15 || Di Balik Maaf
MENDATANGI kelab malam adalah hal terakhir yang ingin Remi lakukan hari ini.
Namun karena ini permintaan Kael—ini adalah lokasi janjiannya untuk bertemu gadis itu—Remi berusaha menahan diri agar tidak merasa malas berangkat.
Mobil Remi terparkir di area khusus dalam rubanah kantor. Langkahnya sudah tiba di depan mobil. Dia memasukkan tas kerja dan jas ke jok samping kemudi, lalu melihat sosok lelaki tinggi dengan cambang tipis mendekati mobilnya. Gerak-gerik lelaki itu terlihat seperti ingin mengajak bicara.
Remi bangkit berdiri, menutup pintu mobil. "Ada apa, Nes?"
Wajah Danes terlihat getir. "Hm...." Dia menunduk dan menggaruk tengkuknya. Membuat Remi makin curiga.
Remi ingin berprasangka baik. Namun masalahnya, Danes tak sering berlaku canggung seperti ini. Biasanya Danes terlihat kikuk jika lelaki itu hendak melakukan sesuatu yang mengharuskannya menurunkan ego—meminta maaf, contohnya. Dan Remi tak merasa Danes sudah melakukan suatu kesalahan fatal kepadanya. Remi melangkah mendekat. "Nes, what is it? Ada yang mau lo omongin?"
"Gue minta maaf," ujar Danes, membuat dugaan Remi tervalidasi, tetapi Remi tetap terkejut karena tak paham kenapa Danes meminta maaf seperti ini. "Jujur, gue nggak tahu kalau diam-diam lo ada hubungan sama Kael—but nonetheless, I shouldn't say bad things about her. I'm sorry."
Ucapan itu mengejutkan Remi. Apa Danes udah ngelihat videonya? pikir Remi. Kalau Danes aja udah, gimana yang lain? Apa semua orang udah tahu? Berapa orang yang lihat video itu? "Lo—bentar, kenapa lo bisa mikir gue ada hubungan sama Kael?"
Danes mengangkat alis. "Emangnya lo nggak ada hubungan apa-apa sama dia?"
"Bukan gitu juga. Maksudnya—Nes, lo belum jawab pertanyaan gue."
"Gue udah lihat videonya. Lo, Kael, kissing di mal—mal kita, Remi. Of all places, I swear to God, gue nggak ngira lo bakal seceroboh in— "
"Lo dapet videonya dari mana?" sela Remi. "Marcus? Temen-temen lo yang lain?"
"Mereka tahu sih, tapi gue pertama tahu bukan dari mereka."
"Terus dari siapa?"
"Ya siapa lagi? Yang paling heboh kalau tahu lo deket sama cewek emang siapa?"
Remi membeliak. "Fatma?!"
"Iya, Fatma. Dia tahu-tahu kirim video itu, trus ngomel ke gue, bilang jangan berani-beraninya main-main sama Kael karena lo niat seriusin Kael. Kalau tahu lo bawa Kael ke apartemen lo—"
"Fatma cerita tentang apartemen?!"
"Iya, kenapa sekaget itu, sih?"
Air muka Remi terlihat berpikir keras akan sesuatu. "Bentar, kalau lo dikasih tahu Fatma, berarti ... Mami udah tahu video ini?"
Danes memutar bola mata. "Yakali Fatma nggak kasih tahu Mami."
Wajah Remi terlihat syok. Dia mengalihkan pandangan untuk menenangkan diri. "Gue pikir ... gue pikir Fatma bakal jaga rahasia."
Danes mendengus geli. "C'mon, Remi. Kita berdua tinggal sama Fatma dari dia bayi. Dia orang terakhir yang bisa lo minta buat jaga rahasia."
Remi tahu. Tapi tetap, dia merasa agak dikhianati. Sebab Fatma sudah berjanji kepadanya.
"Hey, Rem," Danes memanggil adiknya dari lamunan. "Ini lo serius sama Kael?"
Remi mengangguk.
"Tapi, kalau lo tiba-tiba begini seriusin Kael, padahal lo juga belum lama kenal dia, apa jangan-jangan kalian...." Danes merasa ragu, tetapi tetap mengatakan, "Apa jangan-jangan, lo seriusin Kael karena dia hamil anak lo?"
Remi membeliak. "Ngaco aja. Belum saatnya."
Danes terbahak. "Emang mau ngehamilin beneran?"
