UKS

Tania's Pov

Sudah satu bulan berlalu dari kejadian di kamarku malam itu. Tidak ada yang berubah walaupun beberapa hari setelahnya aku dan Kak Retta sama-sama canggung. Tapi Kak Retta kembali bersikap normal pas kami latihan basket bersama. Baik aku maupun Kak Retta, kami berdua tidak pernah membahas hal tersebut lebih jauh. Entahlah, aku bingung harus mengasumsikan sikap Kak Retta ini bagaimana.

"Sist, bengong aja. Kesambet lho siang-siang diem di depan kelas sendirian," suara Uben mengagetkanku.

"Duh Uben sayang, ngagetin aja deh ah. Abis pada dari mana sih? Kok gue gak diajak?" ucapku melihat Uben, Dhea, dan Indira membawa beberapa bungkus chiki dan minuman.

"Makanya kalo pas istirahat tuh jangan ngabur sendirian gitu aja. Kebiasaan lo akhir-akhir ini nih aneh tau gak," gerutu Dhea.

"Iyaa maaf sih, gue tadi kebelet terus langsung ke toilet eh pas balik ke kelas lo semua udah pada gak ada. Gue nya ditinggal terus, sebel," aku mengembungkan pipi.

Dhea memutar bola matanya malas, "ya lagian kerjaannya ngabur terus, ditinggal lah."

"Bodo ah, sini minta chikinya," aku mengambil paksa chiki dari tangan Dhea.

"Ah elah kebiasaan maen ambil aja. Eh Tan, balik sekolah lo gak ada latihan kan? Temenin gue bentar dong rapat mading, paling cuma 1 jam aja kok. Ya ya ya?" Wajah ada maunya Dhea keluar.

"Hemmm," gumamku sambil mengunyah chiki rasa keju miliknya.

"Okeeee," sorak Dhea.

.

.

.

Bel pulang sekolah berbunyi

Dhea langsung menarik tanganku menuju ke ruang lab kimia yang ada di lantai dasar sekolah kami. Sudah ada beberapa anak mading duduk di depan lab, aku dan Dhea pun berbaur bersama mereka. Sampai akhirnya ada Kak Yura selaku wakil ketua ekskul mading meminta anggotanya untuk segera masuk. Aku pun memutuskan untuk menunggu Dhea di luar.

Biasanya kalau ada rapat mading pasti ada Kak Jingga, tapi kok aku tidak melihatnya ya sejak tadi? Mataku pun menjelajah ke setiap ruangan di sekolah. Di lantai dua hanya ada beberapa anak kelas XI, Kak Retta juga tak terlihat di depan kelasnya. Di lapangan basket ada beberapa anak cowok lagi pada main futsal, termasuk si Adrian. Aku pun bosan dan akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan sambil melihat tanamanku.

Aku melewati belakang ruangan TU untuk menuju ke sana. Tempat ini memang sangat sepi, entah kenapa anak-anak di sekolah kami sangat jarang ada yang mau duduk-duduk di sini. Padahal menurutku tempat ini lumayan cozy untuk ngobrol-ngobrol santai.

Aku pun langsung menuju ke pot milikku. Haha lucu rasanya kalau mengingat kejadian ospek dulu. Gara-gara tanaman ini aku bisa dekat dengan Dhea dan juga lebih mengetahui sifat misterius Kak Jingga. Ketika aku ingin kembali ke ruang lab kimia, tiba-tiba saja ada Kak Ajeng dan dua temannya muncul mendekat ke arahku.

Aku melihat ke sekeliling tempat ini tapi tak ada satupun siswa yang lewat. Duh, ada apa lagi nih si Ajeng.

"Eh lo bocah, haha sendirian juga lo akhirnya," ucap Ajeng berlagak sengak.

"Duh apaan sih Kak? Gue mau ke lab kimia," aku berusaha melewati mereka tapi langsung dihadang oleh dua orang temannya.

"Yaelah di sini dulu aja kali seneng-seneng," ucap salah satu temannya.

Aku hanya memutar bola malas dan masih berusaha berjalan melewati mereka bertiga.

"Kok lo songong sih?!" Ajeng kembali emosi dengan mendorong tubuhku.

Aku tidak takut sama sekali sama mereka bertiga, hanya saja jika aku melawan akan percuma karena mereka pasti beraninya keroyokan.

"Mau apa lagi sih Kak?" tanyaku malas ke Ajeng.

"Wuah Jeng, nyolot banget matanya si Ketan nih," ucap salah satu temannya lagi.

