Chapter 13
Happy reading^_^
Hanin memandang pria yang kini tengah duduk di salah satu kursi panjang yang berada di taman rumah sakit. Ia hanya menatapnya dari jauh, keputusannya untuk datang kesini sebenarnya dilandasi oleh keraguan. Entahlah Hanin hanya merasa ada apa sebenarnya antara dirinya dan Bian? Hanin melihat jam di pergelangan tangannya sudah pukul 15:30 dan ia pun melangkahkan kaki menuju arah dimana Bian berada.
"Dok udah lama?" tanya Hanin begitu sampai ke hadapan pria itu.
"Baru aja." jawab Bian sambil tersenyum.
"Dokter pulang dulu ya?" tanya Hanin ketika menyadari bahwa kemeja yang dipakai Bian berbeda dengan kemeja yang tadi pagi dilihatnya.
"Saya hanya mampir ke apartement yang deket sini. Jam praktek udah beres tadi pukul 12 siang dan gak ada jadwal apa-apa lagi." ujar Bian.
"Dokter punya apartement sekitaran sini?" tanya Hanin.
"Iya. Tapi jarang saya tempati, kan saya tinggal masih sama orang tua." jawab Bian.
"Terus kenapa beli apartement?" tanya Hanin aneh.
"Ya untuk hal-hal mendesak aja. Misalnya kalau saya pulang larut malam dan malas pulang ke rumah." jawab Bian.
"Tapi biasanya orang dewasa lebih senang kalau tinggal tidak bersama orang tuanya. Dokter masih orang kan?" tanya Hanin dengan jail.
Pletak!
Satu jitakan yang tidak keras mendarat di kepalanya.
Hanin mengusap kepala bekas jitakan Bian, ia mendelik kesal ke arah Bian dan hanya dihadiahi tawa dari Bian.
"Dokter jail banget sih. Kalau saya terkena amnesia emangnya Dokter mau tanggung jawab?" tanya Hanin.
"Kalau kamu kena amnesia nanti saya bantu kamu dengan memberikan informasi-informasi yang begitu akurat tentang sifat menyebalkan kamu." jawabnya santai.
Hanin menggerutu dalam hati, bukannya Bian sendiri yang mempunyai jutaan sifat menyebalkan?
"Oh ya mengenai pertanyaan kamu tadi, sebenarnya saya pun ingin hidup sendiri tapi mommy gak ngasih izin. Mommy bilang akan ngasih izin kalau saya udah nikah." ucap Bian dengan nada frustasi yang begitu kentara.
Hanin terkikik geli, pria dengan usia yang hampir menginjak 30 tahun ini masih dikekang oleh ibunya sendiri.
"Gak usah ketawa!" ucap Bian kesal.
"Gak ada undang-undang yang melarang tertawa." balas Hanin sewot.
"Eh anak kecil ngebantah aja." kata Bian.
"Eh orang tua bawel amat." balas Hanin dan dihadiahi pelototan Bian.
"Kamu kebagian shift malam hari apa aja?" tanya Bian setelah mereka sama-sama terdiam.
"Sekarang hari Senin, dan nanti hari Kamis. Pokoknya seminggu saya dua kali shift malam." jawab Hanin.
"Berarti malam Selasa dan malam Jum'at dong. Ih serem Nin." ucap Bian dengan ekspresi takut yang dibuat-buat.
"Gak mempan sama saya Dok. Ada hantu tak lawan aja." ucap Hanin sambil tersenyum pongah.
"Dapat dimengerti sih, para hantu pasti takut sama kamu." ucap Bian sambil tertawa kecil.
"Bisa gak sih Dok sekali aja gak usah ngeledek saya?" tanya Hanin jengah.
"Kalau ngobrol sama kamu itu gak enak kalau ujungnya gak ngeledek kamu." Jawaban Bian membuat Hanin memutar bola matanya malas.
"Kalau udah shift malam kan sampai pagi ya. Besoknya kerja shift berapa?" tanya Bian.
"Dokter kepo ih. Tapi karena saya sedang berbaik hati saja jawab deh." Mendengar ucapan Hanin membuat Bian mencibir pelan.
"Saya kan shift malam dari jam 9 malam sampai jam 7 pagi. Nah besoknya langsung shift sore dari jam 2 siang sampai jam 9 malam, esoknya lagi shift pagi dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang. Terus aja gitu." jawab Hanin.
"Gak capek kalau misalkan nanti malam kan kamu shift malam dan besok langsung shift sore?" tanya Bian.
"Capek pastilah Dok. Tapi kan kita punya jeda 7 jam nah gunain untuk istirahat." jawab Hanin.
Bian tampak mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
"Kalau saya misalkan punya istri seorang Apoteker di rumah sakit ini, sudah pasti saya langsung suruh resign." ujar Bian.
"Istri Dokter kan bakalan Dokter lagi ngekhayal kok aneh." ucap Hanin.
"Misalkan Hanin ... misalkan, lagian kamu sotoy banget bilang istri saya bakalan Dokter." ujar Bian.
