13 || Di Balik Jamuan

JAMUAN makan malam keluarga umumnya selalu dinanti-nanti oleh Kael.

Namun tidak untuk hari ini.

"Eh, Mbak, aku sekarang udah bisa nyinden, lho."

Kael menoleh. Menatap Shasha yang kini sedang menata rambutnya. Adiknya itu kuliah di Surabaya dan sekarang sedang libur, jadi pulang ke Jakarta. "Masa?"

"Beneran lho! Aku belajar dari UKM Kesenian."

"Oh ya? Coba nyinden di depanku."

Shasha menyengir. "Tapi jangan diketawain ya, hehe."

Kael membalikkan badan untuk memberi perhatian penuh kepada adiknya. Shasha duduk tegap dan memejamkan mata, lalu berdeham untuk memperlancar jalan suara. Kemudian, sepenggal tembang berbahasa Jawa mengalun dalam ruang kamar adiknya itu. Terdengar merdu. Membuat Kael seolah terlempar pada masa ketika dia pernah mendengar sinden langsung ketika mendatangi acara di Yogyakarta.

Setelah Shasha berhenti dan menatap Kael, Kael tersenyum bangga. "It's beautiful."

"Beneran, Mbak? Cengkoknya pas?"

"Pas."

Suara ketukan menginterupsi mereka. Pintu terbuka, menampilkan Asisten Rumah Tangga keluarga mereka. "Misi Non, udah dipanggil Bapak sama Ibu, disuruh turun ke halaman belakang."

"Oh, iya. Makasih, Bi," ujar Kael. Keluarga mereka kali ini melakukan sarapan siang di halaman belakang. Hampir-hampir seperti pesta kebun. Calvin, sang anak sulung, bekerja di Australia dan hanya pulang 2-3 kali dalam setahun. Shasha juga hanya pulang beberapa kali setahun karena sibuk kuliah. Itulah kenapa perjamuan makan dengan keluarga inti lengkap seperti ini sangat penting. Karena mereka seringkali terkendala kesibukan masing-masng sehingga sulit bertemu.

Kael dan Shasha berjalan menuju teras belakang rumah mereka. Di sana, sudah tersedia sebuah meja makan dengan berbagai makanan tersaji. Shasha langsung berlari karena menghirup aroma sedap rempah-rempah masakan. "Wuihh, makanannya kesukaanku semua ini!" seru Shasha, mengamati jamuan di meja makan panjang. Semua terlihat sudah siap kecuali tatakan tumpuk untuk kue-kue yang justru belum terisi.

Kael melihat ke sekeliling dan tak menemukan orangtua yang katanya memanggil mereka kemari. "Bi, lihat Bapak sama Ibu?"

"Ibu di dapur, Non. Kalau Bapak saya lihat tadi di ruang depan lagi telepon."

Baru saja Kael ingin bertanya di mana Calvin, sosok kakaknya itu langsung muncul sambil membawa boks kue. Calvin meletakkan boks kuenya di meja, lalu meminta salah satu ART untuk menatanya.

Shasha segera memeluk Calvin dari belakang "Kak Vin, mana oleh-olehnyaaa?"

"Ada di kamar. Ntar ya habis brunch ini."

"Gitu dong. Sayang deh sama Kak Vin."

"Halah, kamu sayang kakak kalau ada maunya aja."

"Gimana kabar Kak Vin? Kerjaan di Aussie lancar?"

"Syukurnya. Kamu sendiri gimana kabarnya? Kuliah oke?"

"Oke dong. Aku ikut UKM Kesenian terus belajar nyinden."

"Oh ya? Terus gimana?"

"Aku udah nunjukkin nyindenku ke Kak El. Ya, Kak El, ya?"

"Mm-hmm," gumam Kael.

Calvin menatap Kael. "Really? Does it sounds good?"

Kael manggut-manggut. "She insists it sounds good."

"I don't! Kak El sendiri kok yang bilang bagus. Aku nggak maksa harus bilang suaraku bagus...."