"Iya ntar, habis nikah."
"Lo serius?"
"Iya."
Danes tertawa. Remi tidak. Dan itu membuat tawa Danes surut seketika. Wajahnya tegang. "Anjing. Lo serius."
Merasa tak ada yang perlu dibahas lagi, Remi menganggap pembicaraan itu selesai. "Ya udah." Remi melambaikan tangan dan membuka pintu mobil. "Gue duluan, Nes."
"Remi?"
"Ya?"
"Lo beneran?" Danes menahan pintu mobil Remi, benar-benar ingin memastikan. "Nikahin Kael. For real?"
"Yah ... bukan langsung nikah juga," ujar Remi, sejenak menggaruk kepalanya. "Tapi, Mami udah kasih restu kalau gue mau seriusin Kael."
"Remi." Nada yang digunakan Danes kini seperti memperingatkan. "Keluarga Cakrawangsa sama Soerjodiningrat udah jadi kompetitor bisnis sebelum Griya Teduh berdiri—bahkan udah jadi saingan dari zaman eyang buyut kita masih hidup. Lo mau mengabaikan tawaran perjodohan ke anaknya Om Hari demi Kael?"
Remi bergeming untuk sesaat. Namun ketika Danes melihat mata adiknya, Danes terperanjat sendiri melihat tak ada keraguan di wajah Remi.
"Yakin." Remi duduk di jok kemudi. "Ada lagi yang mau lo sampaikan, Nes?"
Danes mundur dari pintu mobil. "Semoga beruntung."
Jalanan Jakarta sepulang kantor macet seperti biasa. Sehingga Remi baru tiba di lokasi janjian satu jam setelahnya. Dia memarkirkan mobil di lapangan parkir depan. Kelab malam yang dia datangi terletak di suatu area yang terkenal sebagai distrik hiburan kota. Cukup banyak orang mengantre di pintu masuk, mengenakan kostum dan aksesoris unik, seperti kostum Met Gala versi tidak heboh. Remi pikir, mungkin itu kode busana untuk acara di dalam. Beberapa orang di antaranya juga mengecat rambut atau mengenakan wig warna terang. Membuat Remi agak kesulitan untuk mencari-cari sosok gadis berambut pastel.
Kael mengirim pesan bahwa dia telah sampai. Remi membalas bahwa dia juga sudah tiba. Setelah itu, belum ada balasan.
Pandangan Remi mengedar ke sekeliling hingga menangkap sosok mungil yang dia cari sedang berjalan menuju pintu masuk kelab malam, terlihat berbicara dengan seseorang. Namun gadis itu datang dengan sosok yang tak Remi duga: Aksel Hadiraja.
Remi mengerjap. Berusaha tak tersinggung karena Kael tak memberitahu bahwa lelaki itu datang bersamanya. Remi mengingatkan diri bahwa Kael dan dirinya memang tak memiliki hubungan apa-apa—tak peduli jika chemistry yang dia rasakan sudah ada, tak peduli jika dia merasa cocok satu sama lain.
Remi menarik napas dan hendak mendekati Kael. Gadis itu tidak mengenakan pakaian heboh seperti orang-orang yang antre. Pakaian Kael seperti pakaian ala night attire: minidress merah yang fit to body, dan luaran berupa jaket kulit cokelat. Baru beberapa langkah Remi maju, Kael menoleh dan menangkap sosok Remi, kemudian menyengir dan berlari ke arah lelaki itu.
"Remi!" seru Kael saat berlari kecil ke arahnya. Wajahnya berbinar dengan rona merah jambu, membuat Remi gemas ingin memeluk tubuh mungil gadis itu—sebelum disadarkan bahwa dia bukan siapa-siapanya Kael. Kael lalu tersenyum. "Halo."
Remi ikut tersenyum. Canggung. "Halo."
"Gimana tadi perjalanan? Capek, ya?"
Senyum Remi melebar. "Udah biasa. Namanya juga jalanan Jakarta after office hour."
"Tapi, Remi udah sempat makan malam?"
"Gampang. Habis ini juga bisa."
Kael mengalihkan pandangan ke arah lain. Aksel menyusul di belakang Kael. Lalu gadis itu berkata, "Kamu tunggu di sini dulu ya sama Aksel," sebelum pergi tanpa penjelasan.
Ditinggalkan berdua bersama Aksel, untuk menjaga kesantunan, Remi mengangkat tangannya dan memperkenalkan diri. "Remi."
