Chapter 14
"Hallo." ucap Bian ketika telpon telah tersambung. Ia berbaring di tempat tidurnya sambil menatap langit-langit kamar.
"Hai."
"Lagi apa?" tanya Bian.
"Baca buku yang waktu itu dibeli sama kamu." jawab Carrol dari seberang telpon sana.
"Rajin amat bu." kata Bian sambil terkekeh.
"Udah dari lahirnya rajin." jawab Carrol.
"Kamu nelpon malam-malam ada apa? Gak mungkin kan kalau cuma mau nanyain aku lagi apa." tanya Carrol tepat sasaran.
"Mommy ngasih aku waktu untuk kenalin calon aku selama satu bulan ini." Bian menjeda ucapannya, namun tidak ada respon apapun dari Carrol. Ia pun melanjutkan kembali ucapannya.
"Dan aku sangsi sih untuk dapat membawa dia kehadapan mom dalam waktu satu bulan ini." lanjutnya.
"Kamu ada saran gak cara cepat untuk meluluhkan hati cewek?" tanya Bian.
Carrol menjauhkan ponsel dari telinganya, ia menghela napas dan mencoba untuk menegarkan hatinya. Bian tetaplah Bian sahabatnya tidak akan berubah jadi apapun, ia menegaskan itu berulang kali dalam pemikirannya. Namun, rasa sesak malah semakin membesar dalam dadanya.
"Siapa cewek itu Ian?" tanya Carrol akhirnya.
"Pokoknya ada deh. Nanti kalau semuanya udah jelas bakalan aku kenalin." jawab Bian.
"Kamu serius minta pendapat aku? Kamu udah dewasa Ian, bukan remaja SMA yang waktu dulu selalu minta pendapatku." ucap Carrol.
Ingatannya menerawang saat dulu SMA Bian sering meminta pendapat Carrol mengenai wanita yang disukainya.
"Masalahnya dia itu perempuan yang gak mudah untuk aku ambil hatinya. Dan selama ini image ku udah terlanjur buruk di matanya." ujar Bian dengan nada frustasi.
"Itu masalah kamu dan dirinya. Aku tutup ya telponnya aku ngantuk." Setelah mengatakan itu Carrol langsung menutup telponnya tanpa mendengar jawaban dari Bian.
Ia menelungkupkan kepalanya ke bantal dan menangis diam-diam. Bagaimanapun sekarang ia tidak rela untuk sekedar membayangkan Bian bersanding dengan perempuan lain.
Sementara itu, Bian menatap aneh pada ponselnya yang sambungan telponnya telah terputus oleh Carrol.
Tidak biasanya, pikir Bian.
***
Hari Sabtu pagi dihabiskan Hanin dengan bercengkrama bersama kedua orang tuanya. Ia memang kebagian libur di hari Sabtu untuk minggu ini.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda pesan masuk.
dr. Nyinyir : Nin, mau nonton gak nanti sore?
Me : Mau kalau di traktir:v
dr. Nyinyir : Oke! Nanti sore saya jemput ke rumah kamu.
Me : Beneran nih? Saya mencium bau-bau niat terselubung nih dok.
dr. Nyinyir : jangan suudzon! Saya sedang berbaik hati bersodaqoh pada orang yang membutuhkan.
Me : -_-
dr. Bian : J
Hanin mendengkus kesal, Dokter ini selalu saja membuatnya menggerutu. Tapi walaupun begitu Hanin merasa hari-harinya lebih berwarna sejak bertemu dengan Dokter ini.
---
Hanin berjalan tergesa menuruni tangga rumahnya. Tadi Bian mengirim pesan bahwa dirinya sudah sampai di kediaman Hanin.
"Mah Hanin berangkat dulu ya." ucap Hanin setengah berteriak karena ibunya sedang berada di dapur.
"Hati-hati Nin." Ibunya juga membalas dengan setengah teriak.
"Yah ..." ucapan Hanin yang ingin pamitan pada ayahnya yang sedang duduk di teras depan terjeda ketika melihat Bian tengah ngobrol santai dengan sang ayah.
"Eh Pak Dokter udah lama?" tanya Hanin berbasa-basi.
"Belum. Ini saya baru ngobrol sebentar sama ayah kamu." jawabnya.
Hanin hanya tersenyum canggung. Namun senyum itu diartikan lain oleh ayahnya. Ayahnya berdehem pelan, "Kalau mau pergi yaudah sana. Ntar film nya keburu mulai lagi. Pulangnya jangan kemaleman Nin." pesan ayahnya.
"Iya Yah, Hanin pamit berangkat dulu ya." pamit Hanin.
"Hati-hati." balas ayahnya.
"Om saya permisi." ucap Bian dan dijawab anggukan oleh ayah Hanin.
Hanin masuk ke dalam mobil, tapi sepertinya ada yang aneh dengan aroma di dalam mobil ini. Terakhir kali Hanin masuk ke dalam mobil Bian wanginya tidak seperti ini.
"Suka gak?" tanya Bian ketika mobil telah bergerak meninggalkan rumah Hanin.
"Apanya Dok?" tanya Hanin yang merasa ambigu dengan pertanyaan Bian.
"Aromanya. Saya ganti pengharumnya ke aroma apel." jawab Bian.