"Oh, look at that pouty face." Kael menyeringai. "Ngambek yaaa?"

"Enggak kok...."

"Awh, ngambek...." Calvin menimpali, kemudian tertawa dan mengacak rambut adiknya.

Shasha menjauhkan diri dari kedua kakaknya dan mendecak. "Minggir ah. Aku mau makan kuenya duluan."

Kedua kakaknya itu hanya terkekeh melihat Shasha bergerak ke arah tumpukan kue-kue di meja. Kael lalu menoleh ke arah Calvin, kemudian tersenyum tipis dan merentangkan tangannya untuk memeluk. "How are you?"

"Good as new." Calvin memeluk Kael. Mengambil waktu beberapa saat untuk melepas rasa rindunya. "You?"

Kael melepas pelukan dan mengangkat bahu. "Like usual."

"Kak Vin! Boleh makan scone-nya sekarang nggak, sih?" tanya Shasha sambil menatap setumpuk scones yang sudah tertata di meja. Tumpukan scones itu dilingkari oleh saus karamel yang telah memadat sebagai pagar. Di tangan Shasha sudah ada ponsel, seolah gadis itu sudah bersiap untuk memperbaharui kiriman di media sosialnya dengan foto kue-kue ini.

"Jangan, ntar hancur tatanan scones-nya," jawab Calvin. "Cobain macarons-nya aja dulu. Atau bisa coba shortcakes di sebelahnya itu."

"Hmmm, ya udah deehhh."

Calvin terkekeh dan beralih menatap Kael. "Rian mana?"

"Belum datang. Telat, kayaknya."

Calvin terdiam, mengamati taman yang selalu terawat baik oleh tukang kebun keluarganya. "Does he treats you well?"

"Yes. He treats me like usual."

"Pasti suka seenaknya sendiri." Calvin mendengus. "Kenapa dia nggak pernah belajar? Dipikir mentang-mentang keluarga ini kaya-raya, lantas dia bisa melakukan segalanya sesuai kehendak, dan lolos dari semua masalah dengan gampang?" Bibir Calvin mencebik. "Mama sama Papa harus berhenti manjain dia. Biarin aja dia ngerasain gimana rasanya hidup tanpa ditopang fasilitas keluarga."

"Ajegils, Kak El!" seru Shasha ketika menatap layar ponselnya, menyela ucapan Calvin. Dia kemudian mengangkat ponselnya itu. "Aku dapet foto si Pangeran lagi liburan!"

Kael membeliak, dan Calvin mengernyit. "Pangeran?" Kakak sulungnya itu menatap Kael dengan curiga. "Pangeran Harry?"

"Hng ... bukan. Lihat aja sendiri kalau mau tahu."

Calvin mendekati Shasha untuk melihat siapa sosok lelaki yang membuat heboh adiknya itu. Kael mengikuti dari belakang. Sebenarnya agak kalut karena Calvin akan tahu tentang Remi. Kael tak ingin mendengar Calvin menilai Remi dengan buruk.

"Siapa sih, Sha?" tanya Calvin, hendak melihat layar ponsel adiknya. Tetapi Shasha langsung menjauhkannya dari Calvin.

"Ihh, jangan Kak Vin! Kak Vin nggak boleh lihat!" seru Shasha, lalu menyembunyikan ponselnya di balik punggungnya.

"Loh, kenapa?" protes Calvin. Kemudian wajahnya berubah menggoda dengan seringaian. "Wah ... jangan-jangan foto cowok telanjang ya? Ah, udah deh lapor Papa ini mah."

"Ihh bukaaan!"

"Ya udah kalau bukan mah, kasih lihat sini fotonya."

"Nggak mau, orang aku mau kasih lihat ke Kak El aja. Kak Vin nggak usah ikut-ikutan."

"Hmm ... ya udah deh." Calvin mundur dan membiarkan Kael maju. Mereka terkikik melihat Shasha berusaha menjauhkan ponselnya dari Calvin.