"Gak apa-apa, biarin aja dia lewat. Nih princess, silahkan lewat," Ajeng membukakan jalan untukku.

Aku pun ragu dan mengerutkan dahi padanya, tapi yasudahlah aku lewat saja.

Ketika aku berjalan melewati Ajeng, sebelah kakiku dihadang oleh kakinya dan punggungku didorong dari belakang sehingga aku tersungkur jatuh.

"Aduh," ringisku lalu langsung menatap mereka geram.

Ada sedikit rasa nyeri di dengkul sebelah kanan. Aku berusaha berdiri tapi kembali didorong oleh temannya.

"Lo bertiga mau apa sih?" tanyaku sudah mulai emosi.

Ajeng mengambil sebuah pot bekas berisikan tanah dan ingin melemparkannya ke tubuhku yang masih terjatuh.

"Eh, mau ngapain lo?" teriak seseorang yang sangat familiar dari belakangku.

Belum sempat aku melihatnya, dengan cepat orang tersebut berdiri di depanku. Parfum ini, rambut panjangnya yang sengaja digerai, dan suara ketusnya, Kak Jingga, Kak Jingga berdiri tepat di depanku.

"Tan lo gak apa-apa?" tanya Kak Jingga sambil membantuku berdiri.

"Gak apa-apa Kak," jawabku dan Kak Jingga kembali menatap geram Ajeng.

"Eh lo bertiga senior gak tau diri, lo mau apa sih dari Ketan? Lo mau gue laporin ke guru BK kalo lo bertiga nge-bully adek kelas? Gue punya buktinya!" ancam Kak Jingga.

"Cuih, lagi-lagi ada pahlawan kesiangan nih Jeng. Mau sekalian aja gak nih?" tanya temannya Ajeng.

Ajeng menatap Kak Jingga dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Kak Jingga juga menatap balik Ajeng dengan sangat mengintimidasi.

"Gak usah, kita cabut aja," ucap Ajeng membuat kedua temannya dan aku kaget.

"Hah? Lo serius Jeng? Lo gak takut sama ancaman bocah kutu buku ini kan?" tanya temannya lagi.

Ajeng tak menjawab, "udah yuk cabut." Ucapnya sambil menarik kedua tangan temannya.

Namun sebelum Ajeng benar-benar pergi meninggalkan kami, Kak Jingga memanggilnya.

"Ajeng Nena Widya, jangan sekali-kali lagi lo gangguin Tania kalau lo gak mau nyesel. Ini peringatan pertama dan terakhir buat lo!" ancam Kak Jingga lagi dan tatapan Ajeng terlihat agak takut, lalu mereka bertiga pergi.

Ada apa ya antara Ajeng dan Kak Jingga?

Kak Jingga kembali menatapku. "Lo beneran gak apa-apa?"

"Eng... engga apa-apa kok Kak," dalihku menahan perih di dengkulku.

Kak Jingga melihatku dari atas sampai bawah. "Ikut gue ke UKS," ucapnya.

"Hah?"

"Again?"

"Hah?"

"Duh sumpah ya Ketan. Udah deh ah gak usah kebanyakan ngomong hah, ikut gue ke UKS sekarang! Pelan-pelan aja jalannya!"

Dan aku pun hanya mampu mengikuti perintah Kak Jingga tanpa berani melawannya. Ketika kami sampai di ruang UKS, Kak Jingga meminta ijin ke Bu Ismi untuk memakai salah satu bangku di dalam.

"Duduk situ," perintah Kak Jingga lagi.

Tak lama kemudian Kak Jingga membawa obat merah, kapas, plester, dan gelas berisikan air.

Kak Jingga setengah berjongkok di depanku sambil mengambil kapas yang ia masukkan ke dalam gelas yang dibawanya.

"Kak, Kak Jingga mau apa?" tanyaku bingung dan merasa tak enak dengan perlakuannya.

"Gak usah berisik, diem aja duduk manis," jawabnya ketus tanpa memedulikan perkataanku.

"Duh Kak, ngapain sih?"

"Sssttt!!"

Dan dirinya mulai membasuh luka di dengkul kananku dengan kapas yang sudah ia basuh dengan air. Dengan telaten Kak Jingga kemudian mengolesinya dengan obat merah yang ia tuangkan sedikit demi sedikti ke kapas. Setelah itu, ia menutupnya dengan kapas baru dan ia lekatkan dengan plaster.

