4 || Di Balik Kunci


"NGGAK usah, nggak perlu dateng. Lagi nggak enak banget badan gue, Rel. Jadi nggak bisa nerima tamu. So please, don't bother yourself. Jenguknya lain kali aja."

Remi rasanya ingin komat-kamit begitu tahu kalau Farel dan Fatma akan datang menjenguknya. Ini konyol sekali. Dia jadi agak menyesal cuma iya-iya saja saat Farel bertanya tentang sakitnya, kemudian membiarkan Farel dengan kesimpulan bahwa dia sembelit parah dan saking parahnya memutuskan pulang duluan. Harusnya dia berkilah lagi tentang rasa sakitnya.

"Lah, gimana sih. Justru karena lo lagi sakit lemes sampai nggak bisa nerima tamu, harusnya dibantulah. Udah, santai ini Fatma ntar beliin obat dulu buat lo sebelum kami berangkat. Nih lo juga demam, nggak? Biar dibeliin obat sekalian."

"Nggak usah, Rel. Gue udah baikan, kok." Remi berterima kasih karena memiliki teman dan keluarga yang perhatian. Namun, ini bukan saatnya menerima perhatian mereka. "I'm fine. Lagian, ntar lo yang kerepotan. Udah nganterin Fatma ke sini, terus anterin dia pulang, ntar lo repot."

"Yeh, kan dianter sopir. Gue mah tinggal duduk manis. Lagian ini juga disuruh orangtua lo."

Remi menepuk dahinya. Dia makin menyesal cuma iya-iya saja saat Farel bertanya tentang sembelit. Harusnya dia memberi alibi sakit yang lebih meyakinkan. "Ortu gue juga udah tahu, Rel?"

"Ya iyalah. Pas tahu lo pulang duluan karena sakit, ya gue kabarin ortu lo. Eh, terus mereka kaget. Soalnya lo hampir-hampir nggak pernah sembelit dari kecil. Dan kalau dipikir-pikir iya juga, ya. Gue malah kayaknya nggak pernah lihat lo ada di kamar mandi lebih dari sejam cuma buat boker."

Remi mencari-cari alasan. "Uh, gue sebulanan ini makannya nggak teratur. Mungkin karena itu."

"Ngapa lu? Keseringan stalk si You-Know-Who jadi lupa makan? Kapan move on kalau gitu mah."

"Enggak. Gue cuma—" Remi berusaha mencari alasan yang tepat, dan memutuskan bahwa sebaiknya dia membiarkan Farel dengan asumsinya. "Ya gitulah."

"Periksa dokter aja kali ya, Rem?" tanya Farel. "Kata lo tadi sampai nggak enak badannya? Tadi nyokap lo ngusul bawa lo ke dokter kalau nanti gue sama Fatma ngelihat lo sakitnya lebih dari sembelit biasa."

"It's almost midnight. I just wanna go to sleep. Kalau mau jenguk besok aja, Rel."

"Bener, nih?" Farel tak yakin. "Tapi lo udah ada obat belom?"

"Udah. Trust me, I'm fine."

"If you say so." Farel terdiam. "By the way pas lo ke kamar mandi, si Kael ternyata udah ninggalin pesta lebih dari sejam yang lalu."

Sekarang ketika Farel menyebut nama gadis itu, Remi baru menyadari betapa lama Kael sudah meninggalkannya. "Pergi ke mana?"

"Nggak tahu pasti. Ada yang bilang ke RS, ada yang bilang pulang. Adeknya nyariin nggak nemu-nemu. Nggak ada mobilnya dan nggak diangkat juga teleponnya."

Mendadak Remi merasa seperti hendak ketahuan mencuri. "Kenapa gitu?"

"Tadi adeknya udah nanyain staf hotel, sih. Ada yang lihat Kael naik mobil bareng satu cowok sama satu Office Girl gitu. Dan kaki si Office Girl-nya sakit gitu kayaknya? Ada juga yang bilang kaki si OG ditendang Kael dan si cowoknya ini ngelihat, jadi minta Kael tanggung jawab. Atau gimanalah yang bener gue juga nggak tahu pasti."

