10 || Di Balik Kecup


"CUMA buat lima belas menit."

Remi terdiam sejenak untuk menunggu andai kata Kael sedang bercanda. Ketika lebih dari lima detik berlalu dan Kael hanya diam saja, Remi baru sadar bahwa ini sungguhan. "Wait, you're being serious?"

"Di bagian mananya? Pura-pura jadi pacar, atau cuma lima belas menit?"

Lagi, Remi terdiam karena merasa ini pertanyaan ambigu. Namun jika dipikir-pikir, dia memang tak ingin cuma jadi pacar Kael hanya untuk lima belas menit. Meski itu hanya pura-pura. "Uhm, dua-duanya serius?"

Kael manggut-manggut.

"But, why?" Remi membuka mulut. "Kenapa saya? Dan buat apa?"

"Aku belum bisa kasih tahu alasannya. Tapi aku minta tolong, buat kali ini aja ya, Remi? Di mal ini aja kok dari kita keluar dari ruang ganti. Paling cuma lima belas menit sampai kamu balik kerja. Please?"

Alis Remi menyatu. Praduga terkuat sudah muncul di otaknya. Barangkali Erlangga memiliki perasaan khusus kepada Kael dan tak akan mengganggu Kael jika gadis itu sudah punya kekasih. Remi tak keberatan. Lagi pula, ini cuma sehari. Bahkan mungkin beberapa menit berhubung dia sebentar lagi harus kembali bekerja. "Oke."

Mata hijau Kael berpendar senang. Bibir Kael yang terlihat penuh dengan warna merah jambu merekah bagai kelopak ketika tersenyum ke arahnya. Wajah mereka begitu dekat. "Thank you."

Remi menggertakkan gigi untuk tetap memasang wajah normalnya. Lagi-lagi dia mengingatkan diri untuk tak mencium bibir Kael. Remi pun melangkah mundur untuk menarik napas. "Are we done here?"

"We're done." Kael tersenyum, lalu menyadari sesuatu. "Oh, aku belum nyobain lingerie-nya!"

"Oke, saya keluar." Remi berbalik dan keluar dari ruang ganti. Dia mencari tempat duduk untuk menunggu Kael sambil membuka ponsel. Baru saja duduk dan membuka kunci layar, dia melihat sosok Kael keluar dari ruang ganti dan berjalan ke arah kasir untuk membayar belanjaannya.

Remi mengernyit. Memangnya nyobain lingerie bisa secepet ini ya? pikir Remi. Dia pun menyimpan ponselnya dan mendekati Kael yang menunggu barang-barangnya dikemas. Remi mengamati Kael dan bertanya, "Udah selesai?"

Kael menoleh ke arahnya. "Udah."

"Kok cepet?"

"Cepet dong. Ngapain lama-lama? Waktu kita bareng kan tinggal bentar lagi."

Iya, Remi tahu itu. Tapi apakah memang mencoba lingerie bisa secepat ini? "Kamu beneran nyobain bajunya?"

"Beneran. Mau lihat?"

"Ap—enggak, maksudnya bukan gitu. Saya cuma nanya. Kenapa bisa secepat itu nyobainnya?"

"Bisa dong. Perlu aku peragain gimana aku nyobain lingerie-nya tadi?"

Mendadak Remi menyesal sudah bertanya. "Nggak perlu."

Setelah urusan di kasir selesai, Kael dan Remi keluar dari toko. Remi memikirkan tentang permintaan Kael tadi. Jadi pacar pura-pura, dan hanya untuk lima belas menit—sepuluh menit, setelah keluar dari toko lingerie barusan. Dia menoleh ke samping untuk melihat Kael, lalu Kael menatapnya, mendekatkan wajah untuk berbisik, "Kamu bisa rangkul aku sambil jalan, jangan noleh ke belakang."

Meski Remi ingin sekali mencari tahu orang yang sedang menguntit mereka, Remi mengikuti ucapan Kael dan merangkul gadis itu sambil berjalan.

"Santai, Remi," ujar Kael. "Kamu kelihatan tegang."

