1 || Sang Lamunan (REVISED)
MEREKA yang kaya-raya memiliki tradisi dan acara macam-macam yang membutuhkan banyak uang. Tapi karena mereka terlalu kaya, mengeluarkan uang sebanyak apa pun takkan pernah membuat mereka miskin.
"Smile, Remi. Kamu kayak baru pertama kali datang pesta-pesta begini aja," ucapan ini keluar dari mulut Harimukti Cakrawangsa, Presiden Komisaris Griya Teduh Realty. Perusahaan tersebut dibangun oleh ayah Remi dan temannya "Griya Teduh butuh pemimpin yang nggak kaku. Biar mudah membaur dengan orang-orang sekitarnya."
Remi tersenyum. "Om pasti tahu, saya nggak akan jadi pengganti ayah saya. Beliau udah pernah bilang kalau kandidat penggantinya itu antara Farel atau abang saya."
"We never know." Harimukti mengangkat bahu. "Presiden Habibie pun dari dulu juga nggak berpikir akan jadi Presiden—jadi wakilnya pun tidak. Nyatanya beliau diangkat jadi Wapres. Dan setelah Suharto lengser, beliau naik jadi Presiden." Harimukti mengangkat gelas sampanye miliknya "Jalan takdir nggak ada yang pernah tahu. I'm just asking you to prepare yourself."
Remi mengerjap. Dia tahu kisah Habibie serta kisah lain tentang orang-orang yang tak pernah berpikir dirinya akan jadi direktur, atau raja, atau intinya menjadi pemangku kekuasaan yang begitu besar, tetapi pada akhirnya justru merekalah yang mendapatkan kuasa. Harimukti memang ada benarnya; jalan takdir tak ada yang benar-benar tahu. Namun Remi tahu pasti bahwa ayahnya takkan berubah pikiran tentang kandidat CEO Griya teduh selanjutnya. Pasti pilihannya antara Danes atau Farel.
Bicara tentang Farel, sahabatnya sejak kuliah, lelaki itu masih juga belum datang hingga detik ini. Padahal acara ulang tahun Bianca Cakrawangsa sudah mau dimulai.
Keluarga Cakrawangsa adalah keluarga konglomerat yang memegang manajemen Grup Kandjaya. Grup bisnis itu telah membuat Griya Teduh Realty sebagai salah satu anak perusahaannya. Manajemen Kandjaya kini dipegang oleh generasi ketiga Cakrawangsa, serta sebagian generasi kedua seperti Harimukti. Bianca sendiri merupakan putri dari istri pertama Edhie Cakrawangsa, sang pendiri grup konglomerat itu.
Istri kedua Edhie adalah ibu dari Harimukti. Baru dijadikan istri sah setelah Harimukti dan Janggala, adiknya, berhasil memajukan bisnis Kandjaya. Kabar bahwa Edhie suka main perempuan dan punya banyak simpanan sudah jadi buah bibir harian. Berdasarkan rumor yang beredar, Edhie memiliki lebih dari empat puluh anak dari wanita-wanita simpanannya. Tak ada dari mereka yang jadi anak legal kecuali anak-anak dari istri kedua Edhie. Selama ini anak-anak yang bukan dari istri legal Edhie tak ada yang diberi perhatian olehnya. Bahkan ketika anak-cucu dari wanita simpanannya menikah pun, Edhie tidak pernah hadir.
Namun karena ini adalah ulang tahun putri dari istri pertama Edhie, pesta ini tentu akan dihadiri oleh Edhie Cakrawangsa. Dan sebagai orang yang menjabat di anak perusahaan Kandjaya, mustahil Farel tidak datang ke acara sepenting ini.
Remi mengecek lagi ponselnya. Farel sudah mengirim pesan kalau dia sedang dalam perjalanan ke lokasi. Pesan tersebut muncul dari lima belas menit yang lalu. Belum ada pesan baru. Remi pun menyesap sampanye sambil berjalan-jalan.
Dari jauh, Remi menangkap sosok Janggala Cakrawangsa berjalan ke arahnya. Janggala adalah Wakil Presiden Komisaris Griya Teduh Realty. Masih melajang bahkan di usianya yang mau menginjak kepala lima. Pria itu tersenyum dan mendekati, lalu menepuk pundak Remi. "Duduklah, Remi. Acara masih agak lama dimulainya." Janggala lalu menyipit. "Oh. Kamu lagi nunggu Farel ya?"
Remi menahan senyum meringis. Orang-orang selalu mengasosiasikan dirinya dengan Farel. Kadang hal ini menimbulkan kesalahpahaman. Alias, tak sedikit orang yang berpikir Remi dan Farel diam-diam berpacaran.
Remi berdeham atas pertanyaan Janggala. Dia tak bisa berbohong. "Iya, Om."
"Paling bentar lagi Farel datang. Duduk aja dulu."
