NOW PLAYING: BLAME - CALVIN HARRIS
Speaking of dogs, eh men... di belahan lain kota Jakarta, tersebutlah dua orang cowok di kafe Espresso Yourself yang sedang sepi pengunjung. Yang satu memilih menutup mulut sejak tadi, sedang yang satunya lagi menatap layar handphone dengan wajah muram. Cowok yang punya awan kelabu di atas kepalanya itu adalah Mahir Siregar dan yang sedang ditontonnya adalah Instagram Story mantan cantiknya.
"She looks very sad," ujar Mahir dengan suara seperti tercekik.
Untuk kali kesekian, Instagram Story itu diputar ulang di handphone. Kembali menampilkan Annika yang sedang sendirian di balkon belakang apartemennya, terlihat dramatis dengan kombinasi maskara luntur karena air mata dan pemandangan matahari terbenam di belakangnya. Cewek itu berjongkok ketika terisak-isak sambil membakar foto-foto Instax-nya bersama Mahir. Nggak hanya itu, sambil menatap lurus-lurus ke arah kamera, Annika membacakan puisi ikonik dari film Ten Things I Hate About You.
"I hate it the way you talk to me, and the way you cut your hair." Suara Annika terdengar sengau saat mengucapkan kalimat awal puisi tersebut. "I hate the way you drive my car. I hate it when you stare...."
'I hate your big dumb combat boots
And the way you read my mind
I hate you so much that it makes me sick
It even makes me rhyme.'
Mahir menelan ludah dan berdebar-debar menunggu bait berikutnya—kebalikan Luc yang duduk di sebelahnya sejak tadi. Cowok itu menghirup espresso-nya tanpa suara sembari mencoba nggak tampak risih saat mendengar suara Annika. Sesuatu yang amat sangat sulit dilakukan karena Mahir menyetel volume handphone-nya hingga maksimal. Salah satu staf kafe saja sampe curi-curi pandang ke arah mereka. Hadehhh!
'I hate the way you're always right
I hate it when you lie
I hate it when you make me laugh
Even worse when you make me cry.'
Di Insta Story selanjutnya, cewek itu sempat berhenti sebentar untuk menyusut ingusnya. "I hate it when you're not around, and the fact that you didn't call." Annika memejamkan mata dan setetes air mata jatuh secara dramatis di pipi mulusnya. "But mostly I hate the way I don't hate you."
Mahir menekan layarnya sebentar, berusaha menghentikan jalan video Insta Story itu, tapi nggak bisa. Tanpa daya, seluruh indra di dalam tubuhnya dipaksa untuk fokus pada video selanjutnya. Klimaks, to be exact.
"Not even close, not even a litle bit, not even at all." Annika meremas-remas tisu kumal yang sedari tadi dipakai untuk menghapus air mata dari wajahnya. Cewek itu memaksakan diri untuk tersenyum, berusaha terlihat tegar, tapi sayang suaranya nggak mencerminkan niat itu. Suaranya serak dan masih bergetar ketika berkata, "Sorry, Guys, karena ngeliat gue dalam keadaan terpuruk begini. Tapi memang begitulah cinta. Sekarang ngasih kamu bahagia, di saat lain bikin kamu serasa ingin mati aja."
Annika kemudian membekap mulutnya yang tampaknya bersiap-siap untuk terisak lagi. "I try not to miss him, but in the end... I still do."
Ketika firasatnya bilang Mahir bermaksud untuk mengulang Insta Story Annika lagi, Luc bangkit untuk merampas handphone itu dari tangannya. Suara isak tangis yang familier kembali terdengar, membuat cowok itu menekan-nekan tombol Home dengan kasar hingga akhirnya keluar dari aplikasi Instagram.
"She still loves me," ujar Mahir dengan nada terluka.
"Are you fucking kidding me?! No, she doesn't!"
<<
Meskipun nggak pernah disampaikan langsung ke Mahir, Luc nggak menyetujui hubungan teman baiknya itu dengan Annika.
Awal pertemuan mereka pun sudah sangat mencurigakan: cewek itu mencegat Mahir dan Luc selesai mengisi sebuah acara fashion show di sebuah mall. Annika adalah salah satu model di runway ketika itu. Annika tersenyum semanis sakarin ketika menyodorkan selembar kertas dan bolpoin, "I'm your biggest fan, Mah!" Nggak cukup hanya minta tanda tangan, Annika bersikeras mengajak Mahir mengobrol sebentar di kafe dekat situ. Mahir nggak menolak sama sekali.
'Sebentar' versi Annika berubah jadi percakapan ngalor-ngidul selama dua setengah jam. Jeleknya lagi, selama itu, baik Mahir maupun Annika sama-sama nggak menyadari keberadaan Luc. Cowok itu dibiarin duduk nganggur di sebelah, main HP dengan muka bete.
Lalu, sebelum berpisah, Annika lagi-lagi berhasil merayu Mahir untuk meminta nomor kontaknya. Luc sempat melarang dengan pelototan tajam, tapi asli dicuekin.
"Hati-hati lho sama penggemar. They can be crazy sometimes," kata Luc.
"Secantik itu crazy?" Mahir tertawa. "Yeah right."
Yeah right, it is.
Nggak sampe seminggu sejak kenalan itu, out of the blue Mahir mengumumkan hubungannya dengan Annika. Cinta pada pandangan pertama, katanya.