Hati Remi mencelus akan betapa jauh berita dari mulut ke mulut dapat dipelintir. Geram rasanya mendengar gosip-gosip buruk tentang Kael dan betapa cepat hal itu melebar di kalangannya. "Terus sekarang gimana?"

"Adeknya udah pulang naik taksi. Dan Kael tetap belum ketemu."

"Bukan, maksud gue, sekarang berita buruk tentang Kael udah separah apa?" tanya Remi. "Kenapa mereka berasumsi jelek-jelek mulu tentang Kael? Gimana kalau ternyata Kael tuh bantuin si OG yang lagi sakit itu? Gimana kalau ternyata Kael bawa OG itu ke RS atau klinik buat diobatin? Gimana kalau ternyata Kael tuh sebenernya bisa ramah dan nggak kasar yang sampai nendang OG? Bisa nggak sih mereka tuh mikir yang baik-baik aja dan at least kenalin Kael dulu sebelum nge-judge?"

"Whoa, whoa, Remi." Farel terdengar agak kaget. "Why are you defending her so much? You even only know her name and her rumors like ... just today?"

"It doesn't matter. Mau baru tahu hari ini atau udah seumur hidup, selalu berprasangka buruk tentang orang lain itu bukan hal yang benar. Lebih-lebih lagi nyebarin gosip yang belum diketahui kebenarannya. Mereka kan nggak kenal Kael aslinya gimana. Kalau ternyata Kael aslinya baik, gimana? They should be less judgemental about her."

"Wait, are you just—" Farel memutus ucapan, terkesan agak ragu, kemudian melanjutkan, "Rem, are you attracted to her—if love is too strong for your liking?"

Remi mengerjap. Dia termangu beberapa saat. "You know what? I talked too much. I should go to sleep. Bye."

Panggilan itu segera Remi putus. Dan Remi terdiam sejenak untuk berkaca pada ucapan Farel tadi.

Remi sendiri juga tak paham kenapa dia membela Kael sebegitunya. Mungkin karena memang dia tak terima jika kebaikan orang justru dipelintir menjadi sesuatu yang buruk. Mungkin karena dia tak suka dengan fakta bahwa kabar buruk menyebar jauh lebih mudah daripada kabar baik. Mungkin karena dia sudah melihat sendiri bahwa Kael jauh lebih baik daripada gosip yang beredar.

Atau mungkin karena dia sendiri juga sudah muak dengan rumor-rumor orang mengenai dirinya.

Menyimpan ponselnya ke dalam saku, Remi bergegas ke lantai satu untuk mencari Kael. Kael sudah cukup lama tak kembali ke meja mereka. Barangkali gadis itu sudah pulang duluan. Dan Remi berniat mengecek apakah tagihan di mejanya sudah dibayar atau belum.

Tak sulit menemukan gadis itu. Dengan rambut dicat terang dengan highlight warna merah jambu dan ungu pastel, sosok Kael terlihat mencuat dibanding orang-orang dalam ruangan.

Namun Remi paling tak ingin menemukannya dalam keadaan seperti sekarang.

Kepala Kael tergeletak di atas meja, rambutnya tergerai menutupi wajah dan tangannya memegang gelas wiski yang es batunya masih tersisa. Remi merasa horor. Dia segera mendekati Kael dan mengguncang bahunya, memanggil-manggil nama Kael dan hanya direspons dengan gumaman tak jelas.

"Mas temennya si Mbak ini?" tanya seorang bartender muda yang baru selesai mengocok minuman. "Temennya minum sampai high banget tadi."

"Dia tadi minum apa aja?"

"Wiski doang, sih. Tapi dia minta nambah terus."

"Astaga. Dan Mas nggak aware pas dia udah mau mabok gitu? She's a woman! Kalau kenapa-kenapa ntar gimana?"

"U-udah saya kasih tahu dia bisa mabok, Mas! Tapi ... dia ngasih duit banyak banget!"