Remi menarik napas beberapa kali hingga merasa lebih relaks. "Kamu mau ke mana habis ini?"

"Duduk aja yuk di situ." Kael menunjuk bangku panjang yang disediakan dekat eskalator. Setelah mereka duduk bersisian, Kael meletakkan belanjaannya sambil berkata, "Mukamu tegang banget, Remi."

"Saya nggak tahu gimana cara ngelakuin ini."

"Then just relax. Bayangin aja aku ini cewek yang lagi kamu suka. Bayangkan apa yang akan kamu lakukan kalau lagi pacaran sama cewek itu, terus lakuin itu ke aku."

Satu hal yang paling ingin Remi lakukan adalah mencium Kael dan dia tahu hal ini tak mungkin terjadi. Tidak di ruang publik begini.

Remi merasa bahunya dijatuhi beban dari samping. Kepala Kael. Gadis itu memeluk lengan Remi sambil bersandar di bahunya. "Jadi, apa yang mau kamu lakuin kalau lagi pacaran sama cewek incaranmu?"

Ini dia lagi nguji atau gimana, sih? "Lakuin apa yang dilakuin orang pacaran pada umumnya."

"Seperti?"

"Ngobrol, gandengan tangan, nonton bareng, makan bareng." Remi terdiam sejenak. "Ngobrol sih intinya."

"Kamu nggak pernah kissing?"

"Ap—hah?"

"Kissing. Nggak masuk daftarmu tadi."

Remi menatap ke sembarang arah selain ke arah Kael. "Nggak ... nggak di depan publik gini."

"Oh, tapi pernah?"

"Kita harusnya nggak ngomongin hal kayak gini."

"Kenapa? It's just a kiss. I kiss some people. Boys, girls, all of them."

"Hah? Cewek juga?"

"Iya." Kael terkekeh, menatapi orang lalu-lalang. "Many things happened in NYC."

Remi tak tahu harus merespons apa. Kael seperti kotak hadiah yang selalu penuh kejutan. Sesaat kemudian, Remi pun penasaran. "Rasanya gimana?"

"Apa? Nyium cewek?"

"Iya."

"One of them taste like a cherry. Ada juga yang rasa cokelat, ada yang kayak kue, sebagian lagi nggak ada rasa."

Remi menoleh untuk mengamati Kael. Dia tak bisa tak menatapi bibir gadis itu ketika berbicara tentang pengalaman berciuman. And yours taste like what, Kael? "Jadi, kamu suka cewek?"

"Iya."

Remi bergumam. Ini bukan hal baru. Mungkin dia harus mundur karena sudah tahu Kael lesbian. "Jadi kamu nggak suka cowok, ya?"

"Suka."

Entah mengapa ini mengingatkannya pada Abrian Soerjodiningrat. "So ... you're like your brother? Kayak Rian?"

Kael mengangkat kepalanya dari bahu Remi untuk menatap lelaki itu. "Pertanyaanmu itu ambigu lho, Remi. Kamu cuma nanya 'suka atau enggak'. Ya aku suka-suka aja sama semua orang."

Remi mengambil beberapa saat sebelum bertanya, "Are you straight?"

"Not really. Aku mah anaknya suka belak-belok."

"Maksud saya, orientasi seksualmu?"

"Straight sih, kayaknya."

"Tapi kamu nyium cewek?"

"Karena kalah taruhan."

"Oh." Remi menelan ludah. "Kamu ... sering taruhan kayak gitu? Yang kalah harus cium orang?"

"Nggak sering. Kadang aja." Kael mendekatkan wajah dan menyeringai. "Kenapa? Pangeran mau ikutan juga?"

"Hng ... engga." Remi jadi berpikiran macam-macam. Namun dia tahu ini adalah kesempatan baginya untuk bertanya salah satu gosip tentang Kael. "Apa taruhannya termasuk taruhan buat ... hm ... sleep with anyone?"

"Iya."