Luc nggak komentar apa-apa, meskipun dalam hati belum bisa menepis rasa curiga yang terus-menerus mengganggunya. Si Annika-Annika itu nggak mungkin se-harmless yang diceritain Mahir selama ini, dia membatin—tapi sayangnya, ketika itu dia masih nggak punya buktinya.
Dan di awal-awal hubungan mereka pun, Annika memperlihatkan sikap wajar seorang cewek yang sedang jatuh cinta. Saking wajarnya, Luc sempat menyalahkan dirinya yang terlalu negative thinking....
... sampai suatu hari Mahir cerita, dia membelikan Annika studded pumps Alexander McQueen di Ebay. 'Konon', awalnya, Annika nitip beli dengan kartu kredit Mahir—nanti langsung diganti. Tapi Mahir malah bilang, nggak apa-apalah kalo sesekali beli hadiah kecil untuk pacarnya.
Kening Luc berkerut. "Hadiah kecil? Memangnya harganya berapa?"
"$902, plus ongkir."
"Semahal itu buat sepatu doang?!"
Mahir tertawa kecil. "Biasalah, cewek. Sukanya barang-barang branded."
Luc nggak ikut tertawa. Firasatnya ketika itu bilang, Annika akan melakukannya lagi di lain kesempatan.
Tebakannya benar.
>>
Merasa kepalanya berdenyut-denyut karena marah, Luc mengulang dengan lebih sabar, "She loves the fame—and your money. Udah berapa kali Annika minjem uang lo dan nggak pernah kembali?"
Mahir terdiam, lebih karena dia tahu persis jawabannya: berkali-kali sampe tabungannya terkuras habis. Awalnya, cowok itu juga bingung kenapa Annika segitunya butuh uang. Karier modeling-nya terbilang sukses, jadwalnya selalu disibukkan dengan pemotretan, pagelaran busana, dan serenceng undangan pesta ini-itu. Hanya Luc yang kemudian memaksanya membuka mata pada kenyataan kalo kondisi keuangan Annika itu masuk di kategori 'besar pasak daripada tiang.' Honor yang dia dapat dari modeling nggak sebanding dengan besarnya pengeluaran untuk gaya hidupnya sehari-hari.
Annika Sawitro is living a high-end life. Semua kosmetiknya harus dari merek ternama—dia bilang, kulitnya yang supersensitif nggak cocok pake kosmetik murah. Yeah, mungkin perawatan kulitnya harus yang harganya juta-jutaan—tapi make-up? Cewek itu nggak punya pembenaran untuk alasannya membeli lipstik yang harganya tujuh ratus ribu lebih (dan dia punya lebih dari sepuluh).
Pakaiannya juga begitu. Baik sehari-hari maupun gaun pesta, kalo bukan rancangan desainer terkenal, ya custom-made. Annika bahkan punya tiga—TIGA!—tas limited edition Louis Vuitton, hasil kolaborasi dengan Jeff Koons. Luc ingat dia nyaris tersedak air mineral ketika salah satu kenalannya yang fashionista abis mengenali tas yang dijinjing Annika di salah satu foto Instagramnya, lalu tiba-tiba nyeletuk kalo harga retail satuannya hampir mencapai sembilan puluh juta rupiah.
"Annika nyaris bikin lo bangkrut, Mah, dan bisa-bisanya lo iba sama air mata buayanya itu sekarang!" Luc mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. "She's abso-fuckin-lutely bad news, Man. Dan ini sekaligus pelajaran berharga buat lo: stop macarin fans lo sendiri! Nggak hanya direpotin pas putus, lo juga dijelek-jelekin abis-abisan kayak gini dan orang-orang percaya aja."
"Dia minta maaf berkali-kali, Luc." Dada Mahir terasa sesak oleh perasaan sentimental. "Sepertinya, dia bener-bener nyeselin perbuatannya selama ini."
Pernyataan itu membuat mata Luc berkilat-kilat penuh amarah. "Dan lo nyimpulin itu dari mana? Hanya karena dia nangis-nangis bombay di Insta Story? Bacain puisi yang bahkan bukan karyanya sendiri?"
Mahir nggak bisa menjawab pertanyaannya barusan.
Setelah hening yang menegangkan sesaat, "That's a thing about woman, Mah," Luc berkata. "Menangis itu trik andalan mereka. Senjata yang terbukti ampuh untuk memanipulasi keadaan supaya berbalik menguntungkan mereka."
"Lo nggak boleh sesinis itu." Mahir menyugar rambutnya ke belakang, terdengar sedikit defensif saat melanjutkan ucapannya, "Cewek adalah makhluk sensitif. Dan air mata adalah media untuk mengekspresikan kelembutan hati mereka."
"I see." Suaranya terdengar sinis. "Jadi lo percaya Annika bener-bener serius mau berubah?"
Mahir mengangguk meskipun wajahnya terlihat ragu.
"Minta bukti konkret kalo gitu." Luc mendesah jengkel ketika menegakkan posisi duduknya. "Suruh dia lunasin semua utangnya ke elo. Kalo Annika bersedia ngelakuin itu, nggak hanya maaf, Mah, gue juga bakal bela-belain nyium tangannya."
Mahir menggeleng lemah. "G-gue nggak berharap Annika ganti kok. Kalopun iya, nggak semua juga tak apa. Sebatas kemampuan dan kerelaan hatinya aja."
Luc mendengus jijik. "Tuh kan, gue bilang juga apa. Air mata Annika sukses bikin rasa bersalahnya pindah ke elo."
"...."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top