11 || Di Balik Cerita
"SELAMAT, Remi. Lo pasti masuk surganya pakai jalur undangan."
Remi menghela napas. Mengabaikan tangan Farel yang tergantung untuk menjabatnya sebagai dramatisasi sarkasme. "Rel."
"Iman lo tetap tangguh tak terbobolkan pas berduaan sama Kael di ruang ganti. Lo adalah salah satu dari sedikit manusia yang membuat Tuhan bangga sudah menciptakan lo."
"Rel." Remi mendesah lelah. Sudah lewat sehari dari kencannya bersama Kael. Dan Remi baru bercerita tentang kencan tersebut kepada Farel barusan, sekalian di hari dia bertemu dengan teman-teman mereka yang lain. Dia dan Farel sudah keluar dari mobil di area parkir dekat lapangan basket. Dan kini, mereka berjalan menuju lokasi teman-teman mereka berada.
"By the way, Rem. Lo kemaren sama Kael...," putus Farel untuk menunggu Remi menoleh. "Lo sama dia, kalian sampai cipokan?"
Tanpa Remi inginkan, pipinya justru memanas. Remi menoleh ke sana-kemari. Tak ingin perbincangan ini terdengar. Meski area parkir begitu sepi orang. "Iya."
"Enak?"
Remi terdiam untuk memberi jawaban, "Cuma bentar."
"Ya itu berarti enak, kan. Makanya lo nggak rela kalau cuma sebentar." Farel terkekeh melihat Remi yang hanya diam. "Lagian, kok cipokan cuma bentar?"
"Hape Kael bunyi, ditelepon sama sopir taksi online."
"Ya ampun ... jadi kalian cuma cipok-cipok bebek?"
"Istilah apa itu?"
"Cipok yang sekadar nempel. Kayak, cup, terus udah, kelar."
Adegan ketika dirinya melumat bibir Kael terputar di otak Remi. "I don't need to give you the detail."
Farel meninggikan alis. "Ah, jadi bukan sekadar cipok-cipok bebek ya."
Lagi, Remi hanya diam.
Tawa Farel pecah. "Kentang dong."
Remi cuma mengangkat bahu.
"Ya udah, santai, Remi." Farel merangkul bahu kawannya dan menepuk-nepuknya. "Cipok doang mah, lain kali juga bisa."
Mata Remi memandang ke arah lain. Dia menyingkirkan tangan Farel dari bahunya. "Nggak ada lain kali, Rel."
"Lah, kenapa?"
"Nggak ada lain kali." Remi menundukkan pandangan sambil berjalan. "Kemarin itu terakhir kalinya kami bisa interaksi."
"Kenapa gitu?"
"Erlangga. Dia ... ngawasin tiap cowok yang deket sama Kael."
"Bentar, ini kita lagi ngomongin Erlangga yang mana, sih?"
"Erlangga Soerjodiningrat."
Farel berhenti melangkah sesaat, membuat Remi menoleh. "Astaga ... Erlangga ... kakak sepupunya Kael? First Of The First?"
Remi mengangguk lesu. "Iya."
"Lah, dia kayak, overprotektif gitu sama Kael? Jangan-jangan lo sampai dikuntit?"
Lagi, Remi mengangguk.
"Gila." Farel menggeleng. "Terus? Kalian gimana?"
Dan masuklah mereka pada bagian yang masih tak bisa Remi hilangkan dari pikiran. "Ya gitu."
"Nggak lanjut?"
Remi hanya menghela napas, kemudian menggeleng.
Farel membisu. Dia memandang ke arah lain beberapa saat. Remi menunggu, tapi tak ada balasan apa-apa dari sahabatnya itu.
Remi kembali menunduk lesu. Dari respons Farel saja, dia tahu bahwa keputusan Kael untuk tak lagi berinteraksi dengannya sudah tepat. Farel yang biasanya gegabah dan ceria saja jadi bereaksi seserius ini.