Kael melihat foto Remi—lagi-lagi dalam kondisi shirtless—yang sedang berada di pantai bersama Farel.

"Lho, anaknya yang punya Griya Teduh Realty kan ini?" tanya Calvin yang diam-diam mendekat dari belakang Kael, melihat foto di layar ponsel Shasha. Tak memedulikan Shasha yang mengomel karena Calvin mengingkari ucapannya.

"Iya. Lo kenal?" tanya Kael.

"Nggak terlalu sih. Cuma pernah ketemu aja dulu banget," ujar Calvin sambil menarik kursi, lalu mendudukinya. "Presiden Komisarisnya Griya Teduh Realty itu kan, Harimukti Cakrawangsa. Dan Papa suka ketemu sama Om Janggala, adiknya Om Hari. Dulu gue pernah beberapa kali diajak main golf bareng."

"Terus? Kenalan sama Remi?"

"Enggak. Om Jangga pernah cerita-cerita aja. Gue pun cuma pernah ngelihat si Remi satu kali di suatu acara, tapi nggak pernah ngobrol." Calvin menarik kursi di sebelahnya untuk Kael, lalu menatap adiknya itu. "What is it? Dia jadi buah bibir socialite sekarang?"

"Hm ... semacam itu...."

Calvin bergumam. Kemudian berujar ke adik bungsunya. "Kamu naksir dia, Sha?"

"Enggak, Kak Vin. Cuma ngefans aja," ujar Shasha sambil mengambil foto kue-kue di meja. "Ya ... kayak aku ngefans sama mukanya Aksel Hadiraja gitu, hehe."

Kael memutar bola mata. Malas sekali rasanya jika ada yang bilang mereka suka atau menggemari Aksel Hadiraja. Untung ini adiknya. "Aksel nggak sesempurna yang kamu pikir, Sha." In fact, he's actually an ass, lanjut Kael dalam hati.

"Iya, tahu kok, Kak El. Kan aku cuma suka mukanya aja. Struktur muka dia tuh sempurna kayak dipahat gitu loh, Kak," balas Shasha. "Tapi kalau dari attitude sama sifat sih, aku jelas prefer Pangeran Remi ke mana-mana."

"Kalau suka juga nggak apa-apa, Sha. Kali aja jodoh," ujar Calvin, lalu menyeringai. "Kebayang banget kalau misal kamu nikah diem-diem sama sekutunya keluarga Cakrawangsa kayak keluarga Tanureja, Erlangga pasti bakal kesel bukan main. Bisa-bisanya ada Soerjodiningrat yang nikah sama sekutunya musuh bebuyutan." Calvin tertawa.

Shasha menyipit. "Kalau musuh, kenapa Kak Langga sama Om Sahir kayaknya akrab sama mereka di pesta-pesta?" tanya Shasha. Sahir adalah anak pertama generasi kedua Soerjodiningrat, kakak sulung dari Rosalie sekaligus ayah dari Erlangga.

Calvin mendengus. "Itu kan cuma di acara sosial aja. Pada kenyataaannya, perusahaan keluarga Cakrawangsa sejak puluhan tahun lalu jadi saingannya Rembangi sampai sekarang." Calvin lalu menoleh ke sana kemari.. "Eh, iya. Ini Mama-Papa kenapa belum pada di sini?"

"I'll go check them out," ujar Kael, melangkah ke dalam rumah untuk mencari ibu dan ayahnya.

Kael hendak mencari ayahnya duluan, jadi dia pergi ke arah tangga untuk naik ke lantai dua. Begitu tiba di dekat tangga, Kael mendengar suara ibunya dari arah ruang depan, seperti sedang memarahi orang. Kael pun mengendap ke ruangan itu dan mendapati Rian sedang duduk di sana bersama Rosalie.

Lho, ternyata dia udah datang toh, batin Kael. Dia mundur beberapa langkah hingga tak terlihat oleh ibunya dan Rian.

