16 || Di Balik Ruang
LIGHTYEARS adalah kelab malam yang memiliki interior futuristik, dan desainnya lebih mewah dari dugaan Remi. Riuh-rendah perbincangan dan musik merambat di udara. Cahaya warna-warni bergerak menyorot satu bagian ke bagian lainnya bagai laser. Ruangan cukup ramai, dan sepertinya akan tambah sesak. Setidaknya keramaian ini masih bias membuat Remi dan yang lain bergerak leluasa untuk berjalan cepat.
Di tengah jalan, Remi memelankan langkah hingga jalannya bersisian dengan Aksel, sementara Kael berada di depan mereka. Dia bertanya kepada Aksel, "Jadi, sebenernya Kael mau minta tolong sama siapa?" Remi lalu menebak, "Hacker?"
Aksel bergumam. "Salah satunya."
"Sisanya?"
"Nanti lo juga tahu pas Kael jelasin tentang masalahnya."
Merasa tidak yakin, Remi bertanya, "Tapi, ini aman, kan?"
Aksel berhenti melangkah dan memejamkan mata. Bibirnya membentuk senyum, terlihat gemas. Matanya terbuka untuk menatap Remi dengan senyum sarkastik di bibirnya. "Semua video intim Kael dan ibunya, semua didapat Erlangga dengan cara ilegal. Minta bantuan aparat keamanan jelas nggak mungkin, mereka bakal lebih tunduk ke Erlangga. Satu-satunya cara cuma pakai cara yang sama kayak Erlangga. And you dare to expect a safe play?"
Remi menatap dingin, tetap tak gentar dikonfrontasi seperti itu. "Iya, gue masih expect apa pun yang mau Kael lakukan ini tetap safe play." Nadanya terdengar datar." Ini bukan masalah ilegal atau legal. Ini masalah keamanan buat Kael. Kesepakatan apa pun yang nanti bakal dibuat Kael dengan entah siapa orang ini, seenggaknya ada yang bisa jamin keamanan untuk Kael sendiri."
Alis Aksel sedikit tertaut. Dia menatap Remi agak lama. "Oke." Dia mengangguk. "Keselamatan Kael terjamin selama nggak ada dari kita yang melanggar kesepakatan dan selama kita nggak alot dalam proses pembuatan kesepakatan."
Kini giliran Remi yang menautkan alis. "Kita?"
"Iya. Kata Kael, lo ikut nemenin kan?"
"Oh, iya gue ikut."
"Tapi lo cuma ikut sampai pertengahan jalan aja."
"Lho? Kenapa?"
"Sel!" seru suara Kael dari jauh. Kael mendekati mereka dengan alis mengerut. "Kenapa malah diem di sini? Orangnya ada di deket sini emangnya?"
"Oh, enggak." Aksel menyengir. "Gue barusan lihat cewek seksi lewat. Maklum, mata gue capek lihat kerjaan dari pagi. Butuh penyegaran dulu."
"Bacot. Ayo jalan lagi. Di mana orangnya?"
"Lurus terus. Gue aja yang pandu jalannya."
Aksel melangkah melewati Kael. Remi dan Kael pun menyusul.
Kaki Aksel berjalan sambil membuka ponsel, seperti sedang membaca sesuatu di layarnya. Matanya lalu bergerak mencari-cari. Kael dan Remi hanya mengikuti hingga akhirnya Aksel berhenti—dihentikan, oleh seorang lelaki berwajah rupawan.
Napas Kael tercuri. Dia tak pernah melihat keindahan seganjil ini pada diri seseorang.
Kata 'tampan' kurang cocok untuk mendeskripikannya. Lelaki itu bukan hanya sekadar tampan; dia indah. Keindahan ganjil yang hanya cocok ditemui dalam lukisan-lukisan. Keindahan yang tidak manusiawi. Bahkan melihatnya saja membuat Kael merasa seolah dia sedang curi-curi pandang pada sesuatu yang begitu berharga dan tak seharusnya dia lihat.
Lelaki yang menghentikan mereka bertubuh tinggi, berambut abu-abu muda dengan sedikit tinta kekuningan yang tipis. Bola matanya biru terang, bagai api panas yang menyala-nyala di tengah kegelapan. Kulitnya gelap, lebih gelap daripada orang-orang yang pernah Kael jumpai secara langsung. Dan kulit itu indah sekali; halus dan sedikit mengilap bagai dicelup satin. Diperindah dengan kalung-kalung dan gelang-gelang emas pada tubuhnya. Anting lingkar mengait di telinganya. Dia terlihat bagai bangsawan dari kerajaan zaman dahulu.