"Tapi kalau misalkan juga ya Dok saya punya suami yang nyuruh resign bakalan saya tantang balik buat dirinya juga resign." ucap Hanin.
"Terus kalian miskin dong?" tanya Bian.
"Ya gak papa, toh dia yang awalnya nyuruh berhenti kerja." jawab Hanin santai.
"Saya gak setuju! Istri itu harus nurut sama suami." ucap Bian.
"Suami juga harus ngerti istri dong. Masa baru nikah langsung disuruh berhenti kerja. Apalagi kalau udah lama dia menggeluti bidang itu, ya semuanya berproses lah." kata Hanin.
"Tapi dengan kerja seperti itu otomatis dong waktunya untuk suaminya berkurang?" tanya Bian.
"Itulah konsekuensinya menikahi wanita karier. Kan sebelum nikah juga udah tahu seperti apa kehidupannya." jawab Hanin.
"Saya kan hanya memberikan solusi supaya dia berhenti kerja dan bersantai di rumah. Masalah uang biar suaminya saja yang urus." kata Bian.
"Tapi itu bukan memberi solusi hanya memaksakan kehendak. Gak semua wanita senang hanya berpangku tangan sama suaminya saja." balas Hanin.
"Dok." Panggil Hanin ketika keduanya terdiam dan hanyut dalam pemikiran masing-masing.
"Hmmm." gumam Bian.
"Sebenarnya kita ngebahas suami istri siapa sih?" tanya Hanin.
"Gak tahu." jawab Bian.
"Kan Dokter yang mulai." kata Hanin.
"Kan kamu yang nyambung." ujar Bian.
Mereka saling berpandangan dan sedetik kemudian mereka tertawa bersama menyadari perdebatan unfaedah yang mereka lakukan.
***
Bian menatap malas televisi yang menyala di depannya. Ia duduk di ruang keluarga bersama daddy dan mommy-nya.
Jam di dinding baru menunjukkan pukul 8 malam.
"Bian kapan kamu mau nikah?" tanya sang ibunda.
Bian memutar bola matanya malas, kenapa mesti topik ini sih yang dibahas? Kalau orang lain yang bertanya 'kapan nikah' mungkin Bian bisa menjawabnya dengan jawaban yang sedang trend sekarang yaitu 'jangan tanya kapan nikah kecuali kalau lo mau biayain buat sewa gedung, dekorasi, pakaian dan wo nya.' Tapi masalahnya ini mommy nya yang pastilah beliau yang akan mendanai semuanya. Walaupun Bian sendiri mampu untuk itu. Tapi pernikahan kakaknya saja semua di biayai oleh orang tuanya, ya kecuali mas kawin dan seserahan yang diberikan oleh mempelai pria.
"Ditanya malah bengong." ujar mommy-nya kesal.
"Nanti Mom, kalau udah ada jodohnya." Bian menjawab dengan jawaban yang menurutnya paling aman.
"Kamu sama Carrol emang beneran gak ada apa-apa?" tanya mommy-nya kembali.
"Udah berapa kali Bian jelaskan. Kalau Bian sama Carrol pure cuma sahabatan." jawab Bian.
"Tapi Carrol sepertinya suka sama kamu Ian." kata daddy-nya menimpali.
"Enggak mungkin lah. Dia cuma nganggap Bian kakaknya dan juga sebaliknya." jawab Bian.
"Yah ... padahal mom pengen banget Carrol yang jadi mantu mom." ucap mommy-nya.
"Jangan gitu dong Mom. Kalau nanti calonnya Bian denger kan berabe dia gak enak lagi sama Mommy." ujar Bian.
"Kamu udah ada calon jadinya?" tanya Mommy-nya antusias.
Bian mendengkus. Lihat saja kelakuan Mommy-nya tadi ekspresinya sedih dan sekarang kentara banget binar-binar bahagianya.
Tapi setidaknya Bian bersyukur walaupun orang tuanya hidup dalam kondisi berkecukupan tapi tidak pernah memandang rendah orang lain. Mereka membebaskan anak-anaknya hidup dengan pilihan mereka sendiri. Tidak ada namanya jodoh-jodohan seperti di cerita novel atau di sinetron.
"Nanti kalau udah pasti, Bian bakal kenalin Mom dan Dad sama dia." ujar Bian.
Ekspresi tawa dari wanita yang Bian maksudkan langsung saja terlintas dalam ingatannya. Tanpa disadari Bian tersenyum ketika membayangkan itu.
"Wah ini sih bener, pake senyum-senyum lagi." ucapan daddy-nya membunyarkan lamunan Bian.
"Dia cantik Ian?" tanya mommy-nya dengan semangat.
"Cantik lah kan perempuan." ucap Bian sambil berdiri.
"Udah ah Bian mau ke kamar dulu, mau hubungi calon mantu Mommy." ucap Bian sambil beranjak.
"Mommy kasih waktu satu bulan buat kamu bawa dia kemari." ucap mommy-nya.
Bian tidak menjawab dan hanya mengangguk-angguk malas. Satu bulan? Sepertinya cukup sulit, pikir Bian.
Ia pun melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.
***
Hayoo siapa kira-kira calon mantunya Kia? Wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top