"Kenapa kamu sampai ngelakuin itu sih, Yan? Apa yang ada di otakmu?" ujar Rosalie dengan nada tinggi. Tangannya memijat-mijat pelipis, seolah sudah sakit kepala akibat kelakuan anaknya. "Skandal video kamu sama si ulama itu padahal baru reda! Kenapa sih kamu nambah ulah lagi...."

"Gue nggak nambah ulah! Ini tuh cuma salah paham aja. Lo aja yang lebay."

"Rian!" tegur Rosalie. "Panggil saya dengan panggilan yang sopan."

"Buat orang yang cuma manfaatin bokap gue buat keluar dari masalah keluarganya, you're asking too much, Ma'am."

"Abrian!"

Rian mengabaikan Rosalie dan beranjak pergi dari ruangan. Dan Rosalie tak ada niatan untuk mengejar Rian.

Tanpa perlu tahu kejelasan obrolan itu, Kael bisa menebak bahwa ibunya sedang membicarakan video Rian yang terlihat melecehkan perempuan di suatu acara. Kael sempat melihat videonya sebelum orangtuanya membayar orang untuk menghilangkan video itu di mana pun. Beberapa waktu sebelumnya, video seks threesome Rian bersama salah seorang ulama juga sempat ada, tetapi cepat dihapus oleh orangtua mereka.

Kayaknya masalah hidup kalian nggak jauh-jauh dari skandal seks.

Kael menggelengkan kepala, ingin mengenyahkan bayangan Erlangga yang mengucapkan hal itu.

Rosalie meninggalkan ruangan. Kael melihat Rian beranjak pergi ke arah belakang rumah, kemudian berbelok menuju arah garasi. Kael mengikuti langkah adiknya itu. Lalu menghentikan Rian di tengah jalan dengan berkata, "Mau ke mana?"

Rian membeku. Kepalanya menoleh dan menangkap sosok Kael. Dia pun mendengus. "None of your business."

Kael menghela napas. Tahu bahwa Rian memang tak suka diatur-atur. Tapi baginya, apa yang Rian lakukan di video pelecehan itu sudah keterlaluan. "You should stop it. Apa yang kamu lakuin itu pelecehan, Yan. Wajar Mama marah."

"Dia bukan mama gue."

"Secara biologis, iya. Tapi dia juga berperan membesarkan kamu. Kamu pikir ngambek, ngerusak diri, dan maksa-maksa orang melakukan hal yang nggak mereka mau itu bakal menyelesaikan masalah?"

"Tahu apa lo tentang masalah gue?!"

"Skandal threesome itu, kan? We all tried to redeem that. Papa udah bayar media buat tutup mulut. Nggak ada berita tentang skandal itu sampai detik ini di internet. Mama juga udah bantu biar mastiin hal itu nggak tersebar. Ini bukan cuma masalah kamu, Rian. Ini masalah keluarga. We all try to help you. Tapi kalau kamu nggak bisa diajak kerja sama, malah ngambek dan melecehkan orang, ya kamu cuma mempersulit keadaan kamu!"

"Gue nggak ngelecehin dia!"

"Dia bilang enggak mau pas kamu mau cium dia. Aku lihat videonya, Rian."

Rian terdiam agak lama, lalu menunduk.

"She said no," ujar Kael dengan tegas. "Aku dengar jelas apa yang diomongin cewek yang ada di video itu. Ketika ada perempuan bilang enggak, itu artinya dia memang nggak mau, bukan lagi jual mahal. Cuma karena kamu ganteng dan punya keluarga kaya raya, bukan berarti semua orang harus tunduk ke kamu."

Rian bungkam. Kemudian dia memejamkan mata dan menghela napas. "I was drunk," ujar Rian, menatap Kael dengan pandangan melunak. "Tapi iya, gue salah. Nggak seharusnya gue maksa-maksa orang begitu."

Kael tersenyum tipis. Dia tahu seburuk-buruknya Rian, sebenarnya Rian masih punya akal sehat untuk dipakai. "Terus?" tanya Kael. "Sekarang kamu mau pergi? Nggak mau ikut makan bareng?"

