2 || Sang Mitos


REMI kelak akan menyesali keputusan untuk duduk bersama Fatma dan teman-teman adiknya itu.

Namun, Remi tak punya pilihan lain. Duduk semeja bersama orangtuanya di acara seperti ini jarang berujung menyenangkan. Lagi pula, sudah jadi kesepakatannya bersama Farel untuk menghindari duduk bersama orangtua yang kebetulan sedang duduk bersama orangtua lainnya, sebab obrolan mereka umumnya berujung pada mempertanyakan status lajang, lalu disusul dengan 'jodoh-jodohan' ke entah perempuan mana. Dan kini orangtua mereka sedang duduk bersama orangtua lainnya. Dia tak mungkin kembali duduk bersama Danes ataupun duduk bersama orang asing. Pilihannya adalah duduk bersama orangtuanya atau bersama Fatma berikut geng ceweknya.

"Hey, don't make that face," ujar Farel di sebelahnya. Wajah Remi sebenarnya baik-baik saja, sesuai setting default yang memang tak menunjukkan ekspresi apa pun. Kalau pun memaksa bahwa wajahnya ada ekspresi, maka ekspresi itu adalah ketidaktertarikan.

Remi sadar suasana hatinya sedang tidak menyenangkan. Namun dia jarang menunjukkannya lewat muka. Yang paham suasana hatinya dari perubahan kecil ekspresi wajahnya hanyalah orang-orang seperti Farel yang sudah cukup lama mengenalnya. "If you ask me to smile often, I'm not interested."

Farel terkekeh. Lalu berbicara dekat Remi agar tak terdengar teman-teman Fatma. "I know they are so loud. But try not ruin their happiness with your sour mood."

Remi menatap Farel dari sudut mata. Dia diam saja sambil menyilangkan tangan menonton acara ulang tahun Tante Bianca dibuka. Sementara gadis-gadis yang duduk di mejanya sibuk berfoto-foto dengan ponsel mereka.

Sampai akhirnya salah satu dari mereka setengah menjerit. Disusul dengan pekikan dari adiknya.

Beruntung suara musik latar dan suara speaker cukup besar untuk meredam suara pekikan itu. Beruntung juga meja mereka terletak agak ke belakang. Kalau tidak, Remi tak tahu bagaimana harus menanggung malu karena suara adiknya dan teman adiknya menganggu tamu lain.

"OH MY GOD. Can you believe this?" seru gadis yang memegang ponsel dengan suara cempreng. Dia menunjukkan ponselnya itu kepada teman-temannya. "Kael dateng!"

"HAH? DEMI?" seru gadis yang lain. Kemudian mereka semua menatapi ponsel temannya itu. "Anjir, iya. Dia update lagi di hotel ini!"

"OEMJI! Kael dateng, guys! KAEL!"

"Ssshhh! Mulut toa lo itu kecilin dikit! Ntar kita dianggap norak!"

"Ya sori-sori aja sih ya, gue emang akan jadi norak untuk Kael. I mean, this is Kael!"

"Such a goddess. Duh lihat itu dress dia! She looks like an angel!"

"No, no, no. Yang ini bukan angel. This is a look from an empress! Look at those golden embroideries!"

"Itu pasti dari haute couture deh. Ya ampun, apa gue harus jadi Nyonya Soerjo dulu kali ya buat bisa jajan-jajan baju seenteng Kael? Dese jajan baju haute couture kayak jajan kacang."

"Yeh, emang siapa yang mau lo nikahin biar bisa jadi Nyonya Soerjo? Rata-rata cowoknya udah pada tunangan atau nikah tuh."

"Si Rian belom nikah atau pun tunangan."

"Pfffftt, masa Rian, sih? Gue nggak rela ya kalau suami gue diem-diem nyicip batang cowok lain."

Remi mendesah. Untung saja Fatma tak menimbrung banyak dan hanya tertawa-tawa mendengar celetukkan teman-temannya.

"Rem," panggil Farel sambil menarik lengan jas Remi. Mata Farel mengarah ke pintu ganda di belakang mereka yang baru saja terbuka. Dua sosok perempuan memasuki ruangan. Yang satu mengenakan gaun cocktail abu-abu muda selutut, dan satunya lagi mengenakan gaun putih dengan sulaman warna emas. Si gaun kelabu berambut cokelat, sementara si gaun putih rambutnya dicat sewarna pirang arang, atau abu-abu muda dengan sedikit biru, atau mungkin sedikit ungu, atau entah, Remi tak bisa menentukan di bawah cahaya ruangan ini. Namun yang pasti, wajahnya membuat semua gadis dalam ruangan terasa pucat dibandingkan dirinya. Dan tanpa perlu keterangan lebih lanjut, Remi sudah tahu siapa di antara dua gadis tadi yang merupakan Kael.