"Pelik, ya." Farel menatap ke jalanan di depan taman yang mereka lewati menuju lapangan basket. Pandangannya seperti sedang menerawang jauh. "Elo, Rem, idaman perempuan seantero negara, bertahun-tahun jomblo karena disakitin cewek, sekalinya nemu cewek baru yang nyambung sama lo, kondisinya nggak mendukung." Farel menggeleng. "Gue, sekalinya ketemu cewek yang udah gue ikat sama janji suci, jadinya ya—" Farel geleng-geleng lagi, lalu mendengus terkekeh. "Hidup emang suka sebercanda itu."
Remi membisu, agak tertohok. Lupa bahwa masih ada masalah orang yang jauh lebih berat dibanding masalah hidupnya. Bahwa masih ada kisah asmara lain yang lebih mengenaskan dibanding dirinya. "Maaf, Rel."
Farel menyipit. "Ngapain minta maaf?"
"Soalnya lo jadi keingetan yang dulu."
"Heh!" Farel memukul lengan Remi. "Nggak usah minta maaf, Saepul! Lo kan nggak salah apa-apa. Ini nih, ini yang bikin orang-orang salah paham sama hubungan kita!"
Remi cuma terdiam dan menunduk.
"Jangan pasang muka melas gitu, ah. Kagak ada imut-imutnya!" Farel mencibir. "Terus gimana sekarang? Lo nggak niat buat deketin Kael lagi?"
Remi mengulum bibir. "Gue nggak yakin ada kesempatan. Kael udah bilang lebih baik nggak usah berhubungan lagi."
"Iya, sih." Farel mengelus tengkuknya. "Ini tuh ibaratnya, pintunya Kael langsung ditutup bahkan sebelum lo sempat memasukinya."
Remi menunduk. Terlihat lesu, tetapi tahu bahwa ucapan sahabatnya itu benar. Dia bahkan sudah kalah sebelum berperang.
"Eh, jangan lesu gitu, Rem. Mana tahu kan, abis lo ketuk pintunya, ntar pintu yang tadinya tertutup, jadi dibukain gitu!" ujar Farel, menepuk pundak Remi. "Cuma berhubung urusannya sama Erlangga. Perjuangan lo mungkin kudu pakai tenaga dua kali lipat dari biasanya."
Remi hanya terdiam. Ketika hampir sampai di lapangan sewaan mereka, dia berujar, "Rel, ntar lo aja yang cerita tentang Kael."
Farel mengangkat alis. "Kenapa gitu?"
"Gue males ngulang omongan."
"Yailah." Farel menggaruk kepala. "Iya, iya."
"Farel?"
"Paan lagi?"
"Jangan cerita bagian gue sama Kael masuk ke toko lingerie."
Spontan, tawa Farel pecah. Dia terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk bahu Remi. "Padahal itu yang paling seru!"
Mereka akhirnya memasuki lapangan dan bertemu lima teman mereka yang lain. Empat di antaranya Remi kenal dari Farel. Hanya satu yang memang sudah Remi tahu dari sekolah. Itu pun karena tak sengaja bertemu lagi setelah lulus. Namanya Harsya. Lelaki itu yang pertama mengingatkan untuk bercerita tentang masalah Remi selepas bertanding basket.
"Farel bilang, katanya Remi lagi ada masalah yang mau diceritain," ujar Harsya setelah memulihkan napasnya. Pertandingan yang mereka mainkan cukup intens dan memakan energi.
Remi duduk di kursi panjang. Sedangkan Farel duduk di lantai sambil meluruskan kaki. Dia mengedik ke Remi. "Ceritain sekarang nih?"
Remi mengelap wajahnya dengan handuk kecil, lalu mengangguk.
Farel pun mulai menceritakan tentang Kael. Baru pertama menyebut nama gadis itu, sudah ada saja orang yang menyelanya.
"Ini Kael siapa, sih? Kita-kita pernah kenal sama dia?" tanya Dhira, teman perempuan Farel yang kenal dari Bentang, teman Farel saat SMA. Baik Bentang dan Dhira sama-sama menjajali dunia hiburan. Bentang menjadi aktor—walau masih mendapat peran-peran sampingan—sementara Dhira menjadi penyiar radio yang menyambi sebagai kontributor artikel suatu situs kecantikan dan gaya hidup. "Seumur-umur gue tahu yang namanya 'Kael', itu cuma Kael MUA yang pernah diundang Dior sama YSL."