Kael sudah melihat para pengunjung dengan berbagai macam kostum unik, tetapi lelaki inilah yang paling memesona. Kalau pun lelaki itu sudah berusaha sangat keras untuk penampilannya di pesta ini, usahanya jelas terbayar karena segala hal yan gmelekat pada dirinya kini terasa bagai kulit kedua, terlihat alami meski tidak lazim.
Kael memandang Remi dan Aksel. Mendapati bahwa kedua lelaki itu juga sama terperanjatnya seperti dirinya. Mereka bukan sekadar terpesona. Mereka terhipnotis.
Siapa dia?
"Ah," ujar lelaki itu dengan suara ringan. "Kalian cari Rendra, ya?"
"Uh ... hmmm...." Aksel tergagap, lalu menelan ludah. Bahkan Aksel pun terpesona. "I-iya. Sori, lo tahu Rendra ada di mana?"
"Iya, tahu." Suaranya bahkan terdengar merdu. Kael tak habis pikir. "Dia ada di Ruang Angkasa. Mari, biar saya antar."
"H-hah?" otomatis Kael merespons. "Ruang Angkasa?"
Lelaki itu tersenyum. "Ada ruang privat di sini, nama ruangannya disebut 'Angkasa'."
"Ohh." Kael manggut-manggut. Lalu mereka berjalan mengikuti lelaki itu.
Kael melihat Remi menyentuh dadanya, seolah baru saja kena serangan jantung mendadak. Dia pun tersenyum. "Pangeran terpesona?"
Remi segera menoleh. Lalu berjalan Bersama Kael mengikuti lelaki misterius tadi. "A...aku nggak tahu apa yang sebenernya harus kurasain?"
"Memang rasanya gimana?"
"Sesak. Tapi bukan karena sedih atau marah. Mungkin iya, terpesona. Tapi ini aneh banget. Biasanya ngelihat orang-orang pakai kostum aneh-aneh ya aku biasa aja. Tapi ini bikin sesak. Aneh."
"Itu namanya terpesona, Pangeran." Kael terkikik. "Sesak saking terpesonanya."
Mereka pun berhenti ketika lelaki misterius itu berhenti di depan pintu ganda dengan dua penjaga bertubuh besar dan berwjah galak. Dia menunjukkan sebuah kartu berwarna perak, lalu para penjaga itu menundukkan kepala sebelum membuka pintu ganda menuju ruang privat.
"Saya hanya bisa antar kalian sampai sini," ujar lelaki itu. "Rendra ada di ruang nomor sembilan. Silakan ikuti jalan saja, nanti akan ketemu ruangannya." Dia lalu sedikit menganggukkan kepala. "Saya permisi."
Kael dan yang lain menatap lelaki itu melenggang meninggalkan mereka. Begitu sosoknya sudah menghilang ditelan keramaian, baru mereka kembali menatap pintu ganda dan melewatinya.
Ruang 'Angkasa' ini terlihat seperti ruang privat dengan interior yang lebih tertutup dan futuristik. Hanya ada satu koridor dengan sekat yang membatasi satu ruang tertutup dengan ruang tertutup lainnya. Ruang nomor sembilan ada di ujung koridor.
Aksel berhenti di depan pintu, lalu langsung masuk tanpa mengetuk dulu. Remi berjalan masuk setelah Kael, lalu melihat ruangan berisi sofa-sofa dan beberapa kabinet, seperti ruang duduk normal.
Di dalam ruang ini hanya ada satu orang lelaki duduk. Dia mengenakan kemeja putih dan kacamata. Beberapa tato mengintip dari leher dan tangannya. Lelaki itu mengangkat kepala dari PSP-nya dan melihat Aksel. "Telat banget lo."
Aksel terlihat santai. "Yang antre buat masuk sini banyak." Dia melambaikan tangan ke arah lelaki itu. "Semuanya, kenalin, ini Rendra."
Rendra menatap rombongan Aksel mendekat. Matanya berhenti sedikit lebih lama ketika menatap Kael. Kemudian Rendra memandang Aksel dan berkata dengan nada tidak senang, "Very reckless."
Aksel mengeluarkan helaan napas lelah. "We don't have any choice."
Seperti baru menyadari kehadiran Remi, Rendra bertanya, "Ini ada tamu tambahan?"
