Chapter 31
Hanin berangkat bekerja seperti biasanya. Ia kebagian shift pagi hari ini dan kebetulan sekali sahabatnya, Rere pun sedang shift pagi untuk menggantikan rekan kerjanya yang sakit.
"Hai Nin," sapa Rere pada Hanin yang tengah mengecek persediaan.
"Hai," jawab Hanin tetap fokus pada pekerjaannya.
"Kemarin ibunya dokter Carrol meninggal ya? Aku ga kesana karena sedang shift siang," ucap Rere.
"Hemm," jawab Hanin malas. Ia sudah mulai jengah mendengar nama itu.
"Eh dari tadi aku sepertinya tidak lihat dokter Bian. Di parkiran juga enggak lihat mobilnya," ucap Rere lagi.
"Kamu sampe merhatiin mobilnya?" tanya Hanin tertawa yang dipaksakan.
"Ya kan kalau mau kesini aku lewat parkiran dokter, dan mobil dia biasanya yang paling mencolok," ucap Rere.
"Re, kamu gaada kerjaan?" tanya Hanin.
"Eh yaampun, aku harus ke depo rawat inap," ucap Rere dengan ekspresi terkejut.
"Dah Hanin," ucap Rere lagi dan pergi dengan terburu-buru.
Hanin menghela napas, ia merongoh ponsel di sakunya. Tapi tidak ada satu pun notifikasi dari Bian.
---
"Selamat menikmati minumannya," ucap Ayya dan duduk di hadapan Hanin.
"Terima kasih kak," ucap Hanin sambil tersenyum.
"Bian gak masuk kerja?" tanya Ayya.
"Gak ada Kak sepertinya," jawab Hanin.
"Sepertinya? Kamu lagi ada masalah sama Bian?" selidik Ayya.
Hanin tertawa sumbang. "Gak ada masalah kak. Berkomunikasi aja kita enggak, bagaimana mungkin ada masalah?"
"Dia gak hubungin kamu? berapa lama?" cecar Ayya.
"Sejak di pemakaman kemarin," jawab Hanin.
"Benar-benar tuh anak," ucap Ayya dengan nada kesal.
"Oh ya, kakak turut bersedih ya atas pertunangan kamu dan Bian yang batal dilaksanakan besok," ucap Ayya dengan pandangan tidak enak.
"Gak papa kak. Lagipula memang tidak seharusnya kita mengadakan acara seperti itu ditengah orang yang sedang berduka," ucap Hanin.
"Bian beruntung banget dapat kamu yang pengertian. Carrol itu bukan sekedar sahabatnya Nin, dia sudah kami anggap bagian keluarga kami," ucap Ayya.
Hanin hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan menyesap kopi pesanannya. Ia memandang keluar jendela menikmati jalanan yang padat di jam sibuk seperti sekarang.
***
Hanin baru keluar dari kamar mandi dan melihat ponselnya menyala.
Bian Calling...
Dengan segera Hanin pun mengangkat telepon dan tersenyum.
"Hallo sayang." Suara ini sungguh sangat Hanin rindukan.
"Kamu kemana aja?" tanya Hanin dan duduk di kursi riasnya.
"Maaf." Alih-alih menjelaskan, Bian malah meminta maaf pada Hanin.
Tiba-tiba mode panggilan Bian berubah menjadi mode video call dan Hanin pun tersenyum meletakkan ponselnya di depan kaca.
"Kamu lagi apa?" tanya Bian yang melihat Hanin tengah mengoleskan beberapa product ke wajahnya.
"Aku baru beres mandi," jawab Hanin tetap fokus pada kegiatan di wajahnya.
"Aku rindu kamu," ucap Bian.
Hanin memandang pria di dalam ponselnya itu. Bian tengah rebahan di kamarnya sepertinya.
"Aku juga," ucap Hanin.
"Besok kamu shift berapa?" tanya Bian.
