5 || Di Balik Pintu
BAYANGAN tirai abu-abu, tembok putih, dan lantai pualam berwarna krem adalah hal pertama yang mengisi netranya pagi ini.
Kael memejam, perlahan bangkit dari posisi tidurnya. Matanya terbuka meski berat. Dan cukup sekali lihat interior kamar mungil yang ditempatinya kini, Kael seketika tahu dia tidak sedang berada di kamarnya sendiri.
Dia terkesiap. Berusaha mengingat-ingat kejadian semalam, kemudian mengecek tubuhnya. Napasnya terhela lega melihat pakaiannya tadi malam masih lengkap. Dan menilik dari pakaiannya sekarang, Kael perlahan mengingat apa yang telah terjadi: dia mengganti gaunnya dengan setelan pakaian kasual ini; dia mengantarkan seorang pramubakti ke suatu klinik dan ada yang menemaninya.
Remi.
Kael segera bangkit dari kasur, tetapi dilanda pusing dan mual yang amat hebat begitu berdiri. Dia pun berlari ke pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur ini, kemudian mengeluarkan isi perutnya di toilet.
Menarik napas, Kael berdiri di depan cermin dan memandang pantulan dirinya. Rambutnya agak berantakan, tetapi wajahnya masih terlihat cantik dengan riasan on point—hanya sedikit pudar di beberapa bagian tapi secara keseluruhan masih terlihat presentable. Baru di saat-saat inilah Kael kembali tahu betapa tangguh riasannya setelah lebih dari dua belas jam pemakaian plus tidur semalaman.
Dia menghabiskan beberapa menit di kamar mandi sebelum keluar. Langkahnya melaju ke tirai. Disingkapnya tirai tersebut, menampilkan kaca berembun dari luar. Langit terlihat mendung. Di balik jendela, terdapat lanskap gedung-gedung tinggi dengan kolam renang besar di bawah. Dari sini Kael menyimpulkan bahwa Remi membawanya ke apartemen setelah mabuk.
Kael keluar kamar, menangkap suara desisan masakan di wajan panas dan gerakan tumis-menumis dari spatula. Kaki Kael melangkah ke sumber suara hingga dia tiba di dapur terbuka dengan furnitur biru gelap. Di balik meja dapur dengan tiga kursi tinggi berwarna hitam, Kael melihat sosok lelaki sedang memasak sesuatu yang beraroma seperti daging asap. Dia juga mencium aroma roti panggang. Perutnya sontak meronta. Tetapi Kael cukup tahu diri karena dia tahu dia pasti sudah merepotkan Remi. Dia tak ingin menambah kerepotan dengan meminta-minta makanan—meski dia yakin Remi pasti tak keberatan.
Mata Kael memandangi punggung dan tangan Remi yang bekerja saat memasak. Kepalanya menggeleng. Orang-orang pasti bersedia membayar untuk lihat dia bikin sarapan dari belakang, even his back is attractive, pikir Kael. Namun Kael tahu ini bukan waktunya menikmati pemandangan.
Sebagai pembuka, dia mendekat sedikit dan berdeham. Remi berhenti bergerak dan menoleh ke belakang. Pria itu tak berekspresi apa-apa. "You're awake," ujar Remi sebagai pernyataan.
Kael menatap Remi yang kembali memasak dengan tenang sebelum meletakkan daging asapnya ke piring. Dia baru sadar bahwa ada dua piring di sana. "Itu makanan ... buat siapa?"
"Buat kita berdua." Remi lanjut mengambil beberapa butir telur untuk dimasak. "Telurnya matang atau setengah matang?"
"Mm ... mana aja nggak masalah." Kael agak ragu. Dia sudah merasa sangat merepotkan Remi. Jadi rasanya agak sungkan jika merepotkan lelaki itu lagi meski hanya sarapan. "Ada yang bisa gue bantu?"
Remi menoleh sekilas, lalu mundur dari posisinya memasak telur dan menunjuk tabung-tabung kaca dengan keterangan bumbu dapur. "Bumbu-bumbunya ada di sana."
Kael maju dan memasak telur mata sapi. Matanya mengikuti tubuh Remi yang berlalu ke kulkas. "Rem, lo mau matang atau setengah matang?"
"Setengah matang." Remi mencari-cari sesuatu dari dalam kulkas. Kemudian meraihnya dan meletakkannya di atas meja.
