17 | Di Balik Kontrak

KAEL sudah biasa merasa bagai kurcaci di antara para manusia. Namun berdiri berhadapan dengan Snow, Kael merasa seperti seekor kelinci di bawah tatapan harimau putih. Lelaki itu pasti mampu memecahkan tengkoraknya hanya dengan satu tangan.

Snow bergeming menatap Kael dengan tatapan tak terbaca. Bagian dahi di antara kedua alis Snow kentara kerutannya, seperti sudah terlalu sering mengernyitkan alis, membuat wajahnya tak terlihat ramah meski sedang tersenyum. Kael pikir pria itu hendak mengatakan sesuatu. Namun Snow justru melengos, lalu berjalan ke arah lemari kaca berisi berbagai macam minuman keras.

"Mau minum?" tawar Snow, mengagetkan rombongan Kael. Suara Snow serak dan berat sekali, seperti suara orang sakit tenggorokan. "Ada bourbon, wiski, tequila, tapi nggak ada minuman ringan, sih."

Kael menggeleng, yakin bahwa dia butuh sadar sesadar-sadarnya dalam membuat kesepakatan nanti. "Nggak ... Mas, terima kasih."

"Panggil aja Snow." Lelaki itu menyesap sedikit bourbon dari gelasnya, lalu duduk di sofa. Dia meletakkan gelasnya di atas meja tamu. "Yang lain nggak mau minum?"

Remi dan Aksel menggeleng.

Snow menatap Rendra. "Ndra?"

Rendra mendesah, lalu bergerak ke arah lemari kaca untuk menuangkan segelas minuman untuk dirinya.

"Silakan duduk," ujar Snow, dan semua orang di sana duduk di sofa yang berseberangan dengan lelaki itu. Snow menatap mereka semua, lalu berhenti untuk menatap Aksel. Wajah Snow tidak tersenyum. "Lo hadap belakang."

Aksel terlihat bingung. "Kenapa?"

"Gue nggak suka lihat muka lo."

Remi mengulum bibir untuk menahan tawa. Wajah Aksel terlihat begitu terhina, tetapi tetap melaksanakan ucapan Snow. "Apa gue juga nggak boleh ngomong?"

"Mending nggak usah ngomong. Lo udah keseringan bacot."

Lagi, Remi menahan senyumnya. Kael juga terlihat terhibur dari binar matanya.

Setelah Aksel menghadap ke belakang, mata Snow beralih ke arah Kael dan sedikit memicing. Wajahnya masih tak tersenyum. "Jadi, ada gerangan apa keturunan Soerjodiningrat datang ke sarang tikus got begini?"

Semua mata memandang Kael. Dan meski Kael sudah ratusan kali berbicara di hadapan banyak pasang mata, suasana mencekam yang dia rasakan seolah melumpuhkan kemampuannya untuk berlisan. Setidaknya, dia masih punya sedikit akal untuk tak boleh menunjukkan rasa takutnya—sesulit apa pun itu kedengarannya untuk dilakukan sekarang.

Kael menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. "Saya butuh bantuan kamu—dan tim kamu."

Snow memiringkan kepala. Menatap dengan tatapan penuh perhitungan. Seolah tiap napas yang dihela Kael akan masuk penilaiannya juga. "Kenapa gitu gue harus bantu lo?"

Kael menelan ludah. Meski sudah tahu jawabannya, entah mengapa tatapan Snow terasa begitu mengintimidasi hingga membuatnya lupa harus menjawab apa saking paniknya. "S-saya ... akan bayar."

Snow mendengus. "Of course you will."

Kael merasa gelisah mendapati pria bersurai putih itu terlihat tenang, seolah sudah terbiasa mengintimidasi orang. Snow acuh tak acuh menyesap bourbon-nya, lalu menatap Kael lagi, antara ingin tersenyum atau menyeringai, tetapi dari tatapannya, Kael merasa bahwa pria ini tak menyukainya entah karena apa.

Snow lalu melanjutkan, "Kami nggak cuma mau duit lo."

"Trus apa lagi yang kamu mau?"