"Dia stay di sini," ujar Aksel, mengabaikan wajah protes Remi. "Izin pass-nya pasti cuma ada buat gue sama Kael."
"Nggak juga. Bisa lebih, kok."
Aksel menautkan alis, menahan jengkel, sedangkan Rendra tersenyum puas melihat kejengkelan itu.
Rendra pun berdiri, menjulurkan tangan ke arah Remi. "Rendra."
"Remi," ujar Remi sambal menjabat tangan Rendra. "Lo ... hacker-nya?"
Rendra mengangkat alis, seperti menahan geli sekaligus menimang jawaban. "Semacam itu."
Kael bergantian menjabat tangan Rendra. "Saya Kael." Dia lalu memerhatikan Rendra dengan menyipit. "Apa kita pernah ketemu sebelumnya?"
Rendra mengernyit. "Nggak pernah kayaknya. Emang pernah ketemu gue di mana?"
"Nggak tahu. Tapi muka lo nggak asing."
"Iyalah, si Rendra itu mukanya pasaran," sahut Aksel sambil lalu. Dia duduk tanpa dipersilakan, kemudian mengibaskan tangan ke arah sofa-sofa di situ. "Duduk sini, Remi, Kael."
Remi dan Kael menatap satu sama lain, tahu betul bahwa dalam kelas etiket ini adalah bentuk ketidaksopanan.
Rendra mendengus sebelum kembali duduk. "Stop acting like an ass, Aksel." Lalu menatap dua orang lain yang masih berdiri, "Silakan duduk."
Mereka pun duduk. Merasa sangat clueless, dan melihat sepertinya Rendra tergolong cukup ramah di tengah para penjaga berwajah kurang ramah yang dia lihat di sepanjang jalan ke sini, Remi tak sungkan untuk bertanya, "Maaf, prosedur buat bikin 'kesepakatan'nya nanti gimana, ya?"
Rendra mengangkat alis, kembali menatap Aksel dengan tatapan menuduh. "Jahat juga lo, nggak kasih tahu mereka dulu prosedurnya."
Aksel mengibas tangan seolah itu bukan hal penting. "Ntar juga paham."
"Jadi sebelum masuk ke base, nanti akan ada penjaga yang ngecek kalian," ujar Rendra. "Setelah dicek, nanti kalian baru boleh ketemu Snow."
"Bentar," sela Kael. "Ini ketemu Snow buat apa?"
"Bikin kontrak."
"Jadi bikin kontraknya bukan sama kamu?"
"Bukanlah. Lagian, emangnya lo cuma butuh jasa hacking?"
"Saya butuh beberapa video seks dihapus dari penyimpanan orang, sama nyari bukti-bukti pelanggaran hukum dari orang itu. Apa hacker aja nggak cukup?"
"Penyimpanannya ada di mana? Kalau datanya disimpan di PC sih, masih bisa gue urus. Tapi kalau datanya disimpen di hard disk, flash disk atau CD? Barang kayak gitu kan bentuknya fisik, disimpannya bukan dalam PC atau internet. Jadi harus ada yang ngambil diem-diem. Begitu pun bukti pelanggaran hukum orang. Hacker aja nggak cukup," terang Rendra. "Emang siapa orang yang mau lo telusuri ini?"
Kael memejam sejenak. "Erlangga Soerjodiningrat."
Rendra bergeming, lalu menggeleng. "Gue nggak bisa jamin Snow bakal nerima permintaan lo." Dia menatap Kael. "Kalau pun nerima, mungkin harganya agak berat."
Kael sudah tahu kemungkinan itu. Namun, dia tetap ingin berhati-hati. "Apa salah satu bayarannya bisa menyangkut seks?"
Rendra meninggikan satu alis. "Sex...? Ini kita bicara tentang sex dalam arti apa?"
"Uhm ... aktivitas seksual?"
"Oh, nggak, kok. Begituan aja mah, Snow nyari di dance floor juga bisa. Kan nggak jarang ada cewek-cewek Indo yang hunting bule." Rendra geleng-geleng. "Anyway, nanti buat ke Ruang Perjanjian, kalian semua bakal ditutup matanya. Handphone juga bakal disita sementara."
Remi melotot. "Bentar, ini—kelompok lo ini kan, bukan organisasi legal. Kalau barang-barang kami disalahgunakan, atau kami dicelakai, siapa yang akan tanggung jawab?"