"There she is, Rem," ujar Farel, menggeleng-geleng takzim. "Lebih cantik ngelihat langsung daripada lihat di foto."

Remi mengamati the infamous Mikaela Soerjodiningrat, yang namanya tak henti-hentinya disebut orang-orang sejak satu jam terakhir. Nama yang dalam satu hari langsung membekas di otak Remi atas gosipnya dan atas kejelitaan wajahnya yang ternyata sesuai perkataan khalayak.

Mata Remi menyusuri gaun Kael yang begitu elegan dengan aksen-aksen yang mencuri perhatian tanpa memberi kesan norak. Gaunnya memeluk tubuh rampingnya dengan tepat. Terdapat potongan dari paha atas ke bawah, menunjukkan kaki halus dan mulus milik Kael. Perempuan itu berjalan di belakang adiknya yang kemudian duduk bersama Celine, adik Marcus.

Para gadis di meja Remi ribut lagi. Mereka sibuk dengan ponselnya sambil mengambil foto si gadis bergaun emas.

Makanan pembuka kemudian datang dibawa para pelayan. Gelas-gelas anggur yang kosong segera terisi. Remi cepat menyantap makanan pembukanya.

"Dulu dia kayak gimana?" tanya Remi, tetapi matanya terpaku pada selada buah di piringnya.

"Dia siapa? Kael?" tanya Farel. Dia tak menunggu Remi mengiyakan. "Dulu rambutnya pendek banget kayak laki. Apa itu namanya? Pixie cut?"

"Bukan penampilannya. Tapi rumornya. Udah ada dari lama?"

"Sejak kita lulus kuliah sih udah ada dikit, tapi gue juga lupa. Baru keinget lagi ya belakangan ini karena orang sering ngomongin."

"Kenapa gosip lama tiba-tiba ramai lagi?"

Bola mata Farel menatap kanan-kiri, kemudian mendekat ke arah Remi. "Sejak pulang ke sini, Kael dikabarkan terpilih jadi pewaris utama perusahaan Om Umbhara. Rajayanti Group bakal diserahin ke dia setelah selama ini Kael dibuang. Dari situ, muncul rumor kalau Kael bikin ayah angkatnya meniduri dia makanya Kael yang justru dapet warisan, bukan Calvin maupun Rian. Ada juga yang bilang juga kalau si Kael udah mengandung anak dari Om Umbhara makanya si Om rela ngelakuin apa pun untuk Kael, takut si Kael nyebarin berita tentang kandungannya itu ke publik." Farel mengernyit. "But then again. Ini cuma gosip. Jangan dipercaya sebelum ada bukti."

Mata Remi menyipit. Makin ke sini, rumor tentang Kael rasa-rasanya jadi makin mengerikan dan tak masuk akal. "Lo bisa tahu gosip begitu dari mana?"

Farel mengangkat bahu, santai. "Kalau di lingkungan kita ya bisa dibilang, gue dapet hampir dari mana pun sih, Rem. I mean, she's a Soerjodiningrat. Di acara-acara begini pasti ada aja yang ngomongin."

Main course tak lama terhidang. Remi meraih garpu dan pisau untuk memotong steik salmonnya. "Emang Kael punya salah apa ke orang-orang sampai diomongin kayak gini?"

Farel menarik napas panjang. "Yah, gue juga kurang tahu sih. Cuma ya ... kita bisa jadi cuma bernapas aja tetap bakal ada orang-orang yang nggak suka sama kita. Apalagi orang kayak Kael yang emang rebel."

"Kael kan rebel ke bokap tirinya. Sementara perkara dia mau have sex sama siapa juga itu urusan dia sama sama partner-nya. Apa urusannya sama orang-orang yang bikin gosip jelek tentang dia?"

"Auk. Sirik kali."

Remi melanjutkan makannya dengan diam. Namun keheningannya dipecahkan oleh adiknya sendiri.

"Lo berdua dari tadi ngobrolin apa sih? Kayaknya asik sendiri gitu," ujar Fatma, mendekat ke arah kakaknya. Lalu dia berbisik, "Betewe, ada temen gue yang mau kenalan sama lo, Bang."