Remi hanya tersenyum, merasa enggan. Bukan karena tak mau duduk, melainkan karena tak mau semeja dengan para orang tua—terutama para ibu-ibu. Semeja dengan orang-orang tua biasanya selalu menyudutkan dirinya dan Farel pada perjodohan dengan entah-putri-siapa. Dia dan Farel juga sudah sepakat untuk menghindari duduk bersama orang-orang tua di acara sosial begini.
Akhirnya, Remi hanya menjawab, "Nanti aja, Om."
Janggala mendekat untuk berbisik, "Saya tahu kamu berdiri di belakang sini buat menghindari ibu-ibu yang biasanya cari kamu buat dijodoh-jodohin. Tapi, Winona baru aja melihat ke arah sini bareng temennya. Dan kemungkinan, temennya ini bakal sampai ke tempatmu berdiri kalau kamu nggak duluan duduk sama orang-orang."
Remi melotot. "Om Jangg—"
"Brace yourself, kiddo." Janggala menjauh sambil mengedipkan satu matanya. Dia pergi dan Remi hendak menyusul, tetapi dia dicegat oleh suara wanita yang memanggil namanya.
"Remi!" seru Winona Cakrawangsa, istri dari Harimukti. Wanita itu mendekati Remi bersama seorang wanita lainnya.
Remi merasa tak punya pilihan selain berbalik, tersenyum sopan, lalu menyapa, "Tante Winona. Gimana kabarnya?"
"Ah, kayak biasalah. Sehat ini untungnya." Winona tersenyum sambil mengamati Remi. "Ya ampun, makin ganteng aja kamu. Udah punya pacar sekarang? Ada anak temen tante ini baru aja putus dari pacarnya. Kali aja kalian cocok."
Senyuman Remi masih terpasang. "Terima kasih atas tawarannya, Tante. Mungkin lain kali bisa."
"Lain kali kapan? Ini nih ibunya!" seru Winona sambil menarik seorang wanita di sampingnya.
Remi agak memaksakan senyum. Dia itu sengaja berdiri di sini—memojok di area balai riung hotel yang jauh dari meja-meja tamu—agar dia tak mudah terlihat oleh para ibu-ibu sosialita yang datang. Dan sekarang?
"Tania, anakmu katanya baru putus, kan?" lanjut Winona. "Nih, kamu nggak mau coba kenalin anakmu sama Remi?"
"Ehh, dikenalin sama Remi? Maulah!" seru sosok wanita yang dibawa Winona. Wanita itu menatap Remi dengan senyum semringah. "Remi, masih inget Tante, nggak? Kita pernah beberapa kali ketemu lho."
Sebenarnya, Remi tidak ingat. Tapi menjawab 'tidak' agaknya kurang sopan. "Oh, ya. Inget kok, Tante."
"Ah, iya, kamu masih jomlo, kan? Belum punya pacar? Mau nggak dikenalin sama anak Tante? Bentar lagi dia selesai kuliah di UPenn*. Ntar pas balik ke Indonesia, mau ya dikenalin?"
Remi bergumam panjang, masih sambil tersenyum. Sungguh tidak sopan jika menolak langsung di depan ibunya. "Hm ... boleh, Tante."
"Mau, ya? Dia anaknya baik, kok. Pinter, cantik, dulunya pernah terpilih jadi perwakilan daerah kami buat kontes beauty pageant se-Indonesia."
"Oh, hebat sekali. Dia hobinya apa, Tante?" tanya Remi demi kesantunan.
"Hobinya main balet. Tapi dia cuma jadiin itu hobi aja, nggak mau jadi profesional. Jadinya kalau lagi stres tuh, pelampiasan dia main balet, atau nonton pertunjukannya, atau melukis sambil dengerin Italian orchestra. Kamu suka orkestra, Remi?"
"Hm, lumayan." Dari sudut matanya, Remi dapat melihat Winona pergi mendatangi sekumpulan ibu-ibu sosialita sambil mengobrol, dan kini mereka melihat ke arahnya. Oh, tidak. Remi kembali menatap wanita di depannya. "Orkestra siapa yang disukai anak Tante?"
"Banyak. Dia paling suka Giacommo Puccini. And she also into Pavarotti. Are you into Pavarotti, Remi?"
Remi agak tak yakin, karena dia hanya mendengar beberapa lagunya. Dari kejauhan, Remi dapat menangkap sosok abangnya sedang duduk sendirian di suatu meja. "Uhm, yes. Nessun Dorma?"
"Ah, her favourite! Suatu hari kamu harus ketemu dia, Remi. Tante yakin kalian bakal cocok."
Remi mengangguk sopan dan tersenyum. "Bisa, Tante. Mungkin lain kali bisa diatur pertemuannya. Nanti kabari aja. Tapi, sekarang saya izin mau ketemu orang di sana, ya. Permisi."
