rendezvous

Disclaimer: cerita ini hanya fiktif belaka. Karakter berasal dari aktor/model China dan saya tidak mendapatkan keuntungan apapun dengan membuat karya ini.

Tian Guan Ci Fu (Heaven Official's Blessing) milik Mo Xiang Tong Xiu

rendezvous oleh bellassson

Thank you for peony autumn yang sudah membantu membuatkan judul untuk fanfiksi ini.

Pair(s): Tian Xuning x Chang Huasen (xuxurusen), slight He Xuan x Shi Qing Xuan (beefleaf)

Genre(s): fantasy, alternate universe, hurt/comfort

Another tag(s): boys love, real person fanfiction, reincarnation, semi mature-sexual content, alur lompat-lompat, abaikan time stamps pada ruang chat, sorry for typos, etc.

Ini adalah cerita lanjutan dari Rage. Bisa dibaca di sini: https://www.wattpad.com/story/305884486

***

Cast(s):

1. Chang Huasen

2. Tian Xuning

3. Liu Shuai

Selamat membaca!

***

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Chang Huasen, ia mematikan ponsel yang menampilkan foto dirinya bersama seorang pemuda yang merangkul dirinya dari belakang.

"Chang Huasen, sudah saatnya."

"Oh, oke."

Huasen membereskan meja. Kotak bento dan botol mineral kosong dikumpulkan menjadi satu di dalam kantong plastik, diikat kuat dan dibuang ke dalam tempat sampah. Keluar dari ruang ganti menyusul manager ke tempat pemotretan berikutnya.

Dua jam berikutnya, Huasen telah kembali ke ruang ganti untuk melepas kostum, make up dan wig yang menempel di tubuhnya. Sembari make up artist melepas wig, Huasen memainkan ponsel. Mengecek beberapa pesan yang masuk. Salah satunya dari seseorang.

Chang Huasen menghela napas. Layar ponsel dimatikan.

"Huasen lagi ada masalah?" tanya manager di sampingnya. Meletakkan air mineral dingin di meja.

"Tidak apa-apa." Ujar Huasen menyunggingkan senyum dengan terpaksa.

Manager mengerutkan dahi. Memperhatikan jadwal Huasen di ponsel. "Apa jadwal bulan ini memberatkanmu?" tanya manager, "Kalau terlalu banyak aku bisa mengubah jadwal agar kau bisa mengambil cuti beberapa hari."

Huasen menggelengkan kepala, "Tidak, tidak!" katanya, "Pekerjaan bulan ini sudah cukup buatku. Aku juga tidur cukup."

"Apa ini soal... Xuning?" tanya manager curiga. Huasen menatap managernya. "Sejak tadi memperhatikan foto Xuning."

Huasen menghela napas, entah keberapa dalam hari ini. "Beberapa hal." Jawabnya,

Managernya hanya tersenyum, "Kalau butuh tempat curhat, kau bisa datang padaku."

"Kapan aku tidak lari kepadamu soal Xuning?" ujar Huasen sambil terkekeh, "Kau luang malam ini?" tanya Huasen. Manager mengangguk, "Aku mau makan hotpot."

"Oke!"

***

"Bye bye!" Huasen melambaikan tangan pada manager. Memperhatikan gadis itu menghilang di dalam stasiun Beijing.

Huasen membalikkan badan. Berjalan pelan menuju apartemennya—dan apartemen Xuning. Melewati pertokoan dan restoran. Huasen merasa enggan kembali ke apartemen. Satu hal yang membebani pikirannya sejak tadi pagi memang Tian Xuning, yang menggumamkan sebuah nama dalam tidurnya.

"Shi Qing Xuan?" gumam Huasen. "Siapa dia?"

Berbagai pikiran negatif menghantui pikirannya. Berkat hal itu pekerjaan hari ini sedikit terganggu hingga manager yang jeli menanyakannya. Tidak apa-apa adalah kalimat sederhana yang berbahaya.

"Aku harus menanyakan ke Xuning siapa itu Shi Qing Xuan." gumamnya kemudian berjalan dengan semangat menuju apartemen. Menunggu dengan sabar kepulangan Tian Xuning dari kerja.

Namun semangatnya runtuh begitu melihat seorang yang dia kenal di dalam sebuah restoran seberang. Sosok Tian Xuning sedang bersama dengan seorang gadis, duduk berhadapan di samping jendela kaca yang menghadap ke jalan.