"Ada yang luka lagi gak?" tanya Kak Jingga padaku yang masih diam terpaku melihatnya sejak tadi.

"Tan, Ketan?" panggilnya lagi.

"Hah? Iya? Apa Kak?"

Kak Jingga berdecak, "ck, ada yang luka lagi gak? Buruan deh, gue mau rapat mading nih."

"Hah?"

Kak Jingga menghela nafas, lalu sebelah tangannya memeriksa dengkulku satunya lagi, lalu telapak tanganku, lalu ke wajahku.

"Kayaknya gak ada lagi. Udah gak sakit kan?"

"Emm, eng-engga Kak."

"Yaudah kalo gitu," ucapnya sambil membereskan kembali peralatan P3K yang ia pinjam. Kak Jingga kemudian pamit dan mengucapkan sesuatu ke Bu Ismi lalu pergi meninggalkanku sendirian di sini.

Aku pun mengerjapkan mata beberapa kali dan aku baru tersadar. "Kak Jingga baru aja bantuin gue dari si Ajeng, ngobatin luka gue, dan pergi gitu aja ninggalin gue di UKS tanpa ngomong apa-apa?!" batinku.

"Haha kenapa Tania? Kok kamu kayak baru kesambet petir aja," tanya Bu Ismi membuyarkan lamunanku.

"Eh, hehe engga Bu gak apa-apa. Sa-saya pamit ijin keluar ya Bu," ucapku sopan.

"Haha kamu bingung ya sama sifatnya Jingga? Jingga emang seperti itu kok, gak suka basa-basi tapi langsung beraksi. Tadi Jingga nitip ke Ibu katanya kalau kamu mau pulang tungguin dia aja di depan lab kimia soalnya tadi dia buru-buru karena udah telat ikutan rapat mading," jelas Bu Ismi.

"Oh iya Bu, terima kasih. Saya ke lab kimia aja kalau gitu, permisi Bu," aku pun akhirnya kembali duduk di depan lab kimia.

Setelah menunggu sekitar 20 menit, satu persatu anak mading keluar. Dhea pun langsung menghampiriku.

"Lah Tan, kenapa itu dengkul lo?" tanya Dhea heran.

"Hah ini? Haha gak apa-apa, tadi gue lagi jalan terus kesandung," dalihku lagi.

"Ah lo mah kebiasaan kalo jalan selalu meleng. Udah ayo pulang," ajak Dhea.

Tiba-tiba saja Kak Jingga menghampiri kami. "Dhe tunggu bentar, Tania hari ini biar gue aja yang anter."

"Serius Kak?" tanya Dhea tak percaya, aku pun juga.

"Iya serius. Udah lo balik aja, lagian juga kan lo harus beli peralatan besok. Jadi mending lo siapin buat besok aja ya."

"Oh oke Kak. Yaudah deh Tan, gue balik ya. Dah Kak Jingga dan Tania," Dhea pun meninggalkan kami berdua di sini.

Suasana kembali awkward, aku tak tau harus membicarakan hal apa ke Kak Jingga. Kami berdua pun berjalan menuju ke parkiran mobil.

Kak Jingga membuka obrolan. "Kaki lo masih sakit gak?"

"Emmm? Engga Kak," jawabku.

"Okay," sahutnya singkat.

Suasana kembali hening sampai akhirnya kami sudah berada di depan mobil Kak Jingga.

"Aku gak apa-apa nih dianter sama kakak? Aku naik ojek aja deh Kak," ucapku merasa tak enak ke Kak Jingga.

"Udah deh gak usah bawel. Lo masuk ke dalem mobil sekarang, gue mau ajak lo makan dulu karena ada hal yang mau gue obrolin ke lo." Seketika itu juga detak jantungku jadi tak karuan, duh Kak Jingga mau ngomongin apa sih. Kak Retta juga di mana lagi ini?!

Kami pun akhirnya pergi meninggalkan sekolah dan Kak Jingga mengajakku makan di salah satu restaurant manado. Selama di perjalanan kami saling diam sambil mendengarkan radio yang Kak Jingga setel di mobilnya. Sesampainya di tempat makan, Kak Jingga langsung memilihkan beberapa makanan dan kami berdua duduk di bangku yang berada di pojok ruangan.

Kak Jingga duduk di depanku lalu ia menatapku. "Lo tadi diapain sama si Ajeng?"

"Emmm, tadi dia nyengkat kaki aku Kak dan kayaknya temennya dorong punggung aku jadinya aku jatuh pas jalan di depan mereka," jawabku.