Snow tersenyum. "Gue mau denger dulu masalah lo." Dia meletakkan gelas, membuat posisi duduknya lebih santai dan nyaman, lalu menyilangkan jemari di atas pangkuan. "Jadi, apa masalahnya? Dan apa yang bisa kami bantu?"

Kael pun mulai menceritakan masalahnya secara gamblang, tentang Erlangga, video seksnya dan ibunya, serta rencananya yang mau memenjarakan Erlangga dengan membawa bukti-bukti pelanggaran hukumnya.

Snow mendengarkan dengan saksama. Rendra menyusul duduk sambil menyimak. Begitu Kael selesai bercerita, Rendra menatap Snow untuk melihat reaksi.

Snow mengangguk ke arah Kael. "Kami bisa menuntaskan keinginan itu. Tapi ada harganya."

"Berapa?"

"Bukan cuma 'berapa', tapi juga 'apa'."

"Memang ... apa?"

Mata Snow melirik ke arah Rendra, lalu kembali lagi menatap Kael. "Kami juga mau akses."

"Akses?"

"Maksud Snow, akses ke semua sistem di perusahaan Rembangi," ujar Rendra dari sisi lain sofa. Dia melirik Snow. "Bener atau salah?"

"Betul," jawab Snow, menatapi rombongan Kael dengan tersenyum tipis. "Harga penuntasan masalah lo ini adalah sejumlah uang dan akses Rembangi."

"Ngaco," Remi mengeluh. "Itu sama aja serahin keamanan perusahaan Rembangi ke tangan kalian."

Snow memiringkan kepala. Tatapannya datar. "Dan lo pikir dengan datang ke sini, kalian bukan lagi menyerahkan keamanan kalian ke tangan kami?"

Remi menggertakkan gigi. Dia tahu itu benar. Tetapi menyerahkan akses perusahaan jelas lebih berbahaya. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan orang-orang ini terhadap perusahaan Rembangi? Namun Kael duluan menyela pikiran Remi.

"Akses seperti apa?" tanya Kael. "Saya nggak punya jabatan di Rembangi. Cuma punya saham, itu pun sedikit. Akses yang saya miliki di Rembangi sangat terbatas."

"Nggak masalah," ujar Snow. "Yang penting semua harus diserahkan ke kami."

"Baik," ujar Kael. "Saya setuju."

Remi menatap Kael dengan waswas. Dia ingin mengehentikan hal ini. Ini semua terlalu berbahaya. Namun Kael sudah memutuskan dan Remi hanya bisa menghormati keputusan perempuan itu—meski Remi sangat teramat menentang.

Snow berbisik ke Rendra, lalu Rendra pergi ke pintu terbuka di sebelah kanan meja kerja. Tak lama, Rendra keluar dengan sebuah kotak sepanjang lengan, tetapi lebih lebar. Dia meletakkan kotak itu ke meja depan Kael, lalu membukanya. Isinya adalah sesuatu seperti lilin putih.

"Silakan tempel tangan lo di sini. Dua-duanya, ya," ujar Rendra.

Remi seketika paham apa maksud dari 'akses' ini. "Ini buat fingerprint pass?"

Rendra menatap Remi seolah Remi habis bertanya apakah manusia bereproduksi dengan melahirkan atau bertelur. "Ya emang buat apa lagi? Masa buat koleksi?"

Remi membeliak. "Gila aja. fingerprint pass ini kan bukan cuma buat akses ke Rembangi, tapi juga akses ke hal-hal lain buat Kael. Gimana kami bisa yakin kalau kalian nggak akan gunain hal ini buat nguras saldo dia? Atau buat pemalsuan data?"

"Dude, you're asking too much."

"And you don't explain much."

"Now you listen. Kami emang butuh duit, tapi nggak se-desperate itu. Kalaupun hari ini nggak ada klien yang jadi tanda tangan kontrak, kami tetap bisa hidup tenang. Sedangkan para klien mungkin belum tentu bisa kayak gitu. Semua orang datang ke sini karena tahu udah nggak ada yang bisa nolong mereka. Nggak polisi, nggak pemerintah, nggak lembaga apa pun."