"Hm." Remi mengangguk, sekarang dia paham bahwa hidup Kael memang jauh berbeda dibanding dirinya. Kael penuh kejutan, pemeluk petualangan. Dia mungkin hanya mahkluk membosankan dibanding kehidupan seru yang Kael alami. "But, are you ... aware of the rumor?"

"Kali ini rumor yang mana lagi?"

"Tentang...." Remi menelan ludah, sebenarnya merasa agak tidak enak bertanya hal yang personal, dan akhirnya dia justru berkata, "Nggak jadi."

Kael mengangkat alis. "Kenapa nggak jadi?"

"Nggak enak. Itu personal kamu."

"Thank you for being considerate." Kael tersenyum. "Tapi, sekarang kamu bikin aku penasaran. Jadi tanya aja. Masalah pertanyaannya nanti dirasa terlalu personal, ntar aku sendiri yang nentuin."

Karena sudah mendapat semacam perizinan, Remi baru berani bertanya, "Kamu punya sugar daddy?"

Kael terkekeh. "Nggak punya nih! Kamu mau daftar jadi sugar daddy aku?"

"Jadi udah banyak yang daftar?"

"Banyak yang nawarin sih."

Remi sadar, tampang Kael yang seperti boneka lengkap dengan tubuh mungilnya memang cocok untuk jadi sugar baby. Tapi Remi tak punya fetis seperti itu. "How do you handle it? Those rumors?"

"Tinggal dicuekin aja. Gosip cuma akan jadi gosip selama nggak punya barang bukti. Walau orang-orang percaya itu nyata."

"Walau orang berasumsi macam-macam ke kamu? Nggak kesel?"

"Awalnya kesel, tapi kasih penjelasan apa pun juga nggak akan menyelesaikan masalah. Mereka bukan butuh penjelasan, mereka butuhnya pembenaran. Kalau aku kasih penjelasan malah diputer-puter sama mereka narasinya, yang pada akhirnya bikin gosip baru. Temen-temenku nggak terlalu butuh penjelasan atau klarifikasi, sih." Kael terdiam. "Mungkin cara yang paling tepat biar nggak kesel adalah dengan fokus ke orang-orang yang bener-bener suportif sama kita, bukan ke orang-orang negatif. Kabar baiknya, justru dari merebaknya gosip-gosip jelek tentang kita, kita jadi bisa memilah siapa yang beneran temen dan yang bukan."

Remi tersenyum. "You're right."

Kael pun berdiri, merapikan bajunya. "Ini udah hampir sepuluh menit, Rem."

"Oh." Remi berdiri, merapikan lipatan kemejanya. "Kamu mau langsung pulang?"

"Iya. Kamu mau langsung balik kerja, kan?"

"Iya. Kamu pulang naik apa?"

"Taksi online." Kael mengedik ke eskalator. "Sambil turun ke lobi yuk."

Remi mengangguk. Mereka turun ke lantai dasar dan berjalan menuju lobi. Ketika Kael membuka ponsel untuk memesan taksi daring, Remi memanggil namanya.

"Kael," panggil Remi. Dan Kael menoleh. "Terlepas dari pacar pura-pura selama sepuluh menit ini, do you consider this as a date?"

Kael terkekeh pendek. "Yes."

"Are you...." Remi berdeham untuk memperjelas suara. "Are you having a good time with me?"

Kael menurunkan ponselnya, lalu melangkah mendekat. Pandangannya memindai wajah Remi dan tanpa Remi duga, tangan gadis itu mengelus rahangnya. Jantung Remi berdegup terlalu berisik untuk Remi mencerna perlakuan Ini. "Having a good time? Ini salah satu sejam terbaik dalam hidup aku." Kael kemudian menunduk sesaat, lalu menatap dengan agak sedih. "But I'm sorry. Cuma bisa sampai sini."

Remi mengernyit. Menahan tangan Kael agar tak terlepas dari wajahnya. "Maksudnya?"

"Kalau aku kelihatan interaksi lagi sama kamu, ntar Erlangga bakal ngawasin kamu terus." Kael mengulum bibir. "Jadi aku harus move ke cowok lain."