Keduanya nampak asyik mengobrol. Seperti selayaknya pasangan normal. Gadis itu berparas cantik. Sangat cocok disandingkan dengan Tian Xuning yang tinggi dan tampan.

Mungkin jika pikiran Huasen tidak sedang disibukkan dengan 'Siapa itu Shi Qing Xuan.' dia akan menanyakan baik-baik dengan Tian Xuning nanti. Namun saat ini, benang pikirannya sedang rumit, ditambah pemandangan tepat di hadapannya.

Huasen memilih kembali ke apartemen secepatnya. Menutup pintu kamar dan menyembunyikan diri di dalam selimut. Tumpukan emosi yang terpendam akhirnya keluar menjadi air mata.

***

Huasen terbangun. Keringat bercucuran sebesar biji jagung. Napasnya putus-putus seperti habis lari maraton.

Mimpi buruk setelah sekian lama. Tidak banyak yang dia ingat.

Hal terakhir yang diingat adalah pandangannya buram karena air hujan. Rasa sakit yang terasa nyata di sekujur tubuh terutama bagian perut yang mengeluarkan darah segar. Terseok-seok meminta bantuan yang sia-sia.

Sosok hitam muncul dari kejauhan. Huasen mengira itu adalah malaikat kematian yang siap menjemput.

Sosok berjubah hitam itu jongkok di depannya. Huasen mendongak memperhatikan wajah sosok itu. Namun sia-sia, pandangannya semakin buram ditambah guyuran hujan menampar wajahnya.

Dia mendekat ke arah Huasen dan memanggil dengan lirih, "Qing Xuan... Shi Qing Xuan..."

Saat itulah Huasen tersentak.

Huasen memperhatikan Xuning masih terlelap di sampingnya. Jam digital di meja nakas menunjukkan pukul lima pagi.

Huasen pelan-pelan memindahkan lengan Xuning yang memeluk perutnya, lalu menuju wastafel untuk mencuci muka. Berjalan menuju lemari es dan mengambil air minum. Dua gelas air dingin cukup untuk menenangkan diri.

Kebetulan hari ini ia berangkat pagi dan Xuning belum bangun. Jadi Huasen berinisiatif memasak dengan kemampuan seadanya, sebelum bersiap untuk berangkat kerja. Urusan memasak biasanya diserahkan kepada Xuning.

Huasen sedikit lebih lega Xuning belum bangun hingga ia pergi. Namun tetap saja beban di pundaknya belum juga hilang.

***

Tian Xuning baru membuka mata ketika matahari sudah menampakkan diri dengan gagah. Semalam ia kembali ke apartemen cukup larut. Tempat tidur di sampingnya kosong. Dahinya berkerut. Ia bangkit dengan bar nyawa masih seperempat dan mencari keberadaan Huasen.

"Sayang?" Panggilnya.

Namun sosok Huasen tidak ditemukan di tiap sudut apartemen. Ia meraih ponsel di dalam totebag Marvel kesayangannya. Mencoba menghubungi Huasen. Namun pesan tak terbaca dari Huasen menghilangkan kekhawatiran.

Xuning kembali ke dapur. Menemukan sepiring sandwich... setengah gagal. Rotinya sedikit gosong, dan telur mata sapinya hancur. Hal yang selamat dari sandwich-nya adalah selada dan irisan tomat segar.

Xuning membuka kulkas. Mengambil kotak susu kemudian menuang ke gelas.

Ia mulai sarapan.

Sendirian.

Lagi.

Jadwal kerja mereka yang tak menentu membuat sulit untuk sekadar sarapan bersama. Xuning menikmati tiap gigitan sandwich sembari memandang pemandangan kota Beijing di pagi hari dari lantai tiga apartemen.

Namun tatapannya kosong. Pikirannya entah kemana. Meskipun tangan sibuk menyuap dan mulutnya mengunyah makanan.

[Flashback]

"Ayang aku pulang!" Xuning membuka pintu apartemen. Disambut oleh pemandangan gelap gulita.

"Gelap banget." gumamnya. Xuning menyalakan lampu. Seketika ruangan menjadi terang. Sedikit menyipitkan mata untuk beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba.

Xuning melepas sepatu dan jaket. Meletakkan totebag Marvel di sofa. "Seharusnya udah pulang."

Satu-satunya tempat yang dituju adalah kamar tidur. Benar saja. Di atas tempat tidur ada gundukan besar yang tertutup selimut.

Xuning membuka pelan-pelan selimut tersebut dari sisi atas. Wajah menggemaskan Huasen muncul dari balik selimut. Sudut bibir Xuning naik, menyunggingkan senyum. hanya dengan melihat wajah Huasen semua lelah di badannya seketika menghilang.