Farel dan Remi saling bertatapan, kemudian Farel menatap Dhira. "Iya, Kael yang itu."
Dhira yang tadinya sedang berkaca, mendadak melotot sambil membuka mulutnya lebar. "Sumpah demi?"
Farel kembali menatap Remi, yang juga meski agak kaget oleh reaksi Dhira, wajahnya tetap terlihat tenang. Farel pun merespons, "Iya, Dhir."
"Kael-Kael ini siapa, sih?" tanya Bentang, bingung. Dia masih memantulkan bola basket sambil berdiri. "Lo pernah kenal, Dhir?"
"Duh, Tang, lo masih inget kita pernah ke mal minggu lalu bareng Ninet?" balas Dhira. Ninet adalah adik Bentang yang kini bersama mereka di lapangan. "Di bagian depan mal, inget gue pernah nunjuk banner cewek rambutnya ombre megangin botol skincare? Yang gue bilang, gue mau punya muka semulus itu? Nah, itu Kael!"
"Ohh, yang mukanya kayak manekin itu?" Bentang menatap Remi. Terlihat takjub. "Gila, Remi. Serius?"
Remi hanya mengangguk.
"Kael siapa sih? Kagak pernah denger gue," ujar Januar, teman Farel dan Remi zaman kuliah yang kini memiliki bisnis custom jaket dan aksesoris. Dia menoleh ke arah Ninet, si gadis berkacamata dengan rambut bob yang tengah membuka ponsel. "Net, buka Google, dong. Emang mukanya secakep apa sih sampai pada kaget gitu."
Ninet yang duduk di sebelah Januar pun memilih membuka Instagram. Kemudian dia memberikan ponselnya kepada Dhira. "Cariin nama akun dia dong, Dhir. Gue nggak follow orangnya."
Dhira melakukan permintaan Ninet. Ketika ponsel Ninet dikembalikan, semua orang mendadak berkumpul untuk melihat siapa Kael. Suara-suara menyumpah dan terkesiap muncul ketika melihat profilnya.
"Anjir, Rem, selera cewek lu." Januar geleng-geleng. "Lo gamon bertahun-tahun, sekalinya move on harus ke cewek secakep ini."
"Bukan masalah cakepnya," bela Remi, agak jengkel. "Iya, dia emang cantik. But she's more than that."
"Wah ... 'more than that'nya apaan nih?" tanya Januar menggoda, kemudian terkesiap. "Hah, jangan-jangan kalian berdua udah...."
"Enggak, kami nggak macem-macem. Nggak usah mikir aneh-aneh."
"Remiii, lihat dulu ini. Beneran Kael yang ini? Kami nggak salah orang, kan?" ujar Ninet, menunjukkan layar ponselnya yang terdapat foto Kael.
Remi cuma melihat sekilas dan tahu itu Kael. "Iya, bener yang itu."
Ninet terkesiap. "Lo pernah lihat dia langsung? Beneran secakep foto? Ya ampun mukanya lebih mulus dari jalan hidup ini."
Remi mendesah. "Iya."
"Anjay," ujar Bentang. "Ini dia kerja apa? Artis?"
"Bukan. Dia MUA. Tapi kadang jadi model," jawab Dhira.
"Mana sih orangnya? Lihat dong. Kepala kalian ngehalangin pandangan," ujar Harsya, meminta ponsel Ninet. Begitu melihat foto Kael, Harsya mengerjap-ngerjap, melihat foto-fotonya yang lain, kemudian menatap Remi. "Rem, serius?"
Remi hanya bergumam. Membiarkan teman-temannya heboh sendiri dengan Kael.
"Lesu amat tuh muka. Jangan-jangan lo ditolak sama dia?" tanya Bentang. Sebelum Remi merespons, dia melanjutkan, "Kalau ditolak, ya udah kali, cari yang lain! Ikan di laut mah banyak."
"Tapi yang ini ikannya titisan bidadari, Tang," ujar Ninet. "Tuh, tuh, lihat. Muka tanpa make-up aja se-glowing itu. Mukanya lebih cerah dari masa depan umat manusia."
"Hng ... ya ... tapi kan, tetep aja. Ikan di laut masih banyak, Rem. Santai."