"Aksel Hadiraja." Aksel menjabat tangannya. "Kael cerita banyak tentang lo."
Ucapan itu jelas saja membuat Remi terpancing. "Cerita tentang apa aja?"
"Katanya lo ganteng." Aksel tersenyum. "Setelah gue lihat-lihat, ternyata tetep gantengan gue."
"Hngg...." Remi tak yakin harus membalas apa. Dari gosip yang berseliweran, setahu Remi, Aksel Hadiraja memang pribadi yang sangat narsis.
"Kael juga pernah bilang," Aksel menatapnya lagi dengan tatapan seperti kucing: pemalas sekaligus bermain-main. "Dia bilang, dia pengin nunjukkin koleksi lingerie-nya ke elo."
Remi menyipit skeptis. "Menurut gue, nggak sebaiknya lo bohong tentang hal-hal yang nggak bener gitu."
"Nggak bener gimana?" Aksel meninggikan satu alis. "I don't lie. She likes you."
Remi menatap Aksel. Seperti ingin mencari-cari kebohongan dari raut wajah lelaki itu. Namun sebelum merespons apa pun, Kael sudah kembali dan memberikannya sekantung plastik.
Remi menerimanya dan bertanya, "Ini apa?"
"Roti, buat kamu makan," jawab Kael, lalu gadis itu mendekat. "Kamu makan dulu, ya. Aku temenin."
Remi berusaha mengontrol detak jantungnya dan menghela napas. Boleh baper nggak, sih? "Makasih."
Suara dehaman muncul di belakang mereka. Aksel menatap Remi dan Kael dengan masam. "Kalau mau pacaran lama-lama, bilang yak. Kali aja gue bisa naik haji dulu."
Kael tersenyum, seperti menahan gemas. "Aksel," ujarnya dengan nada sabar. "Itu kan, antrean buat masuknya agak panjang. Lo bisa antre buat kita, kan?"
"What? Gue? Antre? Sendirian?"
"Iya. Bisa kan?"
"Hah? Masa gue cuma sendirian ngantre sepanjang itu buat—" Dia menyipitkan mata melihat Remi dan Kael. "Uggghh, fine!"
Mereka menyaksikan Aksel pergi untuk mulai mengantre. Kael terlihat puas melihatnya, sementara Remi justru penasaran. "Kamu ke sini ada acara apa? Ada yang ultah?"
"Oh, kayaknya memang ada yang ultah. Tapi aku ke sini buat ketemu orang." Kael menggamit lengan Remi, membuat Remi membeku dan makin berdebar. "Duduk dulu, yuk."
Kael menghela Remi ke area parkir, lalu masuk ke dalam mobil Kael. Dan hal ini justru membuat Remi terheran. "Emang di dalam night club itu nggak ada makanan? Kalau ada, saya bisa makan di dalam, kok."
Ucapan itu mengagetkan Kael. "Lho? Kamu bukannya nggak suka sama pesta-pesta rame kayak gitu?"
"Iya, sih. Tapi, ini jadinya kamu ngajak aku bukan buat ngobrol di dalam night club?"
"Enggaklah. Kan kamu nggak suka ada di dalam pesta-pesta begitu," ujar Kael dengan ringan. Dan jujur, Remi ingin tersipu tetapi dia tahan-tahan. "Atau, apa kamu nggak masalah kalau ngobrol di dalam sana?"
"Nggak masalah, sih. Tapi, udah di sini, dan lagian masih harus antre juga, kan." Dia duduk di jok samping kemudi, dan Kael duduk di sebelahnya. Mendadak Remi déjà vu dengan hari pertama dia bertemu Kael dan menolong seorang pramubakti. "Makasih buat pengertiannya."
"Sama-sama. Ini tadi aku beli rotinya di toko roti seberang jalan. Semoga kamu suka, ya," ujar Kael dengan senyum. "Dimakan dulu, Pangeran."
Senyum Remi melebar karena diperhatikan. "Iya," ujar Remi, dan Remi menahan diri dari hasrat ingin menambahkan kata 'Sayang' setelah ucapan itu, sadar diri bahwa dia belum jadi apa-apanya Kael. "Ada apa tiba-tiba perhatian begini?"
"Ah, Pangeran ngomong kayak nggak pernah diperhatiin orang aja." Kael menyengir. "Gimana? Seneng kan diperhatiin?"
"Seneng."