Jemarinya menelusuri helaian rambut Huasen yang berantakan. Turun menuju dahi, mata dan berhenti di pipi. Senyum menghilang dari wajahnya begitu melihat jejak air mata yang mengering di pipi putih Huasen.

"Apa yang terjadi?" gumam Xuning.

[Flashback end]

Pikiran Xuning berkecamuk. Banyak hal yang terjadi dalam beberapa hari belakangan. Salah satu yang cukup mengganggu adalah mimpi masa lalu yang tiba-tiba muncul setelah tiga ribu tahun berlalu.

"Shi Qing Xuan..." gumam Xuning.

Xuning menghela napas panjang. ia melirik jam di dinding. Sudah saatnya untuk bekerja. Sandwich buatan Huasenーmeskipun gagal, untungnya tidak membahayakan perut. Masih aman dan nikmat untuk disantap.

Usai beres-beres apartemen dan membersihkan diri, Xuning sudah siap menuju tempat kerja. Lokasi pemotretan hari ini dilakukan secara outdoor. Sebuah brand pakaian couple-family mempercayakan dirinya untuk menjadi salah satu model. Tapi karena Xuning masih tergolong muda untuk dijadikan role seorang ayah, ia mendapat bagian untuk pakaian couple dengan seorang gadis.

Sampai di lokasi, Xuning diarahkan menuju sebuah mobil van besar yang digunakan untuk make up dan ganti baju. Sudah ada beberapa model pria dan wanita di tempat. Giliran Xuning untuk segera bersiap.

"Mohon bantuannya lagi untuk hari ini." ujar Xuning kepada salah satu gadis yang merupakan partnernya hari ini.

Xuning dipasangkan dengan beberapa gadis, tapi lebih sering bersama dengan Li Qiu, nama si gadis, sejak pertama project ini berjalan seminggu yang lalu.

"Mohon bantuannya juga. Dan terima kasih untuk traktirannya semalam." kata Li Qiu.

"Oh tidak perlu berterima kasih." balas Xuning.

"Apa malam ini kau luang?" tanya Li Qiu.

Xuning membisu. Malam ini ia ingin segera pulang dan menemui Huasen. Pikirannya belum tenang sejak pagi tadi.

"Aku ingin mentraktirmu makan sebagai ucapan terima kasih."

"Aku sangat berterima kasih, tapi... maaf aku tidak bisa. Mungkin kita bisa lebih banyak mengobrol saat pesta bersama staf lain."

Terlihat jelas raut kecewa di wajah si gadis. Namun dia berusaha terlihat baik-baik saja dengan menyunggingkan senyum.

"Maaf, sepertinya manager memanggilku." ujar Li Qiu dengan situasi yang mendadak canggung. Segera balik kanan untuk menghindari Xuning.

Xuning sedikit merasa bersalah. Di sisi lain ia juga tidak ingin memberi sinyal lampu hijau kepada gadis itu agar tidak terjadi salah paham.

"Meskipun kita bertemu lagi di kehidupan ini, tapi perasaanku sudah tidak sama lagi seperti yang dulu. Hidupku telah aku gunakan untuk balas dendam. Dan dalam tiga ribu tahun ini aku habiskan untuk mencari keberadaannya."

Xuning memperhatikan hingga punggung Li Qiu menghilang.

"Semoga kau mendapat pria yang lebih baik dariku. Aku mungkin... bukan calon suami yang tepat untukmu."

Sungguh sial bagi si gadis. Setelah penolakan yang didapat, gilirannya menjadi partner pemotretan dengan Xuning. Mereka harus beradegan seolah pasangan yang berbahagia dengan memperlihatkan baju couple.

Sebagai seorang profesional tentu saja mereka harus bisa memisahkan pekerjaan dan urusan pribadi.

Beruntung hari ini berjalan dengan lancar. Meskipun satu sama lain terlihat canggung.

"Apakah terjadi sesuatu dengan kalian? Tampaknya sedikit berbeda dari kemarin." ujar fotografer usai sesi pemotretan.

Xuning dan Li Qiu hanya menggelengkan kepala. Masing-masing memisahkan diri dan mencari tempat untuk beristirahat.

Xuning membuka ponsel. Menekan aplikasi chat dan mengetik sesuatu pada ruang percakapan dengan Huasen.

Jemarinya beralih ke weibo. Scrolling grup chat fans yang rata-rata berisi ucapan salam. Xuning beralih ke beranda. Menonton video pendek yang bergulir di timeline sambil menyuap nasi.