Rian tersenyum miring, sedikit miris. "Ikut makan habis ribut sama Tante Rosalie? Nggak, makasih. Gue pergi aja." Rian melangkah menjauh. Sesaat kemudian, dia berhenti dan berbalik. "Kasih salam gue ke Shasha. Dan bilang ke Calvin nggak usah keseringan ngatur orang."

Kael tersenyum kecil. Dia mengamati kepergian Rian hingga lelaki itu menghilang ke arah garasi.

Kemudian, Kael pergi ke arah tangga, ingin kembali mencari ayahnya di kamar utama. Kael melangkah bertepatan ketika dia melihat ayah tirinya sedang menuruni tangga.

"Kael!" seru Umbhara, segera memeluk Kael begitu sampai di anak tangga terakhir. "Gimana? Semua udah pada dateng?"

Kael berpikir kilat untuk mencari alasan Rian tak ikut. "Udah semua kecuali Rian. Dia katanya harus ketemuan sama orang, penting gitu."

"Nggak bisa nyusul? Ini saudara-saudaranya baru dateng lho. Ketemu setahun sekali aja udah syukur." Umbhara mendecak, lalu menatap Kael yang melingkari lengannya, menghelanya menuju taman belakang. "Eh, iya. Papa udah mulai urus surat perpindahan warisan dari Rian ke kamu."

Kael memejamkan mata. Sebenarnya tak menantikan sarap siang mereka karena tak ingin perbincangan ini dibuka. Karena ini makin mengingatkan Kael akan kecerobohannya, akan kesalahannya. Umbhara sudah dari lama ingin memindahkan warisan kepada dirinya karena Rian dinilai terlalu kekanakan. Dan dari semua anak, Kael merupakan anak yang paling dekat dengan Umbhara. Adalah suatu kewajaran jika Umbhara lebih memilih Kael daripada Rian untuk masalah warisan—lengkap dengan menjadi salah satu shareholder Rajayanti Group. Dan warisan inilah yang selalu Erlangga incar.

Erlangga masih belum tahu hal ini—dan Kael juga tak berniat membongkar perpindahan warisan ini kepada sepupunya itu. Kael pun tak bisa memberitahukan tentang ancaman Erlangga kepada Umbhara. Sebab jika ayahnya itu tahu, Erlangga bisa ikut mengancam Umbhara dan anggota keluarga mereka yang lain dengan video-video seksnya dan video seks Rosalie. Ancaman Erlangga mungkin akan semakin gencar jika Erlangga mendapatkan video skandal seks Rian.

Kayaknya masalah hidup kalian nggak jauh-jauh dari skandal seks.

Tangannya lalu melepas lengan sang ayah ketika tiba di halaman belakang, sekaligus ingin menenangkan diri karena tangannya kini mulai bergetar. Kael menarik udara masuk ke paru-paru, lalu mengeluarkannya perlahan. Dia mengulang cara bernapas beberapa kali hingga tenang. Membohongi diri bahwa semua baik-baik saja meski kenyataannya tidak demikian.

"Kak El! Ayo duduk sini!" seru Shasha dari meja makan. Dia dan Calvin sudah duduk bersebelahan, mengosongkan kursi di sebelah untuk Kael.

Senyum Kael tipis merambat. Otaknya justru membayangkan bagaimana jika Shasha tahu bahwa dia bukan anak sah Umbhara, bahwa dia bukan anak legal. Otaknya membayangkan bagaimana teman-temannya akan merundung Shasha jika video seks Rosalie dan Kael tersebar. Kael sudah bisa membayangkan label-label apa yang akan dilemparkan orang-orang kepada Shasha jika itu terjadi, serta apa yang akan diterima keluarganya, diterima ayahnya, diterima Calvin dan Rian.

Kael menggigit bagian dalam bibir, mengangkat wajah ke langit-langit karena matanya mulai terasa panas. Setelah mengambil napas beberapa kali, dia baru berjalan menuju meja makan untuk sarap siang. Meski dalam benak, kadang dia berpikir apakah sebaiknya dia hilang saja dari dunia agar semuanya menjadi lebih baik.