Langkah Remi segera menjauh sebelum sekumpulan ibu-ibu yang tadi dia lihat mencapainya. Jika dia tetap berdiri di sana, dia pasti akan jadi sasaran empuk untuk dijodoh-jodohkan. Dia tak paham kenapa ibu-ibu senang sekali menjodoh-jodohkan dirinya dengan putri mereka.
Daneswara Tanureja, kakak dari Remi, melihat Remi mendekat ke mejanya. Dia menyeringai melihat adiknya. "Dijodoh-jodohin lagi?"
Remi duduk di sebelah Danes. Meletakkan gelas sampanye di meja. "As you can see."
"I've seen the girl. Anaknya Tante Tania tadi di sana kan? Let me tell you, she's a bombshell."
Mata Remi menyipit ketika menoleh ke arah Danes."And let me guess. Maksud dari 'bombshell' versi lo itu, it means she has big melons, right?"
"Big mel—what? You still call boobs with that name? What are you? Five?"
"Nes, rasanya kurang appropriate buat nyebut kata tadi di sini."
"Astaga, Remi. You're not a toddler. C'mon, coba ngomong dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sini gue ajarin. Istilahnya itu 'payudara'. P-A pa, Y-U yu, D-A da, R-A ra. Pa-yu-da-ra."
"Danes. You're embarassing."
"You innocence is more embarassing!"
"Waduh, tumben ini abang-adek akur amat," komentar seseorang yang mendekat ke arah mereka. Ada dua orang lelaki, yang satu rambutnya dicat cokelat tua dengan highlight keperakan, yang satu lagi berambut gondrong mencapai bahu dan dibiarkan tergerai.
Danes mendecak dan menatap mereka. "Lo berdua mirip amat sama Remi-Farel. Ke kamar mandi aja pakai acara jalan berdua. Mau nge-date lo?"
"Kencingnya berjamaah, bro. Biar makin khusyuk," ujar lelaki berambut gondrong, namanya Bentang. Dia mengangkat alisnya sebagai gestur menyapa Remi. "Yo, Rem."
"Bentang." Remi menjabat tangannya. "Gimana kabarnya? Job lancar?"
Bentang mengangguk "Tahun ini dapet tawaran main di dua film. Datang ya lo kalau ntar premiere!"
"Bisa diusahakan." Remi pun beralih ke pria di sampingnya. "Harsya."
"Remi," Harsya menjabat tangan Remi. "Kabar baik? Masih langgeng pacaran sama Farel?"
Senyum Remi seketika luntur. "Ha-ha. Very funny."
Namun baik Harsya dan kedua lelaki di meja itu tertawa. "Ya abis lo berdua kayak perangko sama surat. Nempeeel mulu ke mana-mana!" seru Bentang
"Tauk nih. Berdua mulu ke mana-mana," tukas Danes. "Lama-lama Mami bisa nikahin lu sama Farel, Rem!"
Remi tak menanggapi. Dia sebal dengan asumsi orang-orang terhadapnya. Namun kenyataannya, dia sadar dia memang lebih sering ke mana-mana bersama Farel.
"Eh, tadi pas ke sini gue lihat Remi dikerubungin ibu-ibu." Bentang menyengir ke arah Remi. Dia dan Harsya duduk di sebelah Danes. "Pasti lo abis dijodoh-jodohin, ya?"
"Pasti dijodoh-jodohin," imbuh Harsya. "Remi kan, image-nya cowok baik-baik. His image is like a saint, you know. Panteslah tante-tante pada pengin Remi jadi mantunya."
"Not a saint, Sya. Lo tahu nggak cewek-cewek pada manggil dia apa, pas tadi gue keluar kamar mandi?" Bentang menyatukan tangan sambil menatap ke kejauhan seperti menatap sosok impiannya. "Oh, Pangeran Remi, pangeran sempurna pujaan sosialita."
"C'mon, sebutan 'Pangeran Remi' mah udah dari dulu. Lagian lo denger-denger aja cewek di kamar mandi lagi ngomong apa. Jangan-jangan ngintip ya lo?" ujar Danes.
"Sembarangan." Bentang melotot. "Kamar mandi cowok sama cewek kan sebelahan. Pas gue keluar duluan, ada cewek-cewek pada keluar juga dan mereka pada ngomongin ... 'Pangeran Remi'," lanjut Bentang sambil merentangkan kedua telapak tangannya, seperti Spongebob saat berkata 'imajinasi'.
"Emang si pangeran ini kenapa nggak mau dijodohin?" tanya Harsya dengan santai. "Lo kan jomlo, Rem. Lagian cewek-cewek yang mau dikenalin ke elo pasti high class semua. Emang lo mau cewek kayak gimana? Yang ala princess? Atau mungkin, yang bukan dari kalangan socialite?"
"Ohh, gue tahu tipe cewek Remi!" seru Bentang sambil menunjuk Remi. "Yang sifatnya kayak Farel?"