Seperti biasa, Remi tak berekspresi menanggapi ketertarikan orang-orang kepadanya. Dia mendekat ke telinga Fatma untuk berbisik, "Kalau gitu, bilang ke mereka minimal cepat kelarin kuliah sebelum kenalan sama gue. Karena gue cuma mau sama cewek yang udah dewasa."

"Yeh, dia kan seangkatan gue. Boro-boro lulus. Masuk kuliah aja belum."

"Exactly."

"I will pretend you never say those things." Fatma menyipitkan mata. "Dan lagian, gue sempet denger kok lo tadi ngomongin Kael. Kenapa? Jangan-jangan lo kayak Bang Danes yang ikut taruhan tentang Goddess Kael."

"Dari mana lo tahu taruhan itu?"

"Duh, semua tahu kali! Emang lo baru tahu?"

Remi terdiam. Dia bahkan baru tahu tentang Kael hari ini.

"Hih. Makanya update! Sering-sering ikutan acara begini. Lo aja yang kelamaan di goa jadi baru tahu kan tentang Kael dan taruhan orang-orang ke dia?" tukas Fatma. "Terus sekarang apa? Jangan bilang lo mau ikutan taruhannya."

"Enggak. Emang yang menang taruhannya dapat apa, sih?"

"Liburan ke Eropa sebulan gratis dengan segala fasilitas semua dibayarin sama yang taruhan."

"Itu doang?"

Fatma terlihat mengingat-ingat. "Kata orang sih, hadiahnya plus saham di salah satu anak perusahaan Rembangi."

Remi mengerjap. Rembangi Cipta Sentosa adalah perusahaan konglomerat milik keluarga Soerjodiningrat yang anak-anak perusahaannya sudah menggurita di mana-mana. Kepemilikan saham di salah satu anak usahanya saja sudah mampu membuat seseorang hidup mewah bertahun-tahun. Siapa pun yang membuat taruhannya pasti tidak main-main. "Siapa sih yang bikin taruhan ini?"

"Nggak tahu," balas Fatma. "Gue harap sih siapa pun yang bikin, mukanya bruntusan trus kalau mau berak cepirit mulu. Tega banget bikin taruhan untuk Goddess Kael. Untung aja my queen stays unbothered."

Farel tertawa. Remi tidak. Ada yang lebih menangkap perhatiannya.

Seusai Fatma kembali sibuk mengobrol dengan teman-temannya, Remi mendekat ke Farel, bertanya dengan suara pelan agar tak terdengar orang lain, "Rel, lo tahu siapa yang bikin taruhan ini?"

Teman di sebelahnya itu menggeleng. "Nggak ada yang tahu pasti, Rem. Tapi orang sih pada yakin kalau yang bikin taruhan ini pemain kunci di Rembangi."

Itu bisa siapa aja, pikir Remi. Dalam dunia bisnis, saling menjatuhkan dengan cara licik adalah sesuatu yang biasa. Rajayanti Group merupakan salah satu perusahaan besar. Jabatan direktur utama pasti diincar banyak orang, entah itu dari keluarga Soerjo, keluarga Umbhara, ataupun di luar dua keluarga itu. Terlalu banyak pemain. Pantas saja banyak gosip miring menyertai Kael.

Remi bukan tertarik dengan topik ini tanpa alasan. Dia hanya ingin tahu siapa orang di balik gosip miring Kael. Jika dia tahu, setidaknya dia bisa menghindari berbisnis dengan orang itu.

"Tapi hasil akhirnya masih nihil, kan?" tanya Remi. "Sampai sekarang Kael nggak pacaran."

"Iya, nihil," jawab Farel. "Dan taruhan itu harusnya udah basi sih. Cuma rame lagi karena Kael balik ke Indonesia dan berinteraksi sama cowok-cowok lain. Makanya mulai anget lagi taruhannya."

"Interaksi sama cowok doang. Bisa jadi Kael cuma anggap mereka temen."

"Yang ikut taruhan yakin bahwa ada salah satu di antara cowok-cowok itu yang bisa menaklukkan Kael. Mereka juga udah mulai pasang taruhan sih ke satu orang."

"Siapa?"

"Aksel Hadiraja."