"Hmmm, ini kalau si Remi jadian sama Kael terus mereka nikah, muka anaknya bakal secakep apa, ya?" tanya Ninet sambil menatapi ponselnya, lalu geleng-geleng takzim. "Gila ya, Remi, anak lo belom lahir aja gue udah pusing mikirin mukanya. Mungkin mukanya ntar kayak judul Webtoon gitu kali, ya. Jadi ... 'Terlalu Tampan'."
"Terus saking tampannya, mukanya disensor gitu yak," imbuh Farel gemas. "Lo-lo pada yak, Remi bahkan belom cerita, itu mulut udah komen mulu kayak netizen!"
"Eh, tapi emang bakal nikah?" tanya Januar. "Lihat tuh muka Remi. Muka-muka lesu kurang belaian gitu, mana ada yang bakal jadi nikah. Yang ada Remi tuh baru diputusin. Ya kan, Rem?"
Farel mendecak. "Komen mulu! Dengerin dulu ceritanya!"
"Eh iya, maap, Mak," ujar Januar. Kemudian dia kembali duduk manis. Yang lain mengikuti. "Jadi, gimana kisah asmara pangeran pujaan para elitis dan bidadari ini?"
Kisah dari awal Remi mengenal Kael pun mulai tertutur. Remi bisa memercayai teman-temannya ini karena mereka pun tetap tutup mulut tentang kisahnya dengan perempuan di masa silam. Sampai sekarang, tak ada para elitis dan sosialita yang tahu tentang siapa perempuan dari masa lalu Remi. Mereka hanya mampu berspekulasi. Namun hanya segelintir orang yang benar-benar tahu siapa perempuan yang kini disebut-sebut sebagai 'You-Know-Who' oleh teman-teman Remi.
"Gue bingung dah," respons Bentang setelah cerita Kael dan Remi selesai. Dia mengelus dagunya yang berjenggot tipis. "Lo deketin cewek kenapa ribet gini? Kalau naksir mah, deketin aja dulu. Kalau cocok jadiin, kalau enggak temenin. Kenapa malah bingung harus lanjut deketin apa enggak?"
"Karena keluarganya si Kael, Tang," ujar Januar. "Gue nggak tahu banyak sih. Tapi beberapa klien pebisnis yang gue kenal emang rada menghindari berbisnis sama Rembangi. Keluarga Soerjodiningrat tuh yah ... jeleklah namanya di dalam dunia bisnis. Kalau di luar lingkungan bisnis ya, orang sih ngelihat Rembangi oke-oke aja, kayak perusahaan sukses pada umumnya."
Bentang bergumam. "Gue paham, Jan. Tapi kan, kayaknya picik aja gitu kalau kita menghindari seseorang hanya karena keluarganya punya image jelek. Ya nggak, sih?"
Mendadak Remi merasa tertohok.
"Ouch," justru Farel yang mengucapkan hal itu. "Lo bener, Tang. I can't agree more. Tapi, coba bayangin begini. Lo mau deketin cewek yang keluarganya begitu berkuasa, saking kuatnya cukup berkuasa untuk bikin nasib keluarga dan temen-temen lo jadi buruk. Lo masih mau ambil risiko itu?"
"Ambillah," ujar Bentang. "Toh, cuma PDKT. Bukan yang serius-serius gimana. Daripada nyesel karena nggak ambil kesempatan, kan?"
"Kalau keluarganya ada yang ikut campur hubungan lo sama dia?"
"Justru karena itu kan, si cewek harus dideketin? Biar kenal lebih dalam, terus jadi tahu pas pacaran ntar si cewek bisa berani negur keluarganya yang ikut campur apa enggak." Bentang memantul-mantulkan bola basket. "Toh, kan ini hubungan lo sama Kael, Rem. Bukan sama Rembangi."
Farel langsung menoleh ke arah Remi, alisnya naik dengan senyum terbit seolah ingin berkata, gue bilang juga apa, bikin strategi dulu sambil kenalin Kael!
"Lagian ya, Rem," lanjut Bentang lagi. "Kan, ini lo cuma PDKT gitu. Bukan mau nikahin. Belom serius-serius amatlah, jadi ya selow aja kali."