Remi menahan tatapan Rendra. Perlahan, dia pun memejam dan berusaha mendinginkan kepala. "Terus apa jaminan kalau kalian nggak akan menyalahgunakan akses dari Kael?"

"Nggak ada. Lo cuma bisa percaya aja kalau kami nggak akan melakukan itu. Percaya kalau kami menggunakan akses dari Kael cuma buat urusan ke Rembangi aja."

Lagi-lagi jawaban seperti itu. "Seenggaknya bisa kan jamin keamanan Kael?"

"Lo nanya hal yang sama terus. Padahal jawabannya juga selalu sama: selama klien ngikutin kontrak, keamanan klien terjamin."

Suara gelas diletakkan ke meja dengan kencang mencuri perhatian Remi dan Rendra. Snow menatap Remi dengan kernyitan, terlihat jengkel. "Lo hadap belakang."

Remi terlihat bingung. "Maaf?"

"Lo ngeselin, banyak nanya. Lo hadap belakang."

Meski tak melihat langsung, Remi tahu kali ini Aksel sedang menahan tawa.

Remi menggertakkan gigi. Mengingatkan diri bahwa dia harus melakukan ini semua demi Kael, bahwa dia tak ingin malah menyulitkan Kael. Perlahan, Remi pun mengikuti ucapan Snow dan menghadap belakang.

Ketika memunggungi mereka semua, Remi mendengar suara-suara gesekan dan pergeseran benda-benda di meja, serta beberapa benda terdengar seperti diletakkan dan diambil kembali. Hal itu terjadi selama lima menit lebih hingga kepalanya pegal karena tak boleh menoleh ke belakang. Setelah itu, ada suara Rendra berkata, "Terima kasih, sekarang silakan dibaca kontraknya, diisi, dan ditandatangani di sini."

Kini muncul suara kertas-kertas bergesekan, disusul suara gesekan mata pena terhadap kertas selama beberapa saat. Suara Kael berujar, "Ini pembayarannya dilakukan kapan?"

Sekarang pemilik suara serak dan berat yang menjawabnya, "Pembayarannya dua kali. Pertama buat DP, kedua buat pelunasan. Buat DP bisa dilakukan besok jam sepuluh pagi. Untuk pelunasan dilakukan sehabis kami menuntaskan permintaan klien."

"Tapi, nanti uangnya saya kirim ke mana? Di sini nggak ada nomor rekening atau apa pun."

"Sepulang dari sini, Rendra bakal kasih kontak yang bisa lo hubungi. Pembayaran nanti dijelaskan sama Rendra."

"Baik. Ada lagi yang perlu saya tahu?"

"Nggak ada. Semua aturan udah ditulis di kertas kontrak ini." Terdengar suara kertas-kertas seperti dimasukkan ke dalam map. "Yang paling penting, dilarang bertanya atau berusaha mencari tahu bagaimana kami menyelesaikan tuntutan klien."

"Baik. Apa sekarang teman-teman saya bisa balik badan?"

Terdengar suara kekehan. "Silakan."

Remi dan Aksel membalik badan mereka, melihat Snow berdiri dan menyimpan sebuah map ke laci meja kerjanya. Kael sendiri juga memegang sebuah map. Sepertinya salinan dari kontrak tadi.

"Sekarang kalian dipersilakan keluar," ujar Snow, lalu menatap ke arah Rendra. Rendra keluar dari ruangan dan kembali bersama tiga penjaga yang membawa penutup kepala dan baki untuk menampung ponsel rombongan Kael.

Aksel menghela napas panjang, terlihat malas. "Harus banget pakai penutup kepala dan lewat jalan kayak tadi, ya? Nggak ada lift gitu?"

Snow mendengus. "Baru aja diperbolehkan balik badan, udah bacot lagi."

Aksel terlihat tak acuh. Dia dan yang lain mulai ditutup matanya oleh para penjaga sebelum dihela keluar dari ruangan Snow. Namun sebelum pergi, Rendra sempat menyelipkan lipatan kertas ke dalam saku jaket Kael sambil berbisik, "Penjelasan cara bayar ada di saku jaket lo. Buka di tempat aman."