Kael tertawa, meski Remi tak paham kenapa. Mungkin karena jawabannya terdengar polos, mungkin karena Remi salah tangkap. Namun sepertinya gadis itu tertawa untuk menutupi rasa malu dan tersipu.
Sambil makan, Remi ingat bahwa ada hal yang harus dia sampaikan dan pertanyakan. "Kael." Remi menunduk. "Tentang video yang kesebar itu ... apa video itu bakal bikin kamu kena masalah?"
Jendela pintu mobil dibuka. Kael memandang ke arah jalanan. "Hm ... mungkin."
"I'm sorry."
Kael kembali memandangnya. "It's not your fault, Remi."
"Tapi harusnya saya nggak seceroboh itu."
"Harusnya kita nggak seceroboh itu," tekan Kael. "Kalau pun itu kesalahan, jadinya ini kesalahan kita berdua kok. Aku juga terlalu impulsif. Tapi yang udah terjadi, ya udah terjadi. Nggak usah terlalu disesali."
"Saya menyesal udah bikin kamu kena masalah," Remi berkata dengan sungguh-sungguh. "Tapi, saya nggak menyesal udah minta ciuman dari kamu."
Kael tertawa lagi. Kali ini Remi yakin untuk menutupi perasaan tersipu. Kael menyengir dan membalas, "Kenapa? Enak ya rasanya?"
Remi menelan kunyahan rotinya. "Kurang lama."
"Saking enaknya?"
"Ini lagi ngomongin roti, kan? Kurang lama kunyahnya ini. Tapi enak kok."
Kael tertawa lagi. Remi turut tersenyum.
"Remi, aku harus menyampaikan sesuatu dulu," ujar Kael, dan mendadak suasana menjadi serius. Remi sudah menghabiskan rotinya, kini fokus pada wajah Kael. "Dulu, pada suatu hari, ada seorang perempuan ceroboh yang membiarkan seorang lelaki kasih obat ke minumannya. Setelah ini ... udah bisa nebak apa yang selanjutnya terjadi?"
Remi mengernyit, "Si perempuan ... diperkosa?"
Kael memandangi jalanan, memberi jeda beberapa saat. "Perempuan itu diajak bersetubuh, dalam keadaan antara sadar dan nggak sadar. Dia nggak tahu kalau kejadian itu direkam untuk jadi bahan ancaman. Tapi, kemudian ada saudara sepupunya yang datang sebagai pahlawan, dan sepupunya ini berhasil menghapus video si perempuan dari si pengancam."
Kael terdiam. Namun Remi merasa tercekam, tak bisa membiarkan kesunyian ini terlalu lama, dia masih ingin tahu, "Lalu?"
"Lalu, si sepupu ini justru tetap menyimpan video itu. Dia menggunakan video itu untuk mengancam si perempuan, agar si perempuan melakukan segala hal yang si sepupu mau. Dan sang pahlawan pun berganti menjadi sang pengancam."
Rahang Remi mengeras. Hatinya terasa diremas-remas begitu tahu kisah ini. Dan darahnya mendidih mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan Erlangga. "Kael—"
"Look at me in the eyes," Kael menoleh, menatapnya dengan tatapan yang mematahkan hati Remi. Kael seperti sedang menahan tangis. "Janji sama aku. Ketika si sepupu itu datengin kamu dan bertanya apa arti perempuan ini buatmu, kamu harus bilang bahwa perempuan itu nggak berarti apa-apa."
Napas Remi seperti dicabut. "Kael—"
"Janji, Remi."
"Kenapa aku harus janji buat berbohong kayak gitu?"
"Karena kalau si sepupu tahu bahwa perempuan ini berarti sesuatu buat kamu, kamu sendiri juga bisa diancam pakai video itu. Kamu bakal jadi bidak catur dia."
Remi menelan ludah. Tubuhnya terasa tegang. Matanya terpejam. Dari semua prediksinya tentang sisi berbahaya keluarga Soerjodiningrat, dia sudah bisa menebak kemungkinan ini. Namun ketika prediksinya terjadi, tetap saja rasa mencekamnya tak hilang. "Kael," panggil Remi dengan lembut. "Aku paham maksud kamu. Makasih udah peduliin keselamatanku. Tapi tolon biarin aku bantu kamu."
Kael mengalihkan pandangan, menggigit bibir. Kepalanya menggeleng. "Enggak, Remi. Sedari awal nggak seharusnya aku seret-seret kamu ke masalah aku."