"Ke cowok lain?" Remi butuh waktu untuk menyambungkan puzzle dalam otaknya. Dari satu lelaki ke lelaki lain agar Erlangga tidak mengawasi Kael? Apa ini maksud Kael deketin banyak cowok? pikir Remi. Apa mungkin, Kael melakukan ini karena dia tak mau Erlangga mengawasi lelaki yang terlihat dekat dengannya? Jadi fokus kakaknya dialihkan ke lelaki baru yang sedang Kael dekati? "Sebentar, apa ... apa ini bakal jadi terakhir kalinya kita bisa ketemuan dan ngobrol begini?

Kael menunduk dan memainkan tumitnya di lantai. "I'm afraid so."

Remi membeliak, lalu merendahkan suara hingga berbisik, "Apa ini semua karena Erlangga?"

Kael mengangguk. "Sorry to get you into this mess." Dia tersenyum lembut. "Tapi, makasih udah luangin waktumu buat satu jam terakhir ini. I'm having fun."

"It's my pleasure, but." Remi menyentuh lengan Kael, ingin menggenggamnya dan menahannya jika memang ini akan jadi kali terakhir mereka bisa berinteraksi. "Kita masih bisa ketemu kan? Ada acara-acara sosial lain di mana kita bisa ketemu."

"Iya. Tapi, mungkin lebih baik kalau kita nggak usah berinteraksi." Kael menarik napas. "I've told you. Lebih baik nggak usah berurusan sama keluarga Soerjodiningrat."

"Terutama kamu?"

"Terutama Erlangga."

Remi menelan ludah. "Masih bisa chatting, kan?"

"Masih." Kael lalu menggeleng. "Tapi lebih baik nggak usah."

Bagaimana bisa? Setelah hari ini, setelah apa yang mereka lewati meski hanya beberapa waktu? Semua harus berhenti tanpa dia mampu melawan? "Bener-bener ... nggak bisa?"

"Maaf, Remi. Buat kebaikan kamu." Kael menelan ludah. "Dan mungkin buat kebaikan keluargamu juga.

Mata Remi terpejam. Dia paham. Dia hanya belum bisa menerima meski dia paham logikanya. "Kalau gitu untuk pertemuan terakhir ini, saya minta sesuatu yang cuma bisa dikasih sama kamu."

Respons Kael selanjutnya tak diduga Remi, karena Kael justru berceletuk, "Pangeran mau dicium?"

"H-hah?" Mata Remi langsung terbuka. "Apa?"

"Dicium pipi. Kayak goodbye kiss."

"O-oh." Remi yakin dia harus sering-sering menutup mulutnya di depan Kael. Nada yang dia pakai saat ber-oh ria tadi saja terdengar kecewa, dan dia merasa begitu mudah ditebak. "Goodbye kiss, ya?"

"Iya."

"Di pipi aja?"

"Pangeran maunya di mana lagi?"

Jawabannya jelas sekali. Masalahnya tinggal Remi berani mengutarakannya atau tidak. Namun karena Remi tak tahu kapan lagi dia bisa berinteraksi dengan Kael, dia memilih berani mengakui, "I'd rather have it on the lips."

Kael tersenyum geli. Dia menarik Remi ke pojokan yang sepi dari orang lalu-lalang. Ketika mata mereka kembali bertemu, Kael melangkah mendekat untuk memajukan wajahnya. "Sini nunduk, Pangeran. Kamu ketinggian."

Remi merasa darahnya mengalir ke wajah dan dadanya, membuatnya hangat. Jantungnya bagai genderang bertabuh. Dia menunduk dan memiringkan kepala. Matanya terpejam. Saat bibir mereka bersentuhan, tangan Remi otomatis menarik pinggang Kael mendekat. Dia baru saja sedikit melumat bibir Kael ketika suara ponsel Kael berbunyi.

Wajah mereka agak menjauh, lalu mereka saling menatap untuk melihat reaksi satu sama lain sebelum memisahkan diri. Dari tatapan pun keduanya tahu bahwa tak ada yang ingin ini berakhir begitu cepat.