Remi ingin menyumpah, tetapi ingat bahwa itu tidak sopan. Apalagi melihat bartendernya terlihat masih sangat muda. Tidak sebaiknya dia sebagai lelaki yang lebih tua memberi contoh tidak baik. Ibunya pernah berkata bahwa bersumpah serapah adalah tanda tak mampu mengontrol emosi. Remi jelas tak ingin jadi seperti itu. "Bill meja saya udah dibayar? Meja 22."

"Yang semeja sama Mbak ini, kan? Udah dibayar sama Mbaknya."

Remi menatap Kael yang terlihat tidur dengan bahu terkulai. Sekarang, bagaimana dia harus memulangkan gadis ini? Apakah dia harus memulangkan Kael ke kediaman keluarga Soerjodiningrat? Meski Remi enggan memasuki lingkungan keluarga konglomerat itu, meski Kael sendiri juga sudah memperingati untuk tidak berurusan dengan keluarga itu, mungkin memulangkan Kael ke kediaman keluarga Soerjodiningrat adalah pilihan masuk akal karena dia tak tahu di mana Kael tinggal jika Kael tinggal sendiri. Namun, Remi masih ragu. Tepatnya, dia takut. Takut jika ternyata keluarga Kael lebih rumit dan berbahaya daripada yang dia pikir.

Remi pun mendapat ide. Dia mengguncang bahu Kael untuk membangunkannya. "Kael, bangun. Hape lo ada di mana?"

Kael menatapnya dengan kelopak mata membuka sedikit dan kembali menutup. Tangannya terangkat, menunjuk ke suatu arah. Remi mengikuti arahan Kael dan justru menemukan pintu keluar.

Meski merasa tak yakin, Remi tetap mengikuti arahan Kael keluar bar. DIa mencari-cari ponsel Kael dan menemukannya dalam keadaan hancur di sisi dinding luar bar.

Apa-apaan? Remi mengambil ponsel itu dan memandangi layar ponsel yang retak parah. Remi berusaha menyalakannya beberapa kali tetapi juga tak berhasil.

Dia tetap menyimpan ponsel itu di sakunya. Kendati rencana awalnya untuk meminta tolong kepada Shasha menjemput Kael sudah gagal, Remi tahu dia tetap harus membawa Kael ke tempat aman. Harapnya, semoga saja Kael masih cukup sadar untuk menjawab lokasi tempat tinggalnya.

Ketika kembali ke dalam bar, Kael terlihat hendak turun dari kursinya dan terjatuh. Remi tak sempat mencegahnya. Kael sudah ambruk dan menyita perhatian banyak orang.

Sebelum ada satu pun orang yang mendekati Kael, Remi sudah duluan bergerak membawa gadis itu di atas kedua tangannya. Dia membawa Kael ke dekat mobil. Setelah menemukan kunci mobil di dalam saku celana Kael, Remi mendudukkan Kael di jok samping kemudi dan memasangi sabuk pengaman.

Tak yakin Kael cukup sadar untuk menjawab jelas pertanyaan tentang lokasi tempat tinggalnya, Remi memutuskan untuk membawa Kael ke aprtemennya.

Kael bergumam dan mengucapkan kata-kata tak jelas dalam perjalanan. Remi tak menanggapi. Hanya menatap Kael sekilas untuk memastikan gadis itu tak melakukan hal yang lebih aneh-aneh lagi. Namun kemudian Kael menoleh ke arahnya dengan mata sayu. Remi menatapnya sepintas. Terheran melihat Kael yang tak berhenti menatapinya. Rasa herannya ini lalu ditumpas oleh pertanyaan Kael, "How can someone be as kind and as attractive as you are? It's not fair."

Remi merasa ganjil. Dia tetap fokus menatap jalanan. "Tidur aja, Kael."

"Do you realize how attractive you are, Sir?" Kael mendesah. "I'll call you 'Daddy' anytime."

Remi memutuskan bahwa Kael sebaiknya menutup mulutnya. Dan dia akan melakukannya dengan cara terhalus. "Kael, do you want to eat a bubblegum?"

"I'd rather eat you."

Wrong move, Remi. Remi menarik napas panjang. "Could you do me a favor, then?"