"Mikaela," panggil Remi dengan tegas. "Kamu ngeremehin aku. Aku nggak selemah itu."
Kael terkesiap. "A-aku bukan bermaksud gitu! Kamu mungkin belum tahu, Erlangga itu bahaya, Remi."
"Aku tahu. Aku juga udah sadar deketin kamu begini sama aja mengundang bahaya. Tapi seenggaknya aku bisa berusaha buat bantu kamu. Sekarang masalahnya apa? Apa sekarang kamu lagi cari cara buat ngapus video itu dari tangan Erlangga?"
"Iya, tapi nggak sesimpel itu."
"Jadi sekarang gimana? Kamu minta tolong orang?"
Kael terdiam. Matanya mengarah ke kelab malam. "Iya."
Remi mengikuti pandangan Kael. "Orang yang mau kamu temui itu, orang yang bisa kamu mintai tolong?"
"Harusnya bisa."
"Tapi?"
"Tapi, cuma karena bisa, belum tentu mau."
"Nggak ada salahnya mencoba."
"Iya, itulah kenapa sekarang aku di sini."
Remi menggamit tangan Kael, membuat gadis itu menoleh. "Kael, apa boleh aku temenin kamu nemuin orang ini?"
Wajah Kael terlihat ragu. "Kamu nggak takut?"
"Merasa takut itu normal. Itu artinya kita manusia."
Kael tersenyum. Dia pikir tak ada salahnya. "Boleh."
Mereka keluar dan mendatangi Aksel yang sudah berada di dekat pintu masuk. Sisa antreannya tinggal sebentar lagi. Wajah Aksel seketika berubah penuh kernyitan saat Remi mendekat.
Aksel bertanya kepada Kael, "Dia ngapain?"
"Mau ikut masuk," jawab Kael, lalu menarik kemeja Aksel agar lelaki itu menundukkan kepala. Setelah agak sejajar, Kael berbisik, "Remi mau ikut ketemu orangnya."
"What?" pekik Aksel dengan mata mendelik. "Nggak, nggak, nggak. Gue nggak setuju."
"Lho, emang kenapa? Kata lo, gue nggak harus sendirian."
Aksel terdiam dengan wajah yang terlihat gemas ingin bicara, tetapi dia tahan hingga mereka bertiga masuk ke dalam kelab malam. Setelah masuk, Aksel pun menarik Kael ke suatu pojokan agak jauh dari Remi untuk bicara.
Aksel menatap Kael dengan serius. Tak ada lagi wajah tengil atau main-main seperti biasa. "Coba lo sekarang jawab gue. Siapa keluarga dia?"
Kael mendesah. "Tanureja. Kan gue udah pernah cerita."
"Exactly. Tanureja. Dan mereka itu afiliasinya sama Cakrawangsa. Apa gue perlu ngingetin kalau perusahaan keluarga Cakrawangsa itu saingan perusahaan keluarga lo?"
"Iya, gue tahu, Sel. Tapi ini kan cuma ketemu orang doang."
"Kok lo senaif itu, sih? Keluarga dia itu circle keluarga Cakrawangsa, saingan lama Rembangi. Agenda lo di sini cuma buat jeblosin Erlangga ke penjara, bukan buat ngancurin perusahaan keluarga lo. Kalau kompetitor Rembangi gunain masalah lo ini buat ancurin usaha Rembangi, gimana?"
Kael sudah memikirkan hal ini. Namun dia tak mungkin mengingkari perasaan bahwa dia bisa memercayai Remi, bahwa dia bisa sedikit bergantung dalam usaha Remi yang mau membantunya. "Aku percaya sama dia."
"You must be joking. Gue support lo buat pacarin siapa pun. Tapi ini? Ini tuh lo malah ngebiarin dia tahu tentang masalah lo, yang bisa jadi digunakan buat ngancurin Rembangi. You should get your priority straight, Kael."
"Aksel, aku minta kamu di sini buat bantuin aku ketemu orang, bukan buat mendikte dengan siapa aku harus menaruh rasa percaya. You, too, should get your priority straight."
Wajah Aksel terlihat mengeras. Namun jeda beberapa saat kemudian, tatapannya teralih dan dia berkata, "Fine."
Dan dengan itu, mereka bertiga pun berjalan masuk ke dalam kelab malam, bersiap bertemu orang yang dijanjikan.
[ ].
27.09.2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top