Remi segera berdiri sambil membawa gelasnya. "I'm leaving."
"Ehhh, jangan ngambek!" seru Bentang seraya terkekeh. Kemudian dia memasang muka serius. "I'm sorry. I'm just joking. But seriously, selama ini lo nolak cewek-cewek yang ngedeketin atau yang dijodohin sama lo, trus lo malah jalan terus sama Farel. Gimana orang nggak mikir kalian diem-diem pacaran?"
Remi menatap ke arah lain. Alasan dia lebih memilih Farel sebenarnya sederhana: Farel sudah lama berteman dengannya dan sudah sangat mengenalnya. Farel juga lebih bisa memahaminya dibandingkan semua temannya yang lain.
Namun, lintasan pikirannya barusan membuatnya terdengar seperti pacar Farel.
"Separah itu ya?" ujar Remi setelah duduk, lebih seperti bergumam kepada dirinya sendiri.
Bentang dan Harsya menatap satu sama lain, lalu sama-sama mengangguk. Bentang menjawab, "Ya ... nggak parah, sih, cuma ... ya parah juga."
"Jadi gue harus ngejauhin Farel?"
"Hngg ... nggak gitu juga. Tapi ya coba lo luangin waktu lo buat jalan sama cewek gitu. Jangan sama Farel mulu. Kan cewek atau tante-tante yang tertarik sama lo banyak, Rem."
"Tante-tante," imbuh Danes sambil tertawa. "Lo kira adek gue gigolo!"
"Maksudnya tante-tante yang mau jodohin Remi sama anak cewek mereka, ah elah!" seru Bentang.
"Panjang umur, man," ujar Harsya yang sedang menatap ke arah pintu. "Baru aja diomongin."
"Ngomongin siapa? Tante-tante? Atau gigolo?"
Danes menghela napas dan menatap Bentang dengan malas.
Remi ikut memandang ke arah pintu masuk. Sesosok lelaki sepantarannya mendekat sambil menyengir. Lelaki itu langsung menepuk bahu Remi sebelum duduk di sampingnya. "Kenapa lo ngelihatin gue kayak gitu? Kangen? Butuh pelukan?"
Kadang Remi ingin menimpuk Farel dengan sepatunya. "Lo kenapa telat?"
"Macet. Sumpah, gue tahu ini alesan klasik banget. Tapi asli, tadi tuh ada pohon jatoh, gede pula. Makanya gue puter balik trus kena macet double," terang Farel.
"Serius, Rel?" tanya Harsya. "Pohonnya tumbang di mana? Serem amat kalau gede trus tumbang. Ada yang kena celaka?"
Farel pun bercerita tentang kejadian pohon tumbang di tengah jalan yang dia alami. Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba sesosok lelaki datang menginterupsi dengan menepuk pundak Danes.
Danes menoleh dan membeliak. "Marc!" seru Danes. "Lo ngapain di sini? Bukannya lo harusnya sama keluarga lo?"
"Long story. Mending gue duduk dulu." Marcus Cakrawangsa, putra dari wanita yang hari ini mengadakan acara ulang tahun. Dia segera duduk semeja dengan rombongan Danes. "Oh, by the way, how's the party so far? You guys having a good time?"
"The party is great. Ini Tante Bianca sendiri yang ngerancang? Dia kan punya EO."
"Oh, iya. Nyokap gue yang ngerancang sendiri. She wants everything to be perfect, so." Marcus mengangkat bahunya. "She can't let anyone ruin her own birthday. Satu keluarga nggak ada yang boleh bantuin, katanya dia nggak mau acaranya 'direcokin'."
Remi menambahi, "The design is very Tante Bianca. Lace, lavender, and golds everywhere. Looks very elegant."
"Thanks. I'll tell her that."
"Yeah, very Tante Bianca. Perfeksionis," komentar Danes. "Keluarga Cakrawangsa begitu semua ya?"
Marcus mengibas tangannya. "Kagaklah. Ini gue nggak perfeksionis."
"Generasi kedua Cakrawangsa, maksudnya."
"Gue akui, rata-rata iya, sih. Om Hari sama Om Jangga pun juga begitu. Tapi Om Jangga lebih selow."
"Oh, iya kalau Om Jangga mah. Asik orangnya. Udah tua, tapi ngobrol sama dia nggak berasa ngomong sama orang tua gitu. Berasanya kayak ngobrol sama temen aja," balas Danes.
"Tapi, kenapa dia nggak jadi Preskom di Griya Teduh, ya? Di Kandjaya Property pun juga nggak jadi Dirut. Padahal dia sama kapabelnya kayak Om Hari," ujar Farel. Kandjaya Property adalah anak perusahaan Grup Kandjaya yang bergerak di bidang properti, dipimpin oleh Harimukti sebagai Direktur Utama. "Dan setahu gue, orang-orang lebih suka dia daripada Om Hari. Apa mungkin karena Om Hari anak pertama kali, ya?"