Rombongan Kael pun menajalani perjalanan yang sama seperti yang mereka dapati dalam perjalanan ke Ruang Perjanjian. Mereka diputar ketika hendak berbelok, mencium bau anyir darah samar, beberapa kali mendengar suara jeritan tertahan, dan sisanya adalah kesunyian, hanya diisi suara langkah dan napas mereka. Namun di penghujung jalan, mereka mendengar suara seperti roda didorong cepat dan langkah terburu-buru.

"Minggir-minggir!"

"Darurat! Menyingkir semuanya!"

Tubuh mereka terasa dibawa menyamping oleh penjaga yang menghela mereka berjalan. Orang-orang yang terburu dan sesuatu dengan roda yang sedang mereka bawa pun lewat. Namun bau anyir darah tercium kuat sekali meski hanya sekilas.

Remi ingin bertanya apa-apaan itu. Apakah itu darah manusia? Atau yang lain? Kalaupun manusia, dia sudah terluka seberapa parah? Dan tempat apa ini sebenarnya?

Suara roda yang didorong pun terdengar lagi, tetapi kali ini tidak ada langkah terburu. Remi mendengar suara seperti geraman yang berat. Atau mungkin bukan geraman, melainkan dengkuran. Dia pikir itu bukan apa-apa hingga akhirnya geraman itu membuas seperti geraman harimau.

Astaga, batin Remi panik. Karena mereka jual hal-hal yang dilarang beredar—apa ini mereka jual satwa endemik?

"Ayo lanjut jalan," ujar penjaga di belakang Remi. Rombongan mereka pun kembali dihela untuk berjalan keluar dari markas bawah tanah ini.

Remi merasakan desau angin setelah sampai di suatu titik. Dia tetap disuruh berjalan. Remi pikir mungkin sekarang mereka sudah berada di luar ruang bawah tanah tadi. Suara penjaga pun menyuruh mereka berhenti, lalu terdengar suara langkah menjauh. Dan tak lama, belakang kepala Remi merasakan sesuatu seperti melepaskan kaitan kain yang menutupi kepalanya.

Begitu kain dibuka, yang Remi lihat adalah malam dan jalanan. Mereka kini berada di sebuah gang gelap. Di belakang adalah jalan buntu, dan di sisi-sisi mereka adalah gedung tua bertingkat tiga. Sisi-sisi gedung itu punya beberapa pintu. Remi tak bisa menebak mereka tadi keluar dari pintu yang mana.

Penutup mata mereka sudah dilepas semua. Rendra kini berjalan di depan mereka dan mengedikkan kepala. "Ayo jalan."

Mereka mengikuti, melangkah keluar dari gang dan berjalan menuju sebuah lapangan. Dari situ mereka turun melewati tangga, melewati sebuah gang lagi, lalu berada di belakang gedung Lightyears.

"Dari sini kalian bisa tahu ya tempat parkir masing-masing?" tanya Rendra setelah berhenti melangkah. "Gue mau balik."

Kael mengangguk. "Makasih buat bantuannya."

"Sama-sama." Rendra tersenyum, lalu menatap ke arah Aksel. "Sel, lihat ini temen lo. Cobalah belajar sopan santun dari mereka, supaya lo nggak terlibat sama masalah-masalah lagi dan ngerengek minta bantuan."

"Bacot lo. Lo lupa tadi Snow minta gue buat balik badan selama di Ruang Perjanjian?"

"Justru karena itu gue bilang buat belajar sopan santun dari temen lo ini. You should stop being an ass." Rendra tersenyum, miring dan tipis. "And you should have checked your bank account before you went here."

"Ha-ha-ha," Aksel tertawa kering. "Very funny."

Senyum Rendra berubah geli. "If I were you, I won't think that's a joke."

Aksel terdiam, sementara Rendra kemudian pergi meninggalkan mereka. Dan berlawanan dengan ucapannya yang terkesan cuek, Aksel justru langsung membuka ponsel. Remi sempat melihat logo suatu bank di layar itu. Sesaat setelahnya, Aksel mengumpat, "Anjing."

"What is it?" tanya Kael, antara waspada dan peduli. "Duit di rekening lo berkurang—atau habis?"

