Chapter 22
Happy Reading^^
"Boleh saya ikut duduk disini?" Hanin mendongakkan kepalanya ketika mengenali siapa yang sedang berbicara padanya.
"Boleh Dok silahkan." jawab Rere dengan antusias.
Hanin memandang Bian yang kini tengah duduk di depannya dan makan dengan tenang sambil memperlihatkan ekspresi tak terbaca.
"Nin, gue degdegan nih." bisik Rere yang hanya dipandang Hanin sekilas.
"Kok kamu gak lanjut makan?" tanya Bian pada Hanin.
"Eh?" Hanin mengalihkan pandangannya dari Bian dan melanjutkan makannya yang sudah tidak menarik lagi.
Sekarang jam istirahat siang dan mereka tengah berada di kantin rumah sakit.
"Dokter kenalin saya Rere. Dan ini teman saya Hanin." ucap Rere ditengah acara makan mereka.
"Salam kenal Re." jawab Bian singkat. Namun itu membuat Rere tersenyum dengan senyum lima jari yang membuat Hanin mengerutkan keningnya.
Setelah makannya selesai Hanin langsung berdiri dari duduknya.
"Kemana Nin?" tanya Rere yang sebenarnya telah selesai makan dari tadi. Ia masih duduk disana hanya untuk diam-diam memperhatikan Bian yang sedang makan.
"Kerja lagi lah Re. Jangan banyak nyantai jam segini tuh waktu sibuk." ucap Hanin.
Bian memandang Hanin dan menyunggingkan senyum. Hanin mengartikan itu adalah senyum penuh ejekan untuk dirinya.
"Kita itu gak kaya Dokter Re yang bisa seenaknya membuat pasien nunggu." lanjut Hanin sambil tersenyum miring ke arah Bian.
"Saya ..."
"Ayo kita balik Nin." Perkataan Bian terpotong oleh Rere yang segera menarik Hanin dari tempat itu.
Bian hanya mendengkus kesal memandang Hanin yang semakin menjauh.
"Aduh Nin, lo kenapa ngomong gitu sih?" tanya Rere saat mereka tengah berjalan menuju counter farmasi.
"Gitu kenapa? Emang faktanya kan kita kerja disini harus extra cepat kalau gak mau pasien menunggu berjam jam." ucap Hanin.
"Tapi lo gak harus ngomongin tentang Dokter juga di depan Dokter Bian dong." ucap Rere dengan nada kesal. Memang sih Hanin bicara begitu hanya untuk membalas Bian, dia tahu tidak semua dokter seperti itu, dan jika memang pasien harus nunggu pun pasti karena Dokternya memiliki schedule yang padat.
"Lah kenapa lo malah nyalahin gue sih?" tanya Hanin.
"Tadi itu kesempatan langka. Kita bisa SATU MEJA dengan Dokter Bian." jawab Rere.
Hanin hanya memutar bola matanya malas.
"Udahlah. Kerja yang bener Re." ucap Hanin saat mereka telah memasuki ruangan farmasi.
---
"Nin lo gak bikin masalah kan?" tanya Anti yang tiba-tiba datang dari counter depan.
"Masalah apaan?" tanya Hanin yang sedang mengecek ulang obat sebelum diserahkan ke depan.
"Demi apa Bu Syakira istri Dirut nyariin elo." Perkataan Anti segera menghentikan kegiatan Hanin.
Rasanya Hanin ingin men-skip hari ini saja. Tadi Bian yang tiba-tiba ikut makan dengannya. Sekarang kenapa ibunya malah nyamperin dia di rumah sakit sih?
Hanin dengan segera menyelesaikan pekerjaannya dan menyerahkan obat pada Anti.
"Nih udah gue cek." ucap Hanin dan segera ia melangkahkan kaki untuk menemui ibunya Bian.
"Mom." panggil Hanin pelan ketika sudah dekat dengan Syakira yang tengah duduk di kursi tunggu.
"Hai sayang." ucap Syakira dan langsung cipika-cipiki dengan Hanin.
"Mom ganggu kamu ya? Masih sibuk?" tanya Syakira.
"Jam kerja Hanin setengah jam lagi Mom." jawab Hanin.
"Yaudah kalau gitu kembali kerja aja. Mom tunggu disini ya." ucap Syakira.
"Mom, aku dan Bian ngerahasiain hubungan kami di rumah sakit." bisik Hanin.
Syakira membulatkan matanya tak percaya. Dia langsung menoleh ke kanan dan ke kiri dan benar saja beberapa staff rumah sakit tengah memandang mereka.
"Yaudah kalau gitu mom tunggu di cafe-nya Ayya ya." ucap Syakira.
Hanin berpikir sejenak. Cafe kak Ayya? Oh berarti yang di seberang rumah sakit.
"Iya Mom. Nanti Hanin kesana begitu beres kerja." ucap Hanin.
"Baiklah. Semangat kerjanya sayang. Mom pergi sekarang ya." ucap Syakira.
"Hati-hati Mom." Kata Hanin dan dia langsung saja kembali ke ruangannya setelah Syakira pergi.
Hanin tak mengindahkan tatapan penuh tanya dari rekan-rekannya. Beruntungnya Hanin karena Rere tengah sibuk dengan resepnya sehingga sahabatnya itu tidak banyak bertanya. Namun Hanin yakin bahwa nantinya Rere akan menodongnya dengan berbagai pertanyaan.
***
Hanin memasuki cafe milik Ayya. Dekorasinya hampir mirip dengan cafe milik Ayya yang satunya lagi. Hanya saja disini ruangannya lebih minimalis dibandingkan cafe yang disana.
Hanin mengedarkan pandangannya namun ia tidak melihat keberadaan Syakira. Hanin pun bergegas menuju kasir untuk menanyakan keberadaan Syakira.
"Permisi mbak." ucap Hanin.
"Iya ada yang bisa saya bantu?" tanya kasir tersebut dengan ramah.
"Mbak lihat bu Syakira tidak?" Hanin menanyakan itu karena ia yakin bahwa pegawai disini pasti telah mengenal ibu dari pemilik cafe ini.
"Mbak Hanin ya?" tanya kasir itu dan dijawab anggukan oleh Hanin.
"Mbak ke lantai dua aja. Nanti di ujung ada sebuah ruangan. Nah itu ruangannya Bu Ayya. Dan bu Syakira menunggu disana." jelasnya.
"Oh gitu. Makasih ya Mbak." ucap Hanin dan tersenyum.
Hanin pun segera melangkahkan kakinya menuju lantai dua.
Di lantai dua keadaan cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang tengah berbincang ditemani segelas kopi. Hanin mencari pintu yang dimaksudkan oleh kasir tadi. Dan pandangannya terhenti pada sebuah pintu yang bertuliskan Owner's room. Hanin pun segera melangkahkan kakinya menuju kesana.
Tok ... Tok ... Tok ...
Hanin mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah mendengar suara orang yang mempersilahkan masuk Hanin pun membukakan pintu.
"Hanin udah datang. Ayo sini." ajak Ayya yang tengah duduk di sofa bersama Syakira.
Hanin pun tersenyum dan duduk di salah satu sofa.
"Kakak gak nyangka lho kalau kamu bisa jadian sama Bian. Soalnya pas kita ke puncak dulu kakak lihat kalian itu perang aja tiap ada kesempatan." ucap Ayya sambil terkekeh pelan.
"Kita sama-sama seneng ngomong kak. Makannya tiap ada kesempatan adu mulut aja. Bahkan sampai sekarang pun masih sama." tutur Hanin sambil tertawa pelan.
"Sampai sekarang? Wah tuh anak harus mom kasih pelajaran biar gak ngedebat orang mulu." ucap Syakira.
"Tapi aku salut lho Nin kamu bisa ngimbangin dia. Biasanya hanya aku aja perempuan yang bisa ngalahin dia kalau urusan ngomong." ucap Ayya.
"Sebenarnya aku pun sering kalah sih Kak. Hanya saja sebagai perempuan kita punya seribu senjata rahasia untuk mengalahkan pria." kata Hanin dan mereka pun tertawa bersama.
"Ayya ini dari dulu emang paling jago kalau debat Nin. Daddy-nya aja dia lawan sampai dia bisa menang. Untungnya aja dia dapat suami kaya Adrian yang banyak ngalah kalau sifat keras kepalanya tuh muncul." ujar Syakira.
"Ih Mommy kok gitu sih? Adrian juga keras kepala lho Mom. Kalau dia gak keras kepala mungkin kita bisa nikah lebih cepat." ucap Ayya sambil tertawa membayangkan masa lalunya yang penuh drama dengan Adrian.
"Lah itu kan memang salah kamu dulu Yya." ujar Syakira.
"Mommy jahat lebih belain mantu daripada anak sendiri." ucap Ayya.
Hanin hanya terkekeh geli melihat interaksi ibu dan anak ini.
"Habisnya mantu mom baik-baik sih gak kaya kamu sama Bian yang bisanya ngebalas omongan orang tua mulu." ucap Syakira setengah becanda karena setengahnya lagi memang fakta.
"Jangan salahin kami Mom. Kami belajar dari Mom sama Dad. Mommy aja sama kan suka banget ngedebat Dad? Hanya yang aku herankan kalau sama Mom itu, Daddy bisa diam dan gak ngebalas. Coba kalau sama aku, sampai kambing bertelur pun Daddy gak bakalan mau ngalah sama aku." tutur Ayya.
"Seperti yang Hanin bilang Yya, perempuan itu punya banyak senjata rahasia yang hanya dikeluarkan disaat sudah terdesak saja." ucap Syakira.
"Eh Nin mau minum apa?" tanya Ayya yang baru menyadari bahwa sejak kedatangan Hanin, Ayya belum menawari apapun.
"Ah aku tahu, carramel machiato kan?" tanya Ayya sebelum Hanin menjawab.
"Kok kakak tahu?" tanya Hanin sambil tersenyum.
"Tahu lah. Sebagai seorang pemilik cafe aku dapat menebak apa yang diinginkan oleh pelanggan." ucap Ayya sambil beranjak menuju telepon untuk memesankan minuman Hanin.
"Halah! Paling kamu tau dari Bian kan?" tanya Syakira.
"Ih, Mom gak usah disebutin juga kali." ucap Ayya.
Hanin hanya terkekeh, tapi otaknya berpikir apakah Bian sering menceritakan tentang dirinya pada Ayya?
Ayya kembali duduk setelah memesankan minuman untuk Hanin.
"Bian emang sering cerita tentang kamu sama aku Nin. Tapi kamu tenang aja hanya aku wanita yang selalu mendengarkan curahan hati Bian. Atau kalau enggak ke aku dia suka ngobrol sama Carrol. Tapi kalau tentang kamu hanya aku yang tahu." ucap Ayya sambil terkekeh.
"Jadi Bian sering curhat gitu kak?" tanya Hanin tak percaya.
Hanin hanya tidak menyangka bawha laki-laki yang bersikap cool di rumah sakit itu hobby curhat pada kakaknya?
"Nggak sering sih kan dia sibuk. Tapi kalau emang ada waktunya dia hanya berdua sama aku, dia sering ngobrolin semua yang ada dipikirannya." ucap Ayya.
Hanin hanya mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Tapi yang tidak Hanin mengerti kenapa Bian tidak menceritakan tentang dirinya pada Carrol? Apakah pria itu ingin menjaga perasaan Carrol?
Melihat Hanin yang tengah berpikir Ayya sepertinya mengerti apa yang menjadi pikiran Hanin.
"Dia gak cerita sama Carrol karena dia tahu kalau kalian berteman. Makannya mungkin dia canggung aja kalau menceritakan teman Carrol di depan orangnya." ucap Ayya.
"Kalau gitu aku mau tahu tentang Bian dari kak Ayya sama Mommy dong. Aku kan baru mengenal Bian baru beberapa bulan ini." pinta Hanin.
"Mari Mom kita beberkan keburukan Bian." ucap Ayya dengan penuh semangat.
Hanin hanya tertawa mendengar ucapan Ayya.
Lalu mengalirlah cerita diantara mereka. Mereka tertawa saat menceritakan hal-hal yang lucu tentang Bian. Namun mereka tidak mengetahui bahwa ada sepasang mata dibalik pintu yang tengah menahan air mata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top