Brooklyn
*play the song
Hari pertama semester baru dimulai (dua minggu setelah Retta kembali ke Brooklyn)
Retta's Pov
Hari pertama di semester baru berjalan normal. Walaupun teman seangkatanku mayoritas sudah lulus dan sedang menunggu graduation day yang hanya tinggal beberapa minggu lagi, tapi untungnya masih ada juga yang sekelas denganku.
Sejak hari pertama aku kembali ke kota ini, aku sama sekali belum menghubungi atau menemui Jingga. Aku masih memegang janji kami di mana dia akan menghubungiku terlebih dahulu ketika dia sudah siap, dan selama hal itu belum terjadi, sepertinya aku akan menahan diriku untuk tidak menemuinya.
Kelas terakhir di hari ini sudah selesai. Aku pun memilih untuk duduk-duduk di taman kampus yang tidak jauh dari lapangan rugby. Dari taman ini, kami bisa melihat tim rugby yang berisi cowok-cowok keren berotot sedang berlatih. Ya, walaupun aku tidak memiliki minat sama sekali, tapi taman ini adalah salah satu spot terbaik untuk menikmati sore hari.
Aku memakai airpods lalu mendengarkan lagu yang tersambung dengan ponselku. Semilir angin yang berhembus, daun-daun yang berguguran, udara yang menyegarkan, dan langit yang mulai berubah warna menjadi jingga terlihat sangat indah. Aku benar-benar rindu suasana ini. Aku pun mulai memejamkan mata untuk lebih menikmatinya.
Lalu ketika aku membuka kedua mataku, aku mendapati sosok Jingga sedang duduk di depanku sambil menatapku dengan ekspresinya yang tidak bisa aku tebak.
"Astaga," ucapku kaget.
Dia masih diam menatapku dengan lekat.
Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk tenang sambil membenarkan posisi dudukku.
"Hai.. Dee.." sapaku salah tingkah.
Jingga menghela nafasnya. "Dari kapan di sini?"
"Emmm.. 10 menit lalu," jawabku.
Dia terlihat sedikit kesal. "Bukan di taman ini, tapi di Brooklyn."
"Ooh.. two weeks ago," aku menjawabnya dengan sangat hati-hati.
"Kenapa gak kasih tahu?"
"Kan, nomor aku.. masih.. di-block sama kamu."
"Masih simpen nomornya Kak Ellina kan?"
"Hemm.. aku cuma berusaha untuk tetap pegang janji kita. Aku akan temuin kamu kalau kamu hubungin aku duluan dan kamu udah siap untuk ketemu lagi."
"Tapi ujung-ujungnya percuma kan? Aku bakal lihat kamu juga di kampus."
"Aku pikir kamu udah gak ke kampus lagi, kan tinggal nunggu graduation."
Jingga kembali menghela nafasnya, dia sempat terdiam untuk beberapa saat, lalu tiba-tiba saja Jingga langsung memeluk tubuhku dengan sangat erat.
"Gue kangen banget sama lo Rettaaaaaa! Lo kenapa nyebelin banget sih? Iiissh," lalu Jingga memukul tubuhku kesal.
"Aduh, duh, iya, iyaa maaf Dee."
"Sumpah ya, lo tuh manusia paling nyebelin tau gak!" dia masih memukulku.
"Iya gue emang nyebelin, maaf yaaa."
Jingga menghentikan aksi memukul sebalnya itu. "Huh.. percuma bikin janji kayak gitu juga kalo tiap hari gue kepikiran lo."
Aku tersenyum menatap sahabat kecilku itu. "Mikirin gue sebagai apa nih?"
"Sahabat lah, apaan lagi?"
Aku mencoba menenangkannya. "Yaudaah, jangan ngegas gitu dong."
Jingga melipat kedua tangannya. "Ngapain lo balik ke sini?"
"Ya, lanjutin kuliah gue lah Dee."
"Oh, kok bisa lebih cepet dari plan awal?"
"Bisnis di Jakarta udah bisa gue lepas."
"Hemm, gitu. Terus selama dua minggu ini tinggal di mana?"
"Apartemen lama kita, tapi beda unit. Kan yang unit dulu kita tinggalin udah disewa orang."