"Nggak dua-duanya." Aksel menyimpan kembali ponselnya. "Dia cuma omdo."

Remi menautkan alis. "Bukannya bagus?"

Aksel hanya terdiam. Kakinya melangkah memimpin rombongan, melewati orang lalu-lalang menuju depan kelab malam.

Masih penasaran, Remi yang berjalan di belakang bersama Kael pun bertanya dengan bisikan, "Dia kenapa?"

Kael menatap Aksel dengan tatapan menyelidik. Dia lalu berbisik, "Egonya agak tergores."

"Karena?"

"Aksel membiarkan dirinya ditakut-takutin sama Rendra. Itu memalukan buat dia."

"To be fair, orang-orang di sini emang menakutkan." Remi menatap Kael yang terlihat tenang, dan mata Remi menyipit. "Kamu nggak takut."

"Aku udah pernah lihat yang lebih menakutkan daripada pencurian saldo."

"Aku masih nggak paham. Nanti kalau mereka ngapa-ngapain kamu dengan akses yang kamu punya, gimana?"

"Remi, aku serius pas bilang kalau aksesku di Rembangi itu sangat terbatas. Kalau aksesku banyak, sekarang ini aku pasti udah bisa ngapus videonya dari penyimpanan Erlangga."

Entah, mungkin Remi hanya paranoid, berpikir kelompok 'pedagang' ini luarbiasa kuat, atau mungkin mereka aslinya tidak sekuat yang dia pikir.

"Ah, Remi," panggil Kael. Dia berhenti di pinggir jalan, menyingkir dari orang-orang lewat. Remi ikut menyingkir. "Makasih ya udah nemenin. Aku nggak ngira ternyata nemuin Snow bakal semencekam itu."

"Nggak apa-apa," jawab Remi. "Yang penting kamu aman."

"Aku nggak niat buat melanggar kontrak, kok."

"Kontraknya kayak gimana?" tanya Remi berhati-hati. "Boleh lihat?"

Kael melihat ke sana-kemari. "Kayaknya nggak aman kalau di sini. Ke dalam mobil aja yuk?"

"Ke mobilku aja. Lebih dekat parkirnya daripada parkiranmu tadi."

Kael mengangguk. Remi tak ragu menggamit tangan Kael dan membawanya ke dalam mobil Remi yang terparkir.

Begitu sudah masuk mobil dengan AC dinyalakan, Kael membuka map yang dia bawa dan menyerahkan kertas salinan kontrak kepada Remi. "Gitu aja sih kontraknya."

Remi membaca kontrak itu. Tertera bahwa nama 'kelompok pedagang' ini adalah Balwana. Isi kontraknya berupa permintaan klien, dan di kertas selanjutnya terdapat aturan yang harus dipatuhi klien serta kewajiban dari kelompok Balwana ini.

Remi mengembalikan kontrak tersebut. "Kael, kamu yakin ini akan berhasil?"

Kael menghela napas, memasukkan kontrak itu kembali ke dalam map. "Aku nggak tahu apa yang harus kulakuin kalau nggak berhasil, Rem."

Remi mendekat dan menarik tangan Kael. "Kael, do you trust me?"

"Of course I am. Kalau enggak, aku nggak akan ngebiarin kamu temenin aku ketemu Snow, Remi."

"Sekarang, kamu percaya nggak kalau aku bisa nolong kamu?" tanya Remi sungguh-sungguh. "Posisi kamu ini bukan posisi di mana kamu bisa bertahan sendiri. Kamu butuh bantuan. Dan buat jaga-jaga kalau si orang-orang Balwana ini gagal, aku tetap mau bantu kamu. Tapi kamu harus izinin aku dulu buat bantuin kamu."

"Remi." Kael mendengus dan tertawa miris. "Bantuin kayak gimana? Kamu nemenin aku sampai sini aja udah bahaya."

"Aku tahu," sela Remi. Jujur, dia panik, dia takut, dia sadar betul kekuatannya tak seberapa dibanding Erlangga, dibanding orang-orang yang memegang kuasa lebih tinggi. "Aku tahu, Kael. Tapi aku tanya kamu mau atau enggak. Jangan dipikirin kesulitannya dulu. Sedari awal aku deketin kamu pun aku sadar risikonya apa. Dan aku ke sini karena aku siap nanggung risiko itu."