"Angkat aja." Ketika menyadari suaranya sendiri terdengar serak, Remi menelan ludah untuk membasahi kerongkongan. "Siapa tahu itu sopir taksinya."

Kael mengangkat telepon yang ternyata benar dari sopir taksi daringnya. Mereka berbicara sementara Remi menatap ke arah lain. Jantungnya masih berdegup keras meski napasnya tidak terengah karena itu memang bukan ciuman panas. Remi bahkan sejenak lupa dengan ketidaksukaannya pada afeksi depan publik.

Saat panggilan berakhir, Remi baru menoleh kembali ke Kael. "Udah dateng taksinya?"

"Udah." Kael membenarkan rambutnya. "So, this is it."

"Yeah." Remi menarik napas. "A pleasure to meet you."

"A pleasure to meet you too." Kael mengangguk. "Dan mungkin kamu udah pernah denger ini dari banyak orang. But I just wanna say that you deserve the best, Remi. Jangan biarkan orang lain bikin kamu mikir sebaliknya."

Remi tersenyum. "Thank you."

Kael membalas senyuman itu, dia hendak berbalik saat Remi mencegatnya dengan suara.

"Kael."

Kael menoleh. Hanya meninggikan alis untuk merespons.

Remi mengulum bibir. Tahu jawaban dari pertanyaannya ini. Tahu Kael mungkin akan menjawab dengan jawaban yang sama. Tetapi dia tetap bertanya, berharap ada perubahan. "Kita ... beneran nggak bisa kayak gini lagi?"

Wajah Kael terlihat agak sedih. "I'm sorry."

Mata Remi terpejam. Tuhan, seandainya Remi tak tahu siapa Erlanga Soerjodiningrat, seandainya Kael bukan dari keluarga itu, dia takkan ragu untuk maju mendapatkan Kael tanpa peduli apa pun risikonya. Masalahnya dia tahu siapa Erlangga. Erlangga, The Golden Child of Rembangi Empire, First of The First, dan Remi tahu apa yang mampu Erlangga lakukan di bawah kuasa dan kekayaan keluarganya. Yang jadi pertaruhan jika Remi berani berurusan dengan Erlangga bukan hanya dirinya sendiri, tapi juga keluarga dan teman-temannya.

Dan mana yang akan dia pilih antara kehidupannya sekarang—teman-temannya, keluarganya, semua keselamatan dan kehidupan mereka—dengan gadis yang baru dua kali dia temui?

Jawabannya selalu mudah.

Remi pun mengucapkan kata-kata yang sudah pernah terucap tetapi tak Kael ingat di malam dia membawa gadis itu ke apartemennya, "Apa pun yang kamu alami nanti, I hope you'll be okay."

Kael mendengus. "Of course I will." Dia melambai dan melangkah menjauh. "Good bye, Remi."

Remi melambai. Mengabaikan rasa sakit di dadanya. "Bye."

Kael pun melangkah menjauh, kemudian hilang ditelan keramaian. Sedangkan Remi berjalan langsung kembali ke kantornya. Di sepanjang langkah, berbagai pikiran melintasi benaknya.

Betapa menyenangkannya bisa mengambil kesempatan untuk mengetahui seberapa jauh hubungan mereka bisa terjalin. Apakah berlanjut hingga menjadi sepasang kekasih? Atau hanya teman? Atau sahabat? Atau mungkin berakhir menjadi orang asing di tengah jalan? Remi tak tahu dan barangkali takkan pernah tahu karena dia tak bisa mengambil kesempatan itu. Kesempatan itu pupus bersamaan dengan keputusannya untuk tidak melibatkan keluarganya masuk ke lingkaran keluarga Soerjodiningrat—terlalu berbahaya, terlalu kuat untuk dihadapi.

Dan Remi belum punya kekuatan cadangan yang cukup kuat untuk menghadapi keluarga konglomerat sebesar Soerjodiningrat.

[ ].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top