Kael selesai memasak telur dan meletakkannya di piring. Masing-masing piring mendapat jatah dua butir telur. Kael meletakkan piring mereka di atas meja, lalu duduk di kursi tinggi sementara Remi mendekatkan sekaleng susu ke dekat Kael. "Minum itu dulu," ujar Remi sebelum memulai sarapannya sendiri.
Kael memandangi sekaleng susu beruang yang diberikan Remi, kemudian meminumnya sampai habis. Dia dalam hati berterima kasih atas kebaikan Remi, tetapi Kael cukup menyadari pilihan Remi yang duduk dengan selang satu kursi darinya, tidak tepat duduk di sebelahnya. "Apa gue mabok parah banget tadi malam?"
Remi bahkan tidak meliriknya. "Lumayan."
"Did I created a mess?"
"Not really. Kamu cuma banting hape. Nggak ada orang yang terluka."
"Hape gue sendiri, kan?"
"Hm."
Kael menggaruk rambutnya. Dia pun mengangkat tangannya ke meja. Merasakan dingin dari marmer mengilap yang mengalasi meja dapur. "So, what have I done last night?"
Remi menelan rotinya. "Minum, mabuk, tidur."
Mata Kael menyipit sangsi. "That's it?"
"Well, kondisimu waktu mabuk cukup merepotkan untuk diurus."
"No, I mean ... did we....?"
Remi terdiam, sedikit memutar badan untuk menatap mata Kael, berusaha memahami maksud gadis itu tanpa menyadari tatapannya membuat Kael agak menciut. Sesaat kemudian, Remi kembali menatap sarapannya. "Kita nggak ngelakuin apa-apa. Saya cuma angkat kamu ke kamar tidur tamu, terus saya tidur di kamar saya sendiri."
Kael kembali memandangi piringnya dan mulai makan. Mereka makan dalam diam. Kael mengunyah sambil melihat dapur terbuka yang berhadapan langsung dengan ruang tamu. Pintu geser kaca ruang tamu yang tirainya terbuka masih menampilkan suasana mendung. Kael kembali menatap mejanya. "Kenapa nggak ada meja makan?"
"Ini meja makan."
"Bukan, maksudnya, ini meja makan nyatu sama dapur kayak meja bar. Kenapa nggak ada meja makan biasa?"
"I live alone. Jarang ada tamu juga jadi meja makan konvensional cuma menuh-menuhin tempat."
Kael tak tahu harus merespons apa untuk jawaban jujur itu. Dia sadar memang lebih masuk akal dan efisien menggunakan perabotan seperti ini daripada menghabiskan tempat untuk meja makan. "But it's really cold."
"Excuse me?"
"Maksudku, mejanya." Kael mengetuk alas marmer meja dapur Remi. "It feels really cold."
Remi mengernyit, sekilas menatap Kael, lalu mendekat dan membuat Kael agak terkejut. "Permisi," ucap Remi sebelum meletakkan tanganya di atas dahi Kael. Kemudian dia kembali mundur ke posisi awalnya. "Ini marmernya nggak dingin. Kamu yang badannya lagi panas, jadi mungkin kerasa dingin banget. Nanti habis sarapan saya kasih obat."
Remi pun turun dari kursi menuju meja ruang tamu. Dia meraih remote dan mematikan AC-nya, kemudian kembali ke kursinya melanjutkan sarapan.
Bibir Kael sedikit terbuka menyadari apa yang dilakukan Remi. Good Lord, is he even human? "Seandainya ada lamaran kerja jadi malaikat, lo pasti bakal lolos tanpa syarat."
Yang membuat Kael kaget, ternyata ucapannya itu berhasil membuat wajah Remi yang dari tadi kaku menjadi terkekeh. Lelaki itu membalas, "Is that so?"
"Yeah. You're so kind."
Remi tersenyum. "Jangan terlalu tinggi menilai saya. Saya nggak sesuci itu."
"I know. Karena orang bisa berlaku sebaik ini ke orang asing alasannya either karena ingin merasa dirinya baik hati, atau karena ada maksud terselubung ke orang yang ditolong." Kael menatap tubuh Remi yang membeku. "Lo yang mana, Rem?"
Remi menyendok telur mata sapinya. "Ngaco. Jangan berprasangka buruk dulu."
"Dih, emang siapa yang nganggep alasan-alasan itu buruk selain elo? Gue kan nggak bilang itu buruk."