"Bisa jadi. Atau mungkin karena Om Jangga tuh social butterfly, kayak Aksel Hadiraja."
"Lah, apa hubungannya sama jadi social butterfly?"
"Om Jangga sampai sekarang kan belum nikah, dan orangnya kelihatan santai banget, jadi mungkin kelihatannya kayak cuma main-main gitu. Kesannya kurang serius."
"Yak, itu." Marcus menjentukkan jari. "Alasan terbesarnya karena itu, dan karena Om Hari lebih tua. Maklumlah, iklim perusahaan Cakrawangsa itu masih agak tradisional. Yang lebih diutamakan adalah kakak sulung laki-laki."
Remi melirik sekilas ke arah Danes, teringat obrolannya tadi dengan Harimukti. Mungkin memang ada tradisi Cakrawangsa itu juga jadi menular ke Griya Teduh. Namun, Remi pun tak keberatan jika Danes lebih dipilih untuk menggantikan posisi ayah mereka sebagai Dirut Griya Teduh dibandingkan dirinya.
"By the way, kali ini suvenir buat para tamu apa nih?" tanya Harsya sambil menyengir. "Balenciaga? Atau Hermes?"
"Valentino. Aksesoris, scarf, perfume. Kalau Hermes ... ntar kesannya ikut-ikutan Soerjodini—damn. Speaking of Soerjodiningrat, they are the reason why I went here." Marcus berdeham, menengok kanan-kiri, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan seolah ingin memberi tahu rahasia besar. "Nyokap gue juga mengundang keluarga Soerjodiningrat."
Muncul keheningan untuk tiap orang di meja itu. Mereka semua membeliak.
"She—what?" Danes terkejut. "Ngapain diundang? Emang kita pernah temenan apa sama mereka?"
"I know. It's crazy. Gue juga nggak paham. Tapi pas Nyokap bilang dia mau undang Soerjodiningrat, even kakek gue juga nggak nolak, Nes. Dan yang tertulis di undangan itu literally 'Keluarga Soerjodiningrat'. Jadi siapa pun orangnya, selama dia Soerjodiningrat ya dia bisa datang."
"Tante Bianca ngirim undangannya ke siapa?" tanya Farel. "Erlangga Soerjodiningrat? Atau Sahir, bokapnya? Atau jangan-jangan ... langsung kirim ke si kakek pendiri Rembangi, Roy Soerjodiningrat?"
"Ke Tante Rosalie, adiknya Sahir. Mungkin yang bakal datang cuma dia. Tapi yah ... siapa tahu yang datang nambah-nambah?"
Danes menggeleng. "Sorry, dude. But I think you're exaggerating. Ini kan cuma tulisan di undangan aja. Palingan yang datang keluarganya Tante Rosalie, nggak sampe ke Roy Soerjodiningrat lah."
"Iya, Marc. Kayaknya kalau sampai mikir Roy dateng kejauhan deh," tambah Farel. "Ya ... bisa jadi sih. Cuma kecil aja kemungkinannya. Sahir juga kecil kemungkinan, soalnya dia kan nggak terlalu akur juga sama Rosalie. Erlangga pun kecil kemungkinan, orang dia anaknya Sahir."
"Okay, I get it." Marcus mengangkat kedua tangan seperti menyerah. "Sebenernya itu alasan kenapa gue ke sini. Keluarga gue juga berlebihan menyikapinya. I mean, they talked about making impressions in every five fucking seconds. It's crazy. Makanya gue ke sini biar gue nggak ikut-ikutan anxious mikirin Soerjodiningrat dateng."
"Santai, bro. Tarik napas biar tenang," ujar Bentang sambil menepuk-nepuk pundak Marcus. "Palingan yang dateng cuma keluarga Tante Rosalie. Anaknya, mungkin."
"Anaknya siapa? Abrian? Yang kena skandal itu?" tanya Harsya, kemudian disusul tawa dari beberapa orang di meja itu. "Lagian Rian ada-ada aja, anjir. Udah threesome sama pemuka agama, pakai acara direkam pula. Heran."
"Tauk, ya. Kalau had sex sama orang terkenal mah, harusnya nggak usah direkam anjir. Nikmatin aja. Kiss and tell begitu kayak kelakuan anak ingusan," komentar Bentang.
Farel mengangkat bahu. "Dia sengaja ngerekam buat blackmail si publik figur itu kali?"
"Bisa jadi, sih."
"By the way, Rian nggak mungkin dateng, deh," ujar Harsya. "Dia kan secara darah, bukan keturunan Soerjodiningrat. Dia anaknya Umbhara Rajayanti dari pernikahan Umbhara sebelumnya."
"Oh, iya ya. Berarti yang dateng paling Tante Rosalie sama anak-anaknya yang lain? Bareng Calvin nggak mungkin, Calvin kan kerja di Aussie. Shasha, berarti? Anak bungsunya Tante Rosalie?"