Nama itu tidak asing. Remi pernah menemuinya beberapa kali di acara-acara seperti ini. Aksel selalu bisa masuk ke dalam lingkaran pertemanan manapun. Dia hanya perlu melempar senyum dan candaan, semenit kemudian dia sudah menyesap perhatian semua orang di sana dengan eksistensinya. Mungkin pesonanya juga cukup bisa menembus pertahanan Kael.

"Speaking of the devil. Itu orangnya baru naik ke panggung," ujar Farel, matanya memandang ke depan panggung. Dan di sana, sosok tampan dan tinggi dengan balutan tuksedo putih berdiri. Remi pun tak melewatkan suara jeritan tertahan gadis-gadis di mejanya yang heboh sambil memandangi Aksel.

"Duh! Emang ya, pasti ada manusia-manusia yang nggak perlu berusaha banyak untuk kelihatan flawless. Aksel ganteng banget ya Lord," ujar teman Fatma yang bersuara cempreng. "How come a man be this beautiful it's such a sin."

"Dia punya saudara kan, ya?" celetuk gadis lain. "Punya abang cowok kalau nggak salah."

"Iya, tapi kayaknya sih abangnya not really into this. Beda sama Aksel yang emang party goers gitu."

Suara-suara gadis itu redam ketika Aksel mulai bersuara dari mic-nya. Remi tak terlalu memerhatikan acara. Tetapi sepertinya tadi sayup-sayup dia mendengar MC meminta salah satu tamu menyumbangkan lagu untuk memeriahkan ulang tahun Tante Bianca.

"Ladies and gentlemen," ujar Aksel dengan suara berwibawa. "Adalah suatu kehormatan bisa diusul oleh kalian untuk bernyanyi di sini. Tapi sayangnya, saya nggak dianugerahi suara merdu seperti Tante Bianca. Kalian dijamin menyesal kalau berkeras mau dengar saya nyanyi. Tapi, saya bisa main piano. Mungkin ada yang berkenan bernyanyi dengan saya sebagai pengiring pianonya?"

Pekikan-pekikan para gadis terdengar diiring seruan-seruan heboh. Remi melihat Fatma dan teman-temannya itu menatap Aksel dengan antusias. Di sekelilingnya, tak sedikit gadis yang mengacungkan tangan, begitu ingin terpilih menjadi penyanyi diiringi permainan piano Aksel. Sementara sebagian lainnya menatap sang pria di panggung dengan tatapan seorang pemimpi.

You've gotta be kidding me, batin Remi.

"Dia udah jadi artis?" tanya Remi kepada Farel. Dia tak kaget kalau memang Aksel Hadiraja kini sudah menjadi selebriti. Atau mungkin sudah jadi selebriti dari dulu, tetapi karena Remi jarang mengikuti perkembangan gosip jadi tidak tahu hal itu.

"Kagak. Dia berkali-kali diminta jadi model sama artis sih gue yakin. Tapi kayaknya dia nggak tertarik terjun ke situ," balas Farel. "Padahal kan lumayan juga kalau jadi artis. Di-notice lebih banyak orang. Dari situ kan orang-orang bisa lebih tertarik sama bisnisnya."

"Hidup minim privasi kayaknya bukan hal menyenangkan."

"Buat sebagian orang, it's worth to take that risk. Lagian kalau jadi artis beneran, Aksel bisa jadi wajah sempurna idola wanita masa kini. Dia ganteng, kaya raya, pewaris bisnis, bisa main piano, charming, pintar." Farel menyipit ke arah Remi. "Hm ... bisa-bisa posisi lo sebagai Prince Perfect tergeser."

"As if I care."

"You don't. But people do."

"Then what's wrong with people these days? Ngapain sih memedulikan titel orang yang bahkan nggak dipedulikan sama orang yang bersangkutan?"

"Isn't it obvious? Karena ngurusin masalah orang lain lebih mudah daripada ngurusin masalahnya sendiri."

Alunan piano memenuhi ruangan, seketika menghentikan pembicaraan mereka. Suara seorang gadis yang terpilih bernyanyi lalu menyusul setelah intro selesai, melantunkankan lagu She Will Be Loved yang dipopulerkan Maroon 5. Remi tahu gadis itu. Gadis itu adalah gadis yang tadi masuk balai riung bersama Kael.

"Itu adiknya Kael, kan?" tanya Remi. "Siapa itu namanya? Shasha?"

"Iya, Shasha. Kayaknya dia disuruh kakaknya. Kael sama Aksel emang akrab soalnya."