"Oh itu. Iya saya suka." jawab Hanin.
Apa Hanin pernah bercerita kepada Bian bahwa dirinya sangat suka dengan wangi apel? Entahlah! Hanin lupa lagi, lagipula apa hubungannya itu? Pikir hanin.
"Dok beneran nih mau nonton?" tanya Hanin.
"Iya biar malam Minggu kamu nggak terlalu kelabu." jawab Bian sambil terkekeh.
Hanin hanya mencibir mendengar jawaban Bian.
"Eh ayah saya tahu kita mau nonton?" tanya Hanin ketika teringat dengan ucapan sang ayah yang mengatakan untuk segera pergi sebelum film-nya mulai.
"Tadi beliau nanya katanya mau kemana. Dan saya jawab kalau kita mau nonton." jawab Bian.
"Dokter Carrol gak papa nih saya jalan sama Dokter?" tanya Hanin.
"Udah saya tekankan beberapa kali saya dan Carrol hanya sebatas sahabat nggak lebih." jawab Bian sambil menatap ke arah Hanin.
Hanin langsung memalingkan pandangannya ke arah jalan ketika Bian menatapnya.
"Iya iya. Saya minta maaf." ujar Hanin.
Bagus! Hanin menggerutu dalam hati, ini pertama kalinya ia harus minta maaf pada pria disampingnya.
"Kedepannya jangan bahas hal itu lagi Nin." kata Bian, membuat Hanin mengernyit.
Kedepannya? Memangnya kedepannya mereka akan seperti apa?
"Dok kita sekarang udah bisa dibilang teman kan?" tanya Hanin memastikan. Lagian mereka udah terlalu sering bertemu dan sekedar chatingan singkat sudah sering mereka lakukan. Itu artinya mereka berteman kan?
"Heem." gumam Bian pelan.
"Nin." panggil Bian.
"Apa?" jawab Hanin.
"Tipe pria ideal kamu seperti apa?" tanya Bian.
"Seperti Dokter." jawab Hanin santai.
Bian langsung menoleh ke arah Hanin dan tanpa Bian duga Hanin malah tertawa.
"Maksud saya yang sifatnya kebalikan seperti Dokter." kata Hanin diiringi tawa renyahnya.
Bian mendengkus kesal mendengar jawaban Hanin.
"Lagian ada apa sih Dok nanyain gitu?" tanya Hanin ketika tawanya telah reda.
"Nggak nanya aja. Saya hanya sedang suka sama seseorang, mungkin aja kamu tahu tipe pria seperti apa yang disenangi wanita." jawab Bian.
Entah apa yang Hanin rasakan, tapi yang pasti dia tidak senang mendengar Bian sedang menyukai seseorang.
Hanin menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, bukankah ia telah bertekad bahwa pria seperti Bian tidak cocok untuk dijadikan teman hidup. Yang ada ia akan hidup terus di rumah sakit karena stress menghadapi pria seperti Bian.
"Yang pasti Dok wanita itu senang pria yang perhatian, penyayang, dan nggak macem-macem lah pokoknya. Tak perlu pria yang sempurna yang mempunyai segalanya, wanita hanya perlu pria yang selalu ada untuk dirinya, mampu mengerti akan dirinya, dan bertanggung jawab atas dirinya." kata Hanin sambil pandangannya lurus ke depan memperhatikan mobil yang bergerak di depannya.
"Terlebih kalau Dokter sedang menyukai seorang wanita, cobalah dekati ayahnya dulu, perhatikan seperti apa ayahnya, bagaimana interaksinya dengan sang ayah. Biasanya wanita mencari pendamping hidup itu yang setipe dengan ayahnya. Ayah adalah cinta pertama anak perempuan, sosok yang begitu dibanggakan oleh seorang anak. Dan ia pasti menginginkan pria yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayang seperti ayahnya." lanjut Hanin.
"Emangnya siapa sih Dok wanita tidak beruntung itu?" tanya Hanin.
"Tidak beruntung katamu?" tanya Bian memastikan.
Hanin hanya mengangguk polos dan itu membuat Bian ingin sekali menendang Hanin keluar dari mobilnya di tengah jalan raya.
"Wanita yang dicintai saya adalah wanita paling beruntung di dunia ini." kata Bian dengan penuh percaya diri.
Hanin berdecih pelan, "Justru dia itu tidak beruntung Dok. Harus hidup dengan pria yang mempunyai tingkat kepercayaan diri diatas rata-rata dan cenderung narsis. Pria dengan omongan pedas dan nyinyiran akut tingkat tinggi seperti Dokter." ujar Hanin enteng.
"Itu kamu tidak berbicara tentang diri sendiri kan?" tanya Bian sambil membelokkan mobilnya memasuki pelataran mall.
"Oh satu lagi. Dokter adalah pria dengan ego yang tinggi dan gak mau kalah kalau berbicara." ujar Hanin tanpa mempedulikan ucapan Bian sebelumnya.
"Seburuk itu penilaian kamu terhadap saya?" tanya Bian.
"Betul sekali." kata Hanin dengan santai.
Bian hanya mendelik ke arah Hanin mendengar jawaban yang tidak tedeng aling-aling itu. Dalam hatinya dia menggerutu bukankah wanita ini juga sebelas dua belas sifatnya dengan dirinya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top