"Oh, gitu," sahutnya singkat. Jingga memang tidak pernah berubah.
"Emmm.. lo kenapa ke kampus?"
"Abis ambil invitation buat graduation nanti."
"Terus jadinya Papa atau Mama yang ke sini?"
"Mama, Papa ada kerjaan yang gak bisa ditinggal."
"Adik-adik?"
"Sama Bude Tati."
Aku mencoba membaca raut wajah Jingga. Terakhir aku bertemu dengannya ketika dia mengantarku ke bandara dulu. Saat itu kami sudah menyelesaikan permasalahan hati kami. Jingga melepasku untuk mengejar Tania, tapi ternyata takdir berkata berbeda. Tania sudah memilih Reno sebagai pasangannya dan Jingga belum mengetahui itu semua.
"Kenapa lihatin gue kayak gitu?" tanyanya jutek.
Aku tersenyum. "Gak apa-apa. Gue udah lama aja gak natap wajah lo Dee."
"Hemm."
"Lo udah mau balik?"
"Iya, udah. Kenapa?"
"Dinner dulu yuk?"
"Di rumah Kak Ellina aja, Theis pasti kangen sama lo."
"Is that okay for you?"
Dia menganggukkan kepala.
"Okay then. Shall we go now?" Aku berdiri kemudian mengulurkan sebelah tangan ke Jingga untuk membantunya berdiri.
Jingga sempat melihat ke arah tanganku, namun kemudian dia meraihnya dan ikut berdiri.
"Untung aja gue udah kebal sama yang kayak-kayak gini. Udah ayo jalan," ucapnya sembari melengos di depanku.
Aku sedikit tertawa lalu menghampirinya lalu merangkul bahunya dan mengusap kepalanya.
"My best friend is back!"
"Berisik!" sahutnya kembali membuatku tertawa.
Ketika kami sampai di rumah Kak Ellina, dia terlihat kaget sekaligus senang karena aku sudah kembali berkuliah di sini. Theis yang awalnya hanya melihatku diam-diam, akhirnya mau juga aku gendong setelah kami selesai makan malam bersama. Sehabis mengobrol di ruang tengah, Jingga mengajakku ke kamarnya.
Aku duduk di sisi pinggir tempat tidurnya sambil melihat ke segala penjuru ruangan ini. Di dekat meja belajarnya, masih ada satu bingkai yang berisi foto kami berdua ia pajang di sana.
Jingga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian tidur dan rambutnya yang setengah basah. Dia duduk di sampingku lalu memerhatikanku dari kepala hingga ujung kaki.
Aku bingung menatapnya. "Kenapa?"
"Rambut dipotong dan juga diwarnain, lengan udah mulai kebentuk, kuping kanan ditindik 3, lalu apa lagi yang beda dari lo Ta?" tanyanya.
"Wow, baru ada 2 jam kita ketemu, lo udah bisa lihat perbedaan di badan gue ya."
"Di Jakarta jadi rajin lagi olahraganya? Basket?"
Aku menggeleng. "Nope, gym."
"Pantes."
Kini giliran aku yang memerhatikan dirinya. "You look same, beautiful as usual."
"Sweet taaaalk..." ejeknya.
"Haha, lo masih sama seperti Jingga yang gue kenal dari bayi. Gak pernah berubah."
"Lo salah."
Aku mengerutkan dahi. "Maksudnya salah?"
"Gue udah beda sekarang."
"Hemm?"
Dia menoleh ke arahku sejenak lalu tersenyum penuh arti. "Gue udah bergelar Master, hahaha."
"Iihh reseeee. Gue pikir apaan serius gitu, gak taunya malah mau congkak."
"Hahaha. Gimana kabar lo Ta?" tanya Jingga.
"Baik. Lo sendiri gimana? How was life?"
"It's tough but all good now. Gimana sama Ketan? Dia ditinggal lo lagi dong?"
Aku menundukkan kepala sambil tersenyum. Lalu aku menatap lekat wajah Jingga. "It's over."
Dia mengerutkan dahinya menatapku penuh dengan tanda tanya. "Maksudnya it's over?"