"Maksud disuruh kakaknya? Emang disuruh biar apa?"

Farel mengedik ke arah gadis-gadis di mejanya yang menatap Aksel dengan tatapan memuja. "Biar Aksel terhindar dari jeratan dedek gemes tak diinginkan."

Begitu lagu selesai, para gadis di meja Remi bertepuk tangan heboh sambil menjerit-jeritkan nama Aksel hingga kuping Remi terasa pekak. Dia pun agak menjauh dari para gadis muda di mejanya. Kepalanya mendadak pusing.

"Gue ke kamar mandi dulu." Remi berdiri, kemudian berlalu dari balai riung hotel ke kamar mandi terdekat.

Di kamar mandi setelah buang air kecil, Remi mendekati wastafel dan menyalakan keran untuk cuci tangan. Dia lalu mengangkat kepala menatap pantulan dirinya di cermin. Bibirnya membentuk garis lurus. Wajahnya tak berekspresi dengan alis tertukik, memberi aura dingin tanpa kesan arogan.

Remi tahu dirinya diinginkan banyak perempuan—maupun sebagian lelaki. Tetapi dia tak pernah merasa paling tampan. Sebagian orang bilang pesona fisik utamanya itu bukan terletak di wajahnya, tetapi di tatapan matanya, di karisma yang dia miliki yang bisa membuat orang tutup mulut cukup dengan satu alisnya terangkat. Namun pesona fisik ini tak banyak membantu di dunia bisnis. Dia tetap harus belajar dan bekerja keras untuk menjaga citra dan integritas. Keluarganya tidak membesarkannya dan menyekolahkannya mahal-mahal hanya untuk berakhir menjadi kekecewaan.

Remi keluar dari kamar mandi sesat kemudian. Di depan lorong yang menghubungkan kamar mandi wanita dan pria, Remi mendengar pekikan perempuan di depan pintu kamar mandi wanita. Seorang pramubakti terjatuh dengan kaki terkilir ketika membuka pintu kamar mandi. Remi segera berjongkok di depan pramubakti itu dan mengulurkan tangannya. "Ibu nggak apa-apa?"

"Ah ... i-iya, Mas. Saya nggak apa-apa. Cuma keseleo." Pramubakti itu sedikit bergerak, kemudian meringis. Dia terduduk, membuka sepatu hak pendeknya, mengecek pergelangan kaki. Kala memijat kakinya, wanita itu mendesis dengan erangan tertahan. Wajahnya terlihat kesakitan sekali.

Remi menatap ke pergelangan kaki pramubakti itu. Ada lecet sedikit dan dia yakin kakinya pasti akan bengkak nanti. Remi meletakkan tangannya di bahu si pramubakti. Kemudian membaca papan nama yang ada di kemeja pramubakti tersebut. "Bu Hesti. Kaki Ibu kayaknya terkilir. Biar saya anterin ke klinik dekat sini, ya?"

"Eh, nggak usah, Mas. Cuma terkilir gini ntar juga dipijet sembuh kok."

Remi berusaha tersenyum. Paham bahwa sebagian masyarakat memilih berobat pada tukang urut dan tukang jamu alih-alih ke dokter. Namun dia sudah beberapa kali dinasihati oleh orangtuanya bahwa tukang urut bukanlah dokter yang tersertifkasi dalam menangani penyakit. Mereka berkata bahwa meski sebagian orang bisa sembuh cukup dengan diurut, mendatangi tukang urut untuk menyembuhkan diri tetaplah lebih berisiko dibanding mendatangi dokter.

"Lebih cepat sembuh kalau diobatin langsung sama dokter kok, Bu," Remi akhirnya berkata. "Kaki keseleo juga biasanya bakal bengkak. Ayo, Bu. Saya antar ke klinik."

"Duh, nggak usah, Mas. Ngerepotin."

"Nggak apa-apa. Sini, biar saya bantu." Remi mengalungkan lengan Bu Hesti ke pundaknya. Dia baru saja hendak berdiri ketika pintu kamar mandi wanita terbuka.

Menampilkan sosok perempuan yang menjadi buah bibir orang-orang sejak beberapa jam terakhir.

Seketika udara dalam paru-paru Remi terenggut.

Sebab di hadapannya, dia berhadapan dengan sang mitos dengan keelokan wajah bak tuan putri negeri dongeng: Mikaela Soerjodiningrat.

[ ].

26.05.2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top