Sesekali memperhatikan bilah notifikasi, padahal pesan dari Huasen sudah dalam mode notifikasi khusus, jadi kapan saja Huasen membalas pasti akan ketahuan.

Namun hingga pemotretan selesai dan hari telah berganti malam, pesan balasan belum juga sampai.

"Apa masih sibuk?" gumam Xuning. "Seminggu bersama tapi serasa LDR." Keluhnya sambil menghela napas panjang.

Xuning menyusuri jalan menuju apartemen. Di kanan-kiri restoran dan pertokoan berjejer sepanjang jalan. Mulai ramai dengan pengunjung yang ingin mengisi perut setelah bekerja seharian.

Kaki Xuning berhenti di depan sebuah restoran keluargaーbaru kemarin mengunjungi restoran yang sama dan di tempat yang sama. Namun hari ini, di tempat itu, Huasen dengan seorang pria menempati meja tersebut.

"Liu ShuーPei Ming?" gumam Xuning.

***

Huasen menghela napas, kesekian kali. Ia tidak ingin berlama menghindar dari Xuning. Tapi dia masih takut dengan jawaban yang akan diberikan oleh Xuning.

"Kenapa aku jadi berpikiran negatif seperti ini?" gumamnya. "Ayo, Huasen! Jangan jadi pengecut!" Huasen hampir mengacak rambut yang sudah susah payah diatur oleh penata rias.

"Kalau mukamu kusut seperti itu akan jadi jelek di depan kamera." Seorang pria menyapa dari belakang. Huasen reflek menoleh. Mendapati seorang tampan mendekat ke arahnya.

"Oh, Shuai-ge."

Liu Shuai. Salah satu dari beberapa rekan Huasen yang menjadi model brand pakaian hari ini.

Liu Shuai. Seorang model dan aktor. Sudah beberapa judul drama dia bintangi.

Pria itu menyodorkan air mineral, Huasen menerima sebagai ucapan terima kasih.

"Kau terlihat lesu. Apa ada sesuatu yang sedang membebanimu?"

"Ah tidak, hanya sedikit lelah dengan pekerjaan." Ujar Huasen.

"Kau ada waktu malam ini?" tanya Liu Shuai. "Bagaimana kalau kita berbincang sejenak?"

Huasen, tanpa sadar lidahnya melafalkan kata, "Boleh."

Usai pemotretan hari sudah malam. Huasen memandang restoran yang kemarin menjadi tempat Tian Xuning dan seorang gadis. Di tempat yang saat ini ia duduki.

"Mau pesan apa? Akan aku traktir." ujar Liu Shuai.

"Kalau begitu, aku pesan menu rekomendasi restoran ini."

"Baiklah."

Liu Shuai memanggil pelayan. Setelah pelayan mencatat dan mengkonfirmasi, segera menuju bagian dapur.

Situasi canggung menyelimuti Huasen dan Liu Shuai. Terutama Huasen yang masih belum terbiasa dengan sosok Liu Shuai di hadapannya. Tapi di sisi lain, Huasen merasakan familiar dari keberadaan Liu Shuai.

Dalam kecanggungan, Huasen hanya bisa memperhatikan pola garis di meja sambil memainkan jari.

"Kalau dilihat, kau memang mirip dengannya..."

Huasen mendongak, menatap Liu Shuai. Menautkan alis untuk kalimat yang terlontar dari pria di depannya. Ada jeda dalam nada bicaranya sehingga Huasen menahan diri untuk tidak menanyakan 'siapa?'

Liu Shuai melanjutkan kalimat yang membuat Huasen semakin mengerutkan dahi.

"Shi Qing Xuan."

***

Huasen membuka pintu apartemen. Dahinya berkerut. Ruangan gelap tanpa cahaya. Temaram lampu dari luar jendela yang tertutup gorden mengintip. Tetap saja tidak membantu penglihatan.

Setelah melepas sepatu, Huasen meraba saklar. Kelopak matanya menyipit beradaptasi dengan cahaya menyilaukan yang tiba-tiba, seperti menusuk retina.

"Ayang!" seru Huasen terlonjak begitu penglihatannya mulai terbiasa. Jantungnya hampir pindah dari rongga ketika melihat Tian Xuning duduk di sofa. Tanpa bicara  tanpa bergerak. Hanya diam dengan tatapan kosong.

"Sejak kapan kamu di situ? Jangan bikin aku kaget." ujar Huasen sambil mendekati Xuning.