***


"Jadi, Tante Rania gimana? Dia ngerestuin?"

Remi tak bisa menahan senyum. Dia tengah berjalan bersama Farel menuju ruang rapat. "Iya."

Farel manggut-manggut, ikut bahagia. "Jadi lo udah nggak ada beban ya deketin Kael."

"Tapi gue harus mulai dari mana? Pintunya kan udah ditutup sama Kael."

"Ya ketok dululah pintunya. Jangan lupa ucap salam."

Remi berhenti melangkah, lalu menatap Farel dengan wajah bingung. "Masa gue cuma ngucap 'selamat pagi' gitu?"

Farel ikut berhenti melangkah. Pundaknya turun karena kecewa. Wajahnya terlihat ingin menggerutu. "Di-chat gitu maksudnya, Rem! Tanyain kabar kek. Gitu aja nggak bisa nangkep, elah!"

"Galak amat," komentar Remi, datar. Dia hendak membuka ponsel, lalu mengurungkan diri. "Tapi, basi ntar kalau gue cuma nanya kabar."

Farel menatapnya dengan malas. "You aren't good at this, are you?"

Remi cuma menunduk.

"Nggak usah pasang muka melas sok imut gitu. Lo bukan Gempi," cibir Farel. "Nih, lo coba inget-inget pas ketemuan sama Kael lo ngapain aja, ngobrolin apa. Contoh, kayak pas lo dibeliin cenil sama Kael. Bawa topik itu. Bilang lo mau gantian traktir dia atau—ohh! Lo bisa coba cari tahu makanan favorit dia apa, Rem. Bring the favour back to her."

Remi cuma mengangguk, tetapi benar-benar mengingat saran itu dalam otaknya.

Suara langkah di belakang mereka mencuri perhatian Farel. Lelaki itu menoleh, melihat sosok Jayhadi Tanureja berjalan bersama Harimukti Cakrawangsa, Presiden Komisaris perusahaan keluarganya dan keluarga Remi. Harimukti sudah membantu Griya Teduh Realty dari awal perusahaan mulai berkembang.

Baik Farel dan Remi menyingkir dan menundukkan kepala ketika Harimukti berhenti di depan mereka. "Anak-anak muda penerus perusahaan ini gimana kabarnya?"

"Baik, Pak Hari," ujar Farel, menjabat tangan Harimukti. Kemudian Remi bergantian menjabat pria itu. "Gimana kabarnya, Pak? Sehat?" tanya Farel.

"Sehat, sehat," jawab Harimukti. "Ayahmu kapan balik, Rel?"

"Minggu depan kayaknya," ujar Farel. Mengingat bahwa ayahnya lebih sering mengurus urusan di luar kantor pusat. Itulah mengapa ayahnya jarang ada di kantor ini.

"Kamu, Remi? Gimana kabarnya?" ujar Hari kepada Remi, tetapi kemudian dia menoleh ke arah Farel. "Gimana ini, Rel? Remi masih jomblo sampai sekarang?"

"Masih itu, Pak."

"Hm, kebetulan itu ada putri saya yang baru putus dari pacarnya. Coba aja kamu deketin dia, Remi. Siapa tahu cocok."

Remi tersenyum. Sebenarnya sudah beberapa kali orangtuanya berusaha menjodohkan dia dengan putri bungsu Harimukti. Alasannya logis: untuk mempererat kerja sama bisnis antara keluarganya dan keluarga Cakrawangsa. Menikahi keturunan keluarga old money seperti Cakrawangsa jelas merupakan batu loncatan besar bagi siapa pun untuk meraih segala hal yang diinginkan manusia: uang, prestise, kesempatan melakukan apa pun yang terbentang lebih besar. Tapi Remi tidak terlalu tertarik, apalagi setelah berkenalan dengan Kael.