"Eh, bentar," sela Marcus. Dia membuka ponsel dan terlihat membaca sesuatu. Setelah beberapa saat berlalu, dia menatapi para lelaki di meja itu. "Guys ... Tante Rosalie nggak dateng."
"Oh, terus?" tanya Farel. "Jadi nggak ada Soerjodiningrat yang dateng?"
"Ada." Marcus menyimpan kembali ponselnya. "Shasha, sama ... Kael."
Ada hening yang tak Remi pahami di meja itu. Semua wajah terlihat kaget kecuali dirinya.
"Kael ... Mikaela Soerjodiningrat?" tanya Farel. "Dia bukannya masih di NYC?"
"Enggak, man. Katanya udah balik ke Indo."
"Serius lo?" pekik Harsya dengan wajah syok. "Kael as in THE Mikaela Soerjodiningrat? Serius dia bakal dateng?"
Marcus mengangguk. "Yeah. THE Mikaela Soerjodiningrat will come."
"Biasa aja kali responsnya. Cuma Kael ini," ujar Danes. "Maksudnya, dia bukan tokoh kunci bisnis Rembangi. Jadi nggak perlu berusaha keras buat kasih impresi yang spektakuler. Sekadarnya aja."
"Kenapa?" tanya Remi. Sebenarnya dia agak awam dengan silsilah keluarga Soerjodiningrat. Dia hanya ingat tokoh-tokoh kuncinya saja, tokoh-tokoh yang bekerja untuk Grup Rembangi. Sebab kenyataannya, tak semua anggota keluarga Soerjodiningrat bekerja untuk Rembangi. Beberapa dari mereka punya pekerjaan lain yang tak berhubungan dengan perusahaan keluarga, atau tidak bekerja dan hanya menikmati uang dari keluarga saja. "Maksudnya, kenapa jadi sekadarnya aja? Emang si Kael-Kael ini bukan orang penting?"
"Bukannya nggak penting, sih," jawab Danes. "Dia cuma ... bukan orang yang mengintimidasi kayak Erlangga atau Sahir. Dia kan, nggak jadi bagian dari Rembangi."
"Eh, tapi gue denger dia dipilih jadi pewaris untuk Grup Rajayanti-nya Om Umbhara," celetuk Farel, mengamati teman-temannya. "Itu bener?"
"Nggak tahu, man," jawab Marcus. "Setahu gue, secara legal warisannya masih dipegang sama Rian, bukan sama Kael."
"Iya, tapi kabarnya mau dipindahin ke Kael."
"Gue yakin bakal dipindah, sih," ujar Farel. "Soalnya Rian anaknya begajulan. Makanya, mungkin karena Kael juga udah punya pengalaman di bisnisnya sendiri, Kael dianggap lebih kompeten."
Bentang mengernyit. "Bisnis apa? Dia kan MUA, bukan businesswoman."
"Brand-brand dialah, Tang," ujar Harsya. "Dia jago buat digital marketing. Emang selama ini lo pikir namanya melejit karena apa?"
"Kalian dari tadi ngegosipin siapa, sih?" sela Remi. Dia baru bersuara lagi setelah dari tadi hanya menyimak percakapan. Sebab dia tidak tahu siapa Kael-Kael ini.
Bentang mendecak. "Ini bukan ngegosip, Rem. Ini namanya lagi berdiskusi."
"Diskusi yang topiknya ngomongin orang itu namanya ngegosip," ujar Remi dengan tenang. "Dan si Kael-Kael ini memangnya melejit karena apa? Gue nggak pernah denger namanya."
Sementara yang lain geleng-geleng. Danes mendecak dan menatap Farel. "Rel, Remi selama ini nggak pernah ngobrolin cewek apa sama lo?"
Farel terkekeh. "Pernah kok, Nes. Kan, Remi sering dikasih hadiah sama cewek yang deketin dia. Entah itu hadiah makanan, jam tangan, sampai ritsleting baju terbuka."
Semua lelaki di situ tertawa, kecuali Remi. Remi justru menatap Farel dengan wajah masam. "It's not funny."
"It is. Lagian nggak ada angin, nggak ada hujan, ada-ada aja kelakuan cewek tiba-tiba minta lo tarikin ritsleting baju mereka."
Bentang bertanya, "Ditariknya ke atas atau ke bawah, Rel?"
"Biasanya ke atas, sih. Tapi ntar pasti minta ditarikin ke bawah!"
Semua orang di meja itu terbahak lagi.
Remi kembali beranjak dari kursinya. "I'm leaving."
"Et, ett, jangan marah!" seru Farel sambil menahan tangan Remi. "Gue cuma bercanda. Habis cewek-cewek yang deketin lo lucu sih. Modusnya ada-ada aja anjir."
"Then stop talking about me."