"Nggak ada," Rendra menjawab dengan enteng. "Makanya gue bakal temenin kalian di sepanjang perjalanan ke Ruang Perjanjian."
"Dan apa jaminan kalau lo bisa dipercaya?"
Rendra hanya mengarahkan pandangannya ke arah Aksel.
Aksel memejamkan mata, lalu mendesah. "Percaya aja sama dia. Gue minta dia nemuin kita di sini itu bukan buat jelasin prosedur bikin kontrak, tapi buat nemenin kita ke Ruang Perjanjian. Dia bisa jamin keselamatan kita."
"Nggak bisa Snow-nya aja dibawa ke sini?"
Rendra menggeleng. "Kalau pun Snow lagi di sini, dia pasti juga bakal bawa kalian semua ke ruangan dia."
Remi masih tak habis pikir. "Kenapa harus di ruangan dia?"
"Kalau-kalau lo lupa, kontrak yang mau kalian jalani ini adalah bisnis ilegal."
Remi terdiam. Merasa agak kalut sekaligus sedikit frustrasi. Dia hanya tak ingin membahayakan Kael. Membayangkan mereka semua dalam keadaan ditutup mata tanpa alat untuk menghubungi siapa pun di luar jelas membuat mereka dalam situasi yang rawan.
"Oh, ya, satu lagi," ujar Rendra. "Di jalan nanti, apa pun yang kalian dengar, apa pun yang kalian cium baunya sepanjang jalan ke Ruang Perjanjian, abaikan aja. Jangan tanya-tanya."
Remi bergidik. Kenapa ini kedengaran seolah dia hendak masuk ke lorong rumah hantu—bahkan lebih buruk? "Sebenernya lo dan kelompok lo ini apa, sih? Kalian ... pembunuh bayaran?"
"Kami pedagang," balas Rendra. "Kami jual barang dan jual jasa. Tapi kebetulan barang-barang yang kami jual ini dilarang untuk beredar. Itu aja." Rendra pun berdiri dan menggeser salah satu pajangan dari kabinet. Di balik pajangan tersebut ada sebuah layer seukuran buku. Rendra meletakkan tangannya di atas layer, kemudian salah satu dinding bergeser ke samping, menunjukkan tangga ke bawah dan sebuah belokan.
Remi menelan ludah. Dia langsung mengenggam tangan Kael. Hanya insting protektif. Dia takut. Seumur-umur hanya mengetahui hal seperti ini dalam film atau serial televisi. Tak pernah melihat dan mengalami langsung. Namun meski takut, Remi merasa dia harus lebih kuat seandainya ada hal buruk terjadi nanti.
Mata Aksel terpejam dengan desahan panjang. "Harus banget lewat bawah sini ya? Bener-bener nggak bisa minta Snow aja yang ke sini? Di sini juga ruangannya privat."
"Buat orang yang lagi minta tolong, you're asking too much," ujar Rendra, lalu segera berjalan lebih dulu dari mereka semua. Mau tak mau, Aksel mengikuti, disusul Kael dan Remi.
Pintu di belakang mereka tertutup, membuat Remi berdegup oleh ketegangan. Jalan di dalam ruang bawah ini gelap. Sepanjang mereka melangkah hanya berisi koridor beton dan penerangan minim. Mereka berbelok dan menemukan koridor lenggang dengan sebuah lorong di tengah yang lagi-lagi, dijaga oleh beberapa orang. Tetapi kali ini penjaganya tidak berpakaian formal seperti para penjaga di kelab malam, dan ada dua orang penjaga perempuan. Pakaian mereka lebih kasual, seperti pakaian harian warga sipil pada umumnya. Namun mereka semua mengenakan buff yang menutupi mulut dan leher mereka.
Rendra mengangguk, lalu salah seorang dari mereka berjalan sambil membawa baki alumunium ke arah orang-orang di belakang Rendra. "Handphone, tab, gadget apa pun silakan ditaruh di sini."
Ada sorot ragu yang rombongan Kael lemparkan ke satu sama lain. Namun Aksel menarik napas dan mengeluarkan ponselnya. Satu per satu dari mereka pun memberikan ponsel ke penjaga.
"Cuma ini aja?" tanya si penjaga. "Mohon maaf, kami mau ngecek pakaian kalian." Penjaga itu lalu mengangguk ke arah seorang penjaga perempuan.
Kael mengangkat tangan dan membiarkan penjaga perempuan itu mengecek pakaiannya. Penjaga lain mengecek Remi dan Aksel. Setelah itu, baki berisi ponsel mereka diberikan kepada Rendra.