Namun demi kesantunan, Remi jelas tak langsung menolak tawaran itu."Bisa aja, Om. Mungkin nanti kalau putri Om udah balik dari S2-nya di UPenn*."

Salah seorang anggota dewan direksi memanggil Harimukti, menyela perbincangan mereka. Harimukti pun pergi meninggalkan Remi bersama ayahnya dan Farel.

"Farel," sapa Jayhadi kepada lelaki itu, yang dibalas anggukan oleh Farel. Lalu Jayhadi menatap putranya. "Remi."

"Iya, Pak."

"Papi dengar kamu izin satu jam habis makan siang minggu lalu? Kata sekretarismu lagi ada urusan. Ngapain?"

Remi meninggikan alis. Separah inikah rutinitas hidupnya, hingga sedikit saja perubahan begitu mudah disadari orang-orang?

"Itu, Om," Farel berceletuk mendahului Remi karena Remi cuma diam saja. "Remi butuh tambahan jam makan siang."

"Buat nambah makan?"

"Bukan. Itu, Remi lagi sembelit."

"Lagi?" Jayhadi menatap anaknya. "Kok kamu bisa sembelit sih? Kan selama ini kamu makan selalu teratur."

Remi makin menyesali keteraturan hidupnya yang kadang terlalu detail. Dia pun tersenyum untuk menenangkan. "Aku cuma agak kecapekan aja, jadi lupa makan."

"Maklum, Om," Farel menimbrung lagi, "kepikiran kenangan masa dulu."

"Ya ampun ... anak muda, ya." Jayhadi geleng-geleng. "Emangnya apa sih yang kamu pikirin, Rem?"

"Biasa, Om. Wanita dari masa lalu," Farel menjawab lagi.

Jayhadi menghela napas lagi. "Remi ... Remi. Kamu kok kayak bujang nggak laku aja? Mau Papi jodohin?"

"Nggak usah, Pi," buru-buru Remi menjawab. Melihat reaksi ayahnya, Remi mengambil kesimpulan kalau ibunya masih belum memberi tahu sang ayah tentang intensinya mendekati Kael. Remi ingin membuat rencana untuk memberi tahu ayahnya nanti selesai rapat. "Nggak usah, aku bisa cari sendiri."

"Ya sudah." Ayahnya menepuk pundak sang putra. "Nanti kalau udah ketemu, bawa ketemu sama Papi-Mami. Biar kami bisa saling kenalan." Jayhadi lalu menoleh ke arah Farel. "Farel, bantuin Remi nih kalau dia udah nemu calon. Nanti calonnya kabur lagi lihat Remi gampang kikuk gitu."

Farel mengangguk sambil menyengir. "Siap, Om."

Jayhadi pun pergi menyusul rekan-rekannya. Sementara Remi dan Farel memandangi pria itu dari belakang. Begitu ayahnya sudah menghilang di balik ruang rapat, Remi menatap tajam ke arah Farel. "Kenapa lo jadi jawabin bokap gue sih?"

Farel mendecak. "Ya abis lo diem aja kayak mangkok blewah, ya udah gue jawabin."

Rapat dimulai tak lama setelah Remi duduk bersama Farel di sebelahnya. Hari membuka rapat mereka. Sebenarnya Remi yakin tak ada yang perlu dibicarakan dalam rapat. Seringkali hasil rapat sudah diketahui sebelum rapat dimulai.

Di tengah penjelesan dari salah seorang anggota rapat, Farel mendekat lalu berbisik, "Rem, lo cipokan sama Kael di mana?"

Mata Remi spontan terpejam, merasa gemas. "Seriously, Farel? Kita sekarang lagi meeting."

Tanpa basa-basi, Farel mengeluarkan ponsel dari bawah meja dan menyodorkannya ke Remi.

Dan Remi hanya bisa membeliak melihat rekaman dirinya dan Kael berciuman kini sudah tersebar.

Farel menyimpan lagi ponselnya sambil menatap ke presentator di depan. "Seems like you have another problem to solve."

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top