di ranjang dan seterusnya. Namun tentu Remi tak bisa mengatakannya secara terang-terangan kepada Fatma yang masih abege ini. "Just do it."
"Ya nggak bisalah, Bang. Kael tuh kan idola gue sama temen-temen gue. Masa gue nggak boleh ceritain kejadian gue ketemu idola, sih? Aneh-aneh aja deh lo."
Wajah Remi makin serius. "Fatma, I'm asking you as a brother."
Fatma terlihat agak melunak. "Tapi, Bang...."
"No words about this to anyone."
"B-but I just—"
"No words." Remi menegaskan. "Not. A. Single. Word."
Fatma menggigit bibir. Wajahnya terlihat tak terima karena dia jelas gatal untuk membicarakan Kael bersama teman-temannya—maksud Fatma, kapan lagi bisa bercerita tentang pertemuannya dengan Kael yang membeli gaun ratusan juta seperti membeli kacang pinggir jalan? Namun beberapa saat kemudian, Fatma mengangguk pasrah. "Iya, Bang."
Remi menurunkan tangannya. "Kamu tadi ke sini naik apa?"
"Naik mobilnya Farel."
"Ntar pulang sama Farel lagi?"
"Nggak usah. Kan katanya tadi Farel sama lo mau main basket. Gue naik taksi aja."
"Ya nggak apa-apa. Remi kalau mau ikut mah berangkat sendiri aja. Orang lapangan basketnya deket kok," ujar Farel, bangkit dari sofa dan menatap Remi. "Gue anterin Fatma pulang dulu. Lo jadi ikut main kan ntar?"
"Iya." Remi mengangguk. Mengantar mereka hingga ke luar pintu. Di sana, Fatma pun memeluk kakaknya.
"Ntar gue bilang ke Mami kalau lo udah sembuh. Gue pulang dulu," ujar sang adik.
"Makasih." Remi melepas pelukan Fatma untuk menatap adiknya dan Farel. "Maaf jadi ngerepotin kalian."
"Santai bosku." Farel mengibas tangan. "Besok lo ngantor, kan?"
"Iyalah."
"Pegang omongan lo, ya. Awas aja Kael muncul trus lo langsung luluh."
Remi tahu mengiyakan kalimat terakhir Farel itu sama saja berbohong. Dia hanya bisa memegang keyakinannya bahwa selama Kael tak berusaha mendekatinya, dia akan kuat menahan diri. Akhirnya, Remi hanya bilang, "Hati-hati," sambil menatap Fatma dan Farel yang beranjak pergi.
[ ].
17.06.2019
A/N
Just a little aesthetic for this chapter because, why not? This was made with Photoshop.
For more aesthetics, go check my instagram @crowdstroia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top