Remi menyipit, "Kenapa handphone-nya lo yang bawa?"
Rendra menjawab, "Jalan keluarnya beda sama jalan masuknya. Jadi handphone kalian juga harus dibawa."
"Iya, tapi kenapa lo yang bawa?"
"Emang kenapa? Takut disadap?" Rendra tersenyum menggoda. "Selow aja. Gue belum ada urusan buat ngerecokin handphone kalian."
Remi masih merasa ganjil. "Katanya lo bakal nemenin sampai ke Ruang Perjanjian. Gimana kami semua bisa tahu kalau lo nggak kabur?"
"Oh. Lo mau pegangan tangan sama gue selama jalan ke Ruang Perjanjian?"
Remi menyipit jengkel. Rendra memang tidak salah, tetapi ucapannya terasa menjengkelkan.
Namun, tanpa Remi duga, Kael justru segera mengenggam lengan bawah Rendra. Dan Kael hanya diam saja selama seorang penjaga menutup matanya dengan kain. Seolah tak punya pilihan kecuali percaya.
Para penjaga itu menatap ke arah tangan Kael yang memegang lengan Rendra, seolah sedang protes. Rendra mengangkat tangan seperti hendak menenangkan. "Nggak apa-apa. Nanti gue aja yang muterin dia."
Muterin...? Remi ingin bertanya. Tetapi dia merasa sudah begitu banyak bertanya dari tadi. Namun, bukan salahnya, kan? Apalagi dia di sini memang benar-benar baru, dan Aksel sama sekali tak ada belas kasih untuk sedikit saja memberi tahu tentang prosedur masuk ke sini, mendatangi Ruang Perjanjian, atau bagaimana nanti kontrak terjalin.
Setelah mata Remi tertutup, seorang penjaga memegangi kedua lengannya untuk menghela. Kemudian Remi mendengar suara Rendra. "Jalan aja terus. Nanti pas ketemu belokan kalian bakal diputar-putar badannya."
Dia lalu mendengar seseorang mendecak. "Kenapa harus serempong ini sih?" Itu suara Aksel.
"Buat jaga-jaga aja," jawab Rendra. "Ayo jalan."
"Kael?" tanya Remi sambil berjalan. "Are you still there?"
"Iya, aku di sini, Remi," jawab suara yang sudah Remi kenali.
Mereka berjalan maju. Remi mendengar suara-suara langkah. Dan di belakangnya, dia mendengar suara Aksel berbisik, "Dasar bucin."
Remi mengabaikannya dan tetap melangkah.
Di tengah jalan, tubuh mereka diputar—pikir Remi, mungkin supaya mereka tak bisa menebak jalannya belok ke mana. Namun setelah beberapa belokan, dia mendengar jeritan perempuan yang membuatnya membatu. Dan sepertinya, yang lain berhenti berjalan.
Terdengar jeritan lagi. Dan kesunyian di sekitarnya justru membuat suasana makin mencekam. Penjaga yang memegangi pundaknya menepuk punggungnya dan berkata, "Jalan terus, jangan diem aja."
Remi menelan ludah, kemudian mengikuti ucapan itu meski dia mencium bau anyir darah. Sayup-sayup, suara jerit perempuan itu terdengar ditahan, seolah mulutnya sudah disumpal kain. Remi menggertakkan gigi, menangguhkan diri kendati itu semua menaikkan bulu kuduknya.
Setelah beberapa kali belokan, penjaga menyuruh mereka berhenti. Ikatan di sekeliling mata mereka dilepaskan. Kini mereka berada di depan pintu ganda berwarna putih. Hanya ada lorong satu jalan ke arah kanan. Remi berusaha tak melihat ke kejauhan, tak ingin menatap dalam kegelapan.
Sebelum ada yang mengetuk, pintu di depannya terbuka dengan dua penjaga keluar sambil menggotong sebuah tubuh yang terlihat tak sadarkan diri. Kael terkesiap dan spontan mengenggam lengan kemeja Remi. Dan Remi secara instingtif merangkul pundak Kael sebagai bentuk perlindungan.
Setelah orang yang diangkut itu pergi, Rendra hendak membuka pintu, tetapi pundaknya ditahan oleh Remi. "Lo beneran bisa jamin keamanan kita, kan?"Rendra menoleh dan mengangguk. "Selama kalian nggak melanggar kontrak, semua aman."
"Dan orang tadi? Dia kenapa?"