"I would do anything for you, Daddy."

Does she has a major daddy kink or something? Apa mungkin rumor tentang dia mengencani bapak-bapak itu bukan sekadar rumor? pikir Remi, dan sedetik kemudian yang dia tahu adalah dia tak ingin gosip itu benar. Akhirnya Remi berkata, "Please don't say anything until we arrive in my apartment."

Sampai mobil terparkir rubanah apartemennya, Remi agak kaget karena Kael menuruti ucapannya. Gadis itu benar-benar tak bicara sepatah kata pun sebelum sampai di sini.

"Mm ... aku udah boleh ngomong?" tanya Kael dengan manis. Matanya yang sayu dan terlihat begitu penurut itu membuat Remi agak-agak meleleh.

Remi mengalihkan matanya. "I'm going to take you to bed so you can sleep."

"Are we going to sleep together?"

"No."

"Why?"

"Because you're drunk." Remi mematikan mobil dan keluar. Kael keluar sendiri meski dengan tubuh linglung, membuat Remi berpikir kalau bisa jadi Kael masih mampu berjalan sendirian. Kaki Kael melangkah ke depan kemudian hampir terjatuh kalau tidak ditahan oleh tangan Remi. Remi bantu memapah tetapi tubuh Kael benar-benar lemas dan akhirnya ambruk lagi.

Remi segera mendekati dan mengguncang tubuh gadis itu. "Kael. Bangun."

"Hng ... let me sleep...."

"You can sleep in the bed. Bukan di sini. Can you get up?"

"I can't get up. Please carry me, Daddy."

You've gotta kidding me, pikir Remi, memejamkan mata. "Dari sini ke unit apartemen gue jauh. Lo berat kalau gue gendong sendirian." Tentu saja Remi berbohong. Tubuh Kael sangat ramping dan tak terlalu tinggi. Menggotong Kael saat di Lickofe pun rasanya lebih mudah dari yang Remi kira. Dia hanya mengatakan hal barusan untuk memancing Kael, sebab Kael terlihat seperti masih punya sisa kesadaran untuk bangkit dan berjalan sendiri.

Kael berusaha bangkit. Dia berjalan beberapa saat sebelum ambruk lagi. Remi bantu memegang tangan Kael dan memapahnya. Namun tubuh Kael terlalu lemas hingga akhirnya ambruk lagi.

"I'm so sorry ... but I can't walk. I'm so tired...," ujar Kael dengan lemah. "Please let me sleep here, please."

Remi jadi merasa begitu berengsek karena sudah mengetes Kael tadi.

Cepat, Remi mengangkat tubuh Kael di atas kedua tangannya. Dia membawa Kael menuju lift. Dan di sana, Kael membuka mata, menemukan kepalanya tersandar di dekat leher Remi. Kael lalu mendekatkan hidungnya untuk mengendus sesuatu. "Mmmm ... you smell really good."

Remi menelan ludah, menarik napasnya yang terasa berat dengan mata terpejam. Dia tak tahu harus berbuat apa ketika bibir Kael sedikit menggerayangi lehernya seperti ini. "Please stop smelling me."

"Okay." Lagi, Kael menurut, kembali membuat Remi terkejut. Remi benar-benar tak habis pikir betapa rapuh pertahanan Kael jika sedang mabuk. Jika saja yang melihat Kael mabuk adalah orang lain, bisa-bisa gadis ini justru dimanfaatkan untuk melakukan yang tidak diinginkan.

Atau, apa mungkin dia udah pernah dimanfaatkan dari kondisi mabuknya ini? pikir Remi, merasa ngeri sendiri. Dia jadi tak ingin tahu apa ujung dari pertanyaan dalam benaknya. Sadar tak ingin memikirkan betapa kelam pertanyaan itu lebih jauh, Remi segera memusatkan perhatiannya kembali pada unit apartemennya.

Setelah masuk, dia meletakkan Kael di atas kasur kamar tamu dengan gerakan lembut. Dia melepas sepatu Kael dan menarik selimut ke tubuh sang gadis. Tepat ketika dia hendak pergi, Kael menarik kemeja Remi. Tatapan Kael memelas. "Kamu udah mau pergi?"