"Bentar, kayaknya gue ngerti deh kenapa Remi bingung begini," timpa Harsya. "Remi tuh kayak gue. Jarang naksir cewek, tapi sekalinya naksir, ntar kalau udah sampai tahap cinta bisa bego nggak ketulungan. Jadi yang gue tangkep tuh, lo takut kalau ntar malah makin cinta trus pas pengin seriusin Kael, elonya malah susah mikir jernih karena lagi bego. Iya kan, Rem?"
"OHHH, iya, iya. Pantesan lo kelimpungan gini," tambah Dhira. "Duh, jadi keinget kan sama apa yang udah rela lo lakuin demi si You-Know-Who, Rem. Kita-kita nggak ada yang rela deh, lihat lo jadi berantakan lagi sampai bertahun-tahun cuma gara-gara satu cewek yang nggak worth it."
"Dan itu pertanyaannya kan," ujar Januar, lalu menatap Remi. "Is she worth it, Rem?"
Remi terdiam. Dia belum bisa memutuskan karena memang belum kenal Kael lebih dalam. "Belum tahu."
"Ya jelas belum tahulah," ujar Farel. "Lu lagi, Jan, malah nanya hal gitu pas Remi baru dua kali ketemu Kael. Wajarlah Remi belum tahu."
"Kalau gitu, artinya emang harus kenalin Kael lebih dalem, kan," ujar Bentang, mengangkat satu alis. "Tapi lo emang beneran setakut itu jatuh cinta sama Kael?"
"Dia takut jadi bego, Tang," ujar Harsya. "Ya lo ingetlah sebucin apa Remi dulu sama si You-Know-Who."
Januar mendengus. "Atau elo sama si anu dulu ya, Sya."
"Ya intinya lo semua pahamlah," Harsya mengibaskan tangan, berusaha agar topik perbincangan tak berfokus pada dirinya. "Wajar Remi takut jatuh cinta. Takut kalau dia deketin Kael, ntar bapernya makin menjadi-jadi." Harsya melirik ke arah Remi, lalu tersenyum miring. "Walau kalau dilihat-lihat sih, kayaknya emang bakal makin menjadi-jadi."
"Hmmm, gue tahu nih solusi dari masalah lo," ujar Bentang dengan yakin. "Ngobrol sama emak lo, Rem."
"Oh, iya, bener!" timpa Harsya. "Ngobrol coba sama nyokap lo, Rem. Biasanya ibu itu punya pandangan luas tentang masalah-masalah hidup."
Januar mengangguk. "Iya noh. Yakin gue, pasti lo bakal nemu jalan keluarnya. Emak knows the best!"
Segaris senyum tersungging di bibir Remi. Dia setuju dengan ide ini. Akhirnya dia menemukan pencerahan. Sesuatu yang dia tahu akan sulit dia dapatkan jika dia berbicara dengan 'teman-teman' dari lingkaran elitis. Agak sulit bagi Remi untuk merasa paham dengan jalan pikir mereka, meski para elitis itu memang tak semuanya buruk.
Remi sedari awal sudah terpikir untuk berbicara dengan ibunya. Namun dia agak takut mendengar jawaban ibunya; takut kalau ini terkesan seperti masalah picisan remeh yang tak seharusnya dia tanyakan ke orangtua, melainkan harusnya dia selesaikan sendiri. Dan terkadang untuk merealisasi ide, dia hanya butuh dorongan. Dan kini setelah teman-temannya suportif, dia baru yakin akan mendatangi ibunya untuk berbicara. Bisa jadi ibunya berpikir masalah asmara ini tidak sepicisan yang Remi pikir.
Dan jika memang ibunya merestui, Remi akan memberi kesempatan bagi dirinya sendiri. Kesempatan untuk kembali mencoba mengetuk pintu yang telah tertutup.
[ ].
A/N
Rosalie itu janda beranak dua (Calvin dan Kael), nikah sama Umbhara yang duda beranak satu (Rian). Dari pernikahan itu, lahirlah Shasha. Paham kan yak. Biar nggak pusing sama chapter selanjutnya walau emang masih banyak rahasia.
p.s. gue lebih suka Farel daripada Remi wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top