Hanin sedikit mengerutkan keningnya, tumben pria ini lupa dengan jadwalnya. Apa yang dikerjakan pria ini hingga lupa dengan jadwal Hanin?
"Malam," jawab Hanin singkat.
"Berarti aku gak bakalan ketemu kamu di rumah sakit dong ..." ucap Bian.
"Tadi kamu kenapa gak masuk?" tanya Hanin.
"Aku menemani Carrol. Tadi kami ke makam lagi," jawab Bian dan membuat dada Hanin sesak. Pria ini tidak berkabar dengannya dan sedang menemani wanita lain.
"Nin besok kamu pergi ke rumah sakit dari apartement aku aja ya," ucap Bian.
"Kenapa?" tanya Hanin.
"Aku ingin bicara dengan kamu. Rasanya sudah terlalu lama kita tidak bertemu," ucap Bian dengan sedikit terkekeh.
"Lebay!" jawab Hanin. Walaupun dalam hatinya iya mengiyakan.
"Yaudah Bi, besok aku kesana. Besok kamu praktek seperti biasa?" tanya Hanin.
"Aku besok ada operasi pukul 10 pagi. dan praktek mulai jam 2 siang," jawab Bian
"Kamu sekarang dimana?" tanya Hanin
"Di rumah mommy," jawab Bian.
"Yaudah kalau gitu kamu istirahat. Besok mau operasi jangan sampai buat kesalahan," ucap Hanin. Hanin menyadari kantung mata Bian, yang artinya pria itu kurang istirahat.
"Baik Nyonya. Dah Assalamu'alaikum." Pamit Bian.
"Wa'alaikumsalam," jawab Hanin. Hanin masih memandangi layar ponselnya yang sudah gelap. Ia mencoba menghapus semua pikiran-pikiran buruknya tentang Bian.
Hanin Harus percaya Bian. Dia tidak boleh goyah hanya karena hal-hal seperti ini.
***
Hanin menata makanan yang dibawa dari rumahnya ke beberapa wadah di apartement Bian. Tadi Ibunya memang menyuruh Hanin untuk membawakan beberapa masakan sang ibu. Bunyi pintu yang terbuka membuat Hanin tersenyum, itu pasti Bian. Hanin pun beranjak dan menuju ke arah pintu.
"I miss you baby," ucap Bian dan langsung memeluk Hanin.
"Me too," ucap Hanin. Ia mengendus aroma dari parfume Bian yang tercampur dengan bau rumah sakit. Hanin sungguh merindukan pria ini.
"Kamu udah lama disini?" tanya Bian membawa Hanin untuk duduk di sofa.
"Belum juga," ucap Hanin dan melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul setengah 5 sore.
"Wah ... kamu bawa makanan Nin? Aku dapat mencium aromanya," ucap Bian sambil terkekeh.
"Iya, tadi mama masak dan beliau minta aku untuk bawain itu ke kamu," jawab Hanin.
"Mama tahu aja kalau menantunya ini pasti kelaparan," jawab Bian.
Hanin berdecih dalam hati, menantu apanya tunangan aja kemarin ditunda dulu.
"Yaudah kamu mandi dulu Bi. Aku siapin makanannya," ucap Hanin.
"Siap Nyonya!" ujar Bian sambil berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya.
Hanin pun beranjak pergi ke dapur dan menyelesaikan apa yang sebelumnya tengah ia kerjakan.
Seusai mandi, Bian pun langsung makan ditemani dengan Hanin yang duduk di sampingnya.
"Kamu kenapa gak makan?" tanya Bian di sela-sela kegiatannya.
"Aku udah kenyang," jawab Hanin.
"Mama emang pinter banget masak ya?" ucap Bian yang tak henti selalu memuji masakan calon ibu mertuanya.
"Heem," gumam Hanin.
"Kalau tiap hari pulang kerja aku melihat kamu, pasti aku gak bakalan betah tinggal lama-lama di rumah sakit," ucap Bian tertawa kecil.
"Ya gak bakalan tiap hari dong Bi. Kan aku gak shift malem tiap hari," jawab Hanin,
"Kalau Nin," ucap Bian.
"Ya ngekhayal nya yang realistis dong!" ujar Hanin tak mau kalah.
"Tapi gak papa sih, kalau kamu lagi shift pagi atau sore berarti kita akan bertemu di rumah sakit," ucap Bian lagi.
"Kaya yang mudah aja nemuin kamu di rumah sakit." Cibir Hanin.
Bian terkekeh, ia menyadari kalau jadwalnya super padat di rumah sakit. Kemarin saja gara-gara dirinya tidak masuk sehari betapa kewalahannya assistent dia harus mengatur ulang jadwal konsultasi.
"Ini kamu lagi ngerajuk gara-gara kemarin aku gak masuk ya?" tanya Bian.
"Udahlah jangan banyak bicara, kamu habiskan aja tuh makanannya. Aku ke ruang tv dulu," ucap Hanin dan pergi meninggalkan Bian.
Hanin memandang acara tv di depannya dengan pandangan tak berminat. Dan tak lama kemudian Bian muncul dan duduk di sampingnya. Bian membawa kepala Hanin untuk bersandar di dada bidangnya.
"Maafin aku karena kemarin gak ngabarin kamu," ucap Bian sambil memainkan anak rambut Hanin.
"Aku gak suka ya Bi kalau kamu tiba-tiba ngilang kaya gitu!" ucap Hanin datar.
"Iya, aku janji gak akan lakuin itu lagi." Janji Bian.
"Nin kalau misalkan nanti kita langsung nikah aja tanpa harus tunangan dulu gimana?" tanya Bian membuat Hanin langsung menegakkan duduknya.
"Kenapa?" tanya Hanin.
"Aku merasa bersalah karena kemarin menggagalkan rencana pertunangan kita. Apa tidak sebaiknya kita langsung menikah saja?" tanya Bian lagi.
Hanin menarik napasnya sebelum berkata, "Aku gak mau kita mempersiapkan pernikahan jika ujungnya akan terjadi seperti pertunangan kita kemarin. Aku rasa kamu harus meyakinkan diri kamu sendiri sebelum meyakinkan aku."
"Bi, jika kamu merasa bersalah atas kejadian kemarin, sudah aku maafkan. Aku mengerti dengan posisimu kemarin. Tapi, jika kamu melakukan itu lagi, aku rasa kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini."
"Aku tidak ingin hubungan kita berada dalam bayang-bayang orang lain. Aku tidak ingin setiap jalan yang kamu ambil berada dalam bayangan orang lain," tutur Hanin mengeluarkan unek-unek yang dia pendam selama ini.
"Dia bukan orang lain Nin." Jawaban Bian membuat Hanin terbelalak tak percaya.
"Aku pulang sekarang," jawab Hanin dan berdiri dari duduknya.
Namun Bian mencekal pergelangan tangannya.
"Aku mau kita meluruskan permasalahan ini dulu," ucap Bian.
"Tidak ada yang perlu diluruskan. Apapun yang ada di pikiran kamu saat ini sudah tentu berbeda denganku. Dan hal ini tak akan pernah menemukan titik temu," ujar Hanin.
"Aku tahu dia sahabat kamu yang sudah kamu kenal belasan tahun, tapi kamu harus ingat, walaupun aku baru kamu kenal belakangan ini tetap saja aku calon istri kamu!" ucap Hanin dan melepaskan tangan Bian.
Bian terdiam mendengar penuturan Hanin, ia tidak bisa mengatakan apapun lagi saat ini. Hingga suara pintu apartement yang tertutup membuatnya mendesah frustasi.
Carrol Calling...
Bian menatap layar ponselnya yang menyala, ia menghela napas dan mengangkat panggilan itu.
"Hallo Carrol."
Demi apa gais aku update lagi? Wkwkwkwk
Lagi semangat nulis nih, hihi ...
Jangan lupa vote sama komen nya ya:) Arigatou
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top