Kael menatapnya, menatap tangan mereka yang bertaut, menatap mata Remi yang sungguh-sungguh. Dadanya mendadak terasa sesak. Dan tanpa sadar, air matanya keluar. Dia pun terisak perlahan-lahan.

Remi terperanjat. "Kael ... aku nggak bermaksud bikin kamu nangis...."

Kael menggeleng-geleng, seperti ingin menampik asumsi Remi. "Remi, you are unproblematic."

"Kata siapa? Nggak ada manusia yang nggak punya masalah."

"Your family is unproblematic," lanjut Kael, dia menahan tangisnya. Wajahnya sudah memerah, terlihat sesak. "Seenggaknya, nggak sekacau keluargaku. Dan hidup kamu ... nggak sekacau hidup aku. Kamu layak dapetin orang yang hidupnya nggak sekacau aku, Remi. Kamu layak dapetin perempuan yang nggak menyeret kamu dan keluargamu dalam bahaya."

Remi merasa tak bisa berkata-kata, hanya bisa memanggil nama Kael dengan rasa pedih, "Kael...."

"I love you," bisik Kael dengan isakan. "Tapi ... bukan dengan cara menyeret kamu dalam bahaya kayak gini, Remi. Maaf. Aku juga nggak mau keluargamu kenapa-kenapa."

Kemudian Kael membuka pintu dan keluar dari mobil. Meninggalkan Remi sendirian dengan keiinginan untuk mengejar sekaligus tinggal karena tahu betapa benarnya ucapan Kael itu. Hatinya terasa remuk.

Dan tanpa sadar, mata kiri Remi juga mengeluarkan setetes tangis.

Remi segera menghapus air mata yang sekilas muncul itu. Apa-apaan ini? Apa-apaan kelemahan ini? Apa-apaan ketidakberdayaan ini? Mengapa untuk mendapatkan seseorang yang dia cinta saja rasanya sesulit ini? Kenapa bukan hanya dirinya yang dalam bahaya, tetapi juga keluarganya? Kenapa dia harus setidakberdaya ini menghadapi manusia-manusia dengan kekuasaan lebih?

Mata Remi mencari-cari. Berharap ada bantuan. Namun jelas takkan muncul. Langit pun juga takkan mengirim bantuan jika dia melolong. Lantas kepada siapa dia harus meminta bantuan, jika malaikat enggan datang dan para dewa menolak hadir? Matanya kembali mencari-cari, lalu berlabuh di depan pintu kelab malam yang tadi dia datangi.

Dia bergeming sejenak. Waktunya terbatas jika dia masih mau mengejar. Kebimbangan muncul sebab ini bukan dirinya. Dia hendak melakukan sesuatu yang terlalu berbahaya, sesuatu yang tak persis dia ketahui bagaimana akhirnya. Namun selama ini pun, Remi juga seperti bukan dirinya sendiri. Berkenalan dengan Kael membuka jendela terhadap dunia lain yang dia tahu ada, tetapi tak pernah mau dia masuki.

Dan Remi kini justru ingin memasukinya.

Sebab dia ingin selamatkan Kael. Dan dia tak akan mampu menyelamatkannya jika dia sendiri tak berdaya.

Remi segera keluar dari mobil. Dia berlari mencari sosok berkacamata yang tadi bersamanya. Sesaat kemudian, dia kembali berjalan melintasi lorong gelap yang mencekam, lengkap dengan penutup mata dan penjaga, mendengar isakan dan jeritan tertahan, lalu berhenti dengan penutup kepala terbuka, tepat di hadapan Snow yang kini duduk di meja kerjanya sambil membaca suatu dokumen.

"Oh, yang tadi banyak nanya," ujar Snow tanpa menatapnya. Dia membolak-balik dokumen di tangan, lalu melirik Remi. "Ada yang bisa kami bantu?"

Remi menarik napas dan menangguhkan diri. "Yes, I need your help."

[ ].

11.10.2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top