Begitu Huasen duduk di samping Xuning, pemuda asal Jining itu melirikkan mata ke arah Huasen.

Huasen menautkan alis. "Kamu kenapa?" tanya Huasen khawatir.

Tian Xuning, tanpa tedeng aling-aling segera memeluk Huasen. Menghirup aroma tubuh Huasen yang selalu memabukkan setiap waktu.

"Hei, kau kenapa? Aku belum mandi. Bau!" protes Huasen mencoba menghindar dari Xuning.

"Aku kangen..." gumam Xuning. Semakin erat mendekap Huasen dalam pelukan. Tersirat kesedihan dan ketakutan pada nada suaranya.

Huasen lemah. Selalu saja kalah dengan rengekan Tian Xuning.

Meskipun begitu, di dalam lubuk hatinya, Huasen juga sangat rindu kepada Tian Xuning.

"Baiklah..." Huasen membalas pelukan Xuning. Mencium puncak kepala Tian Xuning dan berbisik, "Aku juga kangen..."

Tian Xuning bereaksi. Membopong tubuh Huasen dan membawanya ke kamar untuk menyalurkan kerinduan yang sudah dipendam. Kesabaran Tian Xuning sudah di ujung tanduk, melempar Huasen ke tempat tidur.

"Aduh!" Huasen meringis. Bukan karena kerasnya hantaman pantat dengan permukaan kasur empuk, lebih karena terkejut dengan perlakuan Xuning.

"Maaf, Yang..." ucap Xuning sambil melepas kaos. Huasen menelan ludah melihat tubuh telanjang Tian Xuning terekspose di hadapannya. Tubuh Xuning semakin atletis dan semakin mengalahkan milik Huasen.

Tetapi perlu diakui, Huasen lebih menyukai abs milik Xuning.

Xuning melempar kaosnya ke sembarang arah. Menahan kaki Huasen dengan sedikit duduk di atasnya dan mengunci sisi kanan-kiri Huasen dengan kedua lengan. Huasen sempat menahan napas ketika Xuning tiba-tiba saja sudah berjarak tidak sampai sejengkal tangan.

"Maaf Yang, aku sudah tidak tahan..." sejurus kemudian mengunci bibir Huasen. Huasen menutup mata, menikmati sentuhan yang diberikan Xuning. Lengannya melingkar pada leher Xuning. Membawanya semakin dalam dan intens.

Beberapa hari absen kegiatan malam, saatnya menyalurkan hasrat yang terpendam.

***

Aroma gosong yang melewati indra penciuman menyadarkan Huasen dari mimpi buruk. Tanpa menunggu nyawa terkumpul dan mengabaikan ngilu di sekujur tubuh, Huasen bergegas menuju sumber aroma. Menemukan Xuning sedang membuat sarapan.

"Yang!" seru Huasen sambil menghampiri Xuning. Segera mematikan kompor. Telur yang sedang digoreng berubah warna hitam mengenaskan.

"Oh?" Xuningーpandangannya seperti baru kembali dari alam mimpi.

"Kamu gapapa?" tanya Huasen khawatir. Xuning seperti orang linglung. Huasen membawa Xuning ke sofa, memastikan tidak ada luka pada Xuning.

"Syukurlah." Huasen menghela napas lega. Xuning diam menunduk penuh rasa bersalah. Entah apa yang ada di pikirannya. Huasen tak menanyakan lebih lanjut, hanya melontarkan pertanyaan, "Mau makan apa? Hari ini delivery aja ya sarapannya." sambil tersenyum.

Xuning tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Saat muram seperti ini, Xuning akan menjawab terserah kamu aja kalau ditanya soal makanan. Huasen akhirnya memilih bubur.

Selagi menunggu pesanan datang, Huasen membereskan kekacauan. Xuning berniat membantu, tapi langsung dicegah dengan galak oleh Huasen.

"Ayang duduk aja!" serunya.

Xuning manut. hanya duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

Huasen selesai beres-beres. Mengelap tangan yang basah setelah cuci tangan kemudian menghampiri Xuning. Huasen duduk di sebelah Xuning. Memandang Xuning meminta perhatian.

"Kamu gapapa?" tanya Huasen. Xuning sempat menoleh, namun segera mengalihkan pandangan sekali lagi. Gerak bibirnya menandakan ingin mengatakan sesuatu namun tertahan. Kebiasaan Xuning ketika gugup adalah dengan menggesekkan kedua telapak tangan.