"Tadi kenapa lo bisa ada di sana sendirian?"

"Ya aku sih niatnya mau liat pot punya aku, eh tiba-tiba aja tuh 3 nenek lampir muncul udah kayak makhluk astral aja."

Kak Jingga terlihat sedikit tersenyum sambil menahan tawa, dan dia berdeham beberapa kali agar terlihat tetap cool, sepertinya.

"Si Ajeng ngomong apa aja ke lo? Ngancem yang aneh-aneh gak?" tanya Kak Jingga lagi.

"Engga sih Kak, cuma ya gitu deh nyolotin aja. Aku tuh sebenernya gak takut cuma ya mereka curang beraninya bertiga," jawabku jadi sebal lagi kalau ingat si Ajeng.

"Hemm lain kali kalo dia aneh-aneh ke lo, lo bilang sama gue ya. Tapi gue yakin sih dia gak akan berani lagi sama lo."

"E-emang kenapa Kak Jingga bisa bilang gitu?"

Kak Jingga menggelengkan kepalanya, "udah lo tenang aja, gue jamin Ajeng gak bakal berani jahilin lo lagi. Lagian juga beberapa bulan lagi tuh manusia rese bakal lulus dari sekolah."

Aku mencoba mencerna ucapan Kak Jingga. "Aku boleh tanya gak Kak?"

"Ya boleh aja, tanya apa?"

"Kak Jingga tadi kenapa tiba-tiba ada di sana?"

"Oh itu. Gue tadi abis dari ruang TU ngurusin absensi kelas terus gak tau kenapa gue iseng aja mau lihat ke belakang, dan ternyata lo ada di sana dengan posisi jatuh kayak gitu."

"Emmm, ma-makasih ya Kak."

"Untuk?"

"Ya udah tolongin aku dan tadi obatin aku di UKS, makasih Kak."

"Iya sama-sama," sahutnya masih dengan wajah datar.

Tak lama kemudian, makanan yang dipesan Kak Jingga datang. Ada sambal ikan roa, cumi hitam, bakwan jagung, dua potong ayam balado, dan dua piring nasi merah disediakan di atas meja kami.

"Banyak banget Kak?" aku langsung bertanya ketika melihat jajaran makan tersebut.

"Iya, biar lo gendut. Abisin," sahutnya super santai membuatku kembali takjub dengan sifatnya Kak Jingga yang memang tidak bisa ditebak sama sekali.

Kami berdua pun melahap makanan ini dengan perlahan sambil menikmatinya. Suasana di antara kami pun sudah mencair tidak awkward seperti tadi di sekolah. Makanan pun sedikit demi sedikit mulai habis, Kak Jingga terus memaksaku untuk menghabiskan sisaan makanan. Huft, untung aja Kak Jingga yang minta, coba kalau orang lain pasti sudah aku jitak kepalanya.

"Alhamdulilah kenyang," ucapku sambil memegang perut.

"Kenyang?" tanya Kak Jingga dan aku menganggukkan kepala.

"Good lah kalo lo kenyang," ucapnya lagi.

Kak Jingga menarik nafas dalam-dalam lalu membenarkan posisi duduknya sambil menatapku.

"Gue boleh tanya sesuatu kan Tan?" nada bicara Kak Jingga berubah dan terdengar serius membuatku langsung membenarkan posisi dudukku juga.

"Hemm, boleh Kak. Tanya apa?"

Kak Jingga diam sebentar sambil tetap melihat mataku. "Ada apa lo sama Retta?"

Deg, jantungku langsung berdebar seperti sedang ditanya rumus Al-Jabar di kerumunan orang.

"Ma-maksud Kak Jingga?"

Kak Jingga menggelengkan kepala, "sorry, sorry, bukan maksud gue untuk mengintimidasi lo. Gue cuma pengen tau aja lo sama Retta ada apa?"

"E-emang kenapa Kak?"

Tatapan Kak Jingga terlihat melunak. "Apa kalian melakukan sesuatu yang gak ada satu orangpun yang tau?"

Jantungku kembali berpacu tak tau harus merespon apa. "Emmm, emmm, emmm," gumamku bingung.

"It's okay kalo lo gak bisa jawab itu. Tapi please jawab jujur pertanyaan gue satu ini."

"A-apa Kak?"

Kak Jingga kembali menarik nafas lalu menatap dalam mataku. "Perasaan lo gimana ke Retta?"

Deg... kali ini aku benar-benar tak tau harus menjawab apa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top