"Okay, okay." Farel mengangkat tangannya seperti mengalah. Yang lain pun tak lagi menggoda Remi.
Remi menarik napas, kembali duduk. Dia tahu mungkin sikapnya ini terkesan 'dikit-dikit baper'. Tapi sungguh, dia memang kurang nyaman digoda seperti itu.
"Tentang Kael, lo beneran nggak tahu dia?" tanya Harsya setelah Remi kembali duduk. Remi pun menggeleng. "Well, gue kira seenggaknya Farel bakal ngomongin tentang Kael sama lo."
"Farel nggak pernah ngomong tentang Kael-Kael ini." Remi menatap Farel. "Atau pernah, tapi guenya lupa?"
"Nggak pernah, Rem. Toh kabar tentang Kael habis dia ke NYC itu cuma gosip-gosip aja. Lo kan nggak suka dengerin gosip aneh-aneh, makanya gue nggak pernah ngomongin juga ke elo."
"Gosip aneh?" tanya Remi. "Gosip apa?"
Orang-orang di meja itu melihat satu sama lain sebelum ada yang menjawab. "Ada yang bilang kalau Kael itu jadi bayi gula om-om selama di NYC," ujar Marcus. "Katanya dia juga pernah berhubungan sampai hamil, terus janinnya dia aborsi. Ada juga yang bilang kalau dia itu ke NYC sebenernya karena 'dibuang' sama Om Umbhara, soalnya Kael image-nya jelek karena dia sering tidur sama banyak cowok."
"Dan ada juga yang bilang kalau bayi yang dikandung Kael itu anaknya Om Umbhara," imbuh Harsya. "Terus dia ke NYC itu buat kabur sekalian aborsi janinnya. Dia cukup terkenal sih ya, jadi gosipnya banyak."
Baik, Farel memang benar. Gosip tentang Kael memang aneh-aneh. "Itu aja?" tanya Remi. Dia pikir ada informasi yang lebih penting dari sekadar urusan privat orang lain.
"Iya, gitu dah. Makanya ini cuma gosip. Walau emang ada aja cowok yang ngaku-ngaku dia tidur sama Kael," ujar Bentang.
"Kalau ngomongin Kael, di mana-mana pasti opini orang bakal terpecah," ujar Harsya. "Ada kelompok yang bener-bener memuja Kael karena emang dia kerjanya bener dan profesional, ada juga yang justru nganggep Kael cuma cewek rendahan karena gosip-gosip itu."
Remi membalas, "Dan lo semua masuk kelompok yang mana?"
"Kelompok ketiga. Yang cuma denger-denger aja, tapi ya udah. Urusan dia."
Danes melirik ke sekitarnya. "Trus ini si Kael mana? Jangan-jangan nggak jadi dateng?"
"Nggak tahu, Nes. Dari tadi juga banyak yang nungguin Soerjodiningrat dateng. Tapi sampai sekarang nggak ada kabar," jawab Marcus. "Mungkin mereka nggak jadi dateng. Syukurlah kalau itu kejadian."
"Tapi gue penasaran sih," ujar Bentang. "Gue cuma pernah lihat fotonya jadi brand ambassador make-up sama skin care gitu, emang cantik banget. Tapi nggak tahu aslinya kayak gimana. Makanya gue penasaran mau lihat langsung. Kan kesempatan nih."
"Aslinya emang cantik banget, gue udah pernah lihat," ujar Marcus. "Ya ... no wonder boys are crazy over her."
"Or, are YOU the one who crazy over her, Marc?" tanya Harsya dengan kekehan.
Marcus ikut tertawa. "Wah, jangan dong. Kalau gue sampai naksir keturunan Soerjodiningrat kan, nggak lucu. Jadinya ntar jatuh cinta dengan musuh keluarga sendiri, udah kayak FTV."
Bentang berceletuk, "Nggak bakal direstui ya kalau ada dari kalian naksir cewek Soerjodinigrat?"
"Kagaklah, gila aja," ujar Danes sambil mendecak. "Maintain hubungan profesional okelah, tapi nggak usah sok ngide mau deketin keturunan Soerjodiningrat karena merasa tertantang, or whatever. That is never, ever a good idea. Ntar kalau baper, kacau."
"Duh, kerja di jabatan tinggi perusahaan konglomerat ribet ye." Bentang geleng-geleng.
"Ya makanya, jaga jarak aja," ujar Marcus. "Bukan karena benci ya, tapi biar nggak kebablasan."
"Oh, damn, speak of the devil," ujar Harsya sambil geleng-geleng.
"Devil who? Kael muncul?"
"Bukan Kael, tapi cowok yang ngaku-ngaku pernah nidurin Kael."
"Anjir, lo kenal?"