Remi menyipitkan mata. Kael menyeringai.
"So ... which one is it?" tanya Kael sambil menggigit rotinya. "Yang ada maunya, atau yang ingin merasa baik hati?"
Remi tak menjawab. Dia cuma memakan sarapannya dengan wajah agak masam.
Kael menyengir dan mendekati Remi. "Aw ... are you mad at me because you feel exposed?"
Remi tak juga menjawab. Dia menghabiskan roti dan daging asapnya. Kael pun menarik napas.
"Remi, gue aware sama gimana kelakuan gue kalau gue lagi mabok," ujar Kael, kali ini dengan nada lebih serius. Dan hal ini berhasil menyita perhatian Remi. Kael tahu Remi mendengarkannya meski Remi belum juga menatapnya langsung. "Remi, you took care of me very well," lanjut Kael. "Lo nggak manfaatin kondisi gue pas mabuk, dan lo bahkan nggak terlihat keberatan bantuin gue dan jagain gue pas gue lagi high. So actually I just ... I don't know how to say thank you for that."
"Just say thank you, then," ujar Remi. "Kenapa dibikin pusing?"
"Karena buat gue, sekadar mengucap terima kasih nggak cukup untuk balas utang budi."
"Then what do you want?"
"Seharusnya gue yang nanya itu."
Remi terlihat agak ragu untuk mengatakan sesuatu. Namun Kael menyadari kebimbangan wajah itu.
"What is it?" tukas Kael.
"Apanya yang apa?"
"You look like you want to ask something."
"Well, apa kamu bakal jawab pertanyaan saya dengan jujur, kalau saya tanya apa pun itu?"
"Depends on the question."
"Oke." Remi menyilangkan tangan di atas meja. Berdeham sejenak. "Apa hal yang kamu takutin pernah kejadian dulu?"
"What?"
"Hal yang kamu takutin terjadi di antara kita pas kamu mabuk. Apa pernah kejadian di masa lalu sama orang lain?"
Kael mengerjap dengan mulut terbuka. Agak terpengarah dengan keterusterangan pertanyaan Remi. "That's ... quite a personal question."
"So it's a yes."
"Don't assume things like that."
"Who's the guy?"
Jika Kael tak salah dengar, dia bisa berpikir Remi sekarang sedang menahan marah. "Trus apa kalau udah gue sebut namanya? Lo mau ngapain orangnya?"
"Cukup tahu aja supaya dihindari, dan supaya adik saya yang cewek nggak berurusan sama dia."
"I don't believe that."
Lucu, Remi sendiri juga tak memercayai omongannya ini.
"It's not that simple, Remi," ujar Kael, terlihat ragu. "Nggak sesimpel gue bisa kasih tahu siapa orangnya, terus orang-orang bisa ramai-ramai menghakimi dia."
"Memang dia siapa? Mantan kamu? Orang penting keluarga old money?"
Kael mengabaikan nada ketus Remi. "No—well, not really. But I've told you, it's not that simple to spill the truth."
"Gimana bisa kamu nggak mau kasih tahu siapa orangnya? Gimana kalau sexual predator ini melakukan hal yang sama ke cewek-cewek lain?"
"It's not safe, Remi. Please understand."
"Mana bisa saya paham kalau kamu bahkan nggak kasih tahu duduk permasalahannya gimana."
Kael menatapnya dengan memohon. Dan meski Remi tetap pada pendiriannya, Remi mengendurkan diri dengan berkata lembut, "Kalau kamu dijebak sampai mabuk terus dimanfaatkan kayak gitu lagi, gimana? Siapa yang bakal ngelindungin kamu?"
"I was being reckless, I know. But I swear, gue nggak akan seteledor ini lagi. Terakhir kali gue mabuk itu udah sekitar tiga tahun lalu. Kali ini bener-bener emang gue teledor. This won't happen anymore. I promise."
Bukan itu balasan yang Remi harapkan. Namun Remi tak mengungkitnya. "Lain kali, tolong pastiin kamu lagi sama orang yang kamu percaya kalau mau minum. Kalau misal kejadian tadi malam dilihat sama orang lain, bisa jadi kamu justru diapa-apain."
"I know, I know. I was being reckless. It won't happen again." Kael menarik napas, lalu menatap Remi dengan alis tertaut dan mata memohon. "Jangan marah."
Remi hanya melanjutkan sarapannya sampai habis.