"I was too late Dee. She choose Reno."
Jingga terdiam dan suasana kamar ini seketika menjadi hening.
Aku menoleh ke Jingga, dia menatap mataku dalam.
"Kalo gitu, gak seharusnya gue ngelepasin lo dulu," ucapnya kemudian.
"Itu udah jadi resiko gue Dee."
Dia menghela nafasnya. "Hemmm, sejak kapan Ketan milih Reno?"
"Sejak gue balik dari sini."
"What? Bukannya saat itu lo bilang kalo lo udah baik-baik sama dia ya?"
Aku menggeleng.
"Why? Why did you lie to me?"
"Gue, gue cuma gak mau ngebebabin pikiran lo lagi Dee."
Jingga masih menatapku, ekspresinya berubah marah dan dia terlihat sedang mengatur nafasnya.
Sedetik kemudian, "plaaak." Jingga menampar wajahku membuatku seketika kaget dan shock.
"You deserve to get that," ucapnya.
Aku masih menatapnya sambil memegang sebelah pipiku.
"I'm sorry, Dee," ucapku merasa bersalah karena sudah membohonginya.
Ekspresi Jingga melunak, dia kembali mengatur nafasnya lalu dia memeluk tubuhku.
"Tamparan tadi untuk kebohongan lo ke gue selama ini. Gue gak tahu gimana rasanya ada di posisi lo ketika lo harus menghadapi itu semua sendirian. Gue minta maaf karena gak bisa ada di samping lo sebagai sahabat lo Ta," bisiknya.
Aku membalas pelukannya. "It's okay Dee, gue pantas ngedapetin itu semua."
Terdengar Jingga menarik nafasnya sangat dalam. Lalu dia melepaskan pelukannya dan kembali menatapku.
"Dari terakhir kali kita ketemu, gue sangat berusaha untuk mentralisir perasaan gue ke lo Ta karena gue tau kalau lo cintanya sama Tania. Dan sekarang, lo kembali ke sini dan kasih tahu gue kalau sebenarnya selama ini lo gak sama dia, gue harus bersikap apa?"
"Lo gak harus bersikap gimana-gimana Dee, cukup lo menjadi Adeeva Jingga, sahabat gue dari kecil yang tahu baik buruknya gue, yang tahu semua kejelekan dan kebodohan gue, yang tahu gue luar dalam, dan yang selalu ada di samping gue untuk menguatkan dan menghibur gue. Itu semua udah lebih dari cukup Dee."
Jingga kembali menghela nafas. "Okay, gue udah janji sama diri gue sendiri untuk tidak akan pernah lagi memiliki perasaan lebih ke sahabat gue, yaitu lo. So, best friend?" Jingga mengulurkan jari kelingkingnya.
Aku tersenyum lalu melingkarkan jari kelingkingku di jari kelingkingnya. "Best friend."
Lalu kami kembali berpelukan erat melepaskan rindu yang selama ini menggebu. Aku bisa merasakan kalau Jingga sudah menerimaku kembali menjadi sahabatnya. Dia juga menerima kenyataan kalau di antara kami tidak akan bisa pernah menjalin hubungan yang lebih dari seorang sahabat.
Kami berdua sama-sama tersenyum lalu aku memegang sebelah pipiku yang tadi ditampar olehnya.
"Sakit ya Ta? Maaf ya kalau kekencengan, I don't mean it," ucapnya merasa bersalah sambil ikut memegang pipiku.
"That was the first time you slap me on my face. You make me shock Dee," sahutku.
"Yaudah, yaudah, gue kompres ya?"
Aku menahannya untuk tidak berdiri dan tetap duduk di sampingku. "Gak usah, di sini aja."
Dia menganggukkan kepalanya. "Iyaaa."
Dan malam itu kami habiskan waktu dengan mengobrol banyak hal hingga aku menginap di rumah Kak Ellina. Jingga-ku sudah kembali seperti dulu lagi. Aku senang karena kami tetap menjadi sahabat baik setelah semua hal pelik yang telah terjadi.
"A true friend is someone who understands your past, believes in your future, and accepts you just the way you are." - Unknown
Brooklyn.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top