"Nggak kenal-kenal amat sih. Cuma pernah nyapa doang. Sok kenal aja gue." Harsya menatap ke arah seorang lelaki yang sedang berjalan bersama seorang lelaki perlente berkacamata. Harsya tersenyum santai ke arah dua lelaki itu sambil mengangkat gelas sampanye. Lelaki di seberang pun mengangkat gelasnya juga, dan tak lama, dia dan temannya berjalan ke arah meja Harsya.
Danes menoleh ke arah Harysa. "Where did you learn that?"
"Trust me, I don't even know what I'm doing," ujar Harsya dengan mata masih mengarah ke dua lelaki yang mendekati mereka, senyum ramah terulas.
"Lo Harysa, kan? Yang punya Empire Radio?" tanya sosok lelaki yang baru saja mendekat dengan kedua temannya.
Harsya mengangguk dan mengulurkan tangan. "Betul. Suka dengerin juga?"
"Iya, kalau lagi suntuk biasanya dengerin. Gue pernah join acaranya tahun lalu. Oh, ya, gue Varo. Ini Chafidz."
"Halo. Duduk aja semuanya."
Kedua lelaki baru itu pun duduk. Namun, Remi merasa ganjil ketika Chafidz duduk di dekatnya, hanya terpisah oleh Farel. Chafidz meliriknya terus-menerus dengan begitu terang-terangan. Remi sudah biasa ditatap orang, tetapi cara Chafidz menatapnya terlalu ... terbuka. Seolah dia ini makanan yang nikmat, dan itu membuat Remi tak nyaman.
Ketika Varo sedang berbicara dengan Bentang dan Harsya, Chafidz membisikkan sesuatu kepada Farel. Sesaat kemudian, mereka pun bertukar tempat duduk sehingga Chafidz jadi duduk di sebelah Remi. Remi berusaha bersikap biasa saja meski dari tadi Chafidz menatapnya sambil senyum-senyum. Namun akhirnya Remi bersuara, dengan volume suara kecil, agar cukup Chafidz saja yang mendengar, "Apa ada yang salah dari muka saya?"
Chafidz membeliak. "Oh, I'm sorry. Cuma gue takjub aja pas sebelahan langsung sama lo gini. Emang bener apa kata cewek-cewek tentang elo."
"Bener? Tentang apa?"
"Lo ganteng banget, Prince Perfect. Bener-bener objek lamunan siang bolong yang sempurna."
Remi menggertakkan gigi. Dia agak ngilu mendengarnya. "Uhm, terima kasih?"
"Terima kasih kembali," balas Chafidz dengan nada dibuat-buat manja. Remi berusaha agar tak merinding. "Kalian tadi habis ngobrolin apa, sebelum gue sama Varo ke sini?"
"Euhm ... ngomongin Kael?"
"Astaga, Mikaela Soerjodiningrat? Dia beneran bakal ke sini?" seru Chafidz, dia menatap Marcus. "Marc! Kael fix ke sini?"
Marcus mengangguk. "Iya, fix."
"Hah, Kael?" Varo tertawa remeh. "Berani amat ya."
"Berani kenapa?"
"Ya ... berani aja gitu. Cewek gampangan."
"Serius, Var?" Chafidz terkikik."But I heard she's really good in bed."
"Oh, she is. And she did it better when she was drunk."
"Lo ... pernah?" tanya Danes, tak yakin. "How come?"
Varo mengibas tangan. "Elah, gampang. Tinggal sepik-sepik dikit, langsung bungkus. I've told you, she's pretty easy."
Kali ini Remi tak mengucapkan apa-apa ketika dia beranjak. Dia langsung berdiri, meninggalkan gelasnya yang sudah kosong, kemudian berlalu menjauhi meja kakak dan teman-temannya.
Ketika sudah agak menjauh, ada seseorang yang menyusulnya. "Remi!" seru suara yang familier. Remi hanya menoleh sekilas, kemudian berhenti melangkah. "Oke, jujur yang tadi emang keterlaluan. No wonder you left." Farel pun berjalan di sebelah Remi. "Lo mau duduk di meja mana? Udah mulai pada penuh ini."
"Meja Fatma."
"Yakin? Adik lo itu duduk bareng temen-temen abege dia. You know how loud they are."
Remi terdiam, lalu menarik napas. Inilah mengapa dia tidak suka menghadiri acara-acara seperti ini. Masuk ke meja para orang tua, mereka akan berusaha menjodoh-jodohkannya. Masuk ke meja yang didominasi gadis muda, mereka akan berusaha terlalu keras untuk mendekatinya. Masuk ke meja para lelaki, mereka akan membicarakan topik yang membuatnya tidak nyaman—seks dan perempuan, contohnya. Remi tak bisa benar-benar beradaptasi.
"That's okay," akhirnya Remi berujar. "Kita ke Fatma. Lagian acaranya udah mau dimulai. Ayo duduk."
[ ].
22.05.2019 (revised 11.07.2020)
A/N
*) University of Pennsylvania
Cerita ini mau gue terbitin. Jadi gak ada update chapter baru lagi ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top