Sungguh, melihat Kael begitu rapuh dalam kondisi mabuk ini membuat Remi sangat ngeri. Rasa takut muncul membayangkan kondisi mabuk Kael dimanfaatkan oleh orang lain di masa lalu. Semoga aja itu cuma prasangka yang nggak bener, pikir Remi. Semoga gue pikiran gue salah. "Kamar saya ada di depan kamar ini kalau kamu butuh sesuatu."

"Kamu nggak mau tidur sama aku?"

Pertanyaan itu begitu polos dan berbahaya. Remi agak berhati-hati untuk menjawabnya. "Mungkin lain kali. Nggak sekarang."

Kael terdiam, lalu menutup mata dan mengangguk. "Pintunya jangan dikunci, ya," pinta Kael. Menarik kemejanya. "Please."

Remi menatap pintu, lalu menatap Kael yang menatapnya penuh harap. Dia berjalan ke pintu kamar untuk mengambil kuncinya. Kemudian dia duduk, memberikan kunci itu ke tangan sang gadis. Matanya menatap Kael dengan tenang. "Pintunya nggak bisa dikunci siapa pun. Karena kuncinya sekarang ada di kamu."

Kael termangu. Dia menatapi tangannya yang kini memegang kunci kamar. Dia genggam kunci itu erat. Lalu dia mendekat, memandangi Remi dengan wajah tersipu yang justru membuat dada Remi berdesir. Kemudian Kael mengecup pipi Remi. "Thank you," ujarnya lembut.

Debaran yang tak diundang tiba begitu saja dalam dada Remi. Matanya terpejam sejenak. Menikmati kedekatan tubuh Kael dan surai-surai rambut warna-warninya yang menyentuh pipi Remi. Dia tahu Kael sedang mabuk, dia sadar Kael takkan mengingat apa yang sudah dia lakukan malam ini. Dan meski Remi mengetahuinya, meski esok pagi dan seterusnya Kael takkan mengingat segala hal yang sudah mereka lakukan malam ini, meski ini hanya sejenak, Remi mengikuti instingnya untuk menarik gadis itu dalam rengkuhan. Dia dilingkup rasa hangat yang nyaman. Di telinga Kael, Remi pun berbisik, "Apa pun yang menimpa kamu, I hope you'll be okay."

Tangan Kael merayap di punggung Remi, memeluknya erat. "I hope the same for you."

Remi menikmati pelukannya sesaat sebelum menarik diri. Dia bangkit dari kasur dan menyelimuti Kael yang terbaring. "Rest well, Kael."

Kael tersenyum dengan mata menutup hendak tidur. Ketika Remi sudah hampir keluar, dia mendengar Kael bersuara, "Have a good night, Remi."

Remi berbalik, mendapati Kael sudah terlihat terlelap. Setelah beberapa saat memandangi wajah tertidur Kael, dia keluar dan menutup pintu kamar. Matanya memandangi lantai yang dipijaknya.

Mudah sekali rasanya melenakan diri pada ilusi ini. Pada khayal bahwa malam ini takkan terlupakan oleh Kael dan tak harus dilupakan oleh dirinya. Remi ingin mengenang malam ini sebagai salah satu malam terbaik dan tak terlupakan yang pernah dia alami dalam hidup. Namun ada harap yang datang tanpa diundang. Harap yang berisi keinginannya untuk mengenang malam ini bersama Kael. Harapan yang tak mungkin terkabul. Harapan yang Remi tahu harus dia kubur dengan melupakan malam ini tanpa pernah berusaha mengungkitnya lagi.

Remi menarik napas dan berlalu menuju kamar tidurnya. Pikirannya melayang pada ucapan terakhir Kael kepadanya malam ini.

"I already have a good night, Kael."

[ ].




A/N

Napa masi pada nanya gimana muka Kael dah? Kan udah ada di moodboard Prakata itu muka sama rambutnya bentukannya cem apa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top