"Kalau kamu belum siap cerita gapapa." kata Huasen.

"Tidak..." Xuning menghela napas panjang sebelum mengatakan, "aku hanya... sedikit takut."

"Takut? Kenapa?" Huasen menautkan alis.

"Takut kau akan membenciku."

Kerutan di dahi Huasen semakin terlihat jelas. Xuning masih diam belum ingin mengatakan apapun.

"Xiao Tian..." panggil Huasen. Kalau sudah memanggil nama, artinya topik serius. Jeda sebentar sebelum Huasen melanjutkan dengan gugup. "Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu juga." giliran Huasen yang menundukkan kepala.

Xuning sudah merasakan firasat kalau pertanyaan Huasen bukan hal yang ingin dia dengar. Namun Xuning tetap menunggu Huasen mengutarakan, "Kau benar... He Xuan?"

Seketika Xuning menjadi kaku.

Apa yang harus ia katakan?

***

Setelah aktivitas malam berakhir, Huasen tertidur karena kelelahan. Tian Xuning yang mendapat bagian paling menyenangkan―tidak harus merasakan ngilu pinggang―tidak bisa tidur. Ia memandang wajah pulas Huasen. Ada jejak air mata di sudut mata. Di bagian leher dan dada tercetak banyak tanda hasil karya Xuning.

Entah seperti apa amukan Huasen besok pagi kalau melihat tanda di tubuhnya semakin bertambah.

"Maafkan aku. Aku terlalu berlebihan malam ini." ujar Xuning sambil mengelus pelan helai rambut Huasen. Menyesali perbuatan kasarnya. Xuning mengelus pipi Huasen. Mencium lembut dahi, pipi dan bibir Huasen.

"Ngh?" Huasen mengerang. Xuning terlalu intens mengecup setiap inci wajah Huasen hingga pemuda tiga belas hari lebih tua dari Xuning itu mengerang.

"Ngh!" Erangannya terdengar seperti terkejut. Dahi Huasen menampakan kerutan dengan jelas. Sedetik kemudian menggumamkan nama yang selama seribu tahun lebih telah tenggelam.

"Ming-xiong..."

Xuning memandang Huasen, "Ming-xiong, maafkan aku... maafkan aku... maafkan aku..."

Tangan Xuning bergetar. Terkejut mendengar gumaman Huasen. Xuning masih memperhatikan Huasen yang kini menitikkan air mata. Seketika memeluk Huasen sambil bergumam, "Maaf, maafkan aku, aku di sini. Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu lagi. Aku telah memaafkanmu."

"He-xiong... maafkan aku..." Huasen sesenggukan.

Xuning mematung mendengar nama yang sejak dulu menjadi identitasnya keluar dari mulut Huasen.

Pemuda Tian itu baru melepas pelukan ketika napas Huasen kembali normal. Tertidur pulas seperti bayi.

Namun Xuning belum tenang. Ia putuskan untuk berdiam diri di ruang tamu hingga fajar menjelang. Bosan menunggu hingga kelaparan, Xuning memutuskan untuk membuat sarapan sekalian untuk Huasen.

Semuanya nampak baik-baik saja hingga telur yang sedang digoreng menjadi gosong karena Xuning melamun.

***

Xuning tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut―sekaligus takut. Huasen segera menyadari keanehan pada Xuning segera menenangkan si pemuda.

"Ahahaha," Huasen tertawa kikuk mencoba mencairkan suasana. "Sebenarnya ingatanku mengenai He Xuan tidak begitu baik."

Xuning belum menjawabー dan tidak menjawab hingga Huasen selesai berbicara.

"Semalam aku bertemu dengan Liu Shuai. Kau tahu dia?"

Xuning mengangguk. Sepanjang pencarian reinkarnasi Shi Qing Xuan, ia telah melihat perubahan dunia dari masa ke masa. Dewa-Dewa yang dulu diagungkan, jatuh seiring dengan kemajuan zaman.

Nama mereka telah lama dilupakan. Mereka yang abadi kini berbaur dengan kehidupan makhluk mortalーmanusia.

Salah satu yang dikenal Xuning adalah Liu Shuai, dulu bernama Pei Ming.

Huasen menggaruk pipinya yang tidak gatal, "Semalam dia menceritakan semuanya kepadaku. Tunggu!" Huasen segera menyela melihat jemari Xuning terkepal.

"Dia memang menceritakan semuanya kepadaku, tapi..." Huasen memberi jeda. Xuning menunggu dengan was-was. "Tapi bukan berarti aku di pihaknya."