"Bandel itu. Pasti ngelanggar kontrak. Atau histeris aja karena hasilnya nggak sesuai ekspektasi dia."
"Maksudnya?" Remi menahan Rendra, menarik tubuhnya agar berhadap-hadapan. "Hasil nggak sesuai ekspektasi? Kan kalian juga harus menuntaskan permintaan klien. Berarti hasilnya harus sesuai ekspektasi."
"Iya, betul. Dan kami pasti memenuhi kontrak apa pun yang terjadi. Tapi, 'hasil' yang gue maksud tadi bukanlah hasil kerja kami, melainkan hasil dari entah-rencana-apa yang dibuat si klien, rencana yang kebetulan membutuhkan hasil dari kerja kami," terang Rendra dengan tenang. "Sekarang, bisa singkirin tangan lo dari baju gue?"
Remi baru tersadar bahwa dia sedang mencengkeram kemeja Rendra. Dia segera menurunkan tangannya. "Maaf."
"Selow," ujar Rendra, lalu mengetuk pintu. "Asal lain kali jangan sembarangan mukul gue aja."
Pintu pun terbuka, menampilkan interior yang sangat kontras dari interior mencekam lorong-lorong yang mereka lewati tadi. Ruang Perjanjian terlihat seperti ruang kerja luas. Terdapat sebuah meja kerja dan kursi tunggal berbahan kulit terletak di ujung ruangan. Ada dua pintu di dinding belakang kursi kerja, yang satu sedang terbuka dan satu lagi tertutup. Dinding di sekeli ruangan ditutup wallpaper warna perak dan biru. Di sisi kanan ada meja dan lemari kaca yang menyimpan berbagai botol berisi minuman keras. Sedangkan di sisi kiri, ada beberapa sofa dengan meja pendek yang sepertinya diperuntukkan bagi tamu. Salah satu sofa itu diisi oleh seorang anak kecil.
Remi spontan membeliak. Untuk apa ada anak kecil di sini? Ini bukanlah tempat yang diperuntukkan bagi anak-anak. Meskipun anak itu terlihat tak acuh dengan sekitar dan justru sibuk sendiri dengan rubriknya. Namun pemandangan ada anak kecil di tempat seperti ini terasa begitu ganjil. Baru lima belas menit berada di sini, dan Remi sudah bertemu orang-orang ganjil yang aneh-aneh.
Anak itu hanya menatap mereka sekilas. Terlihat memiliki wajah oriental dan rambut hitam pendek. Dia mengenakan kemeja lengan panjang dan celana bahan selutut. Karena ruangan itu kosong, Kael mendekati anak kecil dan tersenyum. Dengan suara ramah, dia bertanya, "Adek namanya siapa?"
Anak kecil itu mengernyit, terlihat jengkel. Dia menatap Kael dengan sebal. "Lo nggak perlu tahu. Urusin urusan lo aja." Kemudian dia melenggang keluar dari ruangan itu.
Kael agak terkejut, tetapi merasa lebih baik mengabaikannya. Selepas kepergian anak kecil itu, mereka mendengar suara langkah mendekat dari arah pintu yang terbuka. Sesaat kemudian, seorang lelaki muncul dari sana, lalu mendekat ke arahnya.
Rombongan Kael menahan napas. Tidak bisa tidak terperanjat.
Sosok yang berjalan ke arah mereka itu bukan hanya menjulang; dia bagai raksasa. Kael yakin sekali pasti tingginya sudah lewat dari dua meter. Pakaiannya tidaklah ganjil—hanya kaus putih dan celana denim robek-robek—tetapi fisiknya yang sangat tinggi membuatnya bisa begitu mencuat dari keramaian. Tubuhnya tergolong well-built, berotot dengan bahu yang lebar. Wajahnya memiliki beberapa bekas luka. Lingkaran di bawah matanya menghitam, sementara bola matanya terlihat seperti jelaga kematian. Rambutnya dicat putih, tetapi tak mengesankan penuaan; justru terasa begitu cocok pada dirinya seolah memang sudah sepatutnya dia dilahirkan dengan warna rambut seperti itu. Bahkan ketika diperkenalkan pun, nama lelaki itu terdengar sangat pas dengan impresi awal Kael terhadapnya.
"Semuanya, kenalkan. Ini Snow."
[ ].
04.10.2019
A/N
yow listen, ini bayangan gue tentang 'lelaki misterius' yang ditemui rombongan Kael.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top