Sarapan Kael akhirya juga habis beberapa saat setelah Remi meletakkan piringnya di wastafel. Kael menawarkan diri untuk mencuci peralatan makan mereka. Sedangkan Remi pergi meninggalkannya di sana sejenak.
Ketika Kael sudah selesai cuci piring, Remi baru kembali ke dapur Kael sebentar untuk memberikannya obat. "Mungkin baiknya minum beberapa jam lagi. Soalnya tadi kamu udah minum susu," ujar Remi, mengulurkan tablet obat berbungkus kepada Kael.
Kael menerima obat itu sambil menatapi Remi yang menghilang ke arah kamar. He definitely is the Prince Perfect, pikir Kael. Charming enough without the need to be a bad boy. Simply pure charm and kindness. Simply a gentleman. Simply angelic, seperti lamunan siang bolong para perempuan.
Setelah Remi kembali membawakan kunci mobil dan ponsel Kael yang rusak, Kael pun berterima kasih dan pamit pulang. "It's fun having you as my drinking companion. Let's do it again sometimes. Dan janji, lain kali gue nggak akan mabok."
Remi cuma tersenyum dan membuka pintu keluar. "Atur aja kapan waktunya."
Kael tersenyum, hendak melangkah maju tetapi dihalangi oleh tangan Remi yang membeku di depannya. Di depannya, Kael melihat dua orang berwajah familier dari pesta tadi malam yang berdiri menatapnya dengan wajah terkejut. Mata kedua orang tamu itu bergantian menatap Remi dan Kael. Kael tak tahu harus merespons apa selain tersenyum dan menganggukkan kepala untuk gestur menyapa.
Namun kalimat yang kemudian diucap Remi persis seperti para lelaki yang tertangkap basah istrinya melakukan seks dengan orang lain, "Gue bisa jelasin semuanya."
[ ].
10.06.2019
A/N (you can skip this one)
Ok since I'm more interested with RemiKael characterizations, gue mau jelasin gimana adaptasinya dari karakter Capt A dan maylaff Natasha Romanoff ke karakter RemiKael.
Here's a short summary of what I thought about Capt A: dia tuh cowok sempurna, dan karena sempurna jadinya dia boring. HAHAHA SORRY. I mean, c'mon, dia ganteng banget astaga mukanya kek dipahat dewa. And even tho I prefer Hiddleston and Benedict Cucumber over Chris Evans, I agree that Chris Evans is universally hot, which make Capt A also physically attractive for any human being alive. Lebih lagi, Capt A itu baik, sopan, gentleman, dan bertanggung jawab. Kalau cewek awam tahu tentang Capt A ya mereka udah pasti anggap si Capt itu suami idaman. But—and this is a big BUT—Capt itu unreachable.
Iya, Capt itu baik, sopan, tapi dia nggak necessarily ramah karena dia selalu jaga jarak dari orang, dan hal ini bikin dia terasa unreachable. Di mata orang awam pun bisa dibilang Capt tuh dingin (sebenernya 'dingin' karena dia selalu jaga jarak aja). Capt terasa unreachable karena Capt selalu merasa dia gak belong di dunia masa kini setelah dia bangun dari peti es, makanya dia jaga jarak walau tetap bisa ngobrol baik-baik dengan sopan ke orang (he's a gentleman duh). Dia selalu merasa dia belong to live in the past. Makanya dia merasa kesulitan buat beradaptasi dengan kehidupannya di masa kini. Dan di saat-saat itu, Natasha secara nggak langsung membantu dia untuk beradaptasi dengan jadi teman yang selalu ada kalau Capt butuh.
Tapi itu interpretasi gue sendiri terhadap karakter Capt A, kalau interpretasi kalian beda ya bebasla. Interpretasi ini yang gue masukkin ke karakter Remi. Apakah dengan begini dikau lantas anggap saia plagiat cerita Captain America? Wekawekaweka.
Bold of you to assume that a story only contains some of character's traits. Yang namanya novel itu terdiri dari banyak komponen, salah satunya penokohan. Satu tokoh pun komponennya lebih dari sekadar tiga-empat traits. Jadi yah, cuma beberapa bagian itu aja yang gue ambil dari Capt A dan gue masukkin di Remi. Sisanya gue improvisasi.
Bagian karakterisasi Kael yang sedikit diambil dari Nat Romanoff di A/N selanjutnya aja ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top