Xuning mengernyitkan dahi.

***

Malam sebelumnya

"Shi Qing Xuan..."

Huasen menatap Liu Shuai. Kerutan di dahi semakin terlihat jelas.

"Kau tidak ingat dengan nama itu?" tanya pria itu.

Huasen ragu ingin menggeleng atau mengangguk.

Antara ingat dan tidak ingat.

"Kau adalah Shi Qing Xuan."

Huasen mendelik. "Hah?"

Jarinya memijat celah di antara kedua matanya. Terlalu banyak hal yang terjadi dan yang dipikirkan sehingga informasi ini begitu mengejutkan.

"Kau tidak salah orang?" Huasen mengkonfirmasi.

Liu Shuai menggeleng. "Aku yakin kau adalah reinkarnasi dari Shi Qing Xuan."

Huasen semakin mengerutkan dahi, "Bagaimana kau tahu?"

"Sepertinya harus aku ceritakan dari awal." ujar Liu Shuai.

Kalimat demi kalimat terjalin menjadi satu cerita. Kepingan puzzle perlahan tersusun satu demi satu. Mimpi yang selama ini menghantui setiap malam terkuak.

Huasen diam. Masih mencerna informasi baru dan sangat luar biasa. Terkejut dan tidak percaya, tetapi ada perasaan lega.

"Apa kau masih mau bersama dengannya?" tanya Liu Shuai.

Huasen memandang Liu Shuai. Menanggapi pertanyaan dengan kedipan mata dua kali.

"Maksudmu dengan Xuning?" Huasen merasa IQ-nya tiba-tiba merosot. Siapa lagi kalau bukan He Xuan yang sudah ganti nama menjadi Tian Xuning.

"Dia yang telah membunuh kakakmu dan membuatmu menderita."

Huasen akhirnya mengerti maksud pertanyaan Liu Shuai. Huasen diam sesaat. Pikirannya melayang pada awal pertemuannya dengan Xuning hingga hari-hari yang dijalani bersama model setinggi 180 cm itu.

Helaan napas terdengar dari mulut dan bibirnya ditarik ke atas.

"Kejadiannya sudah lama berlalu, lagipula aku tidak begitu ingat. Meski kadang kepingan itu menyelinap ke dalam mimpi, tapi hidupku saat ini adalah bersama dengan Tian Xuning."

Liu Shuai tidak menjawab kemudian sudut sebelah bibirnya ditarik ke atas. "Hah~ baiklah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau kau sudah berkata seperti itu." ujarnya. Liu Shuai mengambil jeda, "Semuanya sudah berubah dan memang seharusnya."

Huasen mengamati perubahan ekspresi Liu Shuai. Ada kesedihan di matanya.

"Kau bilang kalau aku dulu punya... kakak laki-laki?" tanya Huasen teringat dalam cerita barusan.

"Ah, ya." Liu Shuai mengangguk.

"Apakah dia juga mengalami reinkarnasi sepertiku?"

Liu Shuai sekali lagi mengangguk. Mengeluarkan ponsel dari saku, kemudian memperlihatkan sebuah foto setelah menekan layar beberapa kali. Foto seorang pria dengan seorang wanita yang memakai kacamata hitam dengan latar belakang laut dan langit biru. Matahari bersinar cerah. Secerah senyum keduanya.

"Shi Wuduーtidak, sekarang bernama Jin Zehao... dan istrinya." ujar Liu Shuai dengan tawa getir. "Sebentar lagi akan menjadi seorang ayah."

Dua kali Huasen memergoki ekspresi Liu Shuai nampak sendu setiap topik kakaknya―dulu―diangkat. Namun pertanyaan mengenai kebenaran hatinya, hanya bisa Huasen pendam. Ada jarak diantara mereka yang tidak boleh membongkar ranah privasi.

"Kau baik-baik saja?"

Hanya itu yang keluar dari mulut Huasen.

Liu Shuai lagi-lagi mengangguk. Memasukkan kembali ponsel ke dalam saku.

"Aku? Ya, aku baik-baik saja." jawab Liu Shuai. "Hanya sedikit aneh melihat orang yang kukenal menjadi berbeda. Waktu terlalu cepat berlalu."

Tercipta hening di antara mereka.

"Hei, apa dulu kita sangat dekat?" Huasen memecah kesunyian di antara mereka.

"Hahaha." Liu Shuai tertawa, "tidak sama sekali. Kau sangat membenciku..."

Malam itu, Liu Shuai mengenang kejayaan di masa lalu bersama dengan Chang Huasen yang lebih banyak bertanya.

***

"Begitulah ceritanya." ujar Huasen memainkan jemari Xuning. "Kau takut aku membencimu karena aku tahu mengenai kehidupan di masa lalu, kan?"

Xuning mengangguk. Tubuhnya menjadi lemas. Beban yang bertengger di pundak akhirnya runtuh.

"Apa kau mencari reinkarnasiku selama ini?" tanya Huasen. Kepala Xuning mengangguk sekali lagi. Senyum Chang Huasen mengembang, lantas memeluk Xuning dengan erat.

"Terima kasih." bisik Huasen di telinga Xuning. "Aku bersyukur memilikimu."

Xuning membalas dekapan Huasen, menyembunyikan kepala pada bahu kekasihnya. Huasen merasakan basah pada pakaiannya. Tangannya terulur mengusap rambut Xuning. Menenangkan pemuda itu.

"Tidak apa, tidak apa..." bisik Huasen.

"Aku juga minta maaf, seharusnya aku juga lebih berani mengatakan kebenaran padamu."

Xuning melepas pelukan. Jemari Huasen mengusap pipi Xuning dari jejak air mata. "Maaf, seharusnya aku bertanya langsung kepadamu. Kupikir Shi Qing Xuan itu selingkuhanmu..." ujar Huasen.

Xuning mendelik kepada Huasen kemudian terkekeh.

"Tidak usah tertawa!"

Xuning masih tertawa hingga Huasen cemberut. Namun sekali lagi Xuning mendekap Huasen, "Aku sudah memilikimu, untuk apa aku mencari yang lain."

Huasen teringat sesuatu. "Gadis yang makan malam bersamamu dua hari yang lalu itu siapa?" tanyanya.

Xuning diam, terlihat mengingat sesuatu. "Oh, hanya seseorang dari masa lalu. Sudah lama aku melupakannya."

Huasen merasa lega.

"Lalu, apa kamu masih memikirkan Shi Qing Xuan?" tanya Huasen.

Xuning menatap Huasen, mengecup bibir mungilnya. "Aku lebih memikirkan Chang Huasen di depanku..." Huasen tersipu mendengar ucapan Xuning. Sungguh berbeda dengan He Xuan yang diceritakan, "Shi Qing Xuan, Chang Huasen atau siapapun, itu adalah kau."

"Apa kau akan mencariku di kehidupan berikutnya?" tanya Huasen, teringat Huasen hanyalah manusia biasa dan Xuning sejatinya adalah makhluk abadi.

"Di kehidupan berikutnya, sampai di akhirat pun, aku akan selalu mencarimu." kata Xuning terdengar sangat romantis.

"Geli ah." komentar Huasen.

"Kok geli? Aku serius." tanya Xuning, dengan heran.

"Kau mau menunggu selama itu?"

"Aku tidak peduli, asal bisa bertemu dengan dirimu."

"Hahaha, baiklah. Akan aku tunggu selalu, Tian Xuning... atau siapapun kau nanti." giliran Huasen mengecup singkat bibir Xuning.

Namun, pemuda 180 cm itu tidak ingin melepas rasa manis di bibir kekasihnya. Sesaat setelah melepas kecupan, Xuning menyerang bibir Huasen dengan ciuman panas.

"Mau melanjutkan yang semalam?" bisik Xuning. Kedua sudut bibir Huasen terangkat.

"Aku chat manager dulu."

Tian Xuning menyeringai. Membawa tubuh Huasen ke dalam kamar. Melupakan sejenak urusan pekerjaan hari ini untuk memperkuat ikatan di antara mereka.

***

Extra.

"Permisi, pesanan bubur sudah datang!"

Pengantar makanan menggaruk dagu yang tidak gatal di depan pintu sebuah apartemen. Lima menit memanggil tidak ada jawaban. Samar-samar terdengar suara ambigu dari dalam apartemen.

"Maaf aku taruh di depan saja." gumamnya sambil tersipu lantas berlalu pergi.

Sesaat setelah pengantar makanan pergi, kepala Tian Xuning melongok keluar kamar. Menengok ke kanan dan kiri. Lorong apartemen kosong. Ada dua bungkus bubur di depan pintu. Segera diambil dan menutup pintu. Tak lupa menguncinya.

"Yang, buburnya dimakan nanti aja ya." teriakan terdengar dari dalam apartemen. Kemudian menghilang ditelan suara ambigu berikutnya.

***

End.

***

Terima kasih sudah membaca.

Salam,

bella.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top