Chapter 17

Happy new year 2021 gais^_^

Mohon maaf telat banget yaa:( tahun baru, kerjaan banyak, dan aku lagi sakit.. huhuhuhu *maaf nih malah curhat


Happy reading^^


Dua minggu kemudian...

Hanin berjalan bersama beberapa teman sejawatnya menuju pintu samping rumah sakit. Jam sudah menunjukkan lewat pukul sembilan malam dan ini merupakan waktunya Hanin pulang. Jarak rumahnya dan rumah sakit tidak terlalu jauh dan juga jalan menuju rumahnya adalah jalan raya sehingga jam sembilan masih ramai kendaraan dan itu tidak membuat Hanin untuk khawatir takut pulang.

"Eh itu Dokter Bian bukan sih?" tanya Anti.

Hanin tiba-tiba mendongak dan mencari dimana keberadaan pria itu. Mata Hanin terpaku sesaat melihat Bian yang tengah duduk santai di depan ruangan BPJS yang sepi dan tentu saja telah dikunci.

"Eh dia ngapain ya disana sendiri?" tanya rekan Hanin yang lainnya.

"Nungguin Dokter Carrol? Tapi perasaan dari tadi sore juga udah pulang kan?" tanya Anti lagi.

Hanin menelan ludahnya susah payah. Apapun yang berkaitan dengan Bian pasti disangkut pautkan dengan Carrol. Lalu harus bagaimana Hanin menghadapi pria itu? Menerimanya? Hanin masih butuh banyak pertimbangan!

"Aku ke toilet dulu, kalian duluan aja." pamit Hanin dan segera membelokkan dirinya menuju toilet.

Hanin menatap pantulan dirinya di cermin berulang kali. Bian kenapa harus disini sih? Padahal dia tidak mengirim pesan apa-apa.

Handphone di saku Hanin bergetar dan ternyata telpon dari Bian. Dengan ragu Hanin pun mengangkatnya.

"Hallo, Dok." ucap Hanin.

"Kamu dimana?" tanya Bian.

"Saya masih kerja Dok." bohong Hanin.

"Teman kamu udah pada pulang. Kok kamu belum? Shift sore kan harusnya udah pulang." ujar Hanin.

Hanin mengerutkan keningnya. Apa Bian mengecek jadwalnya?

"Saya gantiin teman saya yang sakit Dok. Jadi harus dua shift." ujar Hanin beralasan.

"Yaudah kalau gitu." kata Bian.

Saat Hanin hendak menjawab telpon telah diputuskan.

Hanin menghela napas berulang kali, ia tahu Bian pasti kesal. Dua minggu ini Hanin terus saja menghindarinya dan jika mereka kebetulan bertemu di rumah sakit pun Hanin hanya membalas sapaan Bian secukupnya.

Setelah Hanin rasa Bian telah pergi ia pun berniat keluar dari toilet.

"Astagfirullahhaladzim!" Hanin terpekik kaget ketika melihat Bian tengah berdiri di samping pintu toilet.

Wajahnya datar dan itu membuat Hanin merinding. Apalagi udara malam yang cukup menusuk kulitnya. Jika saja ada backsound lagu di film-film horror sudah dapat dipastikan Hanin langsung ngacir karena menganggap Bian adalah hantu jadi-jadian.

"Kerjaan kamu pindah ke toilet?" tanya Bian sarkas.

Hanin hanya menunduk memperhatikan ujung sepatunya. Persis seperti anak SD yang kesiangan dan tengah ditegur gurunya.

"Saya antar kamu pulang. Udah malam." lanjut Bian dan langsung berjalan meninggalkan Hanin.

Mau tidak mau akhirnya Hanin mengekori Bian dan masuk ke dalam mobilnya.

"Motor saya Dok?" tanya Hanin ketika mobil mulai melaju.

"Besok saya antar kamu." jawab Bian sesingkat-singkatnya. Bahkan lebih singkat dari teks proklamasi.

Hanya keheningan yang menyelimuti perjalanan mereka.

"Hanin, kalau kamu belum bisa jawab setidaknya jangan hindari saya terus." ucap Bian.

"Oke jika kamu gak ada rasa atau mungkin belum ada rasa untuk saya, tapi setidaknya berikan saya kesempatan untuk membuat rasa itu hadir dalam diri kamu." lanjut Bian tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan.

"Kamu tahu? Dua minggu ini kamu benar-benar sukses menyiksa saya. Kamu menghindar terus dari saya, pesan saya kamu balas jika memang benar-benar penting. Namun ketika saya sudah mulai mengirimi pesan pribadi kamu balas sekedarnya atau lebih parahnya kamu gak balas. Jadi apa yang kamu lakukan itu lebih parah dari nyinyiran saya." lanjut Bian kembali.

"Saya bahkan mengakui bahwa omongan saya itu sering pedas-pedas. Dan kamu tahu? Hanya pada kamu saja saya mengakui itu."

Bian merasa aneh kenapa tidak ada jawaban dari Hanin? Ia pun melirik sekilas ke sampingnya.

Tolong berikan stok kesabaran yang banyak untuk Bian. Wanita yang dari tadi ia ajak bicara tengah tertidur cantik.

"Dasar wanita aneh ini! Lihat kelakuannya dia dapat tertidur di mobil orang yang ia hindari selama dua minggu." Bian bermonolog sendiri.

Bian tertawa pelan, antara lucu dan kesal dengan wanita ini.

"Kamu lihat? Bahkan hal-hal sederhana dengan melihat kamu tertidur seperti ini pun membuat saya tertawa. Kamu warna baru bagi saya Hanin. Kamu orang pertama yang mampu menantang kata-kata saya. Kamu membuat saya sadar bahwa dunia ini terlalu indah untuk dilalui dengan kehidupan yang datar." ucap Bian berbicara sendiri.

Bian menghentikan mobilnya ketika telah sampai di kediaman Hanin. Ia memandang wajah tenang Hanin yang tertidur.

"Nin. Walaupun kamu tertidur saya harap kamu dapat mendengar apa yang saya katakan." Bian menjeda sejenak ucapannya.

"Saya tahu banyak keraguan yang bersemayam di pikiran kamu untuk menerima saya. Namun kamu hanya perlu percaya bahwa saya benar-benar menyayangi dan mencintai kamu. Hanya itu Nin. Jika kamu dapat merasakan betapa tulusnya perasaan saya, maka semua keraguan kamu untuk bersama dengan saya akan menghilang." ucap Bian dengan menatap mata Hanin yang tertutup.

Bian menoel pelan pipi Hanin.

"Hanin udah sampai." ucap Bian.

Hanin bergumam pelan dan membuka perlahan matanya. Ia menatap sekitarnya dan menatap Bian yang juga tengah menatapnya.

"Apaan main tatap-tatapan?" tanya Hanin sengit.

Bian mengerutkan dahinya bingung. Kenapa bangun tidur tiba-tiba wanita ini mengibarkan bendera perang?

"Wanita aneh katamu Dok? Jadi selama ini saya aneh?" tanya Hanin.

Bian mencoba mencerna kata-kata Hanin, jangan-jangan...

"Kamu pura-pura tidur?" tanya Bian syok.

Hanin hanya mengangguk polos. Ia membuka seatbelt nya dan langsung membuka pintu mobil.

Hanin tidak turun dulu dari mobil, ia hanya membukakan pintu mobil saja.

"Dok, sebelum saya nerima Dokter ada hal penting yang harus saya tanyakan." ucap Hanin.

"Apa?" tanya Bian cepat.

"Dokter gak bakalan nyinyir lagi sama saya, kan?"

Pertanyaan Hanin sukses membuat Bian yang tadinya semangat menjawab tiba-tiba kesal setengah mampus. Apa tidak ada pertanyaan yang berfaedah lainnya?

"Saya gak jamin. Karena kadang otak sama mulut gak sinkron" jawab Bian.

Hanin hanya memutar bola matanya malas.

"Makannya punya mulut tuh di sekolahin bukan otak doang yang disekolahin." ujar Hanin sambil mendengkus meremehkan.

"Eh itu mulut yang nyuruh sekolah udah sekolah?" tanya Bian.

Hanin menatap garang pada Bian yang tengah tersenyum mengejek.

"Dokter mau dijawab gak pertanyaannya sama saya?" tanya Hanin.

"Gak usah kalau gak bisa." jawab Bian dengan pongah.

"Yaudah. Bye Dok." kata Hanin dan beranjak turun dari mobil.

"Eh! Hanin jawaban kamu atas pertanyaan saya tempo hari apa?" tanya Bian buru-buru mencekal Hanin.

"Katanya gak usah dijawab." kata Hanin sambil memutar bola matanya malas.

"Yang gak usah dijawab bukan yang itu. Tapi maksudnya pertanyaan unfaedah saya." ucap Bian hati-hati.

Bagaimanapun ia harus baik-baik pada Hanin jika tidak mau ditolak olehnya.

Hanin mengambil napas pelan.

"Seperti kata Dokter bahwa saya hanya perlu mempercayai bahwa Dokter tulus mencintai dan menyayangi saya." kata Hanin.

Bian harap-harap cemas menunggu kelanjutan perkataan Hanin.

"Saya rasa saya sudah mulai yakin dengan Dokter. Dan semua keraguan itu sepertinya mulai hilang."

Jawaban Hanin membuat Bian mencerna dengan hati-hati, jangan sampai ia salah persepsi.

"Udah gitu aja. Saya masuk ya Dok udah malam. Besok saya shift pagi jangan lupa jemput." kata Hanin dan keluar dari mobil.

Bian segera menyusul dan keluar dari Mobil. Ia menghentikan Hanin yang akan membuka gerbang rumahnya.

"Jadi maksudnya saya diterima?" tanya Bian.

"Dokter bisa menjadi Dokter nyogok ya? Hal kaya gitu aja gak ngerti." ucap Hanin sambil tersenyum meremehkan.

"Saya yakin IQ saya lebih tinggi dari kamu Nin." Balas Bian.

"Masa?" tanya Hanin.

"Iya." jawab Bian langsung.

"Masa bodo." ucap Hanin dan tertawa.

"Udah ah Dok sana pulang. Awas kalau besok telat!" ancam Hanin.

"Berarti jawaban kamu iya, kan?" tanya Bian memastikan.

Hanin hanya menghela napasnya kasar, tapi tak ayal ia mengangguk.

Hanin menegang ketika Bian tiba-tiba memeluknya erat.

"Thank's Nin. Saya gak tahu bagaimana mengungkapkan kebahagiaan saya sekarang." ucap Bian tanpa melepaskan pelukannya.

Hanin menepuk-nepuk pelan bahu Bian dan berkata, "Pelukannya tolong dilepas Dok. Saya gak mau mati muda gara-gara sesak di peluk." ucapan Hanin refleks membuat Bian melepaskan pelukannya.

"Sorry sorry, saya terlalu bahagia malam ini." ucap Bian dengan senyum yang tak pudar dari wajahnya. Hanin pun ikut tersenyum melihatnya.

"Yaudah sana pulang. Hati-hati di jalan." ucap Hanin.

"Kamu masuk dulu, aku baru pulang." ucap Bian.

Hanin tidak mau berdebat dan akhirnya ia membuka pagar dan masuk ke dalam rumah.

"Nin muka kamu kenapa merah? Kamu sakit?" tanya ayahnya ketika Hanin melewati ruang tengah dimana ada ibu dan ayahnya yang sedang menonton televisi.

"Hah? Enggak kok!" ucap Hanin dan itu malah membuat wajahnya tambah merah karena mengingat kejadian tadi.

"Istirahat Nin udah malam. Pulang naik apa? Kok mamah gak dengar suara motor?" tanya Ibunya.

"Pulang diantar Dokter Bian mah. Dia gak mampir dulu karena udah malam." ucap Hanin.

"Hanin ke kamar dulu ya mau istirahat." pamit Hanin.

Hanin bersyukur orang tuanya tidak banyak bertanya mengenai Bian. Dengan segera ia pun melangkahkan kaki menuju kamarnya.



Udah official kan sekarang? wkwk

Tahun baru status baru